2.isi Penyuluhan Valdo
2.isi Penyuluhan Valdo
PENDAHULUAN
kehidupan dengan angka kematian yang tinggi. Meskipun dengan cakupan imunisasi
Difteri Pertusis Tetanus (DPT) yang cukup tinggi dan angka kejadian telah sangat menurun,
oleh karena keadaan tertentu dapat terjadi kejadian luar biasa (KLB) yang tentunya akan
sangat membahayakan. Wabah pada umumnya terjadi bila terdapat kuman difteria yang
masyarakat dan upaya eradikasi kuman baik dari penderita (melalui “case finding”)
Jumlah kasus difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016).
Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/Kota pada tahun 2015. Tahun
2015 sebanyak 89 Kabupaten/Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 Kabupaten/Kota.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Difteri adalah salah satu penyakit infeksi akut yang sangat menular, dapat dicegah
dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae
strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi,
terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.2
Difteri ditularkan secara kontak langsung dengan penderita atau karier melalui
droplet transmission saat batuk, bersin atau berbicara. Kuman C. Diphtheriae masuk
melalui mukosa atau kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran
nafas atas dan memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling dan selanjutnya menyebar
ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan
adalah hambatan pembentukan protein dalam sel, sehingga sel akan mati. Nekrosis tampak
jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi inflamasi lokal yang bersama
melekat erat dan berwarna putih kelabu. Bila dipaksa melepaskan pseudomembran akan
terjadi perdarahan.1
2
2.3 EPIDEMIOLOGI
Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematian
adalah sekitar 50 %, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%, (CDC
Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017). Angka kematian Difteri
ratarata 5 – 10% pada anak usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40 tahun)
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 7347
kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO South
East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia, dilaporkan sebanyak 775
kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun
menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR).2
Manifestasi penyakit ini dapat bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan
hipertoksik serta fatal. Faktor yang mempengaruhi antara lain imunitas pejamu terhadap
toksin, virulensi serta toksigenitas kuman C. Diphteriae dan lokasi penyakit. Penyakit
difteria dapat menyerang hidung, tonsil dan faring, laring, kulit, vulvovaginal, konjungtiva
dan telinga. Gejala yang berat terjadi pada difteria tonsil dan faring serta laring, yang
dimulai dengan gejala anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan. Dalam 1 – 2
hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna putih kelabu yang menutup tonsil
dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah, ke laring dan trakea
yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
3
submandibular. Bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher
yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya gejala tergantung dari penetrasi toksin dan luas
membran. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Stupor, koma,
kematian dapat terjadi dalam 7 – 10 hari. Penyembuhan pada kasus sedang terjadi secara
berangsur-angsur dan dapat disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Kematian biasanya
terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan
2.5 DIAGNOSIS
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Diagnosis pasti dengan isolasi C.
Diphteriae dengan pembiakan pada media Loefler. Penyulit terjadi akibat inflamasi lokal
atau akibat aktivitas eksotoksin, yaitu obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksian terutama
ke otot jantung, syaraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.2
2.6 PENATALAKSANAAN
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang te rjadi minimal,
dan penyulit difteria. Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
difteria segera setelah ditegakkan diagnosis. Antibiotika diberikan untuk membunuh bakteri
4
2.7 PENCEGAHAN
pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang
Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae tipe B).
1. Imunisasi dasar:
Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1 bulan.
2. Imunisasi Lanjutan:
b. Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah
(BIAS).
c. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).
Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat dicapai dengan cakupan
imunisasi rutin, baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi dan merata.1-3
5
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
kehidupan, dengan angka kematian yang tinggi dan disebabkan oleh bakteri gram positif
Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan
pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga
pada kulit. Penyakit ini dapat dicegah dengan cara melakukan imunisasi DPT secara
6
DAFTAR PUSTAKA
2. Difteria. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis, Sumarmo, Garna H, Hadinegoro SR,
penyunting.. Edisi pertama. UKK PP IDAI, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran