Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah
mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang
hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah
pemikiran, lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal dari Yunani dan Barat
ketimbang dari Islam.
Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan
seperti seperti al-Ghazali, Ibnu Thufayl, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina dianggap
brilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan
tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Hal ini dikarenakan beberapa ulama dan
sarjana kita, tampaknya kurang tertarik untuk mengkaji dan mengkomentari sejumlah
karya-karya ulama dan cendekiawan muslim terdahulu yang karyanya monumental
dan susah dicari tandingannya.
Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan
dalam ranah filsafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu Thufayl yang merupakan
tokoh filosof muslim Neo-Platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya
yang sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Al-Muwahidin.
Ibnu Thufayl memberikan gambaran tentang sebuah simpul social, yang mengubah
urutan situasi pikiran dari ketiadaan panca indera menuju kepada isolasi budaya.
Tujuan utama Ibnu Thufayl adalah untuk menunjukkan apa yang dapat ditemukan
oleh intelejensia manusia tanpa adanya bantuan dari pihak di luar dirinya yang
bersifat ketuhanan, yang menanamkan pengetahuan – penerimaan mengenai ide-ide
dan kecenderungan untuk secara aktif melakukan pencarian seperti yang telah
ditegaskan al-Ghazali terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dilakukan oleh
Aristoteles dengan menyusun sebuah premis ketika dia mengawali bukunya,
Metaphysics, dengan kata-kata, “seluruh manusia secara naluri ingin mencari tahu”.

1
Ibnu Tufail berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada
dalam tingkat mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya
sebagai orang panties yaitu orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara
dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga
Al Gazali , merasa telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi seperti katanya:
”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil khobari.”
(terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia sebagai suatu
kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas timbul permasalahan yang perlu dibahas dalam
makalah ini, sebagaimana berikut :
1. Bagaimana sejarah hidup Ibnu Thufail ?
2. Apa saja karya-karya Ibnu Thufail ?
3. Bagaimana pemikiran atau ajaran filsafat Ibnu Thufail ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah perjalan hidup Ibnu Thufail
2. Untuk mengetahui apa saja karya-karya Ibnu Thufail
3. Untuk mengetahui pemikiran dan filsafat yang dianut oleh Ibnu Thufail

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Thufail


Nama lengkap Ibnu Thufail (506 H-581 H/ 1110 M-1185 M)1 adalah Abu
Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail. Dia merupakan
pemuka besar pertama pemikiran filsufis Muwahhid di Spanyol. Di Eropa dia
terkenal dengan nama Abu bacer.2 Ibnu Thufail dilahirkan di Wadi Asy dekat
Granada pada tahun 506 H/ 1110 M.3 Dia merupakan murid Ibnu Bajjah. Selama
studi, Ibnu Thufail giat mempelajari ilmu kedokteran dan filsafat di Seville dan
Cordova.4
Dia memulai karirnya sebagai dokter praktik di Granada dan lewat
ketenarannya dalam jabatan itu, dia diangkat menjadi sekretaris gubernur di propinsi
Granada. Kemudian pada tahun 549 H/1154 M, dia menjadi sekretaris pribadi
Gubernur Ceuta dan Tangier, putra Abdul al-Mu’min, penguasa Muwahhidin
Spanyol pertama yang merebut Maroko pada tahun 542 H/1147 M. Akhirnya, Thufail
menduduki jabatan dokter tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan serta wazir khalifah
Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H/1163 M-580 H/1184 M).
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh
yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu
pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan
berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran
filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat
kelahiran kembali negeri Eropa”

1
Yusuf suyono, Bersama Ibn Rush menengahi filsafat & ortodoksi (Semarang:Walisongo
Press, 2008), hlm. 53.
2
Ahmad fuad al-ahwani, FILSAFAT ISLAM (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm.102.
3
Poerwantana dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA,
1991), hlm.192.
4
Maftukhin, Filsafat Islam (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 180.

3
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah
pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu
digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap
mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581
H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir
dalam upacara pemakamannya.5
Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail dikenang dalam
sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn Tofail berjudul “ ‫حي بن‬
‫ ”يقظان‬Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”), di Barat dikenal sebagai:
Philosophus Autodidactus) telah menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah
sebagai salah satu karya paling berharga yang pernah ada di bidang filsafat.
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak terpengaruh filsafat Plato.
Pemikhran-pemikiran filosofis Ibnu Thufail ketika menulis buku ini telah mencapai
taraf yang paling matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel
alegori sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara akal dan agama dalam
pencarian kebenaran hakiki.
Sebagaimana filosof-filosof muslim, Ibnu Thufail juga memiliki disiplin ilmu
dalam berbagai bidang. Selain sebagai seorang filosof, ia juga ahli dalam ilmu
kedokteran, matematika, astronomi, dan penyair yang sangat terkenal dari Dinasti Al-
Muwahhid di Spanyol.6 Ibnu Thufail juga dikenal sebagai filsuf muslim yang gemar
menuangkan pemikiran kefilsafatannya melalui kisah-kisah yang penuh kebenaran.7
Ibnu Thufail tidak sedikit jasanya dalam merangsang kemajuan ilmu
pengetahuan. Banyak diantara kaum ilmuan berkat dia, bias menjadi peserta diskusi
“tingkat istana” dan mendapat fasilitas dari raja. Dialah yang mendorong Ibnu Rusyd

5
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 272.
6
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Jakarta:PT Raja Grafindo, 2004), hlm. 205.
7
Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah (Jogjakarta:IRCiSoD,
2014), hlm. 254.

4
untuk mengembangkan kariernya dalam bidang ilmiyah. Ibnu Thufai8l
mengembuskan napas terakhir di Maroko pada tahun 1185 M dan dimakamkan di
sana.9

B. Karya-karya Ibnu Thufail


Semua karya filosof Ibnu Thufail tidak ada lagi yang masih tinggal di tangan
kita selain Hayyu bin Yaqdzan, sebuah buku yang sangat terkenal dikalangan bangsa
Arab maupun bangsa-bangsa Latin (Eropa). Buku tersebut diterjemahkan oleh
seorang orientalis Inggris bernama Pocock pada abad ke-17 M. dewasa ini buku
tersebut telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa seperti Spanyol, Perancis,
Inggris dan Jerman.
Risalah (buku) Hayyu bin Yaqdzan yang ditulis oleh Ibnu Thufail
sesungguhnya berisi berbagai rumus filsafat yang disampaikan dengan
lambangHayyu bin Yaqdzan adalah lambang akal fikiran, sedangkan teman-temannya
melambangkan selera, syahwat, perasaan marah dan tabiat-tabiat lainnya yang lazim
ada pada manusia. Dia menyusun risalah itu dalam bentuk hikayat. Dalam
mukadimahnya Ibnu Thufail menjelaskan tujuan buku yang ditulisnya, yaitu
menyaksikan kebenaran (al-haqq).10

C. Pemikiran Ibnu Thufail


Risalah Hayyu bin Yaqdzan tersebut secara simbolis memuat pemikiran
filsafat Ibnu Thufail yang meliputi berbagai aspek.
1. Tentang Tuhan
Alam ini ada penciptanya, yang tiada lain adalah Tuhan. Dia yang
mengeluarkan dari “ketiadaan” ke maujud (creatia ex nihili) dan tidak

Asmal May – Eri Ikhsan, Pengembangan Pemikiran Pendidikan Filsafat Islam,


8

(Pekanbaru:Suska Press, 2019), hlm. 88.


9
Supriyadi dedi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2009), hlm.212.
10
Ahmad fuad al-ahwani, Op.cit., hlm.103-104.

5
mungkin keluar (tercipta) dengan sendirinya. Dari itu pasti ada pelaku
penciptaan tersebut. Pelaku ini tidak diketahui dengan indera, sebab bila
diketahui dengan indera berarti ia berupa materi (bendawi). Kalau berupa
materi, berarti masih merupakan elemen dari alam dan itu tentunya
diciptakan. Dengan demikian memerlukan pencipta. Andaikata pencipta
kedua juga berupa materi, tentu juga membutuhkan pencipta ketiga, keempat,
dan seterusnya. Bila demikian, maka terjadi tasalsul. Proses seperti ini berarti
absurd, tidak dapat diterima akal sehat.
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu
pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta
bersifat immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia
diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain anggapan bahwa Tuhan bersifat
material akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah
musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak
berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat
mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi
hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.11
Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertama
dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti
pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan
dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum
adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu
contoh, jika kau pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan
tanganmu, maka benda itu tak gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak
tangan itu, jadi gerak itu bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan
mendahului gerak benda dalam esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak
tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling mendahului.

11
Mustofa, Op.cit., hlm.276

6
Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu
Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah suatu
yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai
cahaya yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan,
sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini
sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya
sendiri yang tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur
sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari penentuan.
Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya
merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangsung
dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai dengan
kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan
penerangan dan pengejawantahan kekal.12
Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail
menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah
satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal
yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu
akan sampai kepada Tuhan.
Gambaran sifat-sifat Tuhan adalah Tuhan itu jauh dari sifat
kekurangan, karena kekurangan itu sendiri tidak lain kecuali “ketiadaan
murni” (adam al-mahd) atau yang berkaitan dengan ketiadaan dan bagaimana
mungkin “ketiadaan” tergantung pada wujud murni (wujud al-mahd) yang
wajib wujudnya dengan zatnya, yang memberikan ada kepada setiap yang
wujud. Dari itu tidak ada wujud selain Dia. Dialah Maha Wujud, Dialah
kesempurnaan, Dialah kebaikan, Dialah pengetahuan dan Dialah sumber
segala yang wujud. (Q.S. al-Qasas:88).13

12
Ibid, hlm. 277.
13
Maftukhin, Op.cit., hlm.186-188

7
2. Tentang Dunia (kosmologis)
Pertama, apabila alam ini diyakini kekal, maka akan menimbulkan
kontradisi yang banyak, dengan alasan bahwa tidak mungkin wujud sesuatu
yang tidak ada akhirnya tidak mungkinnya wujud materi yang tidak ada lepas
dari penciptaan, dan tidak mungkin mendahului penciptanya, berarti
diciptakan. Kedua, apabila diyakini bahwa alam ini baru (diciptakan), maka
akan timbul masalah lain, karena pengertian baru setelah tiada tidak mungkin
dipahami kecuali bahwa didahului oleh waktu, sedang itu sendiri adalah
bagian dari alam dan tidak terpisah. Oleh karena itu tidak dapat dipahami
bahwa alam ini datang sesudah adanya waktu. Namun Ibnu Thufail dalam
pernyataannya menegaskan bahwa apabila alam ini baru diciptakan, berarti
pasti ada yang menciptakan tidak dari dulu.
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau
diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat
Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi
masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut
salah satu doktrin saingannya, dan tidak berusaha mendamaikan mereka. Di
lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-
sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas
yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak
terbatas. Eksistensi seperti itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang
diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu,
dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta
secara lambat laun. Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat
mempertahankan penelitiannya yang seksama.14
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan
mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa

14
Mustofa, Op.cit., hlm.275.

8
anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri
merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu
kemaujudan dunia di kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti
membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang pencipta menciptakan
dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang
terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk
membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu
perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan
terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik
pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.

3. Tentang Akal dan Wahyu


Pandangan Ibnu Thufail mengenai kedudukan akal dan wahyu ia
tampilkan dalam risalah Hayyu bin Yaqdzan yang hanya menggunakan rasio
dalam memahami realitas kehidupannya, mengambil