Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia pada usia dewasa memiliki 32 gigi permanen yang terdiri atas masing-
masing 16 gigi pada maksila dan mandibula. Setiap rahangnya memiliki 4 gigi insisivus, 2
gigi kaninus, 4 gigi premolar dan 6 gigi molar . Masing-masing dari gigi tersebut erupsi
secara wajar dan sangat jarang menimbulkan masalah bagi kesehatan gigi dan mulut
seseorang. Terkecuali pada gigi molar yang terakhir bererupsi yaitu umur 17-21 tahun yang
disebut gigi molar ke tiga (Biswari et al., 2010). Pertumbuhan dan perkembangan gigi
geligi sering kali mengalami gangguan untuk erupsi atau tumbuh, baik pada gigi anterior
maupun posterior, bisa dengan gangguan letak benih yang salah akan menyebabkan
kelainan pada erupsinya baik berupa erupsi diluar lengkung yang seharusnya atau bahkan
bisa terjadi impaksi (Adriatmoko, 2009).
Kasus impaksi sering terjadi di masyarakat, namun tingkat prevalensinya berbeda
disetiap rahang. Gigi impaksi merupakan keadaan patologis dimana gigi tidak bisa atau
tidak akan erupsi pada posisi yang normal disebabkan karena kurangnya ruang pada
lengkung gigi,terhalang oleh gigi lain atau perkembangan pada posisi yang tidak normal
dan gigi impaksi bisa terjadi secara penuh atau total maupun sebagian (Sadeta, 2013).
Hampir seluruh gigi dapat mengalami impaksi, gigi yang paling sering mengalami impaksi
adalah gigi molar ketiga rahang bawah maupun rahang atas karena merupakan gigi yang
paling terahir tumbuh, ruangan yang dibutuhkan untuk tumbuh kurang adekuat. Kondisi
patologis yang umumnya ditemukan pada molar ketiga yang impaksi baik total maupun
sebagian meliputi karies, resorpsi akar, terbentunya kista, periodontitis, infeksi periapikal,
tumor odontogen jinak maupun ganas, dan perikoronitis (Nezar et al., 2016).
Terdapat beberapa penelitian mengenai prevalensi dan insidensi gigi impaksi
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Dhonge et al. pada tahun 2015 menunjukan
bahwa masalah kesehatan mulut pada dewasa muda, perikoronitis ditemukan peringkat
pertama atau kedua. Paling sering terlihat pada remaja dan dewasa muda. Kejadian
tertinggi ditemukan pada kelompok usia 20-29 tahun dan jarang terlihat sebelum 20 tahun
atau setelah 40 tahun. Selanjutnya penelitan yang di lakukan oleh Renton et al, pada tahun
2016 menunjukan bahwa, prevalensi pericoronitis dilaporkan 81% pada kelompok usia 20-
1
29 tahun. Kesehatan umum pasien bukan merupakan faktor predisposisi, selain infeksi
saluran pernapasan atas, yang mendahului terjadinya perikoronitis pada 43% kasus.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa mikroflora pericoronitis sebagian besar
bersifat anaerob, termasuk streptokokus, Actinomyces, dan Propionibacterium.
Pericoronitis adalah kondisi yang menyakitkan dan dapat menyebabkan masalah
yang lebih serius jika tidak ditangani. Jika kondisi terlokalisasi maka, dapat berubah
menjadi abses perikoronal, dapat menyebar ke posterior ke orofaring dan ke medial ke
pangkal lidah, mengakibatkan adanya gejala kesulitan menelan (Dhonge et al., 2015).
1.2. Rumusan Masalah
- Bagaimana komplikasi pada perikoronitis ?
1.3. Tujuan
- Mengetahui komplikasi pada perikoronitis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Impaksi
Pada kamus Dorland disebutkan bahwa impaksi adalah gigi yang terpendam
didalam tulang alveolus dimana erupsinya terhambat atau posisinya terkunci dalam tulang.
Dijelaskan lebih lengkap oleh Biswari et al (2010) bahwa impaksi adalah gigi yang
mengalami posisi erupsi tidak normal yang disebabkan kekurangan tempat (dental arch)
,obstruksi gigi tetangga, atau pertumbuhan posisi yang tidak normal.
Gigi bungsu atau molar ketiga (M3) adalah gigi permanen terakhir yang
ditempatkan paling posterior untuk erupsi. Gigi bungsu tumbuh sekitar pada umur antara

2
17 dan 25 tahun. Namun, dapat tumbuh bertahun-tahun kemudian. Kebanyakan orang
dewasa memiliki empat M3; namun, 8% populasi Inggris kehilangan atau tidak memiliki
M3. M3 mandibula sering terkena dampak pada posisi erupsi sebagian yang tidak
berfungsi (Gambar 1). Delapan puluh persen M3 membutuhkan ekstraksi sebelum usia 70
tahun (Renton et al., 2016).

Gambar 2.1 : Gambar klinis dan kartun infeksi pada jaringan lunak di atasnya M3 kanan
bawah yang erupsi sebagian, Bercak putih dalam gambar klinis adalah 'jaringan parut' yang
disebabkan oleh trauma dari M3 kiri atas yang berseberangan sepenuhnya.
2.2 Definisi Perikoronitis
Kata pericoronitis berasal dari kata Yunani, peri artinya "sekitar", kata Latin,
corona berarti "Mahkota" dan itu berarti "peradangan." Ia juga dikenal sebagai operculitis.
Jaringan lunak yang menutupi gigi yang erupsi sebagian dikenal sebagai flap perikoronal
atau operculum gingiva. Jadi Pericoronitis adalah peradangan yang terjadi pada jaringan
lunak yang mengelilingi mahkota gigi yang erupsi sebagian (Dhonge et al., 2015).
2.3 Faktor Risiko Perikoronitis :
a) Keadaan dimana gigi sedang mengalami gigi yang tidak erupsi / erupsi sebagian
dalam rongga mulut. Terutaman gigi molar ketiga mandibula terletak divertikal dan
distoangular yang paling sering terkena.
b) Terbentuknya lapisan gusi karena gigi yang tidak erupsi / erupsi sebagian.
c) Keadaan gigi yang bersinggungan dengan jaringan perikoronal yang mengelilingi gigi
/ gigi yang tidak erupsi / erupsi sebagian.
d) Riwayat pericoronitis sebelumnya.
e) Status kebersihan mulut individu yang buruk.
f) Infeksi saluran pernapasan dan radang amandel. (Dhonge et al., 2015)
2.4 Etiopatologi Perikoronitis
Penyebab paling umum di balik peradangan pericoronal adalah kumpulan plak
dan puing-puing makanan antara mahkota gigi dan atasnya flap gingiva atau operculum. Ini
adalah area yang ideal untuk pertumbuhan bakteri dan sulit untuk tetap bersih. Ada
kemungkinan konstan terjadi peradangan akut pada situs perikoronal. Karena faktor yang
3
memperburuk seperti trauma, oklusi atau jebakan benda asing di bawah flap perikoronal.
Pericoronitis dapat menyebabkan pelepasan cairan jaringan inflamasi dan eksudat seluler.
Lebih lanjut meningkatkan sebagian besar flap perikoronal yang menyebabkan gangguan
dengan penutupan rahang total. Dengan cara ini, proses peradangan pericoronal diperkuat
oleh trauma oklusal dari jaringan pericoronal oleh gigi lawannya. Peradangan kronis dan
infeksi operculum hadir bahkan jika pasien tidak memiliki tanda atau gejala. Pada
permukaan bagian dalam operkulum, terdapat adanya berbagai tingkat ulserasi. Kondisi
sistemik seperti influenza, infeksi saluran pernapasan atas, atau periode stres dapat
menyebabkan sistem kekebalan tubuh terganggu. Jadi, perikoronitis akut dapat dianggap
sebagai infeksi oportunistik atau mungkin merupakan eksaserbasi oportunistik dari proses
kronis yang biasanya dijaga oleh sistem kekebalan tubuh yang kompeten (Dhonge et al.,
2015).
2.5 Klasifikasi Perikoronitis
2.6 Gejala Klinis Perikoronitis
a) Pericoronitis akut ditandai oleh lesi merah, bengkak, bernanah disertai nyeri tekan,
dengan nyeri sangat berat yang menjalar ke telinga, tenggorokan, dasar mulut, sendi
temporomandibular, dan daerah submandibular posterior. Mungkin juga ada rasa
nyeri saat menggigit. Terkadang, rasa sakit bisa mengganggu tidur. Impaksi makanan
yang terus-menerus di bawah flap perikoronal menyebabkan nyeri periodontal dan
pulpitis (sekunder akibat karies gigi) juga dianggap sebagai kemungkinan penyebab
nyeri yang terkait dengan molar ketiga. Pasien juga mengeluh sakit saat menelan
(disfagia), halitosis, rasa busuk, dan kekakuan saat menutup mulut. Pembengkakan
pipi di daerah sudut rahang mungkin terlihat jelas bersama dengan trismus. Tanda-
tanda trauma pada operkulum seperti lekukan pada cusp pada gigi atas atau ulserasi
dapat terlihat. Komplikasi sistemik dapat terjadi seperti demam, leukositosis
(peningkatan jumlah W.B.C.), malaise, limfadenopati regional, dan kehilangan nafsu
makan. Pada kasus yang parah, infeksi dapat meluas ke ruang jaringan yang
berdekatan.
b) Perikoronitis kronis ditandai dengan nyeri tumpul dengan ketidak nyamanan selama
satu atau dua hari, dengan remisi yang berlangsung selama berbulan-bulan. Area
ulserasi dapat dikaitkan dengan perikoronitis kronis yang menyerupai gingivitis
ulseratif nekrotikans. Kehamilan dan kelelahan berhubungan dengan peningkatan

4
kejadian perikoronitis. Tampilan radiografi tulang lokal dapat menjadi lebih radiopak
pada perikoronitis kronis. (Dhonge et al., 2015)

2.7 Komplikasi Perikoronitis


Pericoronitis adalah kondisi yang menyakitkan dan dapat menyebabkan masalah
yang lebih serius jika tidak ditangani. Jika kondisi terlokalisasi maka, itu dapat berubah
menjadi abses perikoronal. Dapat menyebar ke posterior ke orofaring dan ke medial ke
pangkal lidah, oleh karena itu terdapat kesulitan menelan. Tergantung pada parahnya
kondisi, ada keterlibatan kelenjar getah bening. Infeksi perikoronal kronis dapat meluas ke
ruang jaringan lunak potensial seperti ruang sublingual, ruang submandibular, ruang
parapharyngeal, ruang pterygomandibular, ruang infratemporal, ruang submasseteric dan
ruang bukal. Sekuel dari pericoronitis akut adalah pembentukan abses peritonsillar,
selulitis, dan angina Ludwig. Mungkin memerlukan rawat inap dan dapat menjadi situasi
yang mengancam jiwa. Angina Ludwig ditandai oleh demam, malaise, elevasi lidah dan
lantai mulut karena keterlibatan ruang sublingual, kesulitan menelan, bicara cadel dan
papan seperti pembengkakan ruang submandibular secara bilateral yang melibatkan leher
anterior pada akhirnya. Abses parapharyngeal menyebabkan demam dan malaise, nyeri
hebat saat menelan, dispnea dan penyimpangan laring ke satu sisi. Kondisi ini
membutuhkan pendekatan bedah yang mendesak agar jalan napas dapat diamankan
(Dhonge et al., 2015)

Komplikasi perikoronitis antara lain :


1. Perikoronal abses terjadi apabila peradangan / infeksi lebih terlokalisasi.
2. Disfagia terjadi apabila infeksi menyebar ke arah posterior menuju ke ruang
oropharyngeal atau kearah medial pada bagian dasar lidah.
3. Trismus terjadi karena kelainan pada TMJ.
4. Komplikasi toksik sistemik seperti demam, leukositosis, dan malaise.
5. Pembesaran kelenjar getah bening submaxilla, servikal posterior, deep cervical, dan
retrofiring (Newman, 2006).

2.8 Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik dimulai dari ekstra oral, lalu berlanjut ke intra oral. Dilakukan
pemeriksan itegral (inspeksi, palpasi, perkusi) kulit wajah, kepala, leher, apakah ada
pembengkakan, fluktuasi, eritema, pembentukan fistula dan krepitasi subkutaneus. Dilihat
adakah limfadenopati leher, keterlibatan ruang fascia, trismus dan derajat dari trismus.

5
Kemudian diperiksa gigi, adakah gigi yang karies, kedalaman karies, vitalitas gigi, lokasi
pembengkakan, fistula dan mobilitas gigi.
Pemeriksaan penunjang yang bisa membantu menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan kultur, foto rongent dan CT scan (bila diperlukan). Bila infeksi odontogen
hanya terlokalisir di dalam rongga mulut, tidak memerlukan pemeriksaan CT scan, foto
rongent panoramik sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. CT scan harus dilakukan
bila infeksi telah menyebar ke dalam ruang fascia di daerah mata atau leher.

2.9 Pencegahan Dan Perawatan Perikoronitis


1. Pencegahan nya yaitu :
a) Sikat gigi
Sikat gigi pertama ditemukan di Cina pada tahun 1600an dan kemudian
dipatenkan di Amerika tahun 1857. Sikat gigi berkembang di ukuran dan desain
seperti panjang, kekerasan dan pengaturan bulu sikatnya. American Dental
Association telah menggambarkan berbagai dimensi sikat gigi yang baik. Sebuah
sikat gigi harus dapat meraih dan secara efisien membersihkan permukaan gigi
sehingga tidak ada impaksi makanan yang menimbulkan plak dan oral hygiene tetap
terjaga. Jika oral hygiene baik maka koloni bakteri tidak akan tumbuh subur sehingga
tidak menimbulkan peradangan pada perikoronal.
Pasta gigi membantu membersihkan dan memoles permukaan gigi.
Mereka banyak digunakan terutama dalam bentuk pasta, walaupun bubuk dan gel
juga tersedia. Pasta gigi terbuat dari bahan-bahan abrasif seperti silicon oxides,
aluminum oxides, and granular polyvinyl chlorides, air, humectants, sabun atau
detergent, flavoring and sweetening agents, therapeutic agents seperti fluorides and
pyrophospates, bahan pewarna dan pengawet. Pasta gigi harus cukup abrasif untuk
pembersihan dan pemolesan yang memuaskan tetapi harus tetap memberikan
perlindungan dari gerakan sikat yang agresif.
b) Dental floss
Dental foss adalah alat yang paling banyak dianjurkan untuk menghapus
plak dari permukaan gigi proksimal. Floss tersedia sebagai benang nilon multifilamen
yang bengkok atau tak bengkok, terikat atau tak terikat, tebal atau tipis, dan lain lain.
Pemilihan tipe dental floss bergantung pada penggunaan dan pribadi masing-masing.
2. Perawatan nya yaitu :
Fokus perawatan adalah menanggulangi infeksi. Namun strategi perawatan
tergantung dari dua faktor, pertama dari beratnya infeksi dan yang kedua penyebaran
6
dari infeksi tersebut. Perikoronitis yang terlokalisasi dan dalam tahap ringan-sedang
dapat ditangani secara konservatif yaitu dengan debridemen dan drainase dari
pericoronal pocket. Jika terdapat abses maka harus dilakukan drainase yang dilakukan
dengan cara insisi. Monitoring pasca perawatan diperlukan untuk memastikan resolusi
dari fase akut. Setelah itu perlu dilakukan koreksi secara operatif salah satunya adalah
reseksi jaringan perikoronal untuk mencegah berulangnya infeksi. Umumnya
debridemen dan drainase memberikan hasil berupa pengurangan gejala namun beberapa
klinisi menggunakan antibiotik sistemik dan sebagian lagi menggunakan antibiotik
topikal walaupun keuntungan baik dari segi efektifitas dan biaya belum diketahui.
Jika gigi yang terkena nonfungsional atau dianggap tidak dapat digunakan
karena malposisi atau alasan lain ekstraksi biasanya dianggap patut untuk dilakukan.
Jika perikoronitis terbatas dan tidak ada tanda-tanda abses, maka dapat langsung
dilakukan ekstraksi atau ditunggu sampai fase akut terlewati namun jika terdapat pus
sebelumnya dilakukan irigasi dan drainase, dan jika dalam keadaan gawat darurat perlu
diberikan antibiotik profilaksis sesudah ektraksi. Dalam keadaan perikoronitis dengan
tanda adanya penjalaran regional maka terapi dilakukan seperti diatas dan ditambah
dengan terapi antimikroba secepatnya. Ekstraksi ditunda sampai infeksi telah
terlokalisir atau hilang (Newman, 2006).
2.10 Prognosis Perikoronitis
Prognosis penyakit perikoronitis biasanya baik. Kebanyakan faktor lokal dapat
diobati dengan obat-obatan dari golongan antibiotik jika disebabkan oleh infeksi. Pada
kasus perikoronitis berulang sebaiknya dilakukan pencabutan untuk menghindari berbagai
komplikasi yang kemungkinan akan timbul jika tidak dilakukan pencabutan sedini
mungkin (Collin, 2008).

7
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 CASE REPORT 1
Pericoronitis As An Initial Manifestation Of Acute Lymphoblastic Leukemia : A Case
Report.
Sharon Aronovich, DMD, and Thomas W. Connolly, DMD.
Jurnal American Association of Oral Maxillofac Surg 2008. Departemant of Surgery,
Uiversity Of Vermont College Of Medicine, Burlington, VT.

