Anda di halaman 1dari 59

JEO - News

Konflik
dan
Pelanggaran HAM

Catatan Kelam
20 Tahun Reformasi
Rabu, 13 Juni 2018 | 16:44 WIB
Reformasi menyimpan sejumlah noktah
hitam terkait konflik dan pelanggaran
HAM. Apa saja catatan kelam yang
banyak di antaranya masih menanti
penyelesaian itu?
PENEGAKAN supremasi hukum dan
hak asasi manusia (HAM) tampaknya
masih menjadi pekerjaan rumah
terberat yang harus diselesaikan
Indonesia sejak republik ini berdiri
pada 17 Agustus 1945.
Menilik 20 tahun ke belakang saja,
terdapat sejumlah catatan hitam
dalam ranah hukum dan HAM.
Amanah gerakan Reformasi 1998
terkait supremasi hukum belum juga
terwujud. Ini belum bicara
keseluruhan konflik sosial apalagi soal
sengketa tanah.
Kasus pelanggaran HAM yang terjadi
di masa lalu belum juga menemukan
titik terang terkait penyelesaiannya.
Sampai saat ini, masih ada tujuh kasus
pelanggaran HAM berat di masa lalu
yang "tertahan" di Kejaksaan Agung
KOMPAS.com / GARRY ANDREW
LOTULUNG
Aktivis Jaringan Solidaritas
Korban untuk Keadilan menggelar
aksi Kamisan ke-453 di depan
Istana Merdeka, Jalan Medan
Merdeka Utara, Jakarta Pusat,
Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu
mereka menuntut pemerintah
menyelesaikan kasus-kasus
pelangaran hak asasi manusia di
masa lalu dan mengkritisi
pelantikan Wiranto sebagai Menko
Polhukam karena dianggap
bertanggung jawab atas sejumlah
kasus pelanggaran HAM di
Indonesia.
Tujuh kasus itu adalah Tragedi 1965;
Penembakan Misterius (1982-1985);
Peristiwa Talangsari di Lampung
(1989); Kasus Penghilangan Orang
secara Paksa (1997-1998); Kerusuhan
Mei 1998; Penembakan Trisakti,
Semanggi I, dan Semanggi II (1998-
1999); serta Kasus Wasior dan
Wamena di Papua (2000).

Di sisi lain, rentetan kasus intoleransi


keagamaan di Indonesia cenderung
meningkat dalam era "kebebasan
berdemokrasi". Sejumlah kasus
diskriminasi bernuansa suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) masih
saja terjadi di negara berasas
Pancasila ini.
Bahkan, intoleransi itu berujung
konflik berbasis SARA dengan korban
jiwa yang tak sedikit. Misalnya,
konflik antar-agama yang terjadi di
Ambon, Maluku, sepanjang 1999, dan
konflik etnis yang terjadi di Sampit,
Kalimantan Tengah pada 2001.
Polemik di Papua pasca-reformasi
juga menarik untuk menjadi
perhatian. Berdasarkan laporan
Setara Institute pada 2016, terjadi
peningkatan pelanggaran HAM di
Papua yang sangat signifikan jika
dibandingkan tahun sebelumnya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO
NUGROHO
Sejumlah mahasiswa asal Papua
yang menamakan diri Nasional
Papua Solidaritas menggelar aksi
masalah pelanggaran hak asasi
manusia di depan Gedung Sate,
Bandung, Jawa Barat, Selasa
(5/6/2012). Mereka menuntut
pemerintah mengusut sejumlah
perlakuan tindak kekerasan dan
pelanggaran HAM yang
mengorbankan warga sipil di
Papua serta meminta keadilan bagi
tanah Papua.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo
diakui telah memberikan perhatian
lebih terkait pembangunan
infrastruktur, namun
mengesampingkan penegakan HAM
dan penanganan konflik sosial politik.
Berikut ini
catatan Kompas.com terkait konflik—
terutama terkait suku, agama, dan
ras—dan polemik HAM yang terjadi
sepanjang dua dasawarsa terakhir,
dikutip dari dokumentasi
harian Kompas, Kompas.com, dan
sumber kredibel lain.
Pelanggaran HAM Berat 1996-1999
VIK KOMPAS.com
Visual Interaktif Kompas edisi
Kejatuhan (daripada) Soeharto
PROSES untuk menjatuhkan
kekuasaan Presiden Soeharto dan
rezim Orde Baru terbilang tidak
mudah. Ada pengorbanan besar saat
menyuarakan protes terhadap
Soeharto kala itu.
Jangan terlewat: VIK Kejatuhan
(daripada) Soeharto
Aksi demonstrasi yang berujung
mundurnya Soeharto dari jabatan
presiden dapat dibilang sebagai
akumulasi "kekesalan terpendam"
masyarakat atas sejumlah
pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) yang terjadi sepanjang dua
tahun terakhir kekuasaan "The
Smiling General" itu.
Namun, setelah Soeharto jatuh masih
saja terjadi sejumlah catatan hitam
pelanggaran HAM dalam mengatasi
aksi demonstrasi mahasiswa pada
1999.
Aksi represif aparat keamanan
disertai penembakan menyebabkan
Tragedi Semanggi I dan Semanggi II
yang menewaskan sejumlah
mahasiswa.

