Anda di halaman 1dari 6

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Problem kesehatan pada babi diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kelompok

utama yaitu: (1) penyakit endemik, terjadi dalam populasi, dan secara kontinyu

diperoleh dari ternak babi dengan umur lebih tinggi, terutama dari individu betina

ke anaknya. Proses penularan ini kemudian berlanjut ke individu lain dalam

kelompok umur yang sama; (2) penyakit epizootik, yang memicu outbreak akibat

masuknya agen patogen dari luar lingkungan, atau pada keadaan penurunan

kekebalan dan stress yang tinggi; (3) Penyakit akibat stress, berkaitan dengan

tekanan stress, perubahan lingkungan secara tiba-tiba, kepadatan populasi yang

berlebihan dan perubahan nutrisi (Cameron, 2000).

Kejadian penyakit menular yang cukup sering ditemukan pada peternakan

babi merupakan salah satu kendala utama yang sering mengakibatkan kerugian

besar dalam tata laksana. Salah satu diantara penyakit menular tersebut adalah

Pasteurellosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Pasteurella multocida.

Kerugian yang sering terjadi meliputi kerugian gangguan pertumbuhan,

peningkatan angka konversi pakan, dan kemungkinan adanya penularan terhadap

individu maupun populasi ternak babi yang lain (Cameron, 2000).

Sebagian besar masalah yang berkaitan dengan pengurangan resiko

penyakit tidak lagi berkaitan dengan infeksi organisme tunggal, tetapi merupakan

kombinasi dari beberapa organisme (Kiriazakis and Whittemore, 2006).

Prevalensi pneumonia pasteurellosis pada babi hasil pemotongan berkisar antara

30-80% (Taylor, 1991). Adanya kombinasi dari beberapa organisme ini


2

menyebabkan seringkali terjadinya kemiripan dalam hal gejala klinis yang

teramati. Kasus pneumonia pada babi yang disebabkan oleh P. multocida subtype

A dan D mencapai 88% (Davis et al., 2003). Pasteurella multocida merupakan

organisme penting yang menyebabkan bronchopneumonia pada sapi, kambing

dan babi (Frank, 1989), dan haemorrhagic septicaemia pada sapi dan kerbau di

daerah Asia dan Afrika (Carter and de Alwis, 1989).

Metode konvensional untuk isolasi dan identifikasi P. multocida

melibatkan pekerjaan mendapatkan kultur murni yang berasal dari sampel seperti

swab tonsil atau nasofaring, yang umumnya bercampur dengan bakteri

kontaminan, dan akan sangat memakan waktu.

B. Rumusan masalah

Pengembangan berbagai metode uji berbasis asam nukleat telah

secara dramatis meningkatkan sensitivitas dan fleksibilitas deteksi dan identifikasi

bakteri, khususnya P. multocida. Teknik yang memanfaatkan prinsip-prinsip dasar

Polimerase Chain Reaction (PCR) memfasilitasi identifikasi bakteri pada

berbagai tingkatan spesifitas. Perkembangan terbaru dari teknik PCR yang

spesifik untuk genus dan spesies P. multocida seperti Pasteurella multocida

Polymerase Chain Reaction (PM-PCR) dan Septichaemia haemorrhagica

Pasteurella multocida type B Polymerase Chain Reaction (SHB-PCR) telah

memberikan identifikasi yang cepat dari semua subspesies P. multocida dan P.

multocida serotipe B yang terkait dengan SH (Tipe B:2, B:5 dan B:2,5). Selain

itu, amplifikasi PCR juga digunakan terhadap sekuen P. multocida penghasil


3

toksin (PMT) (Lichtensteiger et al, 1996). Isolat Pasteurella multocida juga

dapat dibedakan berdasarkan pola fermentasi biokimia, dan dengan teknik

repetitive sequence-based polymerase chain reaction (PCR-REP) telah terbukti

bermanfaat dalam penentuan kekerabatan strain P. multocida (Townsend et al.,

1997, 1998b; Biswas et al., 2004).

Pasteurella multocida tipe B:2 secara luas diakui sebagai agen penyebab

hemoragik septikemia (SH) pada sapi dan kerbau (Bain et al., 1982; De Alwis,

1992), dewasa ini juga dikaitkan dengan pasteurellosis septikemia akut pada babi

(Gamage et al.,1995; Townsend et al., 1998b.). Wabah pasteurellosis babi

disebabkan oleh serotype B:2 telah menunjukkan bahwa babi tidak hanya

berfungsi sebagai reservoir untuk P. multocida namun juga dapat menularkan

penyakit ke sapi dan kerbau (Verma, 1988). Meskipun penentuan jenis P.

multocida yang berasal dari kasus bronchopneumonia pada babi telah banyak

dilakukan dengan berbagai metode, akan tetapi hubungan antara isolat dan proses

patologik pada kasus tersebut belum banyak dilaporkan (Zucker et al., 1996;

Lainson et al., 2002; Jamaludin et al., 2005).