Pericoronitis Sebagai Manifestasi Awal Leukemia Limfoblastik Akut: Laporan Kasus


ABSTRAK
Perikoronitis yang melibatkan molar ketiga dikelola secara umum oleh profesi
kesehatan mulut. Etiologi biasanya disebabkan oleh faktor-faktor lokal. Namun, infeksi
jaringan lunak ini juga dapat merupakan manifestasi dari proses sistemik. Khususnya,
organisme oportunis dapat menyerang dalam pengaturan keadaan immunocompromised
tertentu. Sangat penting bahwa penyakit sistemik yang mendasarinya tidak diabaikan.
Kami melaporkan seorang pasien pria muda yang mengembangkan perikoronitis dan
manifestasi oral leukemia limfoblastik akut (ALL). Diagnosis dan penatalaksanaan ALL
ditinjau dengan penekanan pada manifestasi oral penyakit dan komplikasi oral
pengobatannya.
LAPORAN KASUS
Pasien adalah seorang pria Kaukasia berusia 18 tahun yang mengalami nyeri pada
gigi posterior kiri bawahnya. Setelah gagal datang dokter gigi, ia datang ke dokter
perawatan primer dan ditempatkan pada ruang inap selama 7 hari. Semalam ia mengalami
sakit perut, kedinginan, nyeri sendi artritis, dan truncal, serta petekie perifer. Dia segera
dirujuk ke Fletcher Allen Health Care (Burlington, VT) untuk evaluasi lengkap.
Pada presentasi hari berikutnya, pasien mengeluh nyeri gingiva dan perdarahan
yang diperburuk dengan menutup mulutnya. Pasien juga mencatat pembengkakan sisi kiri
di sekitar rahang bawahnya. Hitung darah lengkap (CBC) menunjukkan 44% limfoblas
dengan neutropenia berat dan trombositopenia berat (17.000 trombosit / mm3). Diagnosis
kerja ALL kemudian dikonfirmasikan dengan pemeriksaan histopatologis biopsi sumsum
tulang (Gambar 1A, B). Layanan gigi dikonsultasikan untuk mengatasi keluhan utama
pasien tentang nyeri mulut dan perdarahan.

8
Stabil, pasien tidak demam dan berorientasi baik, tetapi sedikit lemas. Tidak ada
bukti dispnea atau keluhan disfagia Kulitnya hangat dan kering tetapi beberapa area
petekie difus dicatat. Pemeriksaan kepala dan leher yang menyeluruh menunjukkan
pembengkakan submandibular kiri dengan eritema difus ringan. Palpasi juga menunjukkan
limfadenopati dan nyeri tekan di daerah itu. Meskipun trismus ringan, pemeriksaan
intraoral ditoleransi dengan baik menunjukkan eritema terlokalisasi ringan dan peradangan
operkulum yang menutupi impaksi jaringan lunak parsial dari molar ketiga kiri mandibula.
Pemeriksaan periodontal tidak dilakukan. Radiografi panoramik menunjukkan kemiringan
30 ° mesial dari molar ketiga kiri mandibula dengan radiolusen minor ovarium mesial ke
akar molar ketiga kiri mandibula dan molar ketiga kanan mandibular. Karena gigi ini masih
dalam pengembangan dan temuan serupa hadir secara bilateral, temuan radiografi ini
dianggap tidak meyakinkan. Diagnosis kerja perikoronitis dengan trauma oklusal telah
dibuat.
Perawatan bedah yang definitif ditunda karena pansitopenia. Sebaliknya,
perawatan medis dan paliatif diberikan dan menghasilkan manajemen yang sukses.
Perdarahan gingiva yang disebabkan oleh tingkat trombosit di bawah 50.000 / mm3
dikontrol dengan tekanan langsung di lokasi yang terkena dan transfusi trombosit serial
hingga hemostasis tercapai. Setelah beberapa hari diruangan, regimen antibiotik diubah
menjadi klindamisin intravena dengan perbaikan klinis. Selain itu, praktik kebersihan
mulut yang ketat dilengkapi dengan obat kumur obat termasuk klorheksidin oral bilas dan
hidrogen peroksida encer. Pasien dievaluasi secara teratur untuk memantau perkembangan
dan mengobati komplikasi oral yang timbul. Setelah beberapa minggu kemoterapi, bercak
putih kecil berukuran 2 sampai 4 mm muncul di mukosa bukal secara bilateral. Kandidiasis
oral didiagnosis berdasarkan klinis dan pengobatan dengan suspensi oral Nystatin
(Alpharma, Fort Lee, NJ) dimulai. Episode septikemia dengan demam tinggi kemudian
dikaitkan dengan situs akses vena sentral. Setelah percobaan antibiotik spektrum luas yang
tidak berhasil, ternyata berhasil dihapus. Kecenderungan diabetes dengan hiperglikemia
yang terjadi berkembang menjadi sekunder akibat prednison intravena. Itu dikelola dengan
bolus insulin reguler pada rejimen skala geser. Pascakemoterapi, biopsi sumsum tulang
yang berulang menunjukkan 2% ledakan dan apusan darah tepi dengan peningkatan
signifikan pada kadar granulosit, eritrosit, dan limfosit yang normal. Secara keseluruhan,

9
penyakit dan komplikasi pasien selama perawatan dirawat dengan baik dengan morbiditas
pasien minimal.

GAMBAR 1. Pandangan daya rendah dari spesimen sumsum tulang dengan dominasi sel
mononuklear. Pada pemeriksaan darah tepi, ada anemia normositik sedang, neutropenia
absolut, trombositopenia, dan ledakan yang bersirkulasi. B, pandangan daya tinggi dengan
sel mononuklear berukuran bervariasi dengan sedikit sitoplasma, kontur nuklir berlekuk,
kromatik halus dan nukleolus kecil (berbeda). Limfosit sedang. Karakterisasi
imunofenotipik dengan aliran cytometry menunjukkan tanda ledakan positif untuk CD10,
CD19, dan CD34. Ledakan ini ditandai secara negatif untuk CD20 dan rantai lampu
permukaan.

DISKUSI

Leukemia limfoblastik akut adalah leukemia paling umum pada masa kanak-
kanak.1-3 Ini adalah keganasan limfoblas, ditandai oleh proliferasi klon yang tidak
terkendali dari limfoblas yang ditransformasi dengan pertumbuhan berlebih dan
perpindahan prekursor sumsum tulang normal. 4

Meskipun etiologi leukemia masih belum diketahui, ada kecenderungan genetik


bersama dengan beberapa sindrom terkait yang terkenal (yaitu, sindrom Down, sindrom
Bloom, Neurofibromatosis, sindrom Shwachman, sindrom ataksia-telangiektasia,
10
Klinefelter, anemia Fanconi, dan sindrom WiskottAldrich) 5. Ini memiliki kecenderungan
6-8
untuk laki-laki muda Kaukasia dengan insiden puncak usia 4 tahun. Aspirasi sumsum
tulang menunjukkan lebih dari 25% leukemia limfoblas dengan garis sel B pada sekitar
70% hingga 80% kasus. 9 Setelah diagnosis ALL dibuat, sel-sel selanjutnya dikarakterisasi
menurut studi morfologis, imunofenotipik, dan sitogenetik.

Penting untuk dicatat bahwa tanda-tanda dan gejala infeksi oral pada pasien yang
mengalami gangguan sistem imun dapat diminimalkan. Ini dapat terjadi karena beberapa
alasan. Proses penyakit itu sendiri kompromi mediator normal peradangan. Selain itu,
protokol kemoterapi, terutama yang menggunakan steroid sistemik dosis tinggi dapat
secara langsung menekan respons peradangan. Akibatnya, pasien-pasien ini harus dipantau
dengan cermat untuk tanda-tanda septikemia. Idealnya, manajemen dini faktor-faktor risiko
harus dilakukan sebelum dimulainya kemoterapi atau timbulnya neutropenia. Namun,
masalah gigi sering dikenali setelah timbulnya leukemia dan karena itu, dalam keadaan
pansitopenia.

Pericoronitis adalah suatu kondisi peradangan yang mempengaruhi gigi yang


mengalami impaksi atau erupsi sebagian. Plak bakteri dan sisa-sisa makanan menumpuk di
bawah operculum atau flap gingiva di atas mahkota yang menyediakan substrat dan
lingkungan untuk infeksi. Arsitektur patologis ini adalah alasan utama untuk
menghilangkan molar ketiga. Sebagian besar kasus melibatkan gigi molar tiga rahang
bawah pada saat erupsi pada akhir remaja dan dewasa muda. Gender bukanlah faktor yang
berkontribusi. Perikoronitis dapat hadir secara kronis dan subklinis. Pericoronitis akut
dapat terjadi dengan kumpulan plak bakteri di dalam gingiva flap, perubahan resistensi
pejamu, trauma oklusal pada jaringan, atau kombinasi faktor-faktor ini. Nyeri ekstrem yang
menjalar ke telinga, tenggorokan, dan lantai mulut, pembengkakan ekstraoral / keterlibatan
ruang fasia, disfagia, trismus, limfadenopati, demam, malaise, malodor, dan rasa busuk
adalah manifestasi yang memungkinkan. Operkulum menjadi hiperplasik, edematosa, dan
mungkin eritematosa. Namun, pada pasien leukemia, seperti pada pasien
immunocompromised, tanda dan gejala sering tertutup dan satu-satunya temuan mungkin
rasa sakit. Secara histologis, ada hiperplasia epitel poket dengan eksositosis luas atau
eksudat sel inflamasi akut. Limfosit dan sel plasma mendominasi dalam jaringan ikat

11
hiperemis yang berdekatan dengan jumlah leukosit polimorfonuklear yang bervariasi.17
Dalam kasus ini, leukosit polimorfonuklear (PMN) akan jarang atau kurang. Koloni besar
mikroorganisme sering dicatat.

Pembedahan yang dilakukan ketika ada tanda-tanda peradangan perikoronal


mengakibatkan lebih banyak komplikasi.18 Risiko ini mungkin sangat dekat pada pasien
dengan sistem imun yang terkompromikan. Selain itu, intervensi bedah dapat ditunda untuk
pasien dengan diatesis perdarahan, pasien yang menggunakan antikoagulan (yaitu, ASA,
Plavix, Coumadin, dll), atau menderita trombositopenia. Oleh karena itu, perawatan awal
pericoronitis ditujukan untuk menyelesaikan fase infeksi akut. Perawatan nonsurgical
termasuk antibiotik sistemik, irigasi dengan obat kumur obat (yaitu, hidrogen peroksida,
chlorhexidine), dan bilasan saline hangat. Antibiotik sistemik biasanya diindikasikan ketika
demam, malaise, atau bukti keterlibatan sistemik umum hadir. Selain itu, penyebaran
infeksi jaringan di luar area terlokalisasi mengharuskan penggunaan antibiotik. Perawatan
bedah awal melibatkan ekstraksi molar rahang atas yang berlawanan dalam oklusi
traumatis. Namun, debridemen kantung periodontal / opercular dan pembentukan ulang
gigi molar yang berlawanan juga telah dijelaskan.

Pemilihan antibiotik sistemik yang tepat membutuhkan pemahaman tentang


organisme penyebab yang terlibat dalam perikoronitis. Hal ini juga didukung oleh
penelitian lain di mana streptokokus hemolitik dikaitkan paling umum dengan perikoronitis
pada molar ketiga.20 Studi terakhir ini juga menyoroti semakin banyak bakteri penghasil
laktamase (35% dari 26 sampel) termasuk prevotella, fusobacterium, staphylococcus, dan
capnocytophaga.20 Penisilin biasanya mencukupi dan dapat ditambahkan dengan
metronidazol untuk cakupan batang-anaerob Gm. Dalam kasus refrakter terhadap penisilin,
strain -laktamase mungkin terlibat dan mengamanatkan penggunaan antibiotik dengan
-laktamase inhibitor (yaitu, amoksisilin dengan kalium klavulanat). Clindamycin juga
merupakan pilihan yang tepat, menyediakan cakupan yang mencakup spesies bakterisida
oral seperti prevotella dan porphyromonas. Antibiotik bakterisida diperlukan tetapi tidak
mengimbangi imunitas seluler yang dikompromikan. Maka dari itu perlu untuk mengamati
pasien-pasien ini secara cermat untuk tanda-tanda sepsis. Ekstraksi gigi yang terkena
adalah perawatan definitif dan berfungsi untuk mencegah kekambuhan di masa depan.

12
Dalam kasus-kasus tertentu di mana retensi gigi diinginkan, operkectectomy dan
debridement dengan atau tanpa osseous recontouring adalah alternatif yang
memungkinkan.