27 Juli 1996
Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996
menjadi momentum yang diingat
masyarakat.
Aksi penyerangan terhadap kantor
Partai Demokrasi Indonesia yang
dikuasai pendukung Megawati
Soekarnoputri saat itu menimbulkan
korban jiwa akibat intervensi
kekuasaan yang mengakibatkan
dualisme partai politik.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Keluarga korban tragedi 27 Juli
bersama massa dari Forum
Komunikasi Kerukunan 124, Rabu
(27/7/2011), mendatangi bekas
kantor DPP PDI di Jalan
Diponegoro 58, Jakarta, untuk
memperingati 15 tahun peristiwa
tersebut. Mereka mendesak
Presiden menyelesaikan berbagai
kasus pelanggaran hak asasi
manusia, termasuk tragedi 27 Juli
1996.
Hasil penyidikan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM)
menyebutkan, kerusuhan tersebut
mengakibatkan lima orang tewas, 149
orang luka, dan 23 orang hilang.
Kerugian materiil diperkirakan
mencapai Rp 100 miliar.

Penghilangan paksa 1997-1998


Rezim Orde Baru kemudian menuding
Partai Rakyat Demokratik (PRD)
sebagai dalang Peristiwa 27 Juli 1996.
Setelah itu, terjadilah kasus
penghilangan orang secara paksa
periode 1997-1998.

KOMPAS/Rakaryan Sukarjaputra
Para aktivis korban kekerasan
Orde Baru mengingatkan akan
korban yang hilang dan belum
kembali dengan memamerkan
photo-photo korban serta
aksesorisnya pada 1999 silam.
Berdasarkan laporan penyelidikan
Tim Ad Hoc Komnas HAM,
setidaknya 23 aktivis pro demokrasi
menjadi korban. Hingga sekarang,
sembilan orang dikembalikan, satu
orang meninggal dunia, dan 13 orang
masih hilang.

Tragedi Mei 1998


Pelanggaran HAM kembali terjadi
saat aparat keamanan bersikap
represif dalam menangani demonstrasi
mahasiswa di depan kampus
Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998.
Empat mahasiswa Universitas Trisakti
meninggal dan ratusan mahasiswa lain
terluka akibat tembakan dengan
menggunakan peluru tajam.
KOMPAS.com / GARRY ANDREW
LOTULUNG
Aktivis HAM dan keluarga korban
pelanggaran HAM memperingati
10 Tahun Aksi Kamisan di depan
Istana Merdeka, Jakarta, Kamis
(19/1/2017). Kamisan sebagai
bentuk perlawanan keluarga
korban pelanggaran hak asasi
manusia dalam melawan lupa telah
berlangsung selama 10 tahun
sejak aksi pertama di depan Istana
Merdeka pada 18 Januari 2007.
Sehari setelahnya, muncul tragedi lain,
yaitu Kerusuhan 13–15 Mei 1998.
Dalam peristiwa ini terjadi
pembunuhan, penganiayaan,
perusakan, pembakaran, penjarahan,
penghilangan paksa, perkosaan, serta
penyerangan terhadap etnis Tionghoa.

Tragedi Semanggi I
Tragedi ini terjadi pada 13 November
1998. Saat itu mahasiswa
berdemonstrasi menolak Sidang
Istimewa MPR yang dinilai
inkonstitusional, menuntut dihapusnya
dwifungsi ABRI, dan meminta
Presiden segera mengatasi krisis
ekonomi.
Mahasiswa yang melakukan
demonstrasi di sekitar kampus
Universitas Atma Jaya, Semanggi,
Jakarta, dihalangi aparat bersenjata
lengkap dan kendaraan lapis baja.
Ketika mahasiswa mencoba bertahan,
tiba-tiba terjadi penembakan oleh
aparat.
Setidaknya lima orang mahasiswa
menjadi korban. Mereka adalah
mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma
Jaya BR Norma Irmawan, mahasiswa
Universitas Negeri Jakarta Engkus
Kusnadi, dan mahasiswa Universitas
Terbuka Heru Sudibyo.
Kemudian, mahasiswa universitas
Yayasan Administrasi Indonesia (YAI)
Sigit Prasetyo dan mahasiswa Institut
Teknologi Indonesia (ITI) Teddy
Wardani Kusuma. Peristiwa ini juga
melukai sebanyak 253 orang lainnya.

KOMPAS.com / GARRY ANDREW


LOTULUNG
Maria Katarina Sumarsih atau
biasa disapa Sumarsih, orangtua
Wawan, mahasiswa yang menjadi
korban tragedi Semanggi I, beraksi
saat aksi Kamisan ke-453 di depan
Istana Merdeka, Jalan Medan
Merdeka Utara, Jakarta Pusat,
Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu
mereka menuntut pemerintah
menyelesaikan kasus-kasus
pelangaran hak asasi manusia di
masa lalu dan mengkritisi
pelantikan Wiranto sebagai Menko
Polhukam karena dianggap
bertanggung jawab atas sejumlah
kasus pelanggaran HAM di
Indonesia.
Setidaknya lima orang mahasiswa
menjadi korban. Mereka adalah
mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma
Jaya BR Norma Irmawan (Wawan),
mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
Engkus Kusnadi, dan mahasiswa
Universitas Terbuka Heru Sudibyo.
Kemudian, mahasiswa universitas
Yayasan Administrasi Indonesia (YAI)
Sigit Prasetyo dan mahasiswa Institut
Teknologi Indonesia (ITI) Teddy
Wardani Kusuma. Peristiwa ini juga
melukai sebanyak 253 orang lainnya.

Tragedi Semanggi II
Peristiwa ini terjadi pada 24
September 1999, saat mahasiswa
menolak rencana pemberlakuan UU
Penanggulangan Keadaan Bahaya.
Aturan yang sedianya akan
menggantikan UU Subversi tersebut
dianggap terlalu otoriter.
Lagi-lagi, aksi penolakan yang
dilakukan oleh mahasiswa kembali
menelan korban. Tercatat 11 orang
meninggal dunia akibat penembakan
yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Salah satu korbannya adalah Yap Yun
Hap, mahasiswa Universitas
Indonesia. Yap Yun Hap tertembak
tepat di depan kampus Atma Jaya
Jakarta.

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Obor hampir mati, Tragedi
Semanggi II tak kunjung selesai.
Sebuah obor yang hampir mati
karena kehabisan bahan bakar
minyak tanah menyala kecil di
depan poster yang dipasang pleh
Panitia Bersama Peringatan 6
Tahun Tragedi Semanggi II di
depan kampus Atmajaya, Jakarta,
Sabtu (24/9/2005). Puluhan
mahasiswa dan keluarga korban
menggelar aksi pawai obor, tabur
bunga dan orasi dalam malam
refleksi yang intinya mengingatkan
pemerintah untuk serius
menyelesaikan kasus Tragedi
Semanggi II yang tak kunjung
selesai.
Hasil penyelidikan Komisi Penyelidik
Pelanggaran (KPP) HAM Tragedi
Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) pada
Maret 2002 menyatakan bahwa ketiga
tragedi tersebut bertautan satu sama
lain.
KPP HAM TSS juga menyatakan,
“…terdapat bukti-bukti awal yang
cukup bahwa di dalam ketiga tragedi
telah terjadi pelanggaran berat HAM
yang antara lain berupa pembunuhan,
peganiayaan, penghilangan paksa,
perampasan kemerdekaan dan
kebebasan fisik yang dilakukan secara
terencana dan sistematis serta
meluas…”.
Komnas HAM melalui KPP HAM TSS
merekomendasikan untuk
melanjutkan penyidikan terhadap
sejumlah petinggi TNI/POLRI pada
masa itu. Namun, hingga saat ini
Kejaksaan Agung belum meneruskan
berkas penyelidikan tersebut ke tahap
penyidikan.
Baca juga: 20 Tahun Reformasi,
Catatan Perubahan Indonesia di
Bidang Politik
Konflik Berbasis SARA
SEJUMLAH kekerasan yang terjadi
akibat konflik berbasis suku, agama,
ras, dan antargolongan menjadi noda
hitam dalam perjalanan reformasi.
Butuh upaya menjaga Bhinneka
Tunggal Ika - (KOMPAS/JITET)
Tercatat beberapa kasus yang terjadi
sepanjang 20 tahun terakhir. Namun,
noda paling hitam itu terjadi di
Ambon, Maluku pada 1999; Poso,
Sulawesi Tengah pada 2000-2001; dan
Sampit, Kalimantan Tengah pada
2000-2001.

Konflik Maluku
Konflik Maluku bermula dari
peristiwa kerusuhan yang terjadi pada
Selasa, 19 Januari 1999. Kerusuhan
berawal dari bentrokan antarwarga
yang dipicu kesalahpahaman di
Batumerah, Ambon.
Bentrokan kemudian membesar
menjadi kerusuhan antardesa yang
penduduk mayoritasnya berbeda
agama.
Berdasarkan catatan Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) pada 18
Februari 1999, kerusuhan juga terjadi
di berbagai tempat di Maluku dalam
waktu yang hampir bersamaan, dipicu
sejumlah isu yang provokatif.

KOMPAS/Yunas Santhani Azis


Suasana Ambon, pasca-kerusuhan
berdarah di kota Ambon, Maluku
pada pertengahan Agustus 1999.
Kontras menyimpulkan peristiwa
kerusuhan di Ambon adalah hasil
proses akumulasi konflik
antarkelompok yang pada mulanya
bersifat lokal. Namun, karena
keterlibatan peran-peran tertentu dari
sejumlah provokator, konflik berubah
menjadi kerusuhan dengan skala dan
kerusakan yang luas.
Dalam lawatannya ke Ambon pada
Minggu, 2 Oktober 2011, Wakil
Presiden Jusuf Kalla menuturkan,
kerusuhan yang terjadi pada 19
Januari 1999 bukanlah murni konflik
agama.
Menurut Kalla, persoalan itu
sebenarnya berakar dari
ketidakpuasan sebagian masyarakat
atas kondisi sosial politik yang
kemudian menyertakan sentimen
perbedaan agama.
Pada 6 Februari 2001, Komisi
Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi
Manusia dan Mediasi (KPMM) di
Maluku mencatat, sejak Januari 1999
hingga Oktober 2000 sedikitnya telah
jatuh korban 3.080 orang tewas, 4.024
luka-luka, dan 281.365 orang lainnya
mengungsi.

Konflik Poso
Konflik yang terjadi antara kelompok
Muslim dengan kelompok Kristen ini
terjadi dalam beberapa fase sepanjang
akhir 1998 hingga 2001.
Secara umum Human Right Watch
mencatat, konflik menjadi besar
akibat ketidakmampuan otoritas
hukum dan keamanan dalam
mengatasi konflik-konflik kecil. Selain
itu, faktor politik dan kondisi ekonomi
ikut memperparah situasi.

KOMPAS/SIDIK PRAMONO
Kerinduan untuk kembali ke
tempat asal membuat para
pengungsi asal Poso rela
berdesak-desakan untuk
mempersiapkan kembali rumah-
rumah mereka yang rusak dan
ditinggalkan selama konflik.
Sejumlah rekonsiliasi pun dilakukan
untuk meredakan konflik. Upaya itu
kemudian menemui hasil dengan
ditandatanganinya Deklarasi Malino
pada 20 Desember 2001.
Selain rekonsiliasi, Deklarasi Malino
juga menyepakati rehabilitasi sosial,
pemulangan pengungsi, serta sejumlah
program yang mendukung normalisasi
kehidupan warga Poso.
Belum diketahui secara pasti jumlah
korban akibat Konflik Poso. Namun,
dikutip dari dokumentasi Kompas,
pasca-Deklarasi Malino pemerintah
menyiapkan anggaran Rp 100 miliar
sebagai santunan atas korban tewas
yang diprediksi mencapai 1.000 orang.

Konflik Sampit
Konflik antar-etnis di Sampit,
Kalimantan Tengah, bermula dari
bentrokan yang terjadi pada 18
Februari 2001, antara warga suku
Dayak dan suku Madura sebagai
pendatang.
eristiwa kemudian meluas ke seluruh
provinsi ini, termasuk di ibu kotanya,
Palangkaraya. Diduga, konflik antar-
etnis tersebut dipicu oleh persaingan
di bidang ekonomi.
Ign Danu Kusworo
Pengungsi yang merupakan etnis
Madura akibat konflik antar-etnis
di Sampit, Kalimantan Tengah,
periode Februari 2001.
Dikutip dari dokumentasi Kompas,
Komnas HAM membentuk Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM Sampit.
Namun, KPP HAM itu menyatakan
tak ada pelanggaran HAM berat
dalam kasus Sampit.
Namun, pernyataan tersebut
kemudian dibantah Kontras yang saat
itu masih dipimpin aktivis HAM
Munir. Menurut Kontras, tak sulit
mencari bukti adanya pelanggaran
HAM dalam konflik ini. Misalnya,
pengungsian paksa yang dilakukan
pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga dianggap
melakukan pembiaran. Padahal,
pemerintah telah mendapat
peringatan dari Yayasan Al Miftah
bahwa konflik berpotensi
menimbulkan banyak korban jiwa.
Antropolog Belanda Gerry van
Klinken memprediksi korban tewas
mencapai 500 orang hingga lebih dari
1.000 orang. Selain itu, konflik juga
menyebabkan lebih dari 25.000 orang
meninggalkan rumahnya untuk
mengungsi.
Buruknya Pemenuhan Hak
Beragama
PEMENUHAN atas hak dan
kebebasan beragama masih terbilang
buruk sepanjang era reformasi. Dalam
kurun waktu 2008 hingga 2016
misalnya, Komnas HAM menyoroti
sembilan kasus terkait kebebasan
beragama dan berkeyakinan (KBB).
Komnas HAM mengindikasikan kasus
pelanggaran KBB berlangsung
bertahun-tahun dan cenderung
mengalami pembiaran oleh negara.

Kekerasan terhadap Ahmadiyah


Pelanggaran atas hak beragama dan
berkeyakinan paling parah dialami
jemaah Ahmadiyah. Komnas HAM
mencatat setidaknya telah terjadi
pelanggaran hak asasi jemaah
Ahmadiyah di 12 daerah.
Sebagian besar pelanggaran tersebut
dilegitimasi oleh peraturan daerah,
seperti Peraturan Gubernur Nomor 12
Tahun 2011 tentang Larangan
Kegiatan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) di Jawa Barat dan
Peraturan Wali Kota Banjar Nomor
10 Tahun 2011 tentang Penanganan
JAI di Kota Banjar.

KOMPAS.com/FITRI
Pengungsi Ahmadiyah di Lombok
Timur berharap bisa pulang dan
puasa di rumah sendiri.
Jemaah Ahmadiyah Indonesia
menyatakan, dalam kurun 2016-2017
terdapat 11 kasus penutupan masjid
Ahmadiyah. Sebagian besar
penutupan masjid justru diinisiasi oleh
pemda.
Selain penutupan rumah ibadah,
pelanggaran atas hak sipil juga
dialami oleh 116 jemaah Ahmadiyah
yang berada di Permukiman Wisma
Transito di Kelurahan Majeluk, Kota
Mataram, Nusa Tenggara Barat
(NTB).
Kasus terakhir adalah perusakan
terhadap rumah dan properti milik
jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur
pada Mei 2018.

Kasus Mushala Asy-Syafiiyah di


Denpasar
Pelanggaran hak atas kebebasan
beragama dan beribadah juga dialami
oleh umat Muslim di Denpasar, Bali,
pada Mei 2008. Sebagian kelompok
masyarakat melarang pembangunan
mushala Asy-Syafiiyah di Kota
Denpasar.
Ketua pengurus mushala, Haji Eko
mengatakan, respons sulit didapat dari
pemerintah daerah terkait pengusiran
dan penyegelan mushala Asy-
Syafiiyah.
Jajak Pendapat Litbang Kompas dan
Data Konflik Sosial 2009-2012 -
(KOMPAS/ANDRI)
Pengusiran ribuan anggota kelompok
Gafatar
Pada awal Januari 2016 ribuan warga
anggota kelompok Gerakan Fajar
Nusantara (Gafatar) diusir dari
Mempawah, Kalimantan Barat.
Mereka mengalami kekerasan dan
diskriminasi saat pengusiran.
Perlakuan diskriminatif juga terjadi
saat mereka kembali ke daerah asal.
Setelah dikembalikan ke daerah
asalnya masing-masing, para warga
eks Gafatar mengalami perlakuan
tidak adil dari pemerintah.
KONTRIBUTOR
KOMPAS.com/RAHMAT RAHMAN
PATTY
16 Mantan anggota Gafatar tiba di
Kota Ambon, Senin (1/2/2016).
Saat dibawa ke Balai Dikat Kantor
Keagamaan AMbon mereka
dikawal ketat aparat kepolisian
bersenjata lengkap
Beberapa warga mengaku mengalami
pengusiran, pencabutan KTP, dan
pencantuman data pernah terlibat
dalam kegiatan kriminal dalam Surat
Keterangan Catatan Kepolisian
(SKCK).
Peristiwa kekerasan dan perlakuan
diskriminatif yang menimpa anggota
kelompok Gafatar tak lepas dari hasil
keputusan bersama Kejaksaan Agung
dengan Kementerian Agama dan
Kementerian Dalam Negeri.
Hasil keputusan bersama tersebut
menyatakan bahwa Gafatar
merupakan kelompok yang memiliki
ajaran agama yang menyimpang dari
ajaran pokoknya.

Kasus pembangunan gereja di Aceh


Singkil
Pada 22 April 2016, Forum Cinta
Damai Aceh Singkil (Forcidas)
menyampaikan pengaduan terkait
adanya diskriminasi dalam
mendirikan gereja.
Ketua Forcidas Boas Tumangger
mengatakan bahwa pemerintah
kabupaten tidak bisa mengakomodasi
hak-hak yang seharusnya diterima
oleh kelompok umat Nasrani, terkait
pemberian izin pembangunan rumah
ibadah.
Boas menuturkan, sebelum maupun
sesudah peristiwa pembakaran gereja
HKI pada 13 Oktober 2015, izin
pembangunan gereja dipersulit.
Padahal, seluruh persyaratan yang
tercantum dalam Peraturan Gubernur
Tahun 2007 tentang Izin Pendirian
Rumah Ibadah telah dipenuhi.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Sejumlah rohaniawan dan
perwakilan umat beragama
menggelar aksi damai di depan
Gedung MPR/DPR/DPD RI di
Senayan, Jakarta, Senin (8/4/2013).
Mereka menyampaikan tuntutan
kepada Pimpinan MPR untuk
meminta jaminan kebebasan dan
toleransi dalam beribadah
terhadap sesama umat beragama.
Selain soal perizinan tempat ibadah,
Boas juga mengadu mengenai
pendidikan di Aceh Singkil yang
belum bebas dari praktik diskriminasi.
Menurut dia, sudah berpuluh-puluh
tahun semua Sekolah Dasar Negeri di
Kabupaten Aceh Singkil tidak
memiliki guru agama Nasrani.
Padahal, pelajaran agama menjadi
satu syarat bagi kelulusan siswa.

Kekerasan terhadap warga Syiah di


Sampang
Peristiwa ini terjadi pada Agustus
2012. Satu orang tewas, empat orang
lainnya kritis, dan puluhan rumah
terbakar akibat penyerangan terhadap
warga Syiah di Sampang, Madura,
Jawa Timur.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA


YASA
Warga Syiah korban kekerasan
terkait agama di Kabupaten
Sampang, Madura, Jawa Timur,
bersepeda melintas di Jalan
Pahlawan, Kota Semarang, Jawa
Tengah, Rabu (5/6/2013). Mereka
bersepeda dari Madura menuju
Istana Negara, Jakarta, untuk
menuntut kejelasan sikap
pemerintah dalam penyelesaian
konflik bernuansa agama.
Komunitas Syiah yang mengungsi di
GOR Kabupaten Sampang juga
mengalami tekanan dalam bentuk lain,
yakni berupa tekanan untuk pindah
keyakinan dan meninggalkan Syiah.
Hasil laporan Kontras Surabaya
menyebutkan, sembilan kepala
keluarga didesak untuk membuat
surat pernyataan keluar dari Syiah.
Dalam surat pernyataan itu tertera,
diketahui dan disaksikan oleh
sejumlah pejabat dan tokoh agama
setempat, seperti Polres Sampang,
Kemenag Sampang, Bakesbang Pol,
Sat Brimob Polda Jatim, dan camat
setempat.

