Anda di halaman 1dari 62

TRI PRAMANA

MENYATUKAN AJARAN SUCI DHARMA DENGAN KESADARAN

Oleh : I Nyoman Kurniawan

Rumah Dharma - Hindu Indonesia


Om Shri Gurubhyo Namaha
Om Dewa-Dewi Mahasiddhi Namo Namah

Saya berlindung kepada Guru


Saya berlindung kepada Dewa-Dewi yang telah mencapai kesadaran suci
TRI PRAMANA
MENYATUKAN AJARAN SUCI DHARMA DENGAN KESADARAN

Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan

20 November 2015
Rumah Dharma - Hindu Indonesia
Tahap-tahap perjalanan spiritual dharma sebagai perjalanan untuk
menyatukan ajaran suci dharma dengan kesadaran, untuk mencapai
kedamaian sejati di dalam diri [manah shanti], untuk mencapai sumber
terdalam dari pengetahuan, kebijaksanaan dan kesadaran tertinggi yaitu
kesadaran Atma [Atma Jnana], serta untuk terbebaskan dari siklus samsara,
di dalam ajaran suci dharma disebut dengan Tri Pramana. Yaitu :

- Agama Pramana : Tahap teori.


Tahap memahami ajaran dharma melalui kepintaran secara logika.

- Anumana Pramana : Tahap praktek.


Tahap memahami ajaran dharma melalui melaksanakan.

- Pratyaksa Pramana : Tahap hasil.


Tahap memahami ajaran dharma melalui mengalami sendiri secara
langsung.

Jadi jelas sekali bahwa tahapan-tahapan di dalam memahami ajaran


dharma itu ada 3 [tiga] tahap, yaitu ada tahap teori, ada tahap praktek dan
ada tahap hasil.

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa hendaknya ada saatnya kita dapat
mengatakan cukup kepada tindakan mengumpulkan, mempelajari,
menganalisa dan mengutak-atik ajaran suci dharma dengan menggunakan
kepintaran secara logika. Selanjutnya kita harus tekun melaksanakan
praktek sadhana [upaya spiritual] yang disampaikan, dalam jangka waktu
panjang bertahun-tahun. Sampai kemudian kelak kita bisa mendapatkan
hasilnya sebagai mengalami sendiri secara langsung.
TAHAP 1. AGAMA PRAMANA

TAHAP TEORI – Tahap Memahami Ajaran Dharma Melalui Kepintaran


Secara Logika

Agama pramana adalah tingkatan tahap paling awal. Tahap bagi para
sadhaka pemula yang baru belajar. Yaitu tahap teori, dimana kita
mempelajari pengetahuan, panduan, metode dan tehnik spiritual dharma
melalui membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci dharma,
atau mendengarkan dharma wacana dari Guru.

Guru di tahap ini adalah Sastra Guru [kitab-kitab suci, ajaran-ajaran


suci dharma], serta Satguru [ajaran suci dharma seorang Satguru].

Di tahap paling awal kita memerlukan kepintaran secara logika untuk


menyerap dan memahami pengetahuan dharma dari Sastra Guru dan dari
Satguru. Pengetahuan dharma memberikan kita peta penunjuk jalan
[panduan, metode dan tehnik], memberikan pagar-pagar yang menjaga
kita agar tidak melakukan kesalahan berbahaya, serta memberikan kita
wawasan cara pandang kehidupan yang mendalam dan menyegarkan
pikiran.

Jika dianalogikan seperti melakukan suatu perjalanan, di tahap paling


awal kita memerlukan peta perjalanan [dalam hal ini kitab-kitab suci, ajaran
suci dharma dan ajaran Satguru]. Tapi sadari sejak awal bahwa peta
perjalanan hanyalah sebatas alat bantu saja, sama sekali bukan memahami,
mencapai dan mengalami langsung tujuan itu sendiri.
Para sadhaka pemula memulai perjalanan spiritualnya dengan cara
mencari cahaya penerang "diluar". Ada yang mencari cahaya penerang
dengan membaca buku-buku suci atau ajaran dharma, ada yang mencari
cahaya penerang dengan mendekat pada seorang Guru suci, ada yang
mencari cahaya penerang dengan mendatangi tempat-tempat suci.

Nanti ketika kesadaran sudah terang bercahaya, disana kita akan


mulai dapat menyadari bahwa semua cahaya penerang "diluar" hanyalah
sebatas penuntun dan penunjuk jalan belaka, agar kita dapat bertemu
cahaya penerang sesungguhnya yang ada "di dalam" diri.
BAGIAN I. INTISARI TEORI DHARMA 1 :
KENYATAAN SEJATI SEMUA MAHLUK

Jika kita memperhatikan dan merenungkan rangkaian perjalanan


kehidupan, kita akan menemukan 4 [empat] kenyataan dalam perjalanan
kehidupan, yaitu mengalami pengalaman hidup bahagia [yang tidak dapat
bertahan selamanya], mengalami pengalaman hidup sengsara, mengalami
suasana pikiran-perasaan yang selalu berubah-ubah dan suatu saat akan
mengalami kematian [yang pasti akan dialami semua mahluk]. Semua
kenyataan tersebut muncul datang dari suatu sebab. Pada dasarnya, semua
pengalaman hidup tersebut muncul dari karma-karma kita sendiri.

Tapi jika kita menggalinya lebih dalam lagi, kita akan menemukan
bahwa semua itu tidak muncul dari faktor-faktor luar. Semua
ketidakpuasan, kesengsaraan, perasaan sakit dan perasaan hampa itu
datangnya dari dalam diri kita sendiri. Bagaimana kesadaran kita
dicengkeram oleh berbagai pikiran-perasaan yang muncul. Bagaimana
kesadaran kita dicengkeram oleh sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan
ahamkara [ego]. Itulah masalah sesungguhnya.

Dalam perjalanan kehidupan ini ada yang tidak dapat sepenuhnya


kita tentukan sendiri dan ada yang sepenuhnya diri kita sendiri yang
menentukan.

Yang tidak dapat sepenuhnya kita tentukan sendiri adalah apa yang
terjadi, muncul, datang dan pergi "diluar". Karena garis karma kita masing-
masing, perjalanan kehidupan ini kadang sangat sulit untuk dikendalikan
sesuai harapan kita. Niat kita ingin berlayar ke timur, tapi angin kencang
kehidupan memaksa kita berlayar ke barat. Niat kita ingin naik mendaki ke
atas gunung, tapi badai dan kabut kehidupan memaksa kita turun gunung.
Sedangkan yang sepenuhnya diri kita sendiri yang menentukan
adalah apa yang terjadi "di dalam" diri. Menjadi tenang dan damai
bukanlah persoalan takdir, garis karma atau garis nasib, melainkan
sepenuhnya diri kita sendiri yang menentukan.

Semua ketidakpuasan, kesengsaraan, perasaan sakit dan perasaan


hampa, sesungguhnya bukan hanya sekedar masalah "aku ingin punya HP
baru", atau "aku ingin rekreasi jalan-jalan", atau “aku tidak punya
pekerjaan”, atau “aku dicaci-maki orang”, atau “mertuaku membenciku”,
atau "aku punya masalah yang sangat berat", atau "aku merasa bosan dan
hampa", dsb-nya. Sangat penting untuk menyadari bahwa kita bicara
tentang seluruh eksistensi keberadaan kita milyaran tahun dalam siklus
samsara. Bukan hanya sekadar masalah-masalah kehidupan yang
sementara, yang datang dan pergi, datang dan pergi.

Di tataran terdalam, masalah sesungguhnya tidak muncul dari situasi-


situasi luar, melainkan karena besarnya cengkeraman kegelapan pikiran dan
ego di dalam diri. Yang merupakan pertanda jelas bahwa kita masih
memiliki banyak kegelapan di dalam diri. Semua itu terkait dengan
kegelapan pikiran-perasaan dan ego kita sendiri, terutama rasa tidak aman,
gelisah dan kebingungan kita sendiri. Cengkeraman enam kegelapan
pikiran dan ego hanya merupakan sebuah masukan kalau kondisi pikiran
kita masih gelap dan sempit, serta kesadaran kita masih berada dalam
tingkat dimensi kesadaran yang rendah. Di tataran terdalam sesungguhnya
kita tidak berurusan dengan orang lain, tapi berhadapan dengan diri kita
sendiri.

Di tataran terdalam, masalah sesungguhnya bukanlah keadaan-


keadaan hidup yang kita alami, melainkan avidya, atau kebingungan dan
ketidaktahuan kita tentang kenyataan kosmik. Kenyataan sejati kita adalah
Atma, keheningan sempurna. Ini berarti kedamaian sejati selalu ada di
dalam diri kita, pada setiap hembusan nafas, pada setiap detik, hanya saja
kita tidak menyadarinya.
Masalah sesungguhnya adalah cengkeraman sad ripu [enam
kegelapan pikiran] dan ahamkara [ego, ke-aku-an] dalam kesadaran kita,
yang menghalangi kita untuk dapat menyadari kedamaian sejati di dalam
diri dan kenyataan diri yang sejati.
Skema dalam gambar diatas merupakan skema Samkhya-Yoga yang
dibuat oleh Maharsi Kapila. Skema tersebut memaparkan skema tentang
kenyataan kosmik alam semesta [bhuwana agung atau makrokosmos] dan
skema tentang kenyataan sejati manusia [bhuwana alit atau mikrokosmos]
di dalam dirinya sendiri.

Intisari terdalam semua mahluk adalah kesadaran Atma. Sayangnya,


avidya [ketidaktahuan, kebodohan] membuat nyaris semua mahluk
mengidentikkan dirinya dengan empat hal yang tidak kekal, yaitu tubuh
fisik, pikiran, perasaan, serta kepintaran secara logika [gagasan].

Kenyataan sejati semua manusia adalah kesadaran Atma. Ini berarti


sesungguhnya kita tidak pernah “mencapai” kesadaran Atma. Kita hanya
perlu menyadarinya kembali. Itu bukanlah sebuah pencapaian, sebab kita
hanya perlu melenyapkan penghalang-penghalangnya saja, yaitu sad ripu
dan ahamkara, dan disanalah kesadaran Atma akan hadir dengan
sendirinya.

Sehingga berarti, penghentian kesengsaraan yang sesungguhnya


adalah penghentian kesadaran kita dicengkeram oleh sad ripu [enam
kegelapan pikiran] dan ahamkara [ego, ke-aku-an]. Penghentian kesadaran
Atma terseret oleh arus siklus samsara.

Kenyataan sejati kita adalah kesadaran Atma [kesadaran kosmik]. Tapi


cengkeraman sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan ahamkara [ego, ke-
aku-an] membuat nyaris semua mahluk tenggelam dalam avidya
[ketidaktahuan, kebodohan]. Membuat nyaris semua mahluk melabeli
dirinya dengan suatu identitas “aku”. Dengan kata lain mengidentikkan
dirinya sebagai tubuh fisik, pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika
[gagasan].

Intisari ajaran suci dharma adalah langkah-langkah untuk mengenal


diri [bhuwana alit atau mikrokosmos], di dalam diri sendiri yang terdalam.
Dengan cara penembusan langsung secara sangat mendalam ke dalam diri
kita sendiri. Suatu upaya spiritual [sadhana] untuk melampaui tubuh fisik,
pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika [gagasan].

Kenyataan sejati diri kita [kesadaran Atma] laksana permata berkilau


yang diselimuti lumpur dan tanah. Permata itu selalu ada disana, tapi tidak
kita sadari karena tertutup lumpur dan tanah. Untuk menemukannya kita
hanya perlu menyingkirkan lumpur dan tanahnya. Sama dengan kita hanya
perlu menyingkirkan cengkeraman sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan
ahamkara [ego atau ke-aku-an] yang sudah berumur sangat lama.
Melampaui tubuh fisik, pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika
[gagasan]. Terus menggali dan menggali ke dalam diri, sampai di
kedalaman diri yang terdalam kita menemukan diri kita yang suci. Ketika
lumpur dan tanahnya disingkirkan permatanya seketika terlihat.

Semakin tinggi tingkat dimensi kesadaran kita, maka semakin


meningkat juga kejernihan pikiran, kepekaan perasaan dan kecerdasan
spiritual kita. Yang kadang-kadang juga diikuti dengan meningkatnya
ketajaman intuisi kita.

Disaat cengkeraman sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan ahamkara


[ego, ke-aku-an] pada kesadaran kita sudah sangat lemah, disana tingkat
dimensi kesadaran kita mencapai tingkatan yang sangat tinggi, dimana
antara sang diri, semua mahluk dan alam semesta semuanya saling
terhubung. “Tat tvam asi”, saya adalah dia, dia dan saya adalah sama.
Berpusat pada keseimbangan pikiran-perasaan yang kokoh [upeksha] serta
pancaran sifat belas kasih [dayadhvam] yang tidak terhingga tanpa batas.
Yang kemudian menghasilkan kebijaksanaan mendalam [rtam bhara
prajna], sebuah tingkat kejernihan dan kebijaksanaan yang jauh melampaui
standar manusia biasa.

Moksha adalah penyatuan kosmik antara Atma dengan segala


keberadaan maupun diluar keberadaan. Tercapai ketika sang Atma telah
mencapai kondisi penuh keheningan sempurna. Atman Brahman Aikyam. Di
Jawa disebut manunggaling kawulo lan Gusti. Laksana setetes air yang
tersadar bahwa dirinya bukanlah setetes air, melainkan samudera yang
maha luas.

Ini adalah puncak pencapaian samadhi yang sangat sulit dijelaskan.


Tidak ada kebahagiaan dan tidak ada kesengsaraan, tidak ada kesucian dan
tidak ada kegelapan, ini disebut “advaitta citta” atau melampaui seluruh
dualitas pikiran, segala keterkondisian pikiran sudah lenyap sempurna.

Pada tingkat kesempurnaan yang maha-sempurna, semua kata-kata,


bahasa dan logika manusia tidak lagi dapat menjangkaunya. Itu sebabnya
para Satguru yang sudah sampai di sini semuanya menggunakan simbol-
simbol, bahasa simbolik yang puitis atau penjelasan sesingkat mungkin.

Menyatukan ajaran suci dharma dengan kesadaran, itulah perintisan


jalan untuk penghentian cengkeraman enam kegelapan pikiran dan ego
yang sebenarnya. Ketika kelak kesadaran kita tidak lagi dicengkeram oleh
enam kegelapan pikiran dan ego, secara alamiah itu akan mengangkat naik
tingkat dimensi kesadaran kita. Akan memberikan kita kedamaian sejati di
dalam diri [manah shanti], membangkitkan kesadaran Atma [Atma Jnana],
serta sekaligus mengakhiri semua kesengsaraan kita dalam siklus samsara
[mencapai Moksha].
BAGIAN II. INTISARI TEORI DHARMA 2 :
METODE / TEHNIK

Dalam ajaran Hindu Dharma, terdapat banyak sekali berbagai sistem


metode / tehnik sadhana yoga untuk mencapai kesadaran Atma. Tidak
terbatas hanya kepada satu atau dua sistem metode / tehnik sadhana yoga
saja. Yoga dalam bahasa sansekerta secara literal berarti “upaya untuk
menyatu”. Makna dari yoga dalam ajaran Hindu Dharma adalah sebuah
sistem sadhana untuk mengolah badan, pikiran dan kesadaran, yang
nantinya akan berpuncak kepada penyatuan kosmik atau Moksha.

Dalam khasanah ajaran Hindu Dharma yang sangat luas tersedia


banyak sekali sistem metode / tehnik sadhana yoga. Pada berbagai buku-
buku suci Hindu seperti Yoga Sutra, Sarasamuscaya, Wrhaspati Tattwa,
Vijnana Bhairawa Tantra, Hatha Yoga Pradipika, Yoga Vasistha, dsb-nya,
masing-masing dalam buku-buku suci tersebut dipaparkan berbagai sistem
metode / tehnik sadhana yoga yang berbeda-beda untuk mencapai
kesadaran Atma. Ini tidak termasuk ajaran esoterik [ajaran rahasia yang
tidak tertulis, disampaikan secara lisan dari Guru kepada murid] dalam
tradisi Tantra, yang juga memiliki sistem metode / tehnik sadhana yoga
tersendiri. Tapi tujuannya sama satu, yaitu dengan tujuan tertinggi untuk
mencapai Moksha.

Maharsi Patanjali dalam buku suci Yoga Sutra menyatakan : "yoga


citta vritti nirodhah" [yoga adalah aktifitas untuk meniadakan riak-riak
pikiran]. Artinya melaksanakan suatu sistem metode / tehnik sadhana yoga,
bertujuan untuk memurnikan atau melampaui samskara [kesan-kesan
pikiran dan perasaan]. Karena samskara adalah apa yang menjadi salah satu
kekuatan penggerak utama bagi hukum karma dan siklus samsara. Dalam
bahasa yang lebih sederhana, melaksanakan suatu sistem metode / tehnik
sadhana yoga bertujuan untuk membangun kehalusan jiwa, serta
mengarahkan diri kita kepada pandangan, arah dan jalan kehidupan yang
benar, yang membuat kita lebih sejuk dan damai di dalam menjalani
kehidupan duniawi dan spiritual.

Apapun sistem metode / tehnik sadhana yoga yang kita pilih dan
laksanakan, tujuannya sama satu, yaitu terus menuntun dan mengarahkan
diri kita untuk mencapai kesadaran Atma. Jika tidak demikian, maka itu
bukanlah suatu sistem metode / tehnik sadhana yoga yang berada di dalam
arus ajaran dharma.

Ciri-cirinya bahwa suatu sistem metode / tehnik sadhana yoga itu


berada dalam arus ajaran dharma, adalah sistem tersebut menuntun dan
mengarahkan diri kita untuk mencapai kesadaran Atma. Dengan
penandanya yaitu terus menuntun dan mengarahkan kita menuju
tercapainya 3 [tiga] kondisi kesadaran ini, yaitu :

1. Upeksha - keseimbangan pikiran yang sempurna.


2. Citta suddhi - terbebasnya pikiran dan perasaan dari cengkeraman enam
kegelapan pikiran.
3. Dayadhvam - mekar sempurnanya hati yang penuh belas kasih dan
kebaikan.

Apapun sistem metode / tehnik sadhana yoga yang kita pilih, yang
terpenting untuk diperhatikan adalah bahwa sistem tersebut menuntun dan
mengarahkan kita untuk mencapai kesadaran Atma. Dengan kata lain,
menuntun dan mengarahkan kita menuju tercapainya 3 [tiga] kondisi
kesadaran ini, yaitu : upeksha, citta suddhi dan dayadhvam. Karena ketiga
kondisi kesadaran yang telah muncul dan semuanya terangkum sempurna
merupakan pertanda kesadaran Atma yang telah kembali sempurna.

1. UPEKSHA [KESEIMBANGAN PIKIRAN YANG SEMPURNA].

Ciri pertama kesadaran Atma ditandai dengan kesadaran yang sudah


melampaui segala dualitas pikiran-perasaan. Sehingga apapun yang terjadi
dalam kehidupan selalu disambut dengan senyum damai, kejernihan dan
keseimbangan pikiran yang sempurna.

Upeksha tercapai melalui upaya spiritual [sadhana] untuk


memurnikan samskara [kesan-kesan pikiran]. Memurnikan samskara
[meredakan cengkeraman dualitas pikiran-perasaan] sangat membantu
upaya spiritual kita, akan memberikan kita lompatan spiritual yang jauh
tinggi. Karena dengan samskara yang termurnikan sangat membantu
memudahkan perjuangan spiritual kita untuk meredakan cengkeraman sad
ripu dan ahamkara dari kesadaran kita. Dimana kondisi ini dapat dicapai,
salah satu caranya dengan praktek metode / tehnik sadhana meditasi
kesadaran [meditasi non-dualitas].

1. Tehnik Meditasi Non-Dualitas.

- Duduklah bersila dengan santai dan tenang. Kita bebas memilih duduk
bersila dalam posisi padmasana, ardha-padmasana, siddhasana, atau
sukhasana. Pilihlah posisi duduk bersila mana yang paling sesuai untuk diri
kita sendiri. Bagi wanita boleh memilih untuk duduk dalam posisi
bersimpuh [vajrasana].

- Punggung dalam posisi tegak lurus tapi santai.

- Letakkan telapak tangan di pangkuan membentuk dhyana mudra, atau


bisa juga letakkan telapak tangan di ujung lutut membentuk jnana mudra.
Silahkan bebas memilih mudra mana yang sesuai untuk diri kita sendiri.
Yang terpenting bahu dalam keadaan santai [tidak tegang].

- Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit mulut.

- Pejamkan mata.

- Bernafaslah secara alami saja. Tidak usah mengatur irama nafas.


- Konsentrasilah kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Duduk dengan santai dalam sikap meditasi. Konsentrasi kepada


sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Ketika pikiran kita berkeliaran, itu bukanlah suatu masalah atau suatu
kesalahan dalam meditasi, karena itu memang sifat alami dari pikiran kita.

Sadari dengan penuh belas kasih bahwa pikiran yang berkeliaran


memang sifat alami dari pikiran kita. Jangan berusaha dikendalikan, jangan
ditanggapi. Jika kita berusaha mengendalikan disana ada ketidaksukaan
dan penolakan [kebencian]. Jika kita menanggapi kita akan larut ke dalam
arus aliran pikiran tersebut. Jadi pikiran-pikiran yang muncul disadari saja.
Ketika kita sadar, saksikan saja pikiran-pikiran yang muncul dengan senyum
penuh belas kasih tanpa menilainya sebagai salah-benar, baik-buruk, suci-
kotor [dualitas pikiran]. Kemudian kembalilah ke nafas. Kembali konsentrasi
kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung. Demikianlah seterusnya
dan seterusnya. Inilah yang disebut meditasi kesadaran.

Terus lakukan meditasi ini. Konsentrasi kepada sentuhan keluar-


masuk nafas pada hidung. Ketika pikiran berkeliaran, jangan berusaha
dikendalikan dan jangan ditanggapi, tapi disadari, kemudian disaksikan saja
dengan senyum penuh belas kasih tanpa menilainya sebagai salah-benar,
baik-buruk, suci-kotor [dualitas pikiran]. Kemudian kembalilah ke nafas.
Demikianlah seterusnya dan seterusnya.

Jika kita seorang sadhaka yang baru belajar meditasi, setelah selesai
meditasi silahkan periksa pikiran kita sendiri, bagaimana antara sebelum
sadar dan sesudah sadar dalam meditasi. Tentunya pikiran kita akan
menjadi lebih tenang, lebih damai. Inilah jalan meditasi yang memurnikan
kesadaran. Jika kita mau tekun mempraktekkannya setiap hari, dalam
jangka waktu panjang bertahun-tahun, perlahan-lahan tapi pasti ruang
pikiran kita akan terus menjadi semakin luas dan kesadaran kita akan terus
menjadi semakin murni.
2. Penjelasan.

Dalam kitab suci ajaran Tantra Shiwa, kesadaran Atma disimbolikkan


sebagai langit biru dan pikiran-perasaan disimbolikkan sebagai awan-awan
yang lewat mengalir di langit biru. Pikiran positif dan bersih, perasaan
positif, serta pengalaman hidup bahagia, laksana awan-awan putih yang
lewat mengalir. Pikiran negatif dan kotor, perasaan negatif, serta
pengalaman hidup sengsara, laksana awan-awan hitam yang lewat
mengalir. Baik awan-awan putih maupun awan-awan hitam selalu datang
dan pergi, datang dan pergi. Tidak kekal. Kesadaran Atma laksana langit
biru sebagai saksi abadi yang tidak berubah.

Jika kita tekun melaksanakan meditasi ini, lama-lama kesadaran kita


akan menjadi langit biru abadi yang luas tidak terbatas [kesadaran Atma].
Awan-awan putih tidak membuat langit biru menjadi putih, awan-awan
hitam tidak membuat langit biru menjadi hitam. Apapun awan-awan
pikiran-perasaan yang lewat mengalir, langit tetap biru, abadi luas tidak
terbatas.

Meditasi bukanlah suatu sadhana [upaya spiritual] untuk


melenyapkan pikiran negatif dan kotor. Meditasi tidak dapat membuat
pikiran kita positif dan bersih untuk selama-lamanya. Karena baik pikiran
positif dan bersih, maupun pikiran negatif dan kotor, merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pengaruh unsur-unsur panca mahabhuta pembentuk
badan fisik kita. Selama kita masih berbadan manusia, baik pikiran positif
dan bersih, maupun pikiran negatif dan kotor, akan selalu muncul sebagai
aliran-aliran di dalam diri.

Meditasi adalah sadhana untuk meredakan cengkeraman dualitas


pikiran dari kesadaran. Dalam meditasi kita memandang pikiran-pikiran
yang muncul laksana awan-awan yang lewat mengalir di langit biru. Kadang
yang lewat awan putih [pikiran positif dan bersih], kadang yang lewat awan
hitam [pikiran negatif dan kotor]. Tugas meditasi adalah menjadi saksi yang
tersenyum penuh belas kasih terhadap awan-awan yang lewat mengalir di
langit biru, tanpa menilainya sebagai salah-benar, baik-buruk, suci-kotor.
Karena pikiran hanyalah pikiran, bukan kenyataan diri kita yang sejati. Jika
kita tekun mempraktekkan meditasi ini suatu hari kesadaran kita akan
terbebaskan dari cengkeraman dualitas pikiran. Kita akan menjadi langit
biru yang abadi luas tidak terbatas [kesadaran Atma]. Sehingga tersenyum
damai tidak terpengaruh apapun pikiran-pikiran yang muncul, karena
kesadaran sudah seluas ruang.

Meditasi juga bukan suatu sadhana untuk melenyapkan perasaan


negatif, seperti marah, sedih, galau, gelisah, takut, dsb-nya. Meditasi tidak
dapat membuat perasaan kita damai dan bahagia untuk selama-lamanya,
karena hal itu tidak mungkin. Baik perasaan positif maupun perasaan
negatif merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengaruh unsur-unsur
panca mahabhuta pembentuk badan fisik kita. Selama kita masih berbadan
manusia, baik perasaan positif maupun perasaan negatif akan selalu
muncul sebagai aliran-aliran di dalam diri.

Meditasi adalah sadhana untuk meredakan cengkeraman dualitas


perasaan dari kesadaran. Kita secara meditatif memandang aliran-aliran
perasaan negatif, seperti marah, sedih, galau, gelisah, takut, dsb-nya, hanya
seperti awan-awan yang lewat mengalir di langit biru. Kenyataan diri kita
yang sejati adalah langit biru yang abadi luas tidak terbatas. Perasaan
hanyalah perasaan, bukan kenyataan diri kita yang sejati. Kita hanya perlu
menjadi saksi kepada setiap aliran-aliran perasaan. Tersenyum penuh belas
kasih tanpa menilainya sebagai salah-benar, baik-buruk, suci-kotor.
Sehingga walaupun perasaan itu datang tapi kemudian segera lewat.
Tersenyum damai apapun perasaan-perasaan yang muncul.

Meditasi kesadaran [meditasi non-dualitas] juga bukan suatu sadhana


yang bisa menghapus karma-karma buruk kita seperti nasib sial, musibah,
jatuh sakit, dsb-nya. Meditasi kesadaran tidak dapat menghentikan karma
buruk. Jika waktunya sudah tiba maka karma buruk akan datang dengan
tidak bisa dibendung. Yang tepat adalah meditasi kesadaran dapat
membantu kita menahan diri dari membuat karma buruk yang baru, serta
membantu kita menahan diri dari perbuatan atau perkataan yang bisa
memperberat karma buruk yang sedang datang dalam kehidupan.