GAMBAR 2. Radiografi panoramik yang menunjukkan perkembangan akar molar ketiga


rahang bawah kiri dan kanan rahang bawah masing-masing dengan angulasi mesial
masing-masing 30 ° dan 45 ° sehubungan dengan sumbu panjang dari molar kedua yang
berdekatan. mesial ke akar molar ketiga kiri mandibula. Diagnosis banding dapat meliputi
elemen reaktif dari selubung akar epitel Hertwig, proses inflamasi atau infeksi sekunder ke
plak periodontal, proses reaktif sekunder terhadap trauma oklusal dari molar yang
berlawanan, pembentukan kista de novo (yaitu, keratokista odontogenik), sebuah de novo
tumor, dan lesi metastasis dari AL.

GAMBAR 3. Foto intraoral mandibula kiri molar ketiga setelah resolusi gejala oral.
Operculum distal telah mengalami kemunduran dan menguatkan jaringan gingiva yang
melekat.

KESIMPULAN :

13
Para penulis menyimpulkan bahwa pencabutan gigi yang dilakukan sebelum
kemoterapi atau BMT tidak memiliki dampak negatif pada keseluruhan hasil medis. 21
Kesimpulan penulis berdasarkan pada hari rawat inap tanpa mempertimbangkan
ARONOVICH aksi untuk kualitas hidup. Selain itu, harus dicatat bahwa pasien yang
mengalami komplikasi dari pencabutan gigi memiliki tingkat kematian tertinggi, 4 dari 9
meninggal dalam masa studi. Karena penelitian ini memeriksa pasien dengan berbagai HM
dengan profil hematologi yang tidak ditentukan, hasilnya tidak dapat digeneralisasi untuk
kelompok pasien tertentu. Tentu saja, perawatan bedah versus non-bedah terbuka untuk
diperdebatkan dan seringkali tergantung pada profil hematologi pasien dan tingkat
keparahan penyakit mulut yang terjadi bersamaan

Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk meninjau 2 proses penyakit yang
terpisah, ALL dan pericoronitis, karena mereka terkait satu sama lain dalam kasus khusus
ini. Selain itu, kasus ini berfungsi untuk mengingatkan kita bahwa setiap pasien harus
dievaluasi secara menyeluruh dan tanda atau gejala abnormal seperti pendarahan gingiva
yang berlebihan atau tanda sistemik yang tidak biasa lainnya harus menimbulkan "bendera
merah" dalam pikiran dokter. Kasus ini juga menggaris bawahi kebutuhan untuk
meningkatkan kesadaran di antara dokter anak, ahli hematologi, dan ahli onkologi, bahwa
setiap pasien yang didiagnosis dengan HM membutuhkan pemeriksaan gigi menyeluruh
dalam pengembangan rencana perawatan keseluruhan.

3.2 CASE REPORT 2


3.3 CASE REPORT 3
3.4 CASE REPORT 4
3.5 CASE REPORT 5

14
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
a. Perikoronitis adalah pembengkakan merah pada jaringan lunak yang mengelilingi
mahkota gigi yang baru sebagian tumbuh (erupsi).
b. Penyebab perikoronitis yang paling umum adalah makanan, bakteri, dan plak yang
terjebak dalam celah antara jaringan gingiva dan gigi yang belum erupsi sempurna.
c. Proses inflamasi pada perikoronitis terjadi karena terkumpulnya debris dan bakteri di
saku gusi perikoronal gigi yang sedang erupsi atau impaksi. Akumulasi plak dari sisa-
sisa makanan di saku gusi tersebut susah dibersihkan, kemudian berkoloni dan
tumbuh subur pada celah perikoronal tersebut.
d. Perikoronitis terbagi menjadi perikoronitis akut, perikoronitis sub akut dan
perikoronitis kronis.
e. Komplikasi Perikoronal abses, Disfagia, Trismus, toksik sistemik, Pembesaran
kelenjar getah bening submaxilla, servikal posterior, deep cervical, dan retrofiring
f. Pencegahan perikoronitis dapat dilakukan dengan pemakaian sikat gigi, pasta gigi,
dan dental floss.
g. Perawatan pada pasien perikoronitis bisa dilakukan dengan debridemen dan drainase
dari perikoronal pocket atau jika gigi yang terkena nonfungsional bisa dilakukan
ekstraksi.
15
4.2. Saran
Sebaiknya masyarakat selalu menjaga oral hygiene sehingga terhindar dari
macam-macam penyakit rongga mulut termasuk perikoronitis. Jika sudah terasa ada
gejala-gejala seperti nyeri segera memeriksakan giginya ke dokter gigi agar tidak semakin
parah sehingga perawatannya pun semakin komplek.

16

Anda mungkin juga menyukai