Kasus HKBP Filadelfia di Bekasi


Selama hampir 16 tahun umat Gereja
Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) Filadelfia Bekasi belum bisa
beribadah dengan tenang. Padahal,
Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
gereja sudah mereka kantongi.
Perwakilan majelis gereja, Pasauran
Siahaan, menilai, pemerintah daerah
tidak memiliki niat baik untuk
menyelesaikan polemik yang dialami
jemaat Filadelfia.
Pasalnya, pemda terkesan melakukan
pembiaran terhadap sekelompok
masyarakat dari luar wilayah Bekasi
yang menolak pembangunan gereja.

KOMPAS.com/ESTU SURYOWATI
Ratusan jemaat Gereja Kristen
Indonesia (GKI) Yasmin dan HKBP
Filadelfia melaksanakan ibadah
Paskah di seberang Istana
Merdeka, Jakarta Pusat, Minggu
(9/7/2017). Ibadah di depan Istana
ini dilakukan karena gereja mereka
yang berada di wilayah Bogor dan
Bekasi masih disegel oleh
pemerintah daerah setempat.
Kasus Gereja Yasmin di Bogor
GKI Yasmin disegel oleh Satpol PP
Kota Bogor pada 10 April 2010
sebagai pelaksanaan perintah wali
kota. Semenjak saat itu, umat
beribadah di halaman gereja dan di
jalan.
Karena selalu mendapat intimidasi,
umat mengalihkan tempat ibadah di
rumah jemaat.
Sebenarnya, PTUN Bandung dan
PTUN Jakarta memenangkan GKI
Yasmin dalam sengketa IMB yang
berbuntut penyegelan tersebut.
MA melalui keputusan Nomor 127
PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember
2010 juga telah menolak permohonan
peninjauan kembali (PK) yang
diajukan Pemkot Bogor.

AFP PHOTO/ADEK BERRY


Meski terik dan sempat turun
hujan, jemaat Gereja Yasmin dan
HKBP Filadelfia tetap
melaksanakan ibadah di seberang
Istana Merdeka, Jakarta, Rabu
(25/12/2013). Mereka memprotes
kasus pembangunan gereja yang
tak kunjung selesai.
Namun, saat itu, Wali Kota Bogor
justru menerbitkan Surat Keputusan
Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tentang
Pencabutan IMB GKI Yasmin,
tertanggal 11 Maret 2011.
Alasan Wali Kota Bogor tidak mau
mematuhi putusan MA tersebut
karena adanya pemalsuan tanda
tangan oleh Munir Karta yang kala itu
menjabat sebagai ketua RT.
Ombudsman RI kemudian
mengeluarkan rekomendasi dengan
nomor 0011/REK/0259.2010/BS-
15/VII/2011 pada 8 Juli 2011 mengenai
pencabutan keputusan Wali Kota
Bogor tentang IMB GKI Yasmin,
tetapi tetap tidak ada tindakan dari
Pemerintah Kota Bogor.

Kerusuhan Tolikara
Kerusuhan di Tolikara, Papua, terjadi
pada 17 Juli 2015. Peristiwa tersebut
terjadi ketika massa Gereja Injili di
Indonesia (GIDI) berusaha
membubarkan jemaah Muslim yang
tengah menjalankan shalat Idul Fitri.

KOMPAS/ANTONY LEE
Bekas kios yang terbakar akibat
kerusuhan di Kecamatan
Karubaga, Kabupaten Tolikara,
Papua, Senin (20/7/2015). Berbagai
pemangku kepentingan di
Karubaga menegaskan bahwa
kendati konflik diawali penolakan
salat id, tetapi konflik disebabkan
faktor miskomunikasi.
Menurut imam Mushala Baitul
Muttaqiem di Karubaga, Ali Mukhtar,
konflik disebabkan miskomunikasi.
Dia mengaku, pihaknya tak menerima
surat edaran dari GIDI yang telah
direvisi, yang meminta pelaksanaan
shalat agar dilakukan di mushala
tanpa menggunakan pengeras suara.
Oleh karena itu, ia tetap menggelar
shalat Id di halaman masjid.
Imbauan itu dikeluarkan pengurus
GIDI karena mereka menggelar
kegiatan kepemudaan tingkat nasional
di lokasi yang berjarak sekitar 200
meter dari lokasi shalat id.
Polemik Papua
SELAMA era Orde Baru, Papua
sering kali dianggap sebagai provinsi
yang kurang mendapat perhatian.
Padahal, Papua menghasilkan
sejumlah kekayaan alam yang menjadi
sumber penghasilan negara.
Saat era reformasi berjalan, sejumlah
perubahan sebenarnya telah
dilakukan. Amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 yang
mengamanahkan otonomi daerah
memberikan sejumlah keistimewaan
bagi Papua.
Wilayah yang kini terdiri dari dua
provinsi, Papua dan Papua Barat,
kemudian mendapat status daerah
dengan otonomi khusus sejak 2001.
Namun, masih terdapat sejumlah
masalah, terutama terkait
pelanggaran HAM. Berikut ini
catatannya.
Lima pelanggaran HAM berat
Pada periode 1998 hingga 2016,
tercatat lima kasus pelanggaran berat
HAM terjadi di Papua.
Lima kasus itu adalah kasus Biak
Numfor pada Juli 1998, peristiwa
Wasior pada 2001, peristiwa Wamena
pada 2003, peristiwa Paniai pada 2014,
dan kasus Mapenduma pada
Desember 2016.
Secara umum, kasus pelanggaran
HAM itu terkait cara aparat
keamanan dalam menangani aksi
demonstrasi masyarakat Papua. Isu
disintegrasi yang membayangi Papua
memperparah keadaan.
Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan Wiranto
mengatakan, pemerintah
memprioritaskan penyelesaian lima
kasus pelanggaran berat HAM
tersebut.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Masyarakat dari National Papua
Solidarity berunjuk rasa di kantor
perwakilan Perserikatan Bangsa-
Bangsa di Jakarta, Kamis
(30/8/2012). Mereka meminta PBB
memberikan perhatian khusus
kepada demokrasi, pelanggaran
HAM, dan tragedi kemanusiaan di
Papua.
Pemerintah pun membentuk Tim
Penanganan Dugaan Pelanggaran
HAM di Papua dan Papua Barat
dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Menkopolhukam RI
Nomor 40 Tahun 2016.
Wiranto menjelaskan, penanganan
kasus Wasior dan Wamena saat ini
berada dalam koordinasi Komnas
HAM bersama Kejaksaan Agung.
Jaksa Agung telah mengembalikan
berkas penyelidikan kepada Komnas
HAM selaku penyelidik agar mereka
melengkapi berkas penyelidikan yang
belum lengkap terkait pelaku, korban
baik dari sipil maupun kelompok
separatis bersenjata, visum et
repertum korban, dukungan ahli
forensik, dan dokumen Surat Perintah
Operasi.
Adapun untuk kasus Paniai,
Mapenduma, dan peristiwa Biak
Numfor, penanganannya masih
berada dalam tahap penyelidikan oleh
Komnas HAM.
Kasus pembunuhan Theys
Pada 10 November 2001, Theys Hiyo
Eluay dan sopirnya, Aristoteles
Masoka, dikabarkan hilang dan
diculik oleh orang tak dikenal. Theys
merupakan Ketua Presidium Dewan
Papua.
Sehari kemudian, Theys ditemukan
tewas di dalam mobilnya di Skouw,
tak jauh dari perbatasan RI-Papua
Niugini. Adapun Aristoteles Masoka
sampai sekarang belum ditemukan.

