HAM Di Indonesia
HAM Di Indonesia
Konflik
dan
Pelanggaran HAM
Catatan Kelam
20 Tahun Reformasi
Rabu, 13 Juni 2018 | 16:44 WIB
Reformasi menyimpan sejumlah noktah
hitam terkait konflik dan pelanggaran
HAM. Apa saja catatan kelam yang
banyak di antaranya masih menanti
penyelesaian itu?
PENEGAKAN supremasi hukum dan
hak asasi manusia (HAM) tampaknya
masih menjadi pekerjaan rumah
terberat yang harus diselesaikan
Indonesia sejak republik ini berdiri
pada 17 Agustus 1945.
Menilik 20 tahun ke belakang saja,
terdapat sejumlah catatan hitam
dalam ranah hukum dan HAM.
Amanah gerakan Reformasi 1998
terkait supremasi hukum belum juga
terwujud. Ini belum bicara
keseluruhan konflik sosial apalagi soal
sengketa tanah.
Kasus pelanggaran HAM yang terjadi
di masa lalu belum juga menemukan
titik terang terkait penyelesaiannya.
Sampai saat ini, masih ada tujuh kasus
pelanggaran HAM berat di masa lalu
yang "tertahan" di Kejaksaan Agung
KOMPAS.com / GARRY ANDREW
LOTULUNG
Aktivis Jaringan Solidaritas
Korban untuk Keadilan menggelar
aksi Kamisan ke-453 di depan
Istana Merdeka, Jalan Medan
Merdeka Utara, Jakarta Pusat,
Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu
mereka menuntut pemerintah
menyelesaikan kasus-kasus
pelangaran hak asasi manusia di
masa lalu dan mengkritisi
pelantikan Wiranto sebagai Menko
Polhukam karena dianggap
bertanggung jawab atas sejumlah
kasus pelanggaran HAM di
Indonesia.
Tujuh kasus itu adalah Tragedi 1965;
Penembakan Misterius (1982-1985);
Peristiwa Talangsari di Lampung
(1989); Kasus Penghilangan Orang
secara Paksa (1997-1998); Kerusuhan
Mei 1998; Penembakan Trisakti,
Semanggi I, dan Semanggi II (1998-
1999); serta Kasus Wasior dan
Wamena di Papua (2000).
KOMPAS/RONY ARIYANTO
NUGROHO
Sejumlah mahasiswa asal Papua
yang menamakan diri Nasional
Papua Solidaritas menggelar aksi
masalah pelanggaran hak asasi
manusia di depan Gedung Sate,
Bandung, Jawa Barat, Selasa
(5/6/2012). Mereka menuntut
pemerintah mengusut sejumlah
perlakuan tindak kekerasan dan
pelanggaran HAM yang
mengorbankan warga sipil di
Papua serta meminta keadilan bagi
tanah Papua.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo
diakui telah memberikan perhatian
lebih terkait pembangunan
infrastruktur, namun
mengesampingkan penegakan HAM
dan penanganan konflik sosial politik.
Berikut ini
catatan Kompas.com terkait konflik—
terutama terkait suku, agama, dan
ras—dan polemik HAM yang terjadi
sepanjang dua dasawarsa terakhir,
dikutip dari dokumentasi
harian Kompas, Kompas.com, dan
sumber kredibel lain.
Pelanggaran HAM Berat 1996-1999
VIK KOMPAS.com
Visual Interaktif Kompas edisi
Kejatuhan (daripada) Soeharto
PROSES untuk menjatuhkan
kekuasaan Presiden Soeharto dan
rezim Orde Baru terbilang tidak
mudah. Ada pengorbanan besar saat
menyuarakan protes terhadap
Soeharto kala itu.
Jangan terlewat: VIK Kejatuhan
(daripada) Soeharto
Aksi demonstrasi yang berujung
mundurnya Soeharto dari jabatan
presiden dapat dibilang sebagai
akumulasi "kekesalan terpendam"
masyarakat atas sejumlah
pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) yang terjadi sepanjang dua
tahun terakhir kekuasaan "The
Smiling General" itu.
Namun, setelah Soeharto jatuh masih
saja terjadi sejumlah catatan hitam
pelanggaran HAM dalam mengatasi
aksi demonstrasi mahasiswa pada
1999.
Aksi represif aparat keamanan
disertai penembakan menyebabkan
Tragedi Semanggi I dan Semanggi II
yang menewaskan sejumlah
mahasiswa.
27 Juli 1996
Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996
menjadi momentum yang diingat
masyarakat.
Aksi penyerangan terhadap kantor
Partai Demokrasi Indonesia yang
dikuasai pendukung Megawati
Soekarnoputri saat itu menimbulkan
korban jiwa akibat intervensi
kekuasaan yang mengakibatkan
dualisme partai politik.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Keluarga korban tragedi 27 Juli
bersama massa dari Forum
Komunikasi Kerukunan 124, Rabu
(27/7/2011), mendatangi bekas
kantor DPP PDI di Jalan
Diponegoro 58, Jakarta, untuk
memperingati 15 tahun peristiwa
tersebut. Mereka mendesak
Presiden menyelesaikan berbagai
kasus pelanggaran hak asasi
manusia, termasuk tragedi 27 Juli
1996.
Hasil penyidikan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM)
menyebutkan, kerusuhan tersebut
mengakibatkan lima orang tewas, 149
orang luka, dan 23 orang hilang.
Kerugian materiil diperkirakan
mencapai Rp 100 miliar.
KOMPAS/Rakaryan Sukarjaputra
Para aktivis korban kekerasan
Orde Baru mengingatkan akan
korban yang hilang dan belum
kembali dengan memamerkan
photo-photo korban serta
aksesorisnya pada 1999 silam.
Berdasarkan laporan penyelidikan
Tim Ad Hoc Komnas HAM,
setidaknya 23 aktivis pro demokrasi
menjadi korban. Hingga sekarang,
sembilan orang dikembalikan, satu
orang meninggal dunia, dan 13 orang
masih hilang.
Tragedi Semanggi I
Tragedi ini terjadi pada 13 November
1998. Saat itu mahasiswa
berdemonstrasi menolak Sidang
Istimewa MPR yang dinilai
inkonstitusional, menuntut dihapusnya
dwifungsi ABRI, dan meminta
Presiden segera mengatasi krisis
ekonomi.
Mahasiswa yang melakukan
demonstrasi di sekitar kampus
Universitas Atma Jaya, Semanggi,
Jakarta, dihalangi aparat bersenjata
lengkap dan kendaraan lapis baja.
Ketika mahasiswa mencoba bertahan,
tiba-tiba terjadi penembakan oleh
aparat.
Setidaknya lima orang mahasiswa
menjadi korban. Mereka adalah
mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma
Jaya BR Norma Irmawan, mahasiswa
Universitas Negeri Jakarta Engkus
Kusnadi, dan mahasiswa Universitas
Terbuka Heru Sudibyo.
Kemudian, mahasiswa universitas
Yayasan Administrasi Indonesia (YAI)
Sigit Prasetyo dan mahasiswa Institut
Teknologi Indonesia (ITI) Teddy
Wardani Kusuma. Peristiwa ini juga
melukai sebanyak 253 orang lainnya.
Tragedi Semanggi II
Peristiwa ini terjadi pada 24
September 1999, saat mahasiswa
menolak rencana pemberlakuan UU
Penanggulangan Keadaan Bahaya.
Aturan yang sedianya akan
menggantikan UU Subversi tersebut
dianggap terlalu otoriter.
Lagi-lagi, aksi penolakan yang
dilakukan oleh mahasiswa kembali
menelan korban. Tercatat 11 orang
meninggal dunia akibat penembakan
yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Salah satu korbannya adalah Yap Yun
Hap, mahasiswa Universitas
Indonesia. Yap Yun Hap tertembak
tepat di depan kampus Atma Jaya
Jakarta.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Obor hampir mati, Tragedi
Semanggi II tak kunjung selesai.
Sebuah obor yang hampir mati
karena kehabisan bahan bakar
minyak tanah menyala kecil di
depan poster yang dipasang pleh
Panitia Bersama Peringatan 6
Tahun Tragedi Semanggi II di
depan kampus Atmajaya, Jakarta,
Sabtu (24/9/2005). Puluhan
mahasiswa dan keluarga korban
menggelar aksi pawai obor, tabur
bunga dan orasi dalam malam
refleksi yang intinya mengingatkan
pemerintah untuk serius
menyelesaikan kasus Tragedi
Semanggi II yang tak kunjung
selesai.
Hasil penyelidikan Komisi Penyelidik
Pelanggaran (KPP) HAM Tragedi
Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) pada
Maret 2002 menyatakan bahwa ketiga
tragedi tersebut bertautan satu sama
lain.
KPP HAM TSS juga menyatakan,
“…terdapat bukti-bukti awal yang
cukup bahwa di dalam ketiga tragedi
telah terjadi pelanggaran berat HAM
yang antara lain berupa pembunuhan,
peganiayaan, penghilangan paksa,
perampasan kemerdekaan dan
kebebasan fisik yang dilakukan secara
terencana dan sistematis serta
meluas…”.
Komnas HAM melalui KPP HAM TSS
merekomendasikan untuk
melanjutkan penyidikan terhadap
sejumlah petinggi TNI/POLRI pada
masa itu. Namun, hingga saat ini
Kejaksaan Agung belum meneruskan
berkas penyelidikan tersebut ke tahap
penyidikan.
Baca juga: 20 Tahun Reformasi,
Catatan Perubahan Indonesia di
Bidang Politik
Konflik Berbasis SARA
SEJUMLAH kekerasan yang terjadi
akibat konflik berbasis suku, agama,
ras, dan antargolongan menjadi noda
hitam dalam perjalanan reformasi.
Butuh upaya menjaga Bhinneka
Tunggal Ika - (KOMPAS/JITET)
Tercatat beberapa kasus yang terjadi
sepanjang 20 tahun terakhir. Namun,
noda paling hitam itu terjadi di
Ambon, Maluku pada 1999; Poso,
Sulawesi Tengah pada 2000-2001; dan
Sampit, Kalimantan Tengah pada
2000-2001.
Konflik Maluku
Konflik Maluku bermula dari
peristiwa kerusuhan yang terjadi pada
Selasa, 19 Januari 1999. Kerusuhan
berawal dari bentrokan antarwarga
yang dipicu kesalahpahaman di
Batumerah, Ambon.
Bentrokan kemudian membesar
menjadi kerusuhan antardesa yang
penduduk mayoritasnya berbeda
agama.
Berdasarkan catatan Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) pada 18
Februari 1999, kerusuhan juga terjadi
di berbagai tempat di Maluku dalam
waktu yang hampir bersamaan, dipicu
sejumlah isu yang provokatif.
Konflik Poso
Konflik yang terjadi antara kelompok
Muslim dengan kelompok Kristen ini
terjadi dalam beberapa fase sepanjang
akhir 1998 hingga 2001.
Secara umum Human Right Watch
mencatat, konflik menjadi besar
akibat ketidakmampuan otoritas
hukum dan keamanan dalam
mengatasi konflik-konflik kecil. Selain
itu, faktor politik dan kondisi ekonomi
ikut memperparah situasi.
KOMPAS/SIDIK PRAMONO
Kerinduan untuk kembali ke
tempat asal membuat para
pengungsi asal Poso rela
berdesak-desakan untuk
mempersiapkan kembali rumah-
rumah mereka yang rusak dan
ditinggalkan selama konflik.
Sejumlah rekonsiliasi pun dilakukan
untuk meredakan konflik. Upaya itu
kemudian menemui hasil dengan
ditandatanganinya Deklarasi Malino
pada 20 Desember 2001.
Selain rekonsiliasi, Deklarasi Malino
juga menyepakati rehabilitasi sosial,
pemulangan pengungsi, serta sejumlah
program yang mendukung normalisasi
kehidupan warga Poso.
Belum diketahui secara pasti jumlah
korban akibat Konflik Poso. Namun,
dikutip dari dokumentasi Kompas,
pasca-Deklarasi Malino pemerintah
menyiapkan anggaran Rp 100 miliar
sebagai santunan atas korban tewas
yang diprediksi mencapai 1.000 orang.
Konflik Sampit
Konflik antar-etnis di Sampit,
Kalimantan Tengah, bermula dari
bentrokan yang terjadi pada 18
Februari 2001, antara warga suku
Dayak dan suku Madura sebagai
pendatang.
eristiwa kemudian meluas ke seluruh
provinsi ini, termasuk di ibu kotanya,
Palangkaraya. Diduga, konflik antar-
etnis tersebut dipicu oleh persaingan
di bidang ekonomi.
Ign Danu Kusworo
Pengungsi yang merupakan etnis
Madura akibat konflik antar-etnis
di Sampit, Kalimantan Tengah,
periode Februari 2001.
Dikutip dari dokumentasi Kompas,
Komnas HAM membentuk Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM Sampit.
Namun, KPP HAM itu menyatakan
tak ada pelanggaran HAM berat
dalam kasus Sampit.
Namun, pernyataan tersebut
kemudian dibantah Kontras yang saat
itu masih dipimpin aktivis HAM
Munir. Menurut Kontras, tak sulit
mencari bukti adanya pelanggaran
HAM dalam konflik ini. Misalnya,
pengungsian paksa yang dilakukan
pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga dianggap
melakukan pembiaran. Padahal,
pemerintah telah mendapat
peringatan dari Yayasan Al Miftah
bahwa konflik berpotensi
menimbulkan banyak korban jiwa.
Antropolog Belanda Gerry van
Klinken memprediksi korban tewas
mencapai 500 orang hingga lebih dari
1.000 orang. Selain itu, konflik juga
menyebabkan lebih dari 25.000 orang
meninggalkan rumahnya untuk
mengungsi.
Buruknya Pemenuhan Hak
Beragama
PEMENUHAN atas hak dan
kebebasan beragama masih terbilang
buruk sepanjang era reformasi. Dalam
kurun waktu 2008 hingga 2016
misalnya, Komnas HAM menyoroti
sembilan kasus terkait kebebasan
beragama dan berkeyakinan (KBB).
Komnas HAM mengindikasikan kasus
pelanggaran KBB berlangsung
bertahun-tahun dan cenderung
mengalami pembiaran oleh negara.
KOMPAS.com/FITRI
Pengungsi Ahmadiyah di Lombok
Timur berharap bisa pulang dan
puasa di rumah sendiri.
Jemaah Ahmadiyah Indonesia
menyatakan, dalam kurun 2016-2017
terdapat 11 kasus penutupan masjid
Ahmadiyah. Sebagian besar
penutupan masjid justru diinisiasi oleh
pemda.
Selain penutupan rumah ibadah,
pelanggaran atas hak sipil juga
dialami oleh 116 jemaah Ahmadiyah
yang berada di Permukiman Wisma
Transito di Kelurahan Majeluk, Kota
Mataram, Nusa Tenggara Barat
(NTB).
Kasus terakhir adalah perusakan
terhadap rumah dan properti milik
jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur
pada Mei 2018.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Sejumlah rohaniawan dan
perwakilan umat beragama
menggelar aksi damai di depan
Gedung MPR/DPR/DPD RI di
Senayan, Jakarta, Senin (8/4/2013).
Mereka menyampaikan tuntutan
kepada Pimpinan MPR untuk
meminta jaminan kebebasan dan
toleransi dalam beribadah
terhadap sesama umat beragama.
Selain soal perizinan tempat ibadah,
Boas juga mengadu mengenai
pendidikan di Aceh Singkil yang
belum bebas dari praktik diskriminasi.
Menurut dia, sudah berpuluh-puluh
tahun semua Sekolah Dasar Negeri di
Kabupaten Aceh Singkil tidak
memiliki guru agama Nasrani.
Padahal, pelajaran agama menjadi
satu syarat bagi kelulusan siswa.
KOMPAS.com/ESTU SURYOWATI
Ratusan jemaat Gereja Kristen
Indonesia (GKI) Yasmin dan HKBP
Filadelfia melaksanakan ibadah
Paskah di seberang Istana
Merdeka, Jakarta Pusat, Minggu
(9/7/2017). Ibadah di depan Istana
ini dilakukan karena gereja mereka
yang berada di wilayah Bogor dan
Bekasi masih disegel oleh
pemerintah daerah setempat.
Kasus Gereja Yasmin di Bogor
GKI Yasmin disegel oleh Satpol PP
Kota Bogor pada 10 April 2010
sebagai pelaksanaan perintah wali
kota. Semenjak saat itu, umat
beribadah di halaman gereja dan di
jalan.
Karena selalu mendapat intimidasi,
umat mengalihkan tempat ibadah di
rumah jemaat.
Sebenarnya, PTUN Bandung dan
PTUN Jakarta memenangkan GKI
Yasmin dalam sengketa IMB yang
berbuntut penyegelan tersebut.
MA melalui keputusan Nomor 127
PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember
2010 juga telah menolak permohonan
peninjauan kembali (PK) yang
diajukan Pemkot Bogor.
Kerusuhan Tolikara
Kerusuhan di Tolikara, Papua, terjadi
pada 17 Juli 2015. Peristiwa tersebut
terjadi ketika massa Gereja Injili di
Indonesia (GIDI) berusaha
membubarkan jemaah Muslim yang
tengah menjalankan shalat Idul Fitri.
KOMPAS/ANTONY LEE
Bekas kios yang terbakar akibat
kerusuhan di Kecamatan
Karubaga, Kabupaten Tolikara,
Papua, Senin (20/7/2015). Berbagai
pemangku kepentingan di
Karubaga menegaskan bahwa
kendati konflik diawali penolakan
salat id, tetapi konflik disebabkan
faktor miskomunikasi.
Menurut imam Mushala Baitul
Muttaqiem di Karubaga, Ali Mukhtar,
konflik disebabkan miskomunikasi.
Dia mengaku, pihaknya tak menerima
surat edaran dari GIDI yang telah
direvisi, yang meminta pelaksanaan
shalat agar dilakukan di mushala
tanpa menggunakan pengeras suara.
Oleh karena itu, ia tetap menggelar
shalat Id di halaman masjid.
Imbauan itu dikeluarkan pengurus
GIDI karena mereka menggelar
kegiatan kepemudaan tingkat nasional
di lokasi yang berjarak sekitar 200
meter dari lokasi shalat id.
Polemik Papua
SELAMA era Orde Baru, Papua
sering kali dianggap sebagai provinsi
yang kurang mendapat perhatian.
Padahal, Papua menghasilkan
sejumlah kekayaan alam yang menjadi
sumber penghasilan negara.
Saat era reformasi berjalan, sejumlah
perubahan sebenarnya telah
dilakukan. Amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 yang
mengamanahkan otonomi daerah
memberikan sejumlah keistimewaan
bagi Papua.
Wilayah yang kini terdiri dari dua
provinsi, Papua dan Papua Barat,
kemudian mendapat status daerah
dengan otonomi khusus sejak 2001.
Namun, masih terdapat sejumlah
masalah, terutama terkait
pelanggaran HAM. Berikut ini
catatannya.
Lima pelanggaran HAM berat
Pada periode 1998 hingga 2016,
tercatat lima kasus pelanggaran berat
HAM terjadi di Papua.
Lima kasus itu adalah kasus Biak
Numfor pada Juli 1998, peristiwa
Wasior pada 2001, peristiwa Wamena
pada 2003, peristiwa Paniai pada 2014,
dan kasus Mapenduma pada
Desember 2016.
Secara umum, kasus pelanggaran
HAM itu terkait cara aparat
keamanan dalam menangani aksi
demonstrasi masyarakat Papua. Isu
disintegrasi yang membayangi Papua
memperparah keadaan.
Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan Wiranto
mengatakan, pemerintah
memprioritaskan penyelesaian lima
kasus pelanggaran berat HAM
tersebut.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Masyarakat dari National Papua
Solidarity berunjuk rasa di kantor
perwakilan Perserikatan Bangsa-
Bangsa di Jakarta, Kamis
(30/8/2012). Mereka meminta PBB
memberikan perhatian khusus
kepada demokrasi, pelanggaran
HAM, dan tragedi kemanusiaan di
Papua.
Pemerintah pun membentuk Tim
Penanganan Dugaan Pelanggaran
HAM di Papua dan Papua Barat
dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Menkopolhukam RI
Nomor 40 Tahun 2016.
Wiranto menjelaskan, penanganan
kasus Wasior dan Wamena saat ini
berada dalam koordinasi Komnas
HAM bersama Kejaksaan Agung.
Jaksa Agung telah mengembalikan
berkas penyelidikan kepada Komnas
HAM selaku penyelidik agar mereka
melengkapi berkas penyelidikan yang
belum lengkap terkait pelaku, korban
baik dari sipil maupun kelompok
separatis bersenjata, visum et
repertum korban, dukungan ahli
forensik, dan dokumen Surat Perintah
Operasi.
Adapun untuk kasus Paniai,
Mapenduma, dan peristiwa Biak
Numfor, penanganannya masih
berada dalam tahap penyelidikan oleh
Komnas HAM.
Kasus pembunuhan Theys
Pada 10 November 2001, Theys Hiyo
Eluay dan sopirnya, Aristoteles
Masoka, dikabarkan hilang dan
diculik oleh orang tak dikenal. Theys
merupakan Ketua Presidium Dewan
Papua.
Sehari kemudian, Theys ditemukan
tewas di dalam mobilnya di Skouw,
tak jauh dari perbatasan RI-Papua
Niugini. Adapun Aristoteles Masoka
sampai sekarang belum ditemukan.
KOMPAS/EDDY HASBY
Ketua Presidium Dewan Papua,
Theys Hiyo Eluay
Kematian Theys merupakan kasus
yang diduga sarat dengan motif politik
dan kepentingan. Berdasarkan catatan
Kontras, ada beberapa hal yang
berkaitan erat dengan peristiwa
pembunuhan tersebut.
Pertama, dokumen Departemen Dalam
Negeri (Juni 2000) tentang rencana
operasi pengondisian wilayah dan
pengembangan jaringan komunikasi
dalam menyikapi arah politik Papua
untuk merdeka.
Kedua, fakta di lapangan
menunjukkan ada peningkatan
kekerasan sampai kematian Theys,
dan kekerasan menurun drastis
setelah pembunuhan tersebut.
Terkait kasus ini, tujuh anggota TNI
dihadapkan ke pengadilan militer.
Tujuh terdakwa yang disidangkan di
Mahkamah Militer Tinggi III
Surabaya, Rabu 5 Maret 2003.
Ketujuh terdakwa itu adalah Letkol
(Inf) Hartomo, Mayor (Inf) Donni
Hutabarat, Kapten (Inf) Rionardo,
Lettu (Inf) Agus Suprianto, Sertu
Asrial, Sertu Laurensius LI, dan
Praka Achmad Zulfahmi.
Oditur Militer menuntut mereka
hukuman 2-3 tahun penjara. Dalam
sidang, Oditur Militer menyatakan
para terdakwa terbukti bersalah.
Namun, elemen masyarakat sipil yang
tergabung dalam Solidaritas Nasional
untuk Papua (SNUP) menilai proses
pengadilan yang berlangsung
merupakan upaya memutus rantai
komando saja, bertentangan dengan
prinsip imparsial, dan hanya
digunakan untuk mengukuhkan
impunitas aparat militer yang terlibat.
Pada 2014, Komnas HAM mulai
membuka kembali masalah
pembunuhan Theys dan hilangnya
Aristoteles Masoka.
Komnas HAM mempelajari salinan
berkas dari Pengadilan Mahkamah
Militer terkait kasus 13 tahun
sebelumnya itu. Dari salinan berkas
terungkap, para pelaku pembunuh
Theys mengakui bahwa mereka
sedang melaksanakan tugas negara.
Hal lain yang didapatkan dari berkas
tersebut, Theys disiksa terlebih dahulu
sebelum dieksekusi.
Baca juga: Rezim Soekarno, Soeharto,
dan 20 Tahun Reformasi dalam Hal
Ekonomi
Pembunuhan Munir
HINGGA saat ini, kasus pembunuhan
aktivis HAM Munir Said Thalib masih
menjadi misteri. Aktivis yang akrab
disapa Cak Munir itu meninggal dunia
pada 7 September 2004.
Munir diracun dalam penerbangan
Garuda Indonesia GA-974 dari
Jakarta menuju Amsterdam, yang
transit di Singapura.
Saat itu, pendiri Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras) itu hendak melanjutkan
jenjang pendidikan di Belanda.
KOMPAS/M Yuniadhi Agung
Sejumlah korban dan keluarga
korban pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) menggelar aksi
solidaritas untuk aktivis pejuang
HAM, Munir (almarhum), di Kantor
Komisi Nasional (Komnas) HAM,
Jakarta, Selasa (23/11). Mereka
meminta Komnas HAM untuk
segera membentuk tim penyelidik
independen guna mengusut
kematian Munir.
Proses peradilan telah dilakukan
untuk mengadili pelaku pembunuhan
Munir.
Dalam kasus ini, pengadilan telah
menjatuhkan vonis 14 tahun penjara
terhadap Pollycarpus Budihari
Priyanto, pilot Garuda yang saat itu
sedang cuti tetapi ada di penerbangan
yang sama dengan Munir, sebagai
pelaku pembunuhan Munir.
Sejumlah fakta persidangan juga
menyebut adanya dugaan keterlibatan
petinggi Badan Intelijen Negara (BIN)
dalam kasus pembunuhan ini.
Namun, pada 13 Desember 2008,
mantan Deputi V BIN Mayjen Purn
Muchdi Purwoprandjono yang juga
menjadi terdakwa dalam kasus ini
divonis bebas dari segala dakwaan.
Belasan tahun berselang, istri
almarhum Munir, Suciwati, dan para
aktivis HAM lainnya tetap meminta
pemerintah mengusut tuntas kasus
tersebut dan mengungkap siapa yang
menjadi dalang sebenarnya.
KOMPAS.com/Kristian Erdianto
Suciwati, istri Munir, saat
membacakan surat yang ia tulis
untuk Presiden Joko Widodo di
Aksi Kamisan ke 505, di Seberang
Istana Kepresidenan, Jakarta
Pusat, Kamis (9/7/2017).
Menurut Suciwati, Presiden Joko
Widodo pernah berjanji akan
menuntaskan kasus Munir saat
mengundang 22 pakar hukum dan
HAM pada 22 September 2016.
Pada 14 Oktober 2016, Presiden
Jokowi—sebutan atau panggilan
untuk Joko Widodo—menunjuk dan
meminta Jaksa Agung segera bekerja
menindaklanjuti kasus Munir
berdasarkan temuan Tim Pencari
Fakta (TPF) Kasus kematian Munir.
Namun, hingga saat ini, Suciwati
menilai pemerintah terkesan saling
lempar tanggung jawab meski Komisi
Informasi Pusat (KIP) mengabulkan
permohonan informasi dan meminta
pemerintah mengumumkan hasil
investigasi TPF.
Upaya Suciwati dan Kontras berlanjut
pada gugatan ke KIP. Dalam sidang
putusan, KIP menyatakan bahwa
pemerintah diminta segera
mengumumkan hasil penyelidikan
TPF kasus kematian Munir seperti
yang dimohonkan oleh Pemohon,
yakni Kontras.
Kemudian, Kementerian Sekretariat
Negara (Kemensetneg) mengajukan
banding atas putusan tersebut. PTUN
Jakarta mengabulkan banding itu.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivis Jaringan Solidaritas
Korban untuk Keadilan
mengenang 10 Tahun Kasus Munir
dalam aksi Kamisan di Istana
Negara, Kamis (4/9/2014). Pegiat
HAM mendesak penegak hukum
untuk membuka kembali kasus
Munir untuk menjerat dan
menghukum auktor intelektualis di
balik pembunuhan Munir.
Atas Putusan PTUN, Kontras
mengajukan kasasi ke MA pada 27
Februari 2017. MA memutuskan
menolak kasasi tersebut.
Hingga saat ini belum diketahui alasan
pembunuhan Munir. Sejauh ini,
dugaan yang muncul adalah
pembunuhan terkait upaya Munir
dalam mengungkap dan menuntut
pertanggungjawaban atas sejumlah
pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Artikel JEO LainnyaIndeks