Dapus Perikoro
Dapus Perikoro
PENDAHULUAN
Manusia pada usia dewasa memiliki 32 gigi permanen yang terdiri atas masing-
masing 16 gigi pada maksila dan mandibula. Setiap rahangnya memiliki 4 gigi insisivus, 2
gigi kaninus, 4 gigi premolar dan 6 gigi molar . Masing-masing dari gigi tersebut erupsi
secara wajar dan sangat jarang menimbulkan masalah bagi kesehatan gigi dan mulut
seseorang. Terkecuali pada gigi molar yang terakhir bererupsi yaitu umur 17-21 tahun yang
disebut gigi molar ke tiga (Biswari et al., 2010). Pertumbuhan dan perkembangan gigi
geligi sering kali mengalami gangguan untuk erupsi atau tumbuh, baik pada gigi anterior
maupun posterior, bisa dengan gangguan letak benih yang salah akan menyebabkan
kelainan pada erupsinya baik berupa erupsi diluar lengkung yang seharusnya atau bahkan
bisa terjadi impaksi (Adriatmoko, 2009).
Kasus impaksi sering terjadi di masyarakat, namun tingkat prevalensinya berbeda
disetiap rahang. Gigi impaksi merupakan keadaan patologis dimana gigi tidak bisa atau
tidak akan erupsi pada posisi yang normal disebabkan karena kurangnya ruang pada
lengkung gigi,terhalang oleh gigi lain atau perkembangan pada posisi yang tidak normal
dan gigi impaksi bisa terjadi secara penuh atau total maupun sebagian (Sadeta, 2013).
Hampir seluruh gigi dapat mengalami impaksi, gigi yang paling sering mengalami impaksi
adalah gigi molar ketiga rahang bawah maupun rahang atas karena merupakan gigi yang
paling terahir tumbuh, ruangan yang dibutuhkan untuk tumbuh kurang adekuat. Kondisi
patologis yang umumnya ditemukan pada molar ketiga yang impaksi baik total maupun
sebagian meliputi karies, resorpsi akar, terbentunya kista, periodontitis, infeksi periapikal,
tumor odontogen jinak maupun ganas, dan perikoronitis (Nezar et al., 2016).
Terdapat beberapa penelitian mengenai prevalensi dan insidensi gigi impaksi
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Dhonge et al. pada tahun 2015 menunjukan
bahwa masalah kesehatan mulut pada dewasa muda, perikoronitis ditemukan peringkat
pertama atau kedua. Paling sering terlihat pada remaja dan dewasa muda. Kejadian
tertinggi ditemukan pada kelompok usia 20-29 tahun dan jarang terlihat sebelum 20 tahun
atau setelah 40 tahun. Selanjutnya penelitan yang di lakukan oleh Renton et al, pada tahun
2016 menunjukan bahwa, prevalensi pericoronitis dilaporkan 81% pada kelompok usia 20-
1
29 tahun. Kesehatan umum pasien bukan merupakan faktor predisposisi, selain infeksi
saluran pernapasan atas, yang mendahului terjadinya perikoronitis pada 43% kasus.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa mikroflora pericoronitis sebagian besar
bersifat anaerob, termasuk streptokokus, Actinomyces, dan Propionibacterium.
Pericoronitis adalah kondisi yang menyakitkan dan dapat menyebabkan masalah
yang lebih serius jika tidak ditangani. Jika kondisi terlokalisasi maka, dapat berubah
menjadi abses perikoronal, dapat menyebar ke posterior ke orofaring dan ke medial ke
pangkal lidah, mengakibatkan adanya gejala kesulitan menelan (Dhonge et al., 2015).
1.2. Rumusan Masalah
- Bagaimana komplikasi pada perikoronitis ?
1.3. Tujuan
- Mengetahui komplikasi pada perikoronitis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Impaksi
Pada kamus Dorland disebutkan bahwa impaksi adalah gigi yang terpendam
didalam tulang alveolus dimana erupsinya terhambat atau posisinya terkunci dalam tulang.
Dijelaskan lebih lengkap oleh Biswari et al (2010) bahwa impaksi adalah gigi yang
mengalami posisi erupsi tidak normal yang disebabkan kekurangan tempat (dental arch)
,obstruksi gigi tetangga, atau pertumbuhan posisi yang tidak normal.
Gigi bungsu atau molar ketiga (M3) adalah gigi permanen terakhir yang
ditempatkan paling posterior untuk erupsi. Gigi bungsu tumbuh sekitar pada umur antara
2
17 dan 25 tahun. Namun, dapat tumbuh bertahun-tahun kemudian. Kebanyakan orang
dewasa memiliki empat M3; namun, 8% populasi Inggris kehilangan atau tidak memiliki
M3. M3 mandibula sering terkena dampak pada posisi erupsi sebagian yang tidak
berfungsi (Gambar 1). Delapan puluh persen M3 membutuhkan ekstraksi sebelum usia 70
tahun (Renton et al., 2016).
Gambar 2.1 : Gambar klinis dan kartun infeksi pada jaringan lunak di atasnya M3 kanan
bawah yang erupsi sebagian, Bercak putih dalam gambar klinis adalah 'jaringan parut' yang
disebabkan oleh trauma dari M3 kiri atas yang berseberangan sepenuhnya.
2.2 Definisi Perikoronitis
Kata pericoronitis berasal dari kata Yunani, peri artinya "sekitar", kata Latin,
corona berarti "Mahkota" dan itu berarti "peradangan." Ia juga dikenal sebagai operculitis.
Jaringan lunak yang menutupi gigi yang erupsi sebagian dikenal sebagai flap perikoronal
atau operculum gingiva. Jadi Pericoronitis adalah peradangan yang terjadi pada jaringan
lunak yang mengelilingi mahkota gigi yang erupsi sebagian (Dhonge et al., 2015).
2.3 Faktor Risiko Perikoronitis :
a) Keadaan dimana gigi sedang mengalami gigi yang tidak erupsi / erupsi sebagian
dalam rongga mulut. Terutaman gigi molar ketiga mandibula terletak divertikal dan
distoangular yang paling sering terkena.
b) Terbentuknya lapisan gusi karena gigi yang tidak erupsi / erupsi sebagian.
c) Keadaan gigi yang bersinggungan dengan jaringan perikoronal yang mengelilingi gigi
/ gigi yang tidak erupsi / erupsi sebagian.
d) Riwayat pericoronitis sebelumnya.
e) Status kebersihan mulut individu yang buruk.
f) Infeksi saluran pernapasan dan radang amandel. (Dhonge et al., 2015)
2.4 Etiopatologi Perikoronitis
Penyebab paling umum di balik peradangan pericoronal adalah kumpulan plak
dan puing-puing makanan antara mahkota gigi dan atasnya flap gingiva atau operculum. Ini
adalah area yang ideal untuk pertumbuhan bakteri dan sulit untuk tetap bersih. Ada
kemungkinan konstan terjadi peradangan akut pada situs perikoronal. Karena faktor yang
3
memperburuk seperti trauma, oklusi atau jebakan benda asing di bawah flap perikoronal.
Pericoronitis dapat menyebabkan pelepasan cairan jaringan inflamasi dan eksudat seluler.
Lebih lanjut meningkatkan sebagian besar flap perikoronal yang menyebabkan gangguan
dengan penutupan rahang total. Dengan cara ini, proses peradangan pericoronal diperkuat
oleh trauma oklusal dari jaringan pericoronal oleh gigi lawannya. Peradangan kronis dan
infeksi operculum hadir bahkan jika pasien tidak memiliki tanda atau gejala. Pada
permukaan bagian dalam operkulum, terdapat adanya berbagai tingkat ulserasi. Kondisi
sistemik seperti influenza, infeksi saluran pernapasan atas, atau periode stres dapat
menyebabkan sistem kekebalan tubuh terganggu. Jadi, perikoronitis akut dapat dianggap
sebagai infeksi oportunistik atau mungkin merupakan eksaserbasi oportunistik dari proses
kronis yang biasanya dijaga oleh sistem kekebalan tubuh yang kompeten (Dhonge et al.,
2015).
2.5 Klasifikasi Perikoronitis
2.6 Gejala Klinis Perikoronitis
a) Pericoronitis akut ditandai oleh lesi merah, bengkak, bernanah disertai nyeri tekan,
dengan nyeri sangat berat yang menjalar ke telinga, tenggorokan, dasar mulut, sendi
temporomandibular, dan daerah submandibular posterior. Mungkin juga ada rasa
nyeri saat menggigit. Terkadang, rasa sakit bisa mengganggu tidur. Impaksi makanan
yang terus-menerus di bawah flap perikoronal menyebabkan nyeri periodontal dan
pulpitis (sekunder akibat karies gigi) juga dianggap sebagai kemungkinan penyebab
nyeri yang terkait dengan molar ketiga. Pasien juga mengeluh sakit saat menelan
(disfagia), halitosis, rasa busuk, dan kekakuan saat menutup mulut. Pembengkakan
pipi di daerah sudut rahang mungkin terlihat jelas bersama dengan trismus. Tanda-
tanda trauma pada operkulum seperti lekukan pada cusp pada gigi atas atau ulserasi
dapat terlihat. Komplikasi sistemik dapat terjadi seperti demam, leukositosis
(peningkatan jumlah W.B.C.), malaise, limfadenopati regional, dan kehilangan nafsu
makan. Pada kasus yang parah, infeksi dapat meluas ke ruang jaringan yang
berdekatan.
b) Perikoronitis kronis ditandai dengan nyeri tumpul dengan ketidak nyamanan selama
satu atau dua hari, dengan remisi yang berlangsung selama berbulan-bulan. Area
ulserasi dapat dikaitkan dengan perikoronitis kronis yang menyerupai gingivitis
ulseratif nekrotikans. Kehamilan dan kelelahan berhubungan dengan peningkatan
4
kejadian perikoronitis. Tampilan radiografi tulang lokal dapat menjadi lebih radiopak
pada perikoronitis kronis. (Dhonge et al., 2015)
2.8 Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik dimulai dari ekstra oral, lalu berlanjut ke intra oral. Dilakukan
pemeriksan itegral (inspeksi, palpasi, perkusi) kulit wajah, kepala, leher, apakah ada
pembengkakan, fluktuasi, eritema, pembentukan fistula dan krepitasi subkutaneus. Dilihat
adakah limfadenopati leher, keterlibatan ruang fascia, trismus dan derajat dari trismus.
5
Kemudian diperiksa gigi, adakah gigi yang karies, kedalaman karies, vitalitas gigi, lokasi
pembengkakan, fistula dan mobilitas gigi.
Pemeriksaan penunjang yang bisa membantu menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan kultur, foto rongent dan CT scan (bila diperlukan). Bila infeksi odontogen
hanya terlokalisir di dalam rongga mulut, tidak memerlukan pemeriksaan CT scan, foto
rongent panoramik sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. CT scan harus dilakukan
bila infeksi telah menyebar ke dalam ruang fascia di daerah mata atau leher.
7
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 CASE REPORT 1
Pericoronitis As An Initial Manifestation Of Acute Lymphoblastic Leukemia : A Case
Report.
Sharon Aronovich, DMD, and Thomas W. Connolly, DMD.
Jurnal American Association of Oral Maxillofac Surg 2008. Departemant of Surgery,
Uiversity Of Vermont College Of Medicine, Burlington, VT.
8
Stabil, pasien tidak demam dan berorientasi baik, tetapi sedikit lemas. Tidak ada
bukti dispnea atau keluhan disfagia Kulitnya hangat dan kering tetapi beberapa area
petekie difus dicatat. Pemeriksaan kepala dan leher yang menyeluruh menunjukkan
pembengkakan submandibular kiri dengan eritema difus ringan. Palpasi juga menunjukkan
limfadenopati dan nyeri tekan di daerah itu. Meskipun trismus ringan, pemeriksaan
intraoral ditoleransi dengan baik menunjukkan eritema terlokalisasi ringan dan peradangan
operkulum yang menutupi impaksi jaringan lunak parsial dari molar ketiga kiri mandibula.
Pemeriksaan periodontal tidak dilakukan. Radiografi panoramik menunjukkan kemiringan
30 ° mesial dari molar ketiga kiri mandibula dengan radiolusen minor ovarium mesial ke
akar molar ketiga kiri mandibula dan molar ketiga kanan mandibular. Karena gigi ini masih
dalam pengembangan dan temuan serupa hadir secara bilateral, temuan radiografi ini
dianggap tidak meyakinkan. Diagnosis kerja perikoronitis dengan trauma oklusal telah
dibuat.
Perawatan bedah yang definitif ditunda karena pansitopenia. Sebaliknya,
perawatan medis dan paliatif diberikan dan menghasilkan manajemen yang sukses.
Perdarahan gingiva yang disebabkan oleh tingkat trombosit di bawah 50.000 / mm3
dikontrol dengan tekanan langsung di lokasi yang terkena dan transfusi trombosit serial
hingga hemostasis tercapai. Setelah beberapa hari diruangan, regimen antibiotik diubah
menjadi klindamisin intravena dengan perbaikan klinis. Selain itu, praktik kebersihan
mulut yang ketat dilengkapi dengan obat kumur obat termasuk klorheksidin oral bilas dan
hidrogen peroksida encer. Pasien dievaluasi secara teratur untuk memantau perkembangan
dan mengobati komplikasi oral yang timbul. Setelah beberapa minggu kemoterapi, bercak
putih kecil berukuran 2 sampai 4 mm muncul di mukosa bukal secara bilateral. Kandidiasis
oral didiagnosis berdasarkan klinis dan pengobatan dengan suspensi oral Nystatin
(Alpharma, Fort Lee, NJ) dimulai. Episode septikemia dengan demam tinggi kemudian
dikaitkan dengan situs akses vena sentral. Setelah percobaan antibiotik spektrum luas yang
tidak berhasil, ternyata berhasil dihapus. Kecenderungan diabetes dengan hiperglikemia
yang terjadi berkembang menjadi sekunder akibat prednison intravena. Itu dikelola dengan
bolus insulin reguler pada rejimen skala geser. Pascakemoterapi, biopsi sumsum tulang
yang berulang menunjukkan 2% ledakan dan apusan darah tepi dengan peningkatan
signifikan pada kadar granulosit, eritrosit, dan limfosit yang normal. Secara keseluruhan,
9
penyakit dan komplikasi pasien selama perawatan dirawat dengan baik dengan morbiditas
pasien minimal.
GAMBAR 1. Pandangan daya rendah dari spesimen sumsum tulang dengan dominasi sel
mononuklear. Pada pemeriksaan darah tepi, ada anemia normositik sedang, neutropenia
absolut, trombositopenia, dan ledakan yang bersirkulasi. B, pandangan daya tinggi dengan
sel mononuklear berukuran bervariasi dengan sedikit sitoplasma, kontur nuklir berlekuk,
kromatik halus dan nukleolus kecil (berbeda). Limfosit sedang. Karakterisasi
imunofenotipik dengan aliran cytometry menunjukkan tanda ledakan positif untuk CD10,
CD19, dan CD34. Ledakan ini ditandai secara negatif untuk CD20 dan rantai lampu
permukaan.
DISKUSI
Leukemia limfoblastik akut adalah leukemia paling umum pada masa kanak-
kanak.1-3 Ini adalah keganasan limfoblas, ditandai oleh proliferasi klon yang tidak
terkendali dari limfoblas yang ditransformasi dengan pertumbuhan berlebih dan
perpindahan prekursor sumsum tulang normal. 4
Penting untuk dicatat bahwa tanda-tanda dan gejala infeksi oral pada pasien yang
mengalami gangguan sistem imun dapat diminimalkan. Ini dapat terjadi karena beberapa
alasan. Proses penyakit itu sendiri kompromi mediator normal peradangan. Selain itu,
protokol kemoterapi, terutama yang menggunakan steroid sistemik dosis tinggi dapat
secara langsung menekan respons peradangan. Akibatnya, pasien-pasien ini harus dipantau
dengan cermat untuk tanda-tanda septikemia. Idealnya, manajemen dini faktor-faktor risiko
harus dilakukan sebelum dimulainya kemoterapi atau timbulnya neutropenia. Namun,
masalah gigi sering dikenali setelah timbulnya leukemia dan karena itu, dalam keadaan
pansitopenia.
11
hiperemis yang berdekatan dengan jumlah leukosit polimorfonuklear yang bervariasi.17
Dalam kasus ini, leukosit polimorfonuklear (PMN) akan jarang atau kurang. Koloni besar
mikroorganisme sering dicatat.
12
Dalam kasus-kasus tertentu di mana retensi gigi diinginkan, operkectectomy dan
debridement dengan atau tanpa osseous recontouring adalah alternatif yang
memungkinkan.
GAMBAR 3. Foto intraoral mandibula kiri molar ketiga setelah resolusi gejala oral.
Operculum distal telah mengalami kemunduran dan menguatkan jaringan gingiva yang
melekat.
KESIMPULAN :
13
Para penulis menyimpulkan bahwa pencabutan gigi yang dilakukan sebelum
kemoterapi atau BMT tidak memiliki dampak negatif pada keseluruhan hasil medis. 21
Kesimpulan penulis berdasarkan pada hari rawat inap tanpa mempertimbangkan
ARONOVICH aksi untuk kualitas hidup. Selain itu, harus dicatat bahwa pasien yang
mengalami komplikasi dari pencabutan gigi memiliki tingkat kematian tertinggi, 4 dari 9
meninggal dalam masa studi. Karena penelitian ini memeriksa pasien dengan berbagai HM
dengan profil hematologi yang tidak ditentukan, hasilnya tidak dapat digeneralisasi untuk
kelompok pasien tertentu. Tentu saja, perawatan bedah versus non-bedah terbuka untuk
diperdebatkan dan seringkali tergantung pada profil hematologi pasien dan tingkat
keparahan penyakit mulut yang terjadi bersamaan
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk meninjau 2 proses penyakit yang
terpisah, ALL dan pericoronitis, karena mereka terkait satu sama lain dalam kasus khusus
ini. Selain itu, kasus ini berfungsi untuk mengingatkan kita bahwa setiap pasien harus
dievaluasi secara menyeluruh dan tanda atau gejala abnormal seperti pendarahan gingiva
yang berlebihan atau tanda sistemik yang tidak biasa lainnya harus menimbulkan "bendera
merah" dalam pikiran dokter. Kasus ini juga menggaris bawahi kebutuhan untuk
meningkatkan kesadaran di antara dokter anak, ahli hematologi, dan ahli onkologi, bahwa
setiap pasien yang didiagnosis dengan HM membutuhkan pemeriksaan gigi menyeluruh
dalam pengembangan rencana perawatan keseluruhan.
14
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
a. Perikoronitis adalah pembengkakan merah pada jaringan lunak yang mengelilingi
mahkota gigi yang baru sebagian tumbuh (erupsi).
b. Penyebab perikoronitis yang paling umum adalah makanan, bakteri, dan plak yang
terjebak dalam celah antara jaringan gingiva dan gigi yang belum erupsi sempurna.
c. Proses inflamasi pada perikoronitis terjadi karena terkumpulnya debris dan bakteri di
saku gusi perikoronal gigi yang sedang erupsi atau impaksi. Akumulasi plak dari sisa-
sisa makanan di saku gusi tersebut susah dibersihkan, kemudian berkoloni dan
tumbuh subur pada celah perikoronal tersebut.
d. Perikoronitis terbagi menjadi perikoronitis akut, perikoronitis sub akut dan
perikoronitis kronis.
e. Komplikasi Perikoronal abses, Disfagia, Trismus, toksik sistemik, Pembesaran
kelenjar getah bening submaxilla, servikal posterior, deep cervical, dan retrofiring
f. Pencegahan perikoronitis dapat dilakukan dengan pemakaian sikat gigi, pasta gigi,
dan dental floss.
g. Perawatan pada pasien perikoronitis bisa dilakukan dengan debridemen dan drainase
dari perikoronal pocket atau jika gigi yang terkena nonfungsional bisa dilakukan
ekstraksi.
15
4.2. Saran
Sebaiknya masyarakat selalu menjaga oral hygiene sehingga terhindar dari
macam-macam penyakit rongga mulut termasuk perikoronitis. Jika sudah terasa ada
gejala-gejala seperti nyeri segera memeriksakan giginya ke dokter gigi agar tidak semakin
parah sehingga perawatannya pun semakin komplek.
16