KOMPAS/EDDY HASBY
Ketua Presidium Dewan Papua,
Theys Hiyo Eluay
Kematian Theys merupakan kasus
yang diduga sarat dengan motif politik
dan kepentingan. Berdasarkan catatan
Kontras, ada beberapa hal yang
berkaitan erat dengan peristiwa
pembunuhan tersebut.
Pertama, dokumen Departemen Dalam
Negeri (Juni 2000) tentang rencana
operasi pengondisian wilayah dan
pengembangan jaringan komunikasi
dalam menyikapi arah politik Papua
untuk merdeka.
Kedua, fakta di lapangan
menunjukkan ada peningkatan
kekerasan sampai kematian Theys,
dan kekerasan menurun drastis
setelah pembunuhan tersebut.
Terkait kasus ini, tujuh anggota TNI
dihadapkan ke pengadilan militer.
Tujuh terdakwa yang disidangkan di
Mahkamah Militer Tinggi III
Surabaya, Rabu 5 Maret 2003.
Ketujuh terdakwa itu adalah Letkol
(Inf) Hartomo, Mayor (Inf) Donni
Hutabarat, Kapten (Inf) Rionardo,
Lettu (Inf) Agus Suprianto, Sertu
Asrial, Sertu Laurensius LI, dan
Praka Achmad Zulfahmi.
Oditur Militer menuntut mereka
hukuman 2-3 tahun penjara. Dalam
sidang, Oditur Militer menyatakan
para terdakwa terbukti bersalah.
Namun, elemen masyarakat sipil yang
tergabung dalam Solidaritas Nasional
untuk Papua (SNUP) menilai proses
pengadilan yang berlangsung
merupakan upaya memutus rantai
komando saja, bertentangan dengan
prinsip imparsial, dan hanya
digunakan untuk mengukuhkan
impunitas aparat militer yang terlibat.
Pada 2014, Komnas HAM mulai
membuka kembali masalah
pembunuhan Theys dan hilangnya
Aristoteles Masoka.
Komnas HAM mempelajari salinan
berkas dari Pengadilan Mahkamah
Militer terkait kasus 13 tahun
sebelumnya itu. Dari salinan berkas
terungkap, para pelaku pembunuh
Theys mengakui bahwa mereka
sedang melaksanakan tugas negara.
Hal lain yang didapatkan dari berkas
tersebut, Theys disiksa terlebih dahulu
sebelum dieksekusi.
Baca juga: Rezim Soekarno, Soeharto,
dan 20 Tahun Reformasi dalam Hal
Ekonomi
Pembunuhan Munir
HINGGA saat ini, kasus pembunuhan
aktivis HAM Munir Said Thalib masih
menjadi misteri. Aktivis yang akrab
disapa Cak Munir itu meninggal dunia
pada 7 September 2004.
Munir diracun dalam penerbangan
Garuda Indonesia GA-974 dari
Jakarta menuju Amsterdam, yang
transit di Singapura.
Saat itu, pendiri Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras) itu hendak melanjutkan
jenjang pendidikan di Belanda.
KOMPAS/M Yuniadhi Agung
Sejumlah korban dan keluarga
korban pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) menggelar aksi
solidaritas untuk aktivis pejuang
HAM, Munir (almarhum), di Kantor
Komisi Nasional (Komnas) HAM,
Jakarta, Selasa (23/11). Mereka
meminta Komnas HAM untuk
segera membentuk tim penyelidik
independen guna mengusut
kematian Munir.
Proses peradilan telah dilakukan
untuk mengadili pelaku pembunuhan
Munir.
Dalam kasus ini, pengadilan telah
menjatuhkan vonis 14 tahun penjara
terhadap Pollycarpus Budihari
Priyanto, pilot Garuda yang saat itu
sedang cuti tetapi ada di penerbangan
yang sama dengan Munir, sebagai
pelaku pembunuhan Munir.
Sejumlah fakta persidangan juga
menyebut adanya dugaan keterlibatan
petinggi Badan Intelijen Negara (BIN)
dalam kasus pembunuhan ini.
Namun, pada 13 Desember 2008,
mantan Deputi V BIN Mayjen Purn
Muchdi Purwoprandjono yang juga
menjadi terdakwa dalam kasus ini
divonis bebas dari segala dakwaan.
Belasan tahun berselang, istri
almarhum Munir, Suciwati, dan para
aktivis HAM lainnya tetap meminta
pemerintah mengusut tuntas kasus
tersebut dan mengungkap siapa yang
menjadi dalang sebenarnya.
KOMPAS.com/Kristian Erdianto
Suciwati, istri Munir, saat
membacakan surat yang ia tulis
untuk Presiden Joko Widodo di
Aksi Kamisan ke 505, di Seberang
Istana Kepresidenan, Jakarta
Pusat, Kamis (9/7/2017).
Menurut Suciwati, Presiden Joko
Widodo pernah berjanji akan
menuntaskan kasus Munir saat
mengundang 22 pakar hukum dan
HAM pada 22 September 2016.
Pada 14 Oktober 2016, Presiden
Jokowi—sebutan atau panggilan
untuk Joko Widodo—menunjuk dan
meminta Jaksa Agung segera bekerja
menindaklanjuti kasus Munir
berdasarkan temuan Tim Pencari
Fakta (TPF) Kasus kematian Munir.
Namun, hingga saat ini, Suciwati
menilai pemerintah terkesan saling
lempar tanggung jawab meski Komisi
Informasi Pusat (KIP) mengabulkan
permohonan informasi dan meminta
pemerintah mengumumkan hasil
investigasi TPF.
Upaya Suciwati dan Kontras berlanjut
pada gugatan ke KIP. Dalam sidang
putusan, KIP menyatakan bahwa
pemerintah diminta segera
mengumumkan hasil penyelidikan
TPF kasus kematian Munir seperti
yang dimohonkan oleh Pemohon,
yakni Kontras.
Kemudian, Kementerian Sekretariat
Negara (Kemensetneg) mengajukan
banding atas putusan tersebut. PTUN
Jakarta mengabulkan banding itu.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivis Jaringan Solidaritas
Korban untuk Keadilan
mengenang 10 Tahun Kasus Munir
dalam aksi Kamisan di Istana
Negara, Kamis (4/9/2014). Pegiat
HAM mendesak penegak hukum
untuk membuka kembali kasus
Munir untuk menjerat dan
menghukum auktor intelektualis di
balik pembunuhan Munir.
Atas Putusan PTUN, Kontras
mengajukan kasasi ke MA pada 27
Februari 2017. MA memutuskan
menolak kasasi tersebut.
Hingga saat ini belum diketahui alasan
pembunuhan Munir. Sejauh ini,
dugaan yang muncul adalah
pembunuhan terkait upaya Munir
dalam mengungkap dan menuntut
pertanggungjawaban atas sejumlah
pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Artikel JEO LainnyaIndeks

Megapolitan / 24 Januari 2019


Ahok Bebas

Anda mungkin juga menyukai