Meditasi melalui kegiatan menjadi saksi yang tersenyum penuh belas


kasih, tanpa penilaian salah-benar, baik-buruk, suci-kotor, secara perlahan
tapi pasti akan membuat ruang pikiran-perasaan semakin luas dari hari ke
hari. Sehingga kita bisa menjaga jarak dengan dualitas pikiran dan
perasaan. Meditasi memperbesar kemampuan kita untuk menerima setiap
karma buruk yang datang. Tetap tersenyum damai apapun kejadian yang
datang dan terjadi dalam kehidupan. Itulah sebabnya para sadhaka yang
praktek meditasinya sudah mendalam, senyuman dan pancaran energinya
penuh kedamaian.

Inilah yang membedakan antara sadhaka yang tekun praktek meditasi


dengan orang awam yang tidak meditasi. Orang awam yang tidak meditasi,
kesadarannya dicengkeram oleh dualitas pikiran dan perasaan. Sehingga
sedikit saja ada masalah, gangguan, kesulitan atau godaaan datang dalam
kehidupannya maka dia akan terseret arus pikiran dan emosi, atau bahkan
sampai melakukan perbuatan dan perkataan yang berdampak dhukacitta
[merugikan, menyengsarakan atau menyakiti mahluk lain]. Sedangkan
sadhaka yang tekun praktek meditasinya hanya tersenyum dan tersenyum
saja tidak terpengaruh.

3. Keberhasilan Meditasi : Niat Yang Kuat, Ketekunan Dan Konsistensi.

Meditasi bukanlah sadhana [upaya spiritual] harian atau bulanan,


melainkan sadhana yang harus tekun dilakukan selama bertahun-tahun.
Untuk dapat menyatukan meditasi dengan kesadaran memerlukan
ketekunan dan kesabaran praktek meditasi dalam jangka waktu panjang
selama bertahun-tahun. Karena dalam siklus samsara, selama milyaran
tahun kesadaran kita sudah dicengkeram kuat oleh enam kegelapan pikiran
dan ego. Sehingga praktek meditasi ibarat menetesi batu dengan air yang
jika dilaksanakan harian atau bulanan hanya sedikit saja hasilnya. Tapi jika
terus dilaksanakan selama bertahun-tahun maka batu pasti akan berlubang.

Artinya kita sangat perlu menjadwalkan meditasi sebagai kegiatan


wajib dalam kehidupan sehari-hari, dengan berlandaskan pada niat yang
kuat, ketekunan dan konsistensi.

- Laksanakan meditasi setidaknya 30 menit di pagi hari sebelum melakukan


kegiatan harian.

- Dalam melakukan kegiatan harian, selingi dengan melaksakan meditasi-


meditasi singkat tapi sering. Cukup selama 1 menit saja. Terutama disaat
pikiran atau perasaan kita mulai kehilangan ketenangannya. Singkat-singkat
saja cukup 1 menit tapi sering.

- Laksanakan meditasi minimal 30 menit di malam hari.

- Serta sebagai suatu tambahan, dalam melakukan kegiatan harian, kapan


saja kehidupan terlihat sangat rumit, sulit, atau penuh emosi [marah, sedih,
bosan, galau, bingung, dsb-nya], cobalah untuk tidak melarikan diri ke
curhat, mendengarkan lagu, menyanyi, merokok, minum minuman keras,
dsb-nya, tapi lakukan meditasi. Letakkan dualitas pikiran-perasaan dan
biarkan kejernihan di dalam diri yang mengambil alih.

Ibarat melakukan sebuah perjalanan yang panjang, kadang-kadang


kita akan salah jalan, kadang-kadang akan membingungkan, tapi
pengalaman salah jalan dan bingung ini kelak akan sangat berguna.
Laksanakan terus praktek meditasi.

Para sadhaka yang tekun praktek meditasinya selama bertahun-


tahun, suatu hari cengkeraman dualitas pikiran-perasaan di dalam dirinya
akan mengalami keruntuhan. Pada saat bersamaan, enam kegelapan
pikiran dan ego juga akan kehilangan cengkeramannya pada kesadaran.
Sebagai hasilnya, kesadarannya menjadi seluas ruang yang tidak terbatas.
Selama kita masih berbadan manusia, enam kegelapan pikiran dan
ego masih akan tetap selalu muncul sebagai aliran-aliran di dalam diri. Tapi
jika sadhaka tekun praktek meditasinya, enam kegelapan pikiran dan ego
tidak lagi dapat mencengkeram kesadaran sang sadhaka. Sehingga sang
sadhaka bisa tersenyum damai penuh belas kasih kepada setiap aliran
pikiran-perasaan dan ego yang muncul di dalam dirinya. Serta bisa
tersenyum damai kepada setiap karma-karma buruk yang sedang datang
dalam kehidupannya. Inilah manah shanti [kedamaian di dalam diri].

Bagaimana pengaruh langsung praktek meditasi terhadap


kebahagiaan, kedamaian dan keheningan, sudah dibuktikan sendiri oleh
milyaran sadhaka selama beribu-ribu tahun. Bagi para sadhaka yang sudah
tekun melaksanakan praktek meditasi, sehingga meditasinya sudah
mendalam, akan dapat memahami, mengetahui dan mengalami sendiri
secara langsung bahwa kesedihan, kesengsaraan, ketakutan, kebingungan,
kegelisahan, kesombongan, kebodohan [avidya], dsb-nya, hanyalah akibat
dari pikiran yang masih dicengkeram oleh enam kegelapan pikiran dan ego.

2. CITTA SUDDHI [TERBEBASNYA PIKIRAN DAN PERASAAN


DARI CENGKERAMAN ENAM KEGELAPAN PIKIRAN].

Ciri kedua kesadaran Atma ditandai dengan terbebasnya kesadaran


dari cengkeraman seluruh kegelapan pikiran [sad ripu], yaitu lenyapnya :
matsarya [iri hati], kroda [marah, benci], kama [hawa nafsu, keinginan],
lobha [keserakahan], mada [kesombongan, kemabukan] dan moha
[kebingungan, resah-gelisah].

Dalam kehidupan manusia tidak pernah ada kehidupan yang selalu


aman, nyaman dan bebas dari masalah. Jika kesulitan, kesialan atau
masalah sudah saatnya datang dalam kehidupan akibat akumulasi karma
buruk kita di masa lalu, hal itu akan datang dengan tidak bisa dibendung.
Jika disaat-saat seperti itu pikiran kita dicengkeram oleh enam kegelapan
pikiran seperti perasaan iri hati, sentimen, marah, benci, dendam, tidak
puas, rasa sedih yang terlalu dalam, dsb-nya, itu hanya merupakan sebuah
masukan kalau kondisi pikiran kita masih gelap dan sempit, serta kesadaran
kita masih berada dalam tingkat dimensi kesadaran yang rendah.

Sebagai manusia, enam kegelapan pikiran merupakan bagian tidak


terpisahkan dari diri kita sendiri, yang tidak mungkin dapat kita lenyapkan
sempurna semasih kita berbadan manusia. Karena enam kegelapan pikiran
merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengaruh unsur-unsur panca
mahabhuta pembentuk badan fisik kita.

Sehingga perjuangan spiritual yang kita lakukan bukanlah


melenyapkan enam kegelapan pikiran, melainkan memperkuat energi
kesadaran sehingga pikiran kita tidak lagi dicengkeram oleh enam
kegelapan pikiran. Sebagai hasilnya, sekalipun enam kegelapan pikiran
masih tetap muncul di dalam diri kita [sebagai bagian utuh dari diri kita],
kita tidak sampai melakukan perbuatan atau perkataan dibawah
pengaruh enam kegelapan pikiran. Kita tidak melakukan perbuatan dan
perkataan yang berdampak merugikan, menyengsarakan atau menyakiti
mahluk lain.

Ketika kita bertemu dengan orang-orang yang menyakiti, atau situasi


yang menjengkelkan, atau sejenisnya, disaat itu kita tidak saja sedang
bertemu dengan ketidaksempurnaan orang lain, tapi kita juga sedang
bertemu dengan benih-benih kegelapan di dalam diri kita sendiri.
Berusahalah menahan diri sekuatnya agar kita tidak melakukan perbuatan
dan perkataan yang berdampak dhukacitta [merugikan, menyengsarakan
atau menyakiti mahluk lain].

Ada banyak cara untuk mengatasi cengkeraman enam kegelapan


pikiran ketika dalam kehidupan kita mengalami kesulitan, kesialan atau
masalah.

Misalnya [contoh], suatu saat sepeda motor kita ditabrak orang di


jalan. Kita sadari bahwa jika disaat itu kita berkata-kata atau bertindak di
bawah pengaruh energi marah, seperti membentak atau mencaci-maki
orang itu untuk kesalahannya, kita sadari bahwa hal itu hanya akan
memperkeruh keadaan. Kita mungkin harus tetap ke bengkel memperbaiki
sepeda motor dan bentakan atau caci-maki tidak akan membuat keadaan
menjadi tambah baik. Kita menyadari sesegera mungkin sebelum kita
melakukan perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta
[merugikan, menyengsarakan atau menyakiti mahluk lain], sebelum kita
gelap mata hilang kendali, bahwa di dalam diri kita muncul desakan untuk
melakukan perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta yang
didorong oleh energi marah, dan kita mengenali desakan itu dengan jernih,
bahwa perbuatan atau perkataan berdampak dhukacitta tersebut tidak
akan membuat keadaan menjadi tambah baik dan hanya akan
memperkeruh keadaan. Sehingga kita bisa menahan diri untuk tidak
berkata-kata atau bertindak berdasarkan desakan itu. Lebih dalam lagi jika
kita bisa menyadari bahwa kesialan dan masalah tidak terduga ini tidak
lepas dari karma-karma masa lalu kita. Sehingga kita bisa menerimanya
dengan tersenyum damai.

Atau suatu saat kita terjebak dalam kemacetan jalan yang parah
dalam perjalanan ke tempat kerja. Ada kemungkinan kita akan terlambat
masuk kerja. Jika kita panik, marah-marah, mengebel-ngebel, dsb-nya, kita
sadari bahwa semua itu tidak akan menghentikan kemacetan jalan, tidak
ada pengaruhnya. Lebih baik kita menelpon ke tempat kerja, menjelaskan
bahwa kita akan terlambat masuk kerja karena jalan macet. Sambil
menunggu kemacetan kita bisa menyanyikan lagu-lagu mantra dalam hati,
yang menyejukkan hati kita. Kemudian cobalah besok-besok berusaha
untuk berangkat kerja lebih pagi lagi.

Atau ketika kita berbeda pendapat dengan seseorang, dan tiba-tiba


selisih pendapat mencapai titik terpanasnya. Kita sadari bahwa jika disaat
itu kita berkata-kata atau bertindak di bawah pengaruh energi marah,
seperti bertengkar, kita sadari bahwa itu tidak akan membuat keadaan
menjadi tambah baik. Kita sadari dalam keadaan seperti itu, orang itu tidak
lagi mendengarkan kita dan kita juga sudah tidak benar-benar
mendengarkannya. Melanjutkannya hanya akan memperkeruh keadaan.
Jadi lebih baik kita mengalah, atau menjauh, atau percakapan kita hentikan
dulu dan dibicarakan lagi nanti setelah berdua tenang. Kemudian lakukan
hal-hal yang menenangkan diri kita.

Atau ketika ada orang lain marah-marah dan mencaci-maki kita. Kita
sadari bahwa jika disaat itu kita berkata-kata atau bertindak di bawah
pengaruh energi marah, seperti balik mencaci-maki orang itu, kita sadari
bahwa hal itu hanya akan memperburuk keadaan. Lebih baik kita diam, atau
kita pergi menjauh. Kita sadari hal itu sebagai kenyataan rwa bhinneda,
bahwa di dunia ini tidak hanya ada orang baik saja, tapi banyak juga orang
seperti itu. Dalam ajaran dharma kita tidak menghakimi mereka sebagai
penjahat, kita hanya menyadari bahwa mereka dalam avidya [sedang
bingung dan sengsara]. Mereka bingung dan tidak paham bahwa kelakuan
seperti itu hanya akan mendatangkan lebih banyak masalah bagi mereka.
Mereka sengsara karena tidak sanggup menahan diri sendiri dari energi
marah. Dengan demikian kita tidak akan menilai mereka secara negatif atau
membenci mereka, melainkan memandang mereka dengan pandangan
belas kasih. Kita dapat bersabar terhadap mereka, kita tidak sengsara secara
emosional dengan kelakuan mereka dan untuk selanjutnya kita dapat lebih
berhati-hati menjaga diri agar kita tidak lagi mengalami masalah dengan
mereka.

Lebih dari itu, hendaknya kita mengetahui bahwa pentingnya kita


belajar menahan diri, adalah karena sesungguhnya apapun perbuatan dan
perkataan kita, tidak saja akan menghasilkan karma, tapi sekaligus juga
secara pasti akan memantul balik ke dalam kecenderungan pikiran kita
sendiri. Melakukan perbuatan dan perkataan yang berdampak merugikan,
menyengsarakan atau menyakiti mahluk lain, akan menghasilkan karma
buruk, akan memantul balik mengotori pikiran kita, serta sekaligus menodai
ketenangan dan kejernihan di dalam pikiran kita sendiri.

Ada saatnya dalam perjalanan kehidupan, semuanya terlihat


berantakan. Tapi yang berantakan itu akan semakin berantakan kalau
pikiran dan perasaan kita juga berantakan. Untuk itu, tenangkanlah pikiran
kita. Dalam ajaran dharma yang mendalam, disebutkan bahwa luka-luka
kehidupan adalah celah terbuka dimana cahaya suci-Nya bisa masuk,
terserap dan menyatu dengan kesadaran kita. Syaratnya hanya satu, yaitu
kita tidak menggunakan luka-luka kehidupan dan rasa sakit sebagai pemicu
kemarahan, benci dan dendam. Tapi sebaliknya, kita tidak melawan,
menerima, serta mengijinkan luka-luka kehidupan dan rasa sakit sebagai
kekuatan yang menghaluskan dan menyempurnakan kesadaran. Kekuatan
kesadaran berupa kesabaran, memaafkan, keikhlasan, serta ketenangan
akan bertumbuh kuat dan kokoh jika kita sujud hormat kepada luka-luka
kehidupan dan rasa sakit sebagai kehadiran kekuatan suci-Nya yang hadir
untuk menghaluskan, memurnikan dan menyempurnakan kesadaran kita.
Dengan cara seperti ini luka-luka kehidupan dan rasa sakit akan menjadi
celah terbuka bagi cahaya suci-Nya. Kemudian disinilah secara alamiah
cahaya suci-Nya akan masuk, terserap dan menyatu dengan kesadaran kita.

Kesabaran, memaafkan, keikhlasan dan ketenangan adalah sebuah


sadhana [praktek spiritual] yang sangat mendalam. Awalnya, ahamkara
[ego, ke-aku-an, sifat mementingkan diri sendiri] melawan dengan berbagai
alasannya. Dan tidak ada pilihan lain, belajar agar kesadaran lebih besar
dari ahamkara. Ahamkara adalah rumah sangat kecil yang membuat
kesadaran Atma terkungkung seperti ulat dalam kepompong. Sementara
kesabaran, memaafkan, keikhlasan dan ketenangan membuat kesadaran
terbebas dari kepompong kecil bernama ahamkara, kemudian terbang
menjadi kupu-kupu indah [kesadaran] yang bercahaya.

Jika kita mau tekun terus-menerus belajar menahan diri dan


meredakan cengkeraman enam kegelapan pikiran, maka lama kelamaan
benih-benih kegelapan di dalam diri kita akan menjadi semakin melemah
dan sebaliknya energi kesadaran kita menjadi semakin kuat. Dalam
pencapaian seperti itulah pikiran-perasaan kita akan menjadi lebih jernih
dan lebih tenang.

Sebagai hasilnya, kesadaran kita tidak mudah goyah akibat kesulitan,


kesialan, masalah-masalah kehidupan, ataupun berbagai godaan-godaan
lainnya. Kita dapat menahan diri tidak sampai melakukan perbuatan dan
perkataan di bawah pengaruh enam kegelapan pikiran. Sekalipun enam
kegelapan pikiran itu masih tetap muncul di dalam diri kita [sebagai bagian
utuh dari diri kita], munculnya hanya sebentar saja dan kesadaran kita tidak
dicengkeram oleh enam kegelapan pikiran. Kemudian perlahan kegelapan
pikiran itu lenyap dan pikiran kita kembali tenang dan jernih.

Sehingga setiap karma-karma buruk kita yang datang dapat mengalir


tanpa hambatan [artinya kita dapat menghadapinya dengan kerelaan,
tabah dan tahan menderita], untuk kemudian karma-karma buruk itu
terselesaikan [terhapus]. Kita akan terhindar dari kemungkinan membuat
karma buruk yang baru. Kita akan terhindar dari jalur kehidupan yang lebih
kacau atau berbahaya. Kita akan membuat kehidupan kita menjadi lebih
tenang dan damai. Serta sekaligus kesadaran kita terangkat naik pada
tingkat dimensi kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran Atma di dalam diri
kita akan mulai bercahaya.

Upaya spiritual [sadhana] untuk meredakan cengkeraman enam


kegelapan pikiran umumnya merupakan sebuah proses yang
membutuhkan waktu. Terutama karena kegelapan pikiran sudah pekat
melekat dalam kesadaran kita dalam jangka waktu yang tidak terhingga
panjangnya. Akan terjadi siklus naik-turun dalam kemajuan kita dan itu
suatu hal yang sangat manusiawi. Cara yang realistis untuk mengukur
kemajuan kita adalah melihat dalam rentang waktu setiap setahun atau 2
[dua] tahun. Jika kita sudah menjadi orang yang lebih sabar, lebih tenang,
lebih mudah memaafkan, lebih mudah merelakan, tidak mudah larut dalam
kesedihan, tidak mudah terseret hawa nafsu keinginan, dsb-nya, itu berarti
kita sudah mengalami kemajuan.

Energi kesadaran yang kuat membuat kita tidak mengalami kesulitan


untuk bersikap sabar, merelakan, mengalah, memaafkan dan menahan
diri. Sebagai hasilnya, tidak saja setiap karma-karma buruk kita yang datang
dapat mengalir tanpa hambatan [artinya kita dapat menghadapinya dengan
kerelaan, tabah dan tahan menderita], untuk kemudian karma-karma buruk
itu terselesaikan [terhapus]. Serta sekaligus juga menghindarkan kita dari
kemungkinan jalur kehidupan yang lebih kacau atau berbahaya, sehingga
hidup kita sendiri juga cenderung menjadi lebih tenang dan damai.

Hal ini sesungguhnya adalah untuk menolong diri kita sendiri. Kita
hendaknya menyadari hal ini, untuk kemudian menciptakan keberkahan
bagi diri kita sendiri dan sekaligus menciptakan keberkahan bagi orang-
orang lain disekitar kita.

3. DAYADHVAM [MEKAR SEMPURNANYA HATI YANG PENUH


BELAS KASIH DAN KEBAIKAN].

Ciri ketiga kesadaran Atma ditandai dengan mekar sempurna-nya


dayadvham, yaitu hati penuh belas kasih dan kebaikan tanpa syarat yang
tidak terbatas kepada semua mahluk.

Ada 4 [empat] jenis belas kasih dan kebaikan yang perlu kita
kembangkan secara mendalam, yaitu :

1. Belas Kasih Dan Kebaikan Untuk Diri Sendiri.

Yang dimaksud dengan belas kasih dan kebaikan untuk diri sendiri,
adalah menerima diri kita sendiri seperti apa adanya, menerima garis nasib
kehidupan kita seperti apa adanya, serta tidak larut dalam rasa bersalah
dari kesalahan kita di masa lalu.

Salah satu langkah sangat penting di jalan spiritual mendalam adalah


berhenti menghakimi diri sendiri dan kehidupan kita, serta berhenti menilai
buruk diri sendiri dan kehidupan kita. Belajarlah menerima diri kita sendiri
seperti apa adanya, serta menerima garis nasib [garis karma] kehidupan kita
seperti apa adanya. Belajarlah selalu berpandangan positif dan penuh rasa
syukur kepada diri sendiri dan kehidupan kita. Inilah belas kasih dan
kebaikan untuk diri sendiri. Inilah benih-benih kejernihan sebagai akar
kedamaian dan kesadaran.
Ciri utama pikiran yang bingung dan gelisah, selalu menyangka
bahwa kebahagiaan mendalam bisa ditemukan dengan mendapatkan apa
yang ingin didapatkan. Akibatnya kita bernasib seperti kucing yang
mengejar ekornya, terus-menerus berkejaran dengan keinginan, yang tidak
pernah ada akhirnya.

Gerbang kedamaian baru terbuka jika kita berani mengatakan cukup,


serta berterimakasih dengan keadaan diri sendiri dan kehidupan kita.
Karena tanpa pandangan positif dan penuh rasa syukur kepada diri sendiri
dan kehidupan kita seperti apa adanya, tidak ada satupun jalan spiritual
yang bisa membimbing kita menuju kedamaian mendalam.

Semua perjalanan spiritual mendalam dimulai dari menerima diri


sendiri dan kehidupan kita seperti apa adanya. Berpandangan positif dan
penuh rasa syukur kepada diri sendiri dan kehidupan kita. Inilah belas kasih
dan kebaikan untuk diri sendiri. Karena itu akan membuat kita berhenti
berkonflik dengan diri sendiri, serta pada saat yang sama kita juga
mengirimkan energi pemurnian ke dalam diri.

Selain itu, langkah belas kasih dan kebaikan untuk diri sendiri yang
berikutnya, adalah tidak tidak larut dalam rasa bersalah dari kesalahan kita
di masa lalu. Karena pada dasarnya sebagai manusia kita tidak sempurna.
Melakukan kesalahan adalah hal yang tidak terhindarkan. Terimalah dengan
penuh kerelaan. Yang terpenting adalah jika kita melakukan kesalahan,
segera sadari kesalahan kita, kemudian berusahalah memperbaiki diri.

Di jalan dharma yang penting bukanlah berapa kali kita melakukan


kesalahan, tapi berapa kali kita bersedia bangkit memperbaiki diri dari
kesalahan. Kita menyadari kesalahan kita, berusaha memperbaiki diri, serta
sekaligus memaafkan diri sendiri atas kesalahan yang kita lakukan. Inilah
belas kasih dan kebaikan untuk diri sendiri. Jika kita larut dalam rasa
bersalah, itu merupakan sebuah tindakan menyakiti diri sendiri, yang
membuat keruh kejernihan kesadaran kita.
Para Satguru dan para sadhaka, yang sudah memahami kehidupan
secara sangat mendalam akan mengetahui, bahwa melakukan kesalahan
yang kemudian diikuti dengan rasa bersalah bukanlah hukuman, bukanlah
noda. Tapi melakukan kesalahan, yang kemudian diikuti rasa bersalah, tidak
laian adalah cahaya penerang agar kita manusia bergerak melangkah
memasuki jalan dharma.

Langkah spiritual yang bisa membawa kita menuju kejernihan


kesadaran adalah menggunakan semua apapun yang terjadi [tanpa larut
dalam rasa bersalah] menjadi jalan untuk mencapai kenyataan sejati di
dalam diri [kesadaran Atma].

2. Belas Kasih Dan Kebaikan Untuk Semua Mahluk.

Mengapa kita terus berputar-putar tanpa henti dalam siklus samsara,


jatuh bangun dalam kurun waktu yang tidak terhingga panjangnya,
terutama sekali disebabkan oleh sifat kita yang mementingkan diri sendiri
[ego, ke-aku-an]. Dengan hati yang penuh belas kasih dan ketekunan
melaksanakan kebaikan, sangat membantu meredakan sifat kita yang
mementingkan diri sendiri. Langkah ini sangat membantu memurnikan
kesadaran kita, sangat membantu upaya spiritual kita, akan memberikan
kita lompatan kesadaran yang jauh tinggi.

Sadhana [praktek spiritual] sehari-hari yang sederhana tapi mendalam


adalah selalu memiliki pikiran, perkataan dan perbuatan yang
menyelamatkan, membantu, atau membahagiakan sebanyak mungkin
mahluk. Dengan catatan dalam melaksanakannya jangan berharap
diketahui orang, jangan memikirkan pujian atau penghargaan, apalagi
mengharapkan balasan atau imbalan, yang penting adalah besarnya
kerelaan dan ketulusan diri kita sendiri.

Semua kebaikan-kebaikan tulus yang kita lakukan akan meringankan


beban mahluk lain, akan menciptakan harmoni antara kita dengan sesama
mahluk, akan membuat kita memiliki banyak akumulasi karma baik, akan
menjernihkan pikiran-perasaan kita, serta sekaligus juga membangkitkan
terang cahaya kesadaran Atma di dalam diri kita.

Orang awam tidak dapat melihat keindahan di balik melaksanakan


kebaikan-kebaikan yang tulus. Para sadhaka yang sudah tekun
melaksanakannya, sehingga kesadaran Atma-nya sudah bercahaya, akan
dapat melihat banyak sekali keindahan di balik melaksanakan kebaikan-
kebaikan.

Melaksanakan kebaikan-kebaikan tidak hanya membahagiakan


mahluk lain, tapi sekaligus juga mengirimkan energi kebahagiaan ke dalam
diri kita sendiri. Melaksanakan kebaikan-kebaikan tidak hanya menyegarkan
hati mahluk lain, tapi sekaligus juga mengirimkan energi pemurnian dan
energi kedamaian ke dalam diri kita sendiri. Melaksanakan kebaikan-
kebaikan tidak hanya membantu, menolong, menyelamatkan mahluk lain,
tapi sekaligus juga mengirimkan jalan terang [akumulasi karma baik] bagi
kita di masa depan. Dengan kata lain, ketekunan melaksanakan kebaikan-
kebaikan tidak hanya berguna bagi mahluk lain, tapi terutama sekali sangat
berguna untuk diri kita sendiri.

Jalan spiritual yang sesungguhnya bukan untuk mencapai yang tinggi,


hebat, besar atau megah, tapi fokus melakukan upaya membangkitkan
cahaya kesadaran Atma. Hati yang penuh belas kasih dan kebaikan
merupakan bagian awal, bagian tengah dan bagian puncak dari perjalanan
spiritual dharma. Jalan spiritual dharma selalu kita mulai dengan memiliki
pikiran, perkataan dan perbuatan yang menyelamatkan, membantu, atau
membahagiakan sebanyak mungkin mahluk. Mereka yang tekun
melaksanakannya hanya masalah waktu kelak kesadaran Atma-nya akan
mulai bercahaya.

Melakukan kebaikan-kebaikan kelihatannya sederhana, tapi


sesungguhnya memberikan dampak sangat besar bagi kemajuan kesadaran
kita. Mungkin awal-awalnya melakukan kebaikan seperti berat sekali untuk
dilakukan, tapi itu hanya merupakan pertanda masih besarnya ego di dalam
diri kita. Ketika kita terus dengan tekun melakukannya, rasa berat itu
semakin lama semakin memudar. Ini merupakan tanda kalau ego kita terus
mengecil dan kesadaran Atma di dalam diri kita mulai bangkit. Teruslah
melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Suatu hari kita akan
menemukan bagian terdalam diri kita yang suci.

Bagi orang awam, ketika bertemu orang lain dia cenderung akan
memikirkan apa yang bisa dia dapatkan dari orang tersebut. Bagi orang
yang kesadaran Atma-nya mulai bercahaya, ketika bertemu orang lain dia
akan memikirkan apa yang bisa dia berikan untuk orang tersebut.

3. Belas Kasih Dan Kebaikan Dalam Bentuk Melaksanakan Tugas


Kehidupan [Swadharma] Dan Melakukan Pelayanan.

Menapaki jalan dharma tidak berarti kita harus menjauhkan diri dari
kehidupan duniawi. Misalnya mengurung diri di sebuah gua meditasi yang
sepi, atau terus melakukan tirtayatra dari satu parahyangan suci ke
parahyangan suci lainnya, atau tinggal menetap di sebuah pesraman, dsb-
nya, yang dilakukan untuk lari dari urusan-urusan kehidupan
duniawi. Melarikan diri dari urusan kehidupan duniawi bukan maksud
tujuan dari ajaran dharma. Ketika kita pergi ke sebuah gua meditasi yang
sepi, atau sering melakukan tirtayatra, atau tinggal di sebuah pesraman,
dsb-nya, hendaknya itu menjadi masa penjernihan yang bersifat sementara
waktu saja. Kita melakukan itu dengan tujuan untuk menghimpun kekuatan
kejernihan dan ketenangan, yang nantinya sangat kita perlukan dalam
menghadapi masalah-masalah kehidupan duniawi. Sasaran utamanya
adalah perjalanan hidup kita sendiri.

Setiap manusia lahir ke dunia dengan membawa swadharma [tugas


kehidupan] masing-masing sesuai dengan garis karmanya sendiri. Seperti
menjadi guru, pegawai, orang tua, gubernur, pengusaha, pemuka agama,
dsb-nya. Laksanakanlah tugas-tugas kehidupan kita masing-masing dengan
tulus, jujur dan sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya terima dengan
senyuman damai. Terutama karena masalah hasil sudah diatur oleh hukum
alam semesta yang sempurna.

Kalau kita seorang pekerja, bekerjalah dengan tekun dan penuh


pelayanan [sewaka dharma] di tempat kerja. Kalau kita seorang pengusaha,
berikanlah yang terbaik bagi klien kita, serta jujurlah dan penuh pelayanan.
Kalau kita seorang guru di sekolah, berikan pelajaran dan tuntunan yang
terbaik kepada murid-murid kita, serta sekaligus penuh pengertian dan
kasih sayang. Kalau kita seorang pelajar, belajarlah dengan rajin. Sehingga
orang tua senang dan tenang, tidak rugi mengeluarkan biaya dan kelak di
masa depan kita bisa berguna bagi orang lain.

Kalau kita bekerja di hotel sebagai receptionist. Sambutlah setiap


tamu yang datang dengan senyuman, keramahan, kesabaran dan tekad
untuk memberikan pelayanan terbaik. Kalau tamu sedang sepi, bersihkan
tempat kerja kita, rapikan berkas-berkas file, dsb-nya. Jangan lupa untuk
bekerja dengan jujur dan jangan bermalas-malasan.

Atau misalnya kita membuka usaha bengkel motor. Sambutlah setiap


pelanggan yang datang dengan ramah, sabar dan tekad untuk memberikan
yang terbaik. Jujurlah dan penuh pelayanan dalam usaha kita, jangan
menipu pelanggan dengan mengatakan onderdil yang masih baik
mengalami kerusakan. Jika pelanggan memiliki uang yang terbatas jangan
bersikap meremehkan atau enggan melayani, tapi berikan dia jalan keluar
terbaik. Ini tidak berarti kita tidak berusaha mencari nafkah atau
memperoleh laba, tapi intinya adalah kita tulus, penuh pelayanan dan tidak
serakah dalam menjalankan usaha kita.

Harta benda yang kita peroleh melalui ketekunan kerja, kejujuran,


kebaikan dan ketulusan untuk melakukan pelayanan, akan membuat kita
mengalami sukses dua kali, yaitu di dunia dan di alam kematian.

Di rumah kita kerjakan tugas-tugas rumah tangga dengan baik. Kalau


ada piring kotor segeralah kita cuci bersih, kalau rumah kotor ambil sapu
dan pel lalu bersihkan. Kita lakukan dengan sikap penuh pelayanan, dengan
rasa sukhacitta dan meneng [diam], tidak usah mengeluh siapa yang
seharusnya punya tugas mencuci piring atau membersihkan rumah.
Hormati dan bahagiakan orang tua, melayani suami, memeluk istri dengan
mesra, bermain dengan anak-anak di rumah.

Kita perlu mengingat hal ini secara mendalam, bahwa kejujuran,


kebaikan dan ketulusan untuk melakukan pelayanan [sewaka dharma]
merupakan praktek spiritual yang sederhana tapi mendalam. Jika kita
menjalani kehidupan duniawi dengan giat, disertai dengan kejujuran,
kebaikan, ketulusan dan penuh pelayanan, kita akan mendapatkan dua
kekayaan sekaligus, yaitu kekayaan duniawi dan kekayaan spiritual.

Semua tugas-tugas kehidupan kita berusaha laksanakan dengan


tulus, jujur dan sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya terima dengan
senyuman damai. Kesempurnaan melaksanakan tugas kehidupan tidak
terletak pada hasil [terutama karena masalah hasil sudah diatur oleh hukum
alam semesta yang sempurna], melainkan pada segala upaya dan proses
yang kita lakukan.

Jika memungkinkan kita lakukan secara lebih luas lagi. Kita


laksanakan pelayanan kepada yang tidak terkait atau tidak dikenal.
Misalnya [contoh], kalau tirtayatra ke pura ambil sapu kita bantu bersih-
bersihkan sampah, kalau di jalan melihat ada paku yang membahayakan
kita pungut dan amankan, kalau di toilet umum kita melihat keran air
mengalir sia-sia kita bantu matikan, dsb-nya. Jalan pelayanan [sewaka
dharma] adalah jalan spiritual yang sederhana tapi mendalam, yang dapat
perlahan-lahan tapi pasti menyalakan cahaya suci di dalam diri kita.

Seringkali terjadi segala pelayanan apa yang sudah kita lakukan cepat
sekali dilupakan, tetap yang terus diingat orang adalah apa yang mereka
anggap sebagai kekurangan atau kesalahan kita. Analoginya jalan
pelayanan dapat membuat kita bernasib seperti keset, sudah diinjak-injak
orang kemudian tahi dan kotorannya disisakan untuk kita. Tapi jika kita
dapat menerimanya dengan rela, tenang, damai dan tetap tulus melakukan
pelayanan, itulah jalan menuju ke dalam diri yang bercahaya.

Jalan pelayanan bertujuan untuk pemurnian mendasar bagi diri kita,


serta untuk meredakan ahamkara [ego, ke-aku-an] dan sifat egois
mementingkan diri sendiri di dalam diri. Ini merupakan sadhana [upaya
spiritual] yang bisa kita lakukan sambil kita melaksanakan kehidupan
duniawi.

Banyak orang yang menunggu ini dan itu agar bisa damai dan
bahagia. Ada yang menunggu jam pulang kerja, ada yang menunggu
atasan dimutasi, ada yang menunggu masa liburan dan rekreasi, ada yang
menunggu agar anak-anak besar, ada yang menunggu agar sukses dan
kaya, dsb-nya. Para sadhaka di jalan dharma hendaknya tidak menunggu ini
dan itu agar bisa damai. Belajarlah menjadi damai dan bahagia di setiap
gerak langkah kehidupan, dengan cara tersenyum dan menyatu damai
dengan apapun yang sedang kita lakukan. Salah satu aspek jalan kesadaran
adalah membiasakan diri. Dengan membiasakan diri menyatu damai
dengan apapun kegiatan kita, kedamaian tidak menjadi suatu tujuan yang
jauh disana, melainkan setiap gerak langkah kita menjadi satu dengan
kedamaian.

Siapapun kita, dimanapun kita, spiritual tidak spiritual, kehidupan kita


tidak dapat lepas dari kerja dan tugas kehidupan. Bagaimana jalan kerja
dan tugas kehidupan dapat menjadi jalan pelaksanaan dharma yang
mendalam, adalah jika kita menyatu damai dengan apapun yang sedang
kita lakukan, serta berusaha melaksanakan kerja dengan tulus, jujur dan
sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya terima dengan senyuman damai [tidak
terikat dengan hasil].

Porsi tugas kita manusia hanya berusaha dan berusaha. Terkait


hasilnya, kerelaan, senyuman damai dan rasa syukur merupakan penjaga
kedamaian dan kesadaran di dalam diri. Terutama karena masalah hasil
sudah diatur oleh hukum alam semesta yang sempurna.
Selain itu kita harus ingat bahwa menelusuri perjalanan kehidupan
merupakan perjalanan yang sangat panjang, dimana kita tidak pernah tahu
apa yang akan kita temui sepanjang perjalanan dan di mana ujungnya.
Sehingga tugas kita manusia adalah memberikan usaha yang terbaik, serta
sekaligus melangkah dengan penuh kesadaran di sepanjang perjalanan.

Jika dalam jangka waktu bertahun-tahun yang panjang kita terus


tekun melaksanakannya, maka melaksanakan kerja dan tugas kehidupan
akan menjadi praktek dharma yang mendalam, menjadi jalan keheningan,
serta sekaligus menjadi jalan menuju kesadaran Atma. Sehingga kehidupan
kita sebagai manusia dapat berjalan, karma-karma kita dapat mengalir,
serta sekaligus membuat melaksanakan kerja dan tugas kehidupan akan
mengangkat naik dimensi kesadaran kita ke tingkat yang lebih tinggi.

4. Belas Kasih Dan Kebaikan Dalam Bentuk Doa Atau Ritual.

Jika dalam suatu situasi keadaan kita belum mampu untuk melakukan
kebaikan bagi mahluk lain, atau kita tidak mampu untuk memberikan
pertolongan langsung bagi mahluk lain, setidaknya kita dapat berdoa, atau
melakukan suatu sadhana ritual, untuk mendoakan keselamatan dan
kebahagiaan mereka.
BAGIAN III. KELEMAHAN MEMAHAMI AJARAN
DHARMA MELALUI KEPINTARAN SECARA LOGIKA

Mentok mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan


kepintaran secara logika [kecerdasan intelektual] saja, sebatas pengetahuan
teoritis saja, sudah tentu adalah dangkal, serta banyak sekali memiliki
kelemahan dan kekurangan. Sehingga jangan pernah berhenti di tahap
agama pramana [memahami ajaran dharma melalui kepintaran secara
logika]. Jangan terjebak disini. Segeralah tekun melaksanakan praktek.

Sebagian dari kelemahan mempelajari ajaran suci dharma sebatas


menggunakan kepintaran secara logika saja, sebagai berikut ini, yaitu :

1. Tidak Dapat Memberikan Pemahaman Dharma Yang Mendalam.

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja cenderung hanya dapat memberikan kita pemahaman
dharma hanya sebatas yang sempit dan dangkal saja. Semakin banyak kita
mengumpulkan, mempelajari, menganalisa dan mengutak-atik ajaran suci
dharma dengan sebatas menggunakan kepintaran secara logika saja, maka
sangat mungkin justru akan semakin kacaulah pemahaman kita tentang
ajaran suci dharma.

Tanpa langkah-langkah untuk mengenal diri [ketekunan


melaksanakan praktek], semua kepintaran secara logika akan menyesatkan.

2. Tidak Dapat Memberikan Lompatan Kesadaran Yang Tinggi.

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja tidak dapat menyatukan ajaran suci dharma dengan
kesadaran kita, sehingga kesadaran kita masih tetap berada dalam
cengkeraman sad ripu dan ahamkara.

Ajaran suci dharma belum menyatu dengan kesadaran, sehingga


belum memurnikan pikiran-perasaan [manas] dan ego [ahamkara] dalam
diri sendiri. Kita masih mudah marah, masih gelisah, masih bingung, masih
sombong, masih serakah, dsb-nya. Kita juga masih belum tersembuhkan
dari luka-luka kehidupan kita, dari kebingungan dan kegelisahan kita, yang
memunculkan berbagai macam dorongan, kegelapan pikiran dan ego yang
tidak kita sadari.

3. Tidak Dapat Meredakan Ego [Ahamkara].

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja seringkali terjebak dalam kedangkalan dan
kesempitannya sendiri, yang menimbulkan ego [ahamkara], membuat kita
tetap suka menghakimi, tetap suka mencela dan mengkritik, yang justru
sebenarnya akan mengotori dan menjatuhkan kesadaran kita.

Sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia spiritual ada banyak


pencinta kebaikan yang sangat bermusuhan dengan kegelapan. Sebagai
akibatnya niat kebaikan yang luhur dan mulia tidak berujung pada
kesadaran yang terang. Sebaliknya niat kebaikan membuat kesadaran
seseorang jadi demikian kotor karena kesombongan atau kebencian.

4. Tidak Dapat Memberikan Harmoni Kedamaian [Jagadhita].

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja, dalam kegelapan dan kesempitannya sendiri, seringkali
cenderung membuat kita terlibat banyak perdebatan pendapat, konflik,
atau perselisihan pendapat dengan orang-orang lainnya menyangkut
ajaran dharma atau ajaran agama.

Bahkan dalam kasus yang ekstrim, kepintaran secara logika


digunakan untuk mencela, menjatuhkan atau menyerang pihak lain.
Kepintaran secara logika dengan salah-benarnya, mendorong kita untuk
menjatuhkan, menjelek-jelekkan dan menghina ajaran dharma atau ajaran
agama lainnya yang berbeda. Kepintaran secara logika mudah
menghadirkan hawa panas di sana-sini melalui salah-benar, kritik dan
protesnya.

5. Tidak Dapat Menyelamatkan Kita Dari Mengalami Kejatuhan


Spiritual Dalam Samsara.

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja, tidak dapat mencegah diri kita sendiri mengalami
kejatuhan spiritual dalam samsara. Tidak dapat mencegah diri kita sendiri
pada saat kematian ditarik menuju alam-alam bawah atau terlahir kembali
sebagai binatang. Tidak dapat mencegah diri kita sendiri mengalami dhuka
punarbhawa, yaitu dari kehidupan sebagai manusia, terlahir kembali “turun
tingkat” menjadi binatang atau mahluk-mahluk alam bawah.

Karena bagaimana perjalanan kita di alam kematian sangat terkait


erat dengan tingkat dimensi kesadaran kita. Jika dalam masa kehidupan
kita tidak meningkatkan kesadaran dengan cara tekun melaksanakan
praktek, maka ada kemungkinan kelak di alam kematian perjalanan Atma
akan kacau dan berakhir di tempat yang sangat buruk.

6. Tidak Dapat Menghantar Kita Mencapai Yang Tidak Terbatas.

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja sifatnya sangat terbatas. Yang terbatas sudah tentu tidak
akan dapat mencapai yang tidak terbatas [kesadaran Atma / Moksha].
TAHAP 2. ANUMANA PRAMANA

TAHAP PRAKTEK – Tahap Memahami Ajaran Dharma Melalui


Ketekunan Melaksanakan Praktek Dalam Jangka Waktu Panjang

Di tahap baru belajar, kita memerlukan agama pramana. Di tahap


awal kita perlu mempelajari panduan, metode dan tehnik spiritual dharma
melalui membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci dharma,
atau mendengarkan dharma wacana dari Guru. Hasil dari tahap awal agama
pramana adalah kepintaran secara logika.

Akan tetapi mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan


kepintaran secara logika saja sudah pasti sangat jauh dari cukup.

Sastra Guru [kitab-kitab suci, ajaran-ajaran suci dharma] dan Satguru


[ajaran suci dharma seorang Satguru] dapat memberikan kita wawasan cara
pandang kehidupan yang mendalam dan menyegarkan pikiran. Membawa
kita mulai bergerak mendekat dengan kesadaran Atma, membawa kita
mulai bergerak mendekat kepada kenyataan kosmik. Tetapi hanya sebatas
sampai di depan pintu gerbang saja. Kepintaran secara logika hanya dapat
membawa kita sebatas sampai di depan pintu gerbang.

Hanya dengan cara tekun mempraktekkan sadhana [upaya spiritual]


yang disampaikan, barulah kita bisa masuk ke dalam.

Ini berarti, hanya dengan cara tekun mempraktekkan sadhana [upaya


spiritual] yang disampaikan, barulah kita dapat menyatukan ajaran suci
dharma dengan kesadaran. Untuk kemudian kelak mengalaminya sendiri
secara langsung, sebagai pengalaman yang dialami sendiri, tentang semua
apa yang disampaikan di dalam ajaran suci dharma.

Sebagaimana di dalam ajaran suci dharma jelas sekali disebutkan,


bahwa tahapan-tahapan di dalam memahami ajaran dharma itu ada 3 [tiga]
tahap. Yaitu ada tahap teori [agama pramana], ada tahap praktek [anumana
pramana] dan ada tahap hasilnya yang dialami sendiri sebagai pengalaman
langsung [pratyaksa pramana].
BAGIAN I. MENYATUKAN AJARAN SUCI DHARMA
DENGAN KESADARAN

Di dalam menapaki jalan spiritual dharma, terdapat suatu titik dimana


kita hendaknya dengan tegas mengatakan “cukup” dalam mengumpulkan
dan mempelajari pengetahuan dharma, untuk kemudian melangkah ke
tahap berikutnya, yaitu tahap dengan tekun dan penuh dedikasi
melaksanakan berbagai praktek dharma secara mendalam.

AGAMA ANUMANA PRATYAKSA


PRAMANA PRAMANA PRAMANA

Belajar “keluar”. Belajar “ke dalam” Mengalami sendiri


diri. secara langsung
kenyataan kosmik.

Mempelajari buku Aktif dan tekun Menyatu dan


suci, ajaran dharma mempraktekkan mengalir sempurna
dan mendengar ajaran dharma, di sungai
dharma wacana sadhana pemurnian kehidupan.
dari Guru. dan meditasi.

Kecerdasan Kejernihan pikiran, Keterhubungan


intelektual. kepekaan perasaan, kosmik.
kecerdasan
spiritual dan
ketajaman intuisi.

KEPINTARAN KEBIJAKSANAAN KESADARAN ATMA


LOGIKA MENDALAM
Kita boleh membaca banyak kitab-kitab suci, membaca banyak
ajaran-ajaran suci dharma, atau sering mendengarkan dharma wacana dari
Guru, tapi jangan lupa tekun melaksanakan praktek sebagai langkah-
langkah untuk mengenal diri [Atma Jnana]. Karena tanpa mengenal diri
semua kepintaran secara logika akan menyesatkan.

Kepintaran secara logika sudah tentu bukan sesuatu yang salah atau
buruk. Kepintaran secara logika itu berguna jika kita gunakan di tempat
yang tepat. Seperti di sekolah atau di dunia pendidikan modern, atau di
tempat kerja, kepintaran secara logika itu berguna.

Akan tetapi, jika di sekolah atau di dunia pendidikan modern, atau di


tempat kerja, kepintaran secara logika diberi nilai tinggi, tapi di jalan
kesadaran Atma [jalan mengenal diri] berlaku sebaliknya. Di jalan kesadaran
Atma, kepintaran secara logika adalah penghalang dan beban berat.
Terutama karena kepintaran secara logika seperti kaca mata kuda yang
membuat kita gagal memandang secara luas dan mendalam.

Sebagian orang pintar bahkan hidupnya sangat berbahaya [secara


karma], karena kepintaran secara logika digunakan untuk mencela,
menjatuhkan atau menyerang pihak lain. Karena menduga kehidupan
hanya sejauh apa yang dapat dipikirkan, hanya seluas mata memandang,
hanya sesempit perasaan. Akibatnya seseorang menjadi kritis, penuh
protes, mudah ribut, berdebat, atau sentimen. Dan bahayanya, berbekalkan
kerumitan dan jangkauan yang terbatas, kemudian menyerang dan
menghakimi orang lain. Sehingga tidak saja temannya sedikit dan
musuhnya banyak, tapi dia juga terus “meracuni” dirinya setiap hari dengan
energi gelap. Dia tidak saja terus menghidupkan bibit kekerasan di dalam
dirinya, tapi dia juga terus mengirimkan bibit kekerasan kepada orang lain.
Kepintaran secara logika mudah menghadirkan hawa panas di sana-sini
melalui kritik dan protesnya.
Kepintaran secara logika tanpa disertai kebaikan hati yang tulus dan
kebijaksanaan mendalam, akan membuat kita seperti anak kecil yang
memegang pedang. Dalam keadaan demikian, pengetahuan dharma
menjadi senjata yang sangat melukai. Pengetahuan dharma tidak menjadi
cahaya penerang, sebaliknya menjadi sumber kegelapan.

Bagaimana pengetahuan dharma dapat menjadi cahaya penerang,


caranya dengan kita tekun dan penuh dedikasi melaksanakan praktek. Yang
dapat membuat kita terus membangun kejernihan pikiran, kepekaan
perasaan dan keterhubungan kosmik.

Itu sebabnya ajaran suci dharma mengajarkan para sadhaka untuk


terus melangkah lebih dalam. Meninggalkan tahap kepintaran secara logika
[agama pramana] dan memasuki tahap ketekunan mempraktekkan ajaran
dharma [anumana pramana]. Meninggalkan tahap kecerdasan intelektual
dan memasuki tahap kejernihan pikiran, kehalusan rasa dan kebijaksanaan.

Meditasi melatih kita untuk melampaui pikiran, perasaan dan gagasan


[kepintaran secara logika], dengan cara menjadi saksi. Pikiran baik
disaksikan, pikiran buruk juga disaksikan. Karena pikiran hanyalah pikiran,
bukan kenyataan diri kita yang sejati. Perasaan bahagia disaksikan,
perasaan sedih juga disaksikan. Karena perasaan hanyalah perasaan, bukan
kenyataan diri kita yang sejati.

Hanya jika kita mau tekun melaksanakan praktek sadhana dalam


jangka waktu panjang, barulah suatu saat kita akan bisa mengenal diri kita
sendiri. Menyadari bahwa kenyataan diri yang sejati adalah kesadaran
Atma. Kesadaran kosmik dan kecerdasan kosmik yang melampaui tubuh
fisik, pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika [gagasan].

Sehingga sadari sejak awal bahwa tahap agama pramana, yaitu tahap
mempelajari panduan, metode dan tehnik spiritual dharma melalui
membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci dharma, atau
mendengarkan dharma wacana dari Guru, hanyalah sebatas alat bantu di
awal saja. Sama sekali bukan memahami secara mendalam, mencapai dan
mengalami tujuan itu sendiri.

Analoginya seperti orang yang bertahun-tahun pekerjaannya hanya


melihat, mempelajari, menganalisa dan mengutak-atik peta penunjuk jalan
Kota Denpasar. Tentu saja kedalaman pemahamannya akan jauh berbeda
dengan orang yang bertahun-tahun tinggal menetap di Kota Denpasar dan
tekun berkeliling untuk memahami seluk-beluk wilayahnya.

Mempelajari peta penunjuk jalan dari Sastra Guru [kitab-kitab suci,


ajaran-ajaran suci dharma] dan dari Satguru [ajaran suci dharma seorang
Satguru], tentu saja baik dan berguna, terutama di tahap baru belajar. Akan
tetapi jika kita mentok disana, kita mempelajari ajaran suci dharma hanya
sebatas kepintaran secara logika saja, kita hanya akan memahami
serangkaian kenyataan semesta secara dangkal dan sangat terbatas.

Kepintaran secara logika adalah titik terjauh dari pusat kedamaian


sejati dan kebijaksanaan terdalam, yaitu kesadaran Atma [Atma Jnana]. Jika
pengetahuan dharma mentok sebatas pada kepintaran secara logika saja,
kita masih tetap mudah tersinggung, mudah bersaing, mudah berdebat,
mudah menghakimi, mudah memvonis buruk orang lain, mudah menjelek-
jelekkan, mudah menyalahkan, mudah serakah, mudah tidak puas, mudah
melakukan kejahatan, dsb-nya.

Tidak ada perubahan berarti dalam tingkat dimensi kesadaran kita.


Tidak ada perubahan berarti dalam tingkat kebijaksanaan kita. Tidak ada
perubahan berarti dalam tingkat kecerdasan kosmik kita. Karena
pengetahuan dharma baru sebatas kepintaran secara logika saja, yang
sifatnya dangkal serta memiliki banyak sekali kelemahan dan kekurangan.
Ajaran suci dharma belum bisa menyatu dengan kesadaran kita. Kesadaran
kita masih tetap dicengkeram kuat oleh enam kegelapan pikiran dan ego.

Sastra Guru [kitab-kitab suci, ajaran-ajaran suci dharma] dan Satguru


[ajaran suci dharma seorang Satguru] membawa kita mulai bergerak
mendekat dengan kesadaran Atma, tetapi hanya sebatas sampai di depan
gerbang saja. Kepintaran secara logika hanya dapat membawa kita sebatas
sampai di depan gerbang saja. Hanya dengan cara tekun melaksanakan
praktek sadhana barulah kita bisa masuk ke dalam.

Ketahuilah sejak awal, bahwa intisari utama dari ajaran suci dharma,
yaitu kesadaran Atma [kesadaran kosmik] dan kenyataan semesta, tidak
pernah dapat dipelajari dengan kepintaran secara logika. Kesadaran Atma
dan kenyataan semesta tidak pernah dapat dipahami dan diketahui secara
mendalam, hanya melalui membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-
ajaran suci dharma, atau mendengarkan dharma wacana dari para Guru
suci. Kesadaran Atma dan kenyataan semesta hanya dapat dipahami,
diketahui dan dicapai secara mendalam melalui praktek, melalui
penembusan langsung secara sangat mendalam ke dalam pikiran dan
perasaan kita sendiri. Sehingga kita harus melangkah ke tahap berikutnya,
yaitu tahap anumana pramana.

Ini tidak hanya penting untuk diri sendiri, tapi juga penting untuk
kepentingan semua mahluk, yaitu untuk menjaga keberlangsungan dan
melestarikan ajaran dharma. Di dalam ajaran dharma yang mendalam
disebutkan bahwa cara untuk menjaga keberlangsungan ajaran dharma,
agar kelak di masa depan ajaran dharma tidak mengalami keruntuhan,
adalah dengan ketekunan para sadhaka, para pemuka agama, para
pemimpin agama dan para ahli agama, untuk melaksanakan praktek.
Karena jika tidak, maka situasi dunia akan dibanjiri oleh para Guru spiritual,
pemuka agama, pemimpin agama dan ahli agama, yang memberikan
wacana kosong kepada masyarakat. Para orang-orang dungu, yang hanya
mengejar uang, jabatan, keterkenalan, ataupun kepentingan-kepentingan
pribadi lainnya. Atau bahkan dengan ceroboh mendirikan kelompok atau
aliran sendiri. Yang mana itu semua lama-kelamaan tidak saja akan
mengakibatkan masyarakat menjadi enggan mempelajari ajaran dharma
dan menjauh dari ajaran dharma, tapi juga suatu saat dapat mengakibatkan
kepunahan ajaran dharma.
Karena ajaran dharma yang asli tidak ada di tempat suci, tidak ada
dalam buku-buku suci dan tidak ada di dalam dunia materi, tapi adanya
pada kesadaran di dalam diri. Ada kebutuhan untuk membangkitkan ajaran
dharma di dalam diri dengan cara mencapai kesadaran sempurna. Inilah
sesungguhnya yang disebut menjaga keberlangsungan dan melestarikan
ajaran dharma.

Anumana pramana adalah tingkatan tahap menengah, yaitu tahap


praktek dan proses pemahaman mendalam. Tahap dimana para sadhaka
mempelajari panduan, metode dan tehnik spiritual dharma tidak melalui
kepintaran secara logika, tapi melalui ketekunan melaksanakan praktek,
melalui penembusan langsung secara sangat mendalam ke dalam pikiran
dan perasaan kita sendiri.

Di tingkat awal [baru belajar] pahami dengan cara mempelajari teori,


di tingkat menengah pahami dengan cara tekun melaksanakan praktek,
kemudian [di tingkat tertinggi] lihat dan pahami sebagai pengalaman
sendiri secara langsung, itulah langkah-langkah tri pramana
yang dilakukan oleh setiap sadhaka yang ingin mengenal diri dan
memahami kenyataan semesta secara luas dan mendalam.

Para sadhaka yang ingin memahami dan mengetahui ajaran suci


dharma secara mendalam, menyatukan ajaran suci dharma dengan
kesadaran, mencapai kedamaian sejati di dalam diri [manah shanti], serta
mencapai sumber terdalam dari pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi
yaitu kesadaran Atma [Atma Jnana], tidak ada pilihan lain selain dia harus
tekun melaksanakan praktek dalam jangka waktu panjang.
BAGIAN II. PERTANDA BAHWA PRAKTEK
SADHANA SUDAH MULAI MEMBERIKAN HASIL

Ketika ajaran suci dharma sudah kita pelajari [tahap agama pramana],
tahap selanjutnya adalah mempraktekkannya secara tekun dalam jangka
waktu panjang [tahap anumana pramana]. Kemudian dari ketekunan
melaksanakan praktek inilah kemudian dapat mulai memberikan hasil. Hal
ini ditandai dengan munculnya 4 [empat] pertanda bahwa pelaksanaan
praktek kita sudah mulai memberikan hasil.

Tanpa ada kemunculan 4 [empat] pertanda ini, merupakan petunjuk


jelas bahwa pemahaman dharma dan pencapaian kesadaran kita belum
mendalam, masih sebatas kepintaran secara logika saja. Mungkin karena
praktek kita kurang tekun, atau kurang mendalam, atau jangka waktunya
belum lama kita lakukan. Sehingga ajaran suci dharma belum menyatu
dengan kesadaran kita.

Pertanda bahwa pelaksanaan praktek kita sudah mulai memberikan


hasil, yaitu sebagai berikut :

1. MULAI MUNCULNYA MANAH SHANTI [KEDAMAIAN


SEJATI DI DALAM DIRI].

Perjalanan kehidupan kita tidak dapat lepas dari pengaruh garis


karma. Tidak peduli siapapun kita, orang suci orang jahat, orang miskin
orang kaya, rajin sembahyang tidak rajin sembahyang, siapapun dan
apapun kita, garis karma akan datang dengan tidak bisa dibendung.

Sehingga dalam kehidupan ini kita tidak hanya mengalami


pengalaman-pengalaman hidup yang bahagia. Tapi dalam kehidupan ini
kita juga memiliki masalah-masalah. Ada banyak sekali ragam dan jenis
masalah-masalah yang kita hadapi dalam perjalanan kehidupan.

Kita mengalami kesulitan di sekolah, kita mengalami masalah dalam


pekerjaan, kita mengalami kesulitan menghadapi orang tua dan keluarga,
kita mengalami kesulitan menemukan pasangan hidup yang tepat, kita
mengalami kesulitan dalam membina hubungan harmonis dengan
pasangan hidup [suami atau istri], kita mengalami kesulitan mengatasi
kenakalan anak-anak, kita mengalami masalah keuangan, kita merasa tidak
aman dengan hidup kita, kita mengalami perasaan gelisah dan terasing,
kita mengalami kesulitan dengan pikiran dan perasaan kita sendiri. Jika kita
masih berusia muda, kita mengalami kesulitan dalam menentukan
bagaimana menata hidup, bagaimana mempersiapkan masa depan, dsb-
nya. Jika kita sudah berusia tua, kita mengalami masalah menghadapi
penyakit, menghadapi badan fisik yang mengalami kerapuhan, dsb-nya.

Salah satu tujuan ketekunan melaksanakan praktek, adalah untuk


membantu kita agar kita dapat menghadapi masalah-masalah kehidupan
secara lebih baik, lebih positif, lebih tabah, lebih damai, lebih tahan
menderita, serta lebih penuh belas kasih dan kebaikan. Sehingga tidak saja
di dalam diri kita damai, tapi kita juga dapat menjadi sumber kedamaian
dan pertolongan terbaik bagi semua mahluk.

Jika secara garis karma masalah dan kesulitan dalam perjalanan


kehidupan sudah saatnya harus datang, maka itu akan datang dengan tidak
bisa dibendung. Bedanya adalah jika orang awam dicengkeram oleh rasa
sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya, para sadhaka yang
sudah tekun melaksanakan praktek, kesadarannya tidak lagi dapat
dicengkeram oleh rasa sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau, dsb-
nya, tersebut.

Sesungguhnya kedamaian sejati selalu hadir di dalam diri, setiap saat,


setiap detik, pada sepanjang perjalanan kehidupan kita. Tapi cengkeraman
kuat enam kegelapan pikiran dan ego pada kesadaran, membuat kita tidak
dapat menyadarinya.

Biasanya di tahun-tahun awal ketika kita mulai tekun melaksanakan


praktek, mungkin saja akan terasa sangat tidak enak, serta tidak
menyenangkan, karena kegelapan pikiran dan ego kita akan seringkali
dihantam habis oleh rasa sakit. Akan tetapi walaupun di permukaan seperti
penuh dengan beban berat, tapi di kedalaman yang terdalam, ketekunan
melaksanakan praktek membuat kita membangkitkan kekuatan kesadaran
Atma yang mahasuci di dalam diri. Perlahan-lahan enam kegelapan pikiran
dan ego di dalam diri dikikis habis oleh ketekunan melaksanakan praktek.

Cengkeraman kegelapan pikiran seperti kemarahan, iri hati,


kegelisahan, kesombongan, keserakahan, iri hati, dsb-nya, akan semakin
longgar dari kesadaran kita. Ketekunan melaksanakan praktek sadhana
akan mendamaikan pikiran dan menjernihkan kesadaran. Memberikan kita
kesabaran, ketabahan dan ketenangan di dalam menghadapi kesengsaraan,
masalah dan kesulitan dalam perjalanan kehidupan.

Artinya rasa sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya,
tersebut masih tetap muncul sebagai bagian utuh dari diri kita. Tapi para
sadhaka yang sudah tekun melaksanakan praktek, kesadarannya tidak lagi
dapat dicengkeram oleh rasa sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau,
dsb-nya. Karena kesadaran sudah seluas ruang tidak terhingga, rasa sedih,
rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya, tersebut itu tidak lagi
menimbulkan kesengsaraan. Perasaan itu datang, muncul beberapa saat
dan kemudian berlalu. Sehingga sang sadhaka hanya tersenyum damai,
sekaligus dapat bersikap penuh belas kasih secara sempurna kepada rasa
sakit, penyakit dan orang yang menyakiti.

Kita dapat menyadari secara mendalam bahwa segala kejadian-


kejadian dalam hidup sesungguhnya tidak membawa kebahagiaan-
kesengsaraan, kebaikan-keburukan, kebenaran-kesalahan, kesucian-
kegelapan, dsb-nya. Semuanya hanya merupakan hasil dari cengkeraman
dualitas pikiran, kegelapan pikiran dan ego kita sendiri. Di dalam diri yang
terdalam tersedia kedamaian sejati yang berkelimpahan.

Inilah manah shanti [kedamaian sejati di dalam diri]. Kita dapat


tersenyum damai kepada rasa sakit, penyakit dan orang yang menyakiti.
Kita dapat tersenyum damai pada setiap kemungkinan dalam perjalanan
hidup, pada setiap keadaan. Sehingga apapun yang terjadi akan menjadi
karma-karma kehidupan yang mengalir saja. Di dalam diri kita kejernihan
dan kedamaian selalu hadir.

2. MULAI MUNCULNYA KETERHUBUNGAN KOSMIK.

Umumnya kita pasti pernah mendengar mahavakya [slogan dharma


yang agung] yang sangat terkenal dari buku suci Chandogya Upanishad
yaitu “tat twam asi”. Arti sebenarnya dari tat twam asi dalam bahasa
sansekerta adalah “engkau adalah itu" [semua hal, semua keberadaan]. Apa
yang ingin disampaikan dalam mahavakya ini adalah mengenai Moksha,
mengenai kemanunggalan kosmik antara Atman dengan Brahman.

Tapi bagi sebagian besar masyarakat, umumnya ajaran tentang


kemanunggalan kosmik sangat sulit dimengerti. Hal ini wajar karena ajaran
ini sangat dalam, tidak akan pernah bisa dimengerti melalui sebatas
membaca buku-buku suci, atau sebatas mendengarkan dharma wacana
dari Guru. Kemanunggalan kosmik hanya bisa dimengerti melalui
pengalaman langsung [pratyaksa pramana], melalui ketekunan praktek
sadhana dan meditasi selama bertahun-tahun. Tidak melalui bacaan atau
mendengar ajaran dharma, tapi melalui praktek sadhana, secara langsung
mengarah sangat dalam kepada pikiran-perasaan, ego dan kesadaran diri
sendiri.

Sehingga bagi masyarakat luas tatarannya perlu diturunkan agar


semua orang bisa mengerti. Sehingga tat twam asi kemudian juga
diterjemahkan sebagai “engkau adalah aku, aku adalah engkau”. Ini berarti
dari kemanunggalan kosmik kemudian tatarannya diturunkan menjadi
keterhubungan kosmik.

Ketekunan dan ketulusan kita untuk terus tekun melaksanakan


praktek kemudian akan meredakan cengkeraman enam kegelapan pikiran
[sad ripu] dan ego [ahamkara] dalam kesadaran kita. Sehingga kita dapat
mengatasi rasa sakit, marah, sedih, kecewa, dsb-nya, di dalam diri, dengan
ketenangan, kedamaian dan kebebasan. Ketika enam kegelapan pikiran dan
ego mereda, dari garbha-nya kemudian melahirkan keterhubungan kosmik
yang mendalam.

Pertanda seorang sadhaka sudah mulai mencapai tingkat kesadaran


keterhubungan kosmik ditandai dengan adanya pertanda dalam dan
pertanda luar. Adanya pertanda dalam dan pertanda luar di dalam diri kita
inilah merupakan ciri-ciri mulai adanya keterhubungan kosmik.

1. Pertanda Dalam.

Pertanda dalam adalah kita tidak tertarik menyakiti orang lain, tidak
tertarik menjelek-jelekkan orang lain, tidak tertarik membenci orang lain,
tidak tertarik menghakimi orang lain, tidak tertarik mencela dan mengkritik
orang lain, tidak tertarik bersaing dengan orang lain, tidak tertarik menjahili
orang lain, tidak tertarik memanfaatkan orang lain, tidak tertarik merugikan
orang lain, tidak tertarik korupsi, tidak tertarik selingkuh, tidak tertarik
melakukan kejahatan, dsb-nya.

Selain itu kita dapat berdamai sempurna dengan garis karma kita
sendiri. Kaya kita damai, miskin kita juga damai. Ganteng atau cantik kita
damai, jelek kita juga damai. Sehat kita damai, sakit kita juga damai. Dipuji
kita damai, dicaci-maki kita juga damai. Dsb-nya.

2. Pertanda Luar.

Pertanda luar adalah kita selalu tergerak untuk menolong dan


membantu orang lain dan mahluk lain, penuh belas kasih dan kebaikan
kepada semua, tidak mementingkan diri sendiri, serta penuh pengertian
dan belas kasih kepada kesengsaraan dan kegelapan orang lain.

3. MULAI BANGKITNYA EMPAT SIFAT LUHUR.

Selain itu, setiap sadhaka yang dalam jangka waktu panjang


bertahun-tahun tekun melaksanakan praktek, akan mencapai kekokohan
pada 4 [empat] landasan kekuatan kesadaran yang disebut sebagai Catur
Paramita [empat sifat luhur], yaitu :

1. Maitri - memberikan kebahagiaan bagi mahluk lain.

2. Karuna - mengorbankan diri bagi kebahagiaan mahluk lain.

3. Mudita - bahagia melihat mahluk lain bahagia.

4. Upeksha - pikiran-perasaan yang tenang-seimbang.

Kita bahkan dapat tersenyum bahagia melihat orang-orang yang


melukai dan menyakiti kita mengalami kebahagiaan. Kita bisa tersenyum
tanpa rasa iri dan sentimen ketika orang yang dulu membully kita sukses
menjadi pengusaha. Kita bisa tersenyum tanpa rasa iri dan sentimen ketika
mantan pacar yang dulu menyelingkuhi kita memiliki keluarga bahagia. Kita
bisa tersenyum tanpa rasa iri dan sentimen ketika orang yang dulu nyontek
saat sekolah memiliki gelar akademis yang lebih tinggi dari kita. Karena
dengan tiadanya cengkeraman rasa iri dan sentimen [matsarya] dalam
kesadaran, sekaligus kita dapat tetap bersikap penuh belas kasih dan
kebaikan, itulah sebagian pertanda kesadaran Atma mulai bercahaya.

Serta sang sadhaka akan dapat memahami, mengetahui dan


mengalami sendiri secara langsung bahwa kesedihan, kesengsaraan,
ketakutan, kebingungan, kegelisahan dan kebodohan [avidya] hanyalah
akibat dari pikiran yang masih dicengkeram oleh enam kegelapan pikiran
dan ego.
Disini kita mulai dapat memahami secara langsung dan secara
mendalam, bahwa sesungguhnya menapaki jalan spiritual itu adalah untuk
menjadi baik hati, menjadi rendah hati, menjadi sangat sabar, menjadi
mudah memaafkan, menjadi mudah merelakan, menjadi bebas dari
penghakiman, menjadi penuh pengertian, dsb-nya.

Karena ukuran utama kemajuan spiritual yang sesungguhnya adalah


membesarnya sifat belas kasih dan kebaikan, mengecilnya ego, meredanya
kegelapan pikiran, meredanya dualitas pikiran dan membesarnya
kebijaksanaan. Singkatnya kita mulai memahami secara langsung dan
secara mendalam, bahwa sesungguhnya menapaki jalan spiritual itu adalah
untuk membangunkan semua sifat-sifat luhur, terang dan mulia di dalam
diri kita.

4. MENINGKATNYA KECERDASAN SPIRITUAL DAN TERJADI


PERUBAHAN GURU.

Jika para sadhaka tingkat pemula [baru belajar] belum beranjak dari
tahap agama pramana [masih berkutat pada teori], sehingga masih amat
sangat tergantung kepada Sastra Guru [kitab-kitab suci] atau Satguru
[dharma wacana dan tafsiran kitab suci dari seorang Guru]. Para sadhaka
yang sudah melangkah jauh memasuki tahap anumana pramana [tekun
melaksanakan praktek], mulai dapat melangkah jauh lebih maju ke depan,
mulai dapat belajar kepada Jagad Guru [alam semesta sebagai Guru] dan
Anthra Guru [Guru di dalam diri].

Karena jika dalam jangka waktu panjang bertahun-tahun kita tekun


melaksanakan praktek, sebagai hasilnya adalah meningkatnya kecerdasan
spiritual secara sangat pesat. Dari sini kita akan menemukan dan menyadari
bahwa alam semesta dan diri kita sendiri sebenarnya adalah sebuah
perpustakaan agung ajaran suci dharma. Kita akan menyadari bahwa pada
alam semesta dan di dalam diri kita sendiri terdapat sangat berlimpah
pengetahuan dan kebijaksanaan mendalam. Sehingga kita tidak saja akan
dapat memahami kitab-kitab suci dan dharma wacana dari seorang Guru
secara jauh lebih luas dan mendalam [tidak dangkal dan sempit], tapi kita
juga mulai dapat belajar kepada Jagad Guru [alam semesta sebagai Guru]
dan Anthra Guru [Guru di dalam diri].

Di tahap ini kita mulai dapat membaca alam semesta [bhuwana


agung], melihat kebenaran kosmik di balik alam semesta, untuk kemudian
menjalani kehidupan selaras dengan hukum dan prinsip-prinsip alam
semesta.

Di tahap ini kita juga mulai dapat membaca diri sendiri [bhuwana alit],
melihat kebenaran kosmik di dalam diri kita sendiri, untuk kemudian
mengenal kenyataan diri sejati secara lebih mendalam.

Inilah tahap pencapaian spiritual yang disebut oleh leluhur kita di Bali
sebagai "agama tanpa sastra" [agama tanpa buku suci] atau "lontar tanpa
tulis" [buku suci yang tidak berisi tulisan]. Karena ajaran suci dharma yang
dipelajari tidak lagi berupa buku-buku yang berisi tulisan, melainkan sudah
dapat melihat dan membaca ajaran suci dharma tidak tertulis yang terdapat
berlimpah di alam semesta dan di dalam diri kita sendiri.

Sebagai hasilnya setiap gerak tindakan kita dapat menyatu selaras


dengan putaran alam dan kita dapat mengalami keterhubungan kosmik
dengan semua mahluk. Serta sekaligus membuat kita dapat memahami isi
kitab-kitab suci dan ajaran suci dharma secara jauh lebih mendalam [tidak
sempit dan dangkal].

Melalui ketekunan melaksanakan praktek, di dalam diri kita mulai


berkembang kecerdasan spiritual, kebijaksanaan, kejernihan dan kesadaran
yang lebih mendalam. Sehingga segala pemahaman ajaran suci dharma
yang telah kita peroleh dapat menjadi lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Segala kekuatan suci yang telah terbangun oleh ketekunan kita
melaksanakan praktek dapat bertumbuh lebih kuat dan lebih kuat lagi.
Yang perlahan-lahan tapi pasti akan terus melonggarkan cengkeraman sad
ripu dan ahamkara dari kesadaran kita, sehingga kita dapat menjadi sumber
kedamaian dan pertolongan terbaik bagi diri sendiri dan semua mahluk.

Tentu saja ini akan menjadi perjalanan spiritual yang panjang. Dalam
prosesnya akan ada siklus naik-turun, kadang-kadang kita melakukan
kesalahan, kadang-kadang kita terjerembab dalam kebingungan. Hal itu
sangat wajar dan manusiawi. Yang terpenting adalah kita tetap memiliki
niat yang kuat, ketekunan dan konsistensi, sehingga secara pasti kita sudah
mengarahkan diri ke arah yang benar dan sangat terang.

Teruskan, teruskan dan teruskanlah dengan tekun melaksanakan


praktek. Kelak dari garbha-nya suatu saat akan menghasilkan pencapaian
kesadaran Atma [Atma Jnana].
TAHAP 3. PRATYAKSA PRAMANA

TAHAP HASIL – Tahap Memahami Ajaran Dharma Melalui Mengalami


Sendiri Secara Langsung

Para sadhaka setelah melewati tahap memahami ajaran suci dharma


dengan cara mempelajari teori [agama pramana], selanjutnya dia memasuki
tahap memahami ajaran suci dharma dengan cara tekun melaksanakan
praktek selama bertahun-tahun [anumana pramana].

Jika praktek meditasi kita sudah mendalam, kemudian menyatu


dengan pikiran-perasaan yang jernih tenang-seimbang sebagai hasil dari
meredanya cengkeraman enam kegelapan pikiran dan ego, serta menyatu
dengan akumulasi karma baik yang berlimpah, maka disana barulah sangat
terbuka kemungkinan tercapainya kesadaran Atma.

Hanya masalah waktu sang sadhaka akan mencapai tahap pratyaksa


pramana, yaitu tahap mengetahui, mengalami dan mencapai kesadaran
Atma dan kenyataan semesta dengan cara mengalami sendiri secara
langsung.

Perjalanan spiritual yang sesungguhnya adalah perjalanan mengenal


diri. Sebelum tekun melaksanakan praktek sadhana dalam jangka waktu
panjang, kita semua menyangka bahwa tubuh fisik, pikiran, perasaan dan
kepintaran secara logika [gagasan] adalah diri kita. Itu sebabnya sebagian
manusia secara menyedihkan berusaha habis-habisan untuk
melindunginya.
Jika suatu saat kita berhasil mencapai kesadaran Atma, keheningan
yang dilimpahi oleh belas kasih dan kebaikan tidak terbatas, pada titik
kesadaran tersebut kita akan menyadari bahwa sesungguhnya manusia
adalah Tuhan [Brahman/Atman] yang dibungkus oleh beberapa lapisan.
Tubuh fisik, pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika [gagasan]
merupakan lapisan-lapisan pembungkusnya. Lem perekat lapisan-lapisan
pembungkus tersebut adalah sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan
ahamkara [ego, ke-aku-an].

Dengan ketekunan melaksanakan praktek sadhana dalam jangka


waktu panjang, lem perekat lapisan-lapisan pembungkus tersebut [yaitu
enam kegelapan pikiran dan ego] akan semakin kehilangan
cengkeramannya pada kesadaran. Kehilangan kekuatan pelekatnya pada
kesadaran. Ketika semua lapisan-lapisan pembungkus tersebut terlepas,
disanalah kita mencapai bagian terdalam dari diri kita yang suci.

Tercapainya kesadaran Atma, keheningan yang dilimpahi oleh belas


kasih dan kebaikan tidak terbatas. Mengetahui, mengalami dan mencapai
kesadaran Atma sebagai mengalami sendiri secara langsung.

Bagi orang awam, kebahagiaan adalah terpenuhinya keinginan,


harapan atau ambisi mereka. Bagi sadhaka yang kesadaran Atma-nya sudah
bercahaya, kebahagiaan datang dari perbuatan atau perkataan yang
menyelamatkan, membantu, atau membahagiakan mahluk lain. Bagi
sadhaka yang kesadaran Atma-nya sudah kembali sempurna, kebahagiaan
adalah mengalami sendiri secara langsung [pratyaksa pramana] bahwa
kenyataan diri yang sejati adalah keheningan yang dilimpahi oleh belas
kasih dan kebaikan tidak terbatas.

Dalam kedalaman keheningan yang dilimpahi oleh belas kasih dan


kebaikan tidak terbatas, kita akan menyadari sebagai pengalaman langsung
bahwa diri kita dan semua mahluk adalah laksana gelombang-gelombang
ombak yang berbeda-beda di samudera yang sama. Di permukaan
samudera, gelombang ombak banyak sekali memiliki identitas dan
perbedaan. Ada gelombang yang besar, ada yang kecil, ada yang panjang,
ada yang pendek, ada yang berbuih, dsb-nya, banyak sekali perbedaannya.
Tapi di kedalaman samudera, semua sekat-sekat perbedaan, nama dan
identitas lenyap. Yang ada hanya samudera luas tidak terbatas. Dalam
kedalaman keheningan kita tersadarkan bahwa kenyataan sejati kita adalah
samudera. Inilah yang dimaksud dengan penyatuan kosmik antara Atman
dengan Brahman [Moksha].

Selain itu, dengan menyadari kembali kenyataan sejati Atma, kita


akan memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang
terdalam. Kesadaran seperti ini memberikan kita kesempatan untuk
memahami kenyataan diri sendiri dan pengetahuan rahasia yang tertinggi,
pengetahuan yang sudah ada di dalam diri kita sejak awal yang tidak
berawal. Di kedalaman kesadaran kita akan menemukan ada kecerdasan
kosmik dan kebijaksanaan tidak terhingga di dalam diri. Rasa iri hati,
sentimen, marah, benci, dendam, tidak puas, serakah, sombong, bingung,
gelisah dan sifat mementingkan diri sendiri adalah tumpukan-tumpukan
lumpur yang menutupi kecerdasan kosmik dan kebijaksanaan tidak
terhingga, sehingga kita gagal mengetahuinya.

Kita akan sepenuhnya menyadari bahwa kitab-kitab suci dan ajaran


suci dharma yang ada "diluar" hanyalah sebatas alat bantu di tahap-tahap
awal saja. Karena sesungguhnya "di dalam" diri kita sendiri adalah kitab suci
yang hidup dan berjalan. Inilah tahap pencapaian spiritual yang disebut
oleh leluhur kita di Bali sebagai "dharma sunia" [ajaran suci dharma yang
ditemukan di kedalaman keheningan].

Tapi sekali lagi [sangat penting untuk ditekankan] kita tidak akan
pernah bisa mengetahui, mengenali dan mencapai semua kebenaran
kosmik ini hanya sebatas dengan menggunakan kepintaran secara logika
saja. Kita baru bisa mengetahui, mengenali dan mengalami sendiri
kenyataan kosmik ini jika kita menyatukan ajaran suci dharma dengan
kesadaran. Caranya adalah kita benar-benar tekun dalam jangka waktu
panjang bertahun-tahun melaksanakan praktek sadhana.
Semoga kita semua memiliki niat yang kuat, ketekunan dan
konsistensi dalam melaksanakan praktek sadhana [upaya menyatukan
ajaran suci dharma dengan kesadaran]. Semoga perlahan-lahan kita dapat
melonggarkan cengkeraman sad ripu dan ahamkara dari kesadaran kita,
sehingga kita dapat menjadi sumber kedamaian dan pertolongan terbaik
bagi semua mahluk. Semoga segala kekuatan suci yang telah terbangun
dari ketekunan kita melaksanakan praktek sadhana dapat bertumbuh lebih
kuat dan lebih kuat lagi. Semoga semua pemahaman dharma, semua
pemahaman tentang diri, serta semua pemahaman tentang kenyataan
semesta yang telah kita peroleh, dapat menjadi lebih dalam dan lebih
dalam lagi.

Semoga perjalanan semua mahluk milyaran tahun dalam siklus


samsara dapat berakhir di tempat yang sangat terang dan mahasuci.

Om shanti shanti shanti !


RUMAH DHARMA - HINDU INDONESIA

Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu Indonesia bisa di-
download secara gratis tanpa dipungut biaya apapun di :

tattwahindudharma.blogspot.com

Halaman facebook Rumah Dharma - Hindu Indonesia :

facebook.com/rumahdharma
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus melakukan


penerbitan buku-buku dharma berkualitas, baik berupa e-book maupun buku
cetak, untuk dibagi-bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.

Untuk melakukan penyebaran buku-buku dharma berkualitas, Rumah


Dharma - Hindu Indonesia memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran masyarakat. Semakin banyak
dharma dana yang terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku dharma yang
dapat diterbitkan dan disebarluaskan.

Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang kebaikan yang


bernilai sangat utama, salah satunya adalah ber-dharma dana untuk penyebaran
ajaran dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebaikan mulia dengan karma baik
berlimpah, tetapi juga adalah sebuah sadhana nirjara, sadhana penghapusan
karma buruk.

Karma baik dari mendonasikan dharma dana bagi penyebarluasan ajaran


dharma adalah :

1. Donatur akan mendapatkan penghapusan berbagai karma buruk.


2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya donatur akan berjodoh dengan ajaran
dharma yang suci dan terang.
3. Donatur akan mendapatkan perlindungan dharma, tidak mudah terseret
dendam kebencian, pikirannya lebih mudah tenang, serta menjadi lebih bijaksana.
4. Jika dampak penyebarannya mencerahkan masyarakat luas, donatur akan
mendapatkan perlindungan dari para Dewa-Dewi.

Transfer Dharma Dana anda ke rekening :

Bank BNI Kantor Cabang Denpasar


No Rekening : 0340505797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan

Astungkara berkat karma baik ini para donatur mendapat kerahayuan.


TENTANG PENULIS

I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January


1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari
kakeknya, Pan Siki, seorang balian usadha dari Br.
Tegallinggah Kota Denpasar.

Pada tahun 2002, memulai perjalanan spiritualnya


dengan belajar meditasi.

Pada tahun 2007 mulai memberikan komitmen


menyeluruh kepada spiritualisme dharma. Di tahun
yang sama belajar dengan Guru dharma-nya yang
pertama, serta memulai melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno,
sebagai bagian dari arahan gurunya, sekaligus juga
panggilan spiritualnya sendiri.

Pada tahun 2009 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang kedua, mendalami
kekayaan spiritual Hindu Bali, mendalami ajaran Tantra, menjalin pertemanan
dengan banyak Guru dan praktisi spiritual, serta tetap meneruskan melakukan
tirthayatra dan penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno.

Pada tahun 2010 mulai melakukan pelayanan dharma untuk umum di halaman fb
rumah dharma, serta mulai memberikan tuntunan dan berbagi ajaran kepada
adik-adik dharmanya. Di tahun yang sama juga mulai menulis buku. Inspirasi
dharma yang didapatnya dari perjalanan ke berbagai pura pathirtan kuno,
dikombinasikan dengan ajaran dari para Guru-nya, dari praktek meditasi,
membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi panjang dengan banyak
praktisi spiritual, kemudian ditulisnya menjadi berbagai buku.

Pada tahun 2015 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang ketiga, serta tetap
meneruskan melakukan pelayanan dharma untuk umum.

Anda mungkin juga menyukai