Secara histologi bronchopneumonia lobular eksudatif disertai hiperplasia

epitel alveolar dan infiltrasi neutrofil sering ditemukan bersama dengan eksudat

mukopurulen di dalam lumen bronchi dan inter alveolar. Walaupun demikian,

lesi tersebut juga seringkali ditunjukkan dalam infeksi bakteri pneumonia lainnya.

Lesi makrosopik tidak bias dijadikan satu-satunya kriteria dalam menentukan

diagnosis definitif. Oleh karena itu, sejarah outbreak, histopatologi, dan isolasi

organism sangat dibutuhkan untuk konfirmasi diagnosis. Uji serologis juga


4

terbukti tidak efektif dalam mendukung diagnosis (Pijoan, 2006). Prevalensi yang

tinggi dalam kasus bronchopneumonia pada babi ternyata berkaitan dengan

infeksi P. multocida (Morrison et al., 1985; Hansen et al., 2010)

Ternak yang menderita penyakit merupakan reservoir utama bagi

penularan. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya pasteurellosis diantaranya

adalah: kesalahan tata laksana pemeliharaan, stress akibat pengangkutan dan

sanitasi lingkungan yang jelek. Kejadian penyakit akibat infeksi laten juga sering

terjadi (Radostits et al., 2000).

Pneumonia pasteurellosis merupakan penyakit yang penting dan

memerlukan biaya yang tinggi dalam penanganannya. Pasteurella multocida

merupakan spesies penting yang patut diduga penyebab proses penyakit ini. Di

banyak negara, sebagian besar isolat yang ditemukan berasal dari pulmo babi

biasanya berkaitan dengan kejadian pneumonia dan berasal dari kelompok

serotype A. Saat ini, metode yang terutama digunakan untuk melakukan

diferensiasi adalah berdasarkan keragaman tipe kapsular dan somatik (Pijoan,

1983).

Kasus pasteurellosis yang cukup sering terjadi di daerah DIY memerlukan

penanganan yang tepat dan akurat. Isolasi dan identifikasi dengan metode

konvensional memerlukan waktu yang relatif lebih lama dan tingkat akurasi yang

lebih rendah. Oleh karena itu teknik identifikasi yang akurat dan cukup cepat

sangat diperlukan.
5

Penelitian ini dilakukan untuk mendukung peneguhan diagnosis dan

memberikan informasi molekuler kondisi isolat Pasteurella tentang materi genetik

yang menyandi gen 16S rRNAdari beberapa peternakan di daerah DI Yogyakarta.

Analisis molekular berkaitan dengan keragaman genetik dan filogenetik

dapat memberikan kontribusi yang sangat baik terhadap pemetaan (mapping)

penyebab pasteurellosis pada tingkatan genomik. Metode PCR dapat menjadi alat

diagnostik yang berguna untuk deteksi dan karakterisasi serta penentuan subtipe

P. multocida dan mampu menunjukkan keterkaitan antara isolat sehingga

hambatan dalam hal akurasi dan efisiensi waktu pada identifikasi dengan

penggunaan metode konvensional dapat diminimalisir.

C. Keaslian Penelitian

Identifikasi penyebab outbreak pasteurellosis di India dengan angka

mortalitas tinggi pada babi menggunakan teknik PCR memberikan hasil yang

sangat akurat dan sensitibilitas yang sangat tinggi dibandingkan dengan uji

konvensional (Kalorey et al., 2008). Towsend et al. (1998) juga melakukan kajian

molekuler terhadap kemungkinan adanya hubungan antara isolat P. multocida

penyebab pasteurellosis septikemia akut pada babi dan septikemia hemoragika

(SH) pada sapi di Vietnam, serta kemungkinan adanya transmisi mikroorganisme

di antara ternak tersebut. Kajian molekuler gen 16S rRNAdari beberapa isolat P.

multocida asal beberapa jenis ternak (sapi, babi, domba) yang dilakukan Dey at

al. (2007) menunjukkan adanya tingkat homologi yang tinggi (99,9%) diantara

spesies tersebut.
6

Keaslian penelitian ditinjau dari asal isolat P. multocida (isolat asal DIY)

dan fragmen gen 16S rRNAdengan susunan nukleotida sepanjang 832 bp.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui mikroorganisme penyebab gangguan respirasi atau pneumonia

pada babi di Yogyakarta dengan uji morfologi dan biokimiawi

2. Meneguhkan hasil identifikasi secara molekuler dengan metode PCR

3. Mengetahui variasi genetik isolat P. multocida di Yogyakarta dengan isolat P.

multocida luar negeri

Anda mungkin juga menyukai