A. PENDAHULUAN
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu tenaga
penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa
yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat
kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada
perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke
Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia
pada abad ke-7 M. (A.Mustofa,Abdullah,1999: 23). Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah
menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.(Taufik
Abdullah:1983)
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur perdagangan,
dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya
mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia.
Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya
Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh
Islam merupakan agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam,
mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran tentang
moral.(Musrifah,2005: 20).
Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan Islam di Aceh tidak lepas dari pengaruh
penguasa kerajaan serta peran ulama dan pujangga. Aceh menjadi pusat pengkajian Islam sejak zaman
Sultan Malik Az-Zahir berkuasa, dengan adanya sistem pendidikan informal berupa halaqoh. Yang pada
kelanjutannya menjadi sistem pendidikan formal. Dalam konteks inilah, pemakalah akan membahas
tentang pusat pengkajian Islam pada masa Kerajaan Islam dengan membatasi wilayah bahasan di
daerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian pendidikan Islam, masuk dan berkembangnya Islam
di Aceh, dan pusat pengkajian Islam pada masa tiga kerajaan besar Islam di Aceh.
Pendidikan Islam
Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya
“Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.(Zakiyah Drajat, 1996: 25)
Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. (Hasbullah,2001: 4)
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. (Ngalim Purwanto,
1995:11). HM. Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi
makan” kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan
dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia.(HM.Arifin, 2003: 22)
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. (UU Sisdiknas No. 20, 2003)
Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu proses
belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan
mengamalkan semua nilai yang disepa kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi
kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan
kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri
sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis. (Zakiah Drajat,1996: 25)
Dengan demikian, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap
perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang
baik (Insan Kamil).
2. Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin
(tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga
seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak
sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.(Hasbullah, 2001: 29)
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan
dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu
bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat.
Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik
M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah
antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau
adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi
dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan
membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm
karangan Imam Syafi’i.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 54)
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan
Islam tidak terlepas dari sejarah Islam pada umumnya. Karena itulah, periodesasi sejarah pendidikan Islam
berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri.
Pendidikan Islam tersebut pada dasarnya dilaksanakan dalam upaya menyahuti kehendak umat Islam
pada masa itu dan pada masa yang akan datang yang dianggap sebagai kebutuhan hidup (need of life).
Usaha yang dimiliki, apabila kita teliti atau perhatikan lebih mendalam, merupakan upaya untuk
melaksanakan isi kandungan Al-Qur'an terutama yang tertuang pada surat Al-Alaq: 1-5. Sebagimana
hanya Islam yang mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat jibril di gua Hira. Ini
merupakan salah satu contoh dari opersionalisasi penyampaian dari pendidikan tersebut.
Prof. Dr. Harun Nasution, secara garis besar membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu perode
klasik, pertengahan, dan modern.
Selanjutnya, pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan
perkembangan sebagai berikut:
1. Periode pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa nab Muhammad SAW. Selama lebih
kurang dari 23 tahun, yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama sebagai tanda kerasulannya sampai
wafat.
2. Periode pertumbuhan pendidikan, berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sampai dengan
akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yang diwarnai oleh penyebaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa
di luar bangsa Arab dan perkembangannya ilmu-ilmu naqli
3. Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung sejak permulaan Daulah bani Abbasiyah sampai
dengan jatuhnya kota Bagdad yang diwarnai oleh perkembangan secara pesat ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam serta mencapai puncak kejayaannya.
4. Tahap kemuduran pendidikan berlangsung sejak jatuhnya kota Bagdad sampai dengan jatuhnya Mesir
oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. yang ditandai oleh lemahnya kebudayaan Islam berpindahnya pusat-
pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke dunia Barat.
5. Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya sejak pendudukan Mesir Oleh Napoleon pada
akhir abad ke-18 M. sampai sekarang, yang di tandai oleh masuknya unsur-unsur budaya dan pendidikan
modern dari dunia Barat ke dunia Islam.
Sementara itu, kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan
dengan masuk dan berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam tersebut
merupakan pengalaman dan pengetahuan yang penting bagi kelangsungan perkembangan Islam dan
umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pendidikan Islam itu bahkan menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan
perananya dalam berbagai aspek sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, untuk melacak sejarah
pendidikan Islam di Indonesia dengan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun pertumbuhan
oraganisasi dan kelembagaannya tidak mungkin dilepaskan dari fase-fase yang dilaluinya.
Fase-fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi;
1. Periode masuknya Islam ke Indonesia
2. Periode pengembangan dengan melalui proses adaptasi
3. Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam (proses politik)
4. Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942)
5. Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945)
6. Periode kemerdekaan I Orde lama (1945 – 1965)
7. Periode kemerdekaan II Orde Baru/Pembangunan (1966- sekarang)
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2003)
Aliwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998)
DJumhur, Sejarah Pendidikan, Ilmu, Bandung, 1959
Fadhil al-Djamali, Menerobos Krisis Pendidikan Islam, (Jakarta: Golden Press, 1992)
H.A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Alfa Grafikatama, Jakarta, 1998
Majalah Rindang, Pesantren Masuk Undang-Undang, Majalah Bulanan Rindang, Semarang,
Edisi XXVII, 2002
Moeslim Abdurrahma, Islam Transformatif, (Jakarta: Putaka Firdaus, 19997)
Prof. DR. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1995
Th. Sumartana, dkk., Pluralisme Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2001
24 July 2007
Simposium Internasional Masa Depan Pendidikan Islam di Indonesia
Lebih dari 150 sarjana ahli, pejabat pemerintah, guru-guru dan donor internasional akan bekerja bersama-
sama dalam waktu dua hari mendatang di Jakarta untuk mengembangkan strategi guna “menjembatani
kesenjangan” antara pendidikan Islam dan pendidikan umum di Indonesia.
Simposium Internasional Pendidikan Islam hari ini dibuka oleh Sekretaris Jendral Departemen Agama,
Professor Bahrul Hayat, dan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, di UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
Professor Hayat mengatakan, beliau berharap simposium ini akan menghasilkan beberapa cara praktis
untuk “membantu menjembatani kesenjangan antara sekolah-sekolah Islam dan sekolah-sekolah umum
di Indonesia”. Beliau mengatakan forum ini hendaklah menggalang sejumlah sarjana yang mumpuni dari
Indonesia maupun internasional untuk menyumbangkan pengalaman-pengalaman dan gagasan mereka
untuk memajukan pendidikan Islam.
Persoalan-persoalan yang akan dibahas termasuk teknik pengembangan kualitas pengajaran dan
pembelajaran di dalam sekolah-sekolah Islam dan peranan pengajaran Islam di dalam rencana pendidikan
nasional pemerintah Indonesia.
Masalah fokus lainnya adalah bagaimana mengimplementasikan Desain Utama Untuk Pendidikan
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di Indonesia, strategi yang telah disiapkan bersama oleh Departemen
Pendididikan dan Departemen Agama awal tahun ini, serta kemajuan yang potensial yang hendak dicapai
melalui strategi ini pada tahun 2025
Mr Farmer mengatakan, beliau berharap simposium ini akan membantu merangsang perdebatan yang
nyata di antara para pejabat yang berwenang, praktisi, cendekia dan para donor tentang bagaimana
mewujudkan sistem pendidikan Islam yang lebih baik dan lebih kuat.
“Persoalan-persoalan ini sangatlah kritis bagi masa depan Indonesia, mengingat pentingnya peranan yang
dimainkan oleh Pendidikan Islam di Indonesia,” demikian dikatakan Mr Farmer.
Desain Utama mencatat bahwa lembaga pendidikan Islam menyediakan pendidikan dasar kepada lebih
dari 20 persen anak-anak Indonesia di mana lebih dari 25 persennya adalah perempuan. Jaringan
pendidikan Islam yang sebagian besar otonomus adalah sistem pendidikan di Indonesia yang tertua yang
pernah ada.
Simposium tanggal 24-25 Juli ini diprakarsai bersama oleh Departemen Agama dan pemerintah Australia,
melalui badan pengembangunan internasional, AusAID.
Kegiatan ini – Simposium Pendidikan Dasar Sekolah Islam di Indonesia: Menjembatani Kesenjangan – Visi
2025 - didanai dari A$30 juta (IDR 225 milyard) di bawah program lima tahun Pemerintah Australia
(LAPIS), yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dasar pendidikan Islam di Indonesia.
Bibliografi
Ahmed, Manzoor (1990), Islamic Education, New Delhi: Qazi Publishers, hlm. 1
Asfar, Muhamad (1996), “Ulama dan Politik: Perspektif Masa Depan”, Ulumul Quran, 5(VI), hlm. 4-
18.Brown, Chip, “The Science Club Serves its Country” dalam Esquire, December 1994.
Cairns, E. (1990), “Impact of Television News Exposure on Children’s Perceptions of Violence in Northern
Ireland” Journal of Social Psychology, hlm. 130, 447-452.
Conway, M.M., Stevens, A.J. & Smith, R.G. (1975), “The Relation between Media Use and Children’s Civic
Awareness”, Journalism Quarterly, hlm. 52, 531-538.
Durkin, K. (1985), Television, Sex-roles and Children, Milton Keynes, Open University Press.
Earl, R.A. & Pastermack, S. (1991), “Television Weather Casts and their Role in Geographic Education”,
Journal of Geography, hlm. 90, 113-117.
Faruqi, Isma’il al- (1987), “Foreward” dalam Akbar S. Ahmed Toward Islamic Anhtropology: Definition,
Dogma and Directions, Lahore, hlm.7.
Francis, Leslie J. (1997), “The Socio-psychological Profile of the Teenage Television Addict” dalam The
Muslim Education Quarterly, 1 (15), hlm 5-19.
Federspiel, Howard M. (1995), “Pesantren” dalam Esposito, J.L. The Oxford Encyclopedia of Modern
Islamic World, London: Oxford University Press, Vol.3, hlm.325-326.
Gould, M.S. & Shaffer, D. (1986), “The Impact of Suicide in Television Movies”, New England Journal of
Medicine, 315, 690-694
Furnham, A. & Gunter, B. (1983), “Political Knowledge and Awareness in Adolescent”, Journal of
Adolescence, 6, 373-385.
Gunter, B. (1984), “Television as Facilitator of Good Behaviour among Children”, Journal of Moral
Education, 13, 152-159.
Huesman, L.R. & Eron, L.D. (Eds.) (1986), Television and the Aggressive Child: A cross-national comparison,
Hillsdale, New Jersey, Erlbaum.
Hegell, A & Newburn, T. (1996), “Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders
and Representative Shool Children”, Pastoral Care, 14, 1, hlm. 31-42.
Hiesberger, J.M. (1981), “The Ultimate Challenge to Religious Education” dalam Religious Education, 76
(4), hlm.355-359.
Hendry, L.B. & Thornton, D.J.E. (1976), “Games Theory, Television and Leisure: an Adolescent Study,
dalam British Journal of Social and Clinical Psychology, 15, hlm.369-376.
Khan, Sharif (1986), Islamic Education, New Delhi: Ashish Publishing House, hlm.37-38.
Khan, Sharif (1997), Some Aspects of Islamic Education, Ambala Cantt. (India): Associated Publishers,
hlm.61-64.
Khusro, Syed Ali Muhammad (1981), “Education in Islamic Society” dalam Khan, Muhammad Wasiullah,
Education and Society in the Muslim World, Jeddah: Hodder & Stoughton – King Abdulaziz University,
hlm.82-84.
Rosenbaum, Ron (1995), “Even the Wife of the President of the United States had to Stand Naked”, The
Independent, 21 January, cetak ulang dari kisah dalam The New York Times.
Selnow, G.A. & Reynolds, H. (1984), “some Opportunity Costs of Television Viewing”, Journal of
Broadcasting, 28, hlm. 315-322.
Silverman-Watkins, L.T. & Sprafkin, J.N. (1983), “Adolescent’ Comprehension of televised Sexual
Innuendos”, dalam Journal of Applied Developmental Psychology, 4, hlm.359-369.
Sheehan, P.W. (1983),”Age Trends and Correlats of Children’s Television Viewing”, dalam Australian
Journal of Psychology, 35, hlm. 417-431.
Tidhar, C.E. & Peri, S. (1990), “Deceitful behaviour in Situation Comedy: Effects on Children’s Perceptions
of Social Reality”, dalam Journal of Educational television, 16, hlm. 61-67.
Tan, A.S. (1979), “Television Beauty Ads and Role Expectations of Adolescent Female Viewers”, dalam
Journalism Quarterly, 56, hlm. 283-288.
Telfer, R.J. & Kann, R.S. (1984), “Reading Achievement, Free reading, Watching TV, and Listening to
Music”, Journal of Reading, 27, hlm.536-539.
UNESCO (1996), dalam Jawed, Muhammad, (Ed.) Year Book of the Muslim World: A Handy Encyclopaedia,
New Delhi: Medialine, hlm. 53-54.
Wiegman, O., Kuttschreuter, M. & Baarda, B. (1992), “A Longitudinal Study of the Effects of Television
Viewing on Aggressive and Prosocial Behaviors”, dalam A British Journal of Socail Psychology, 31, hlm.
147-164.
Young, Robert (1997), “Science is Social Relations”, dalam Radical Science Journal, 5, hlm. 65-131.
Zuckerman, D.M., Singer, D.G. & Singer J.L. (1980), “Children’s Television Viewing, Racial and Sex-role
Attitude”, dalam Journal of applied Social Psychology”, 10, hlm.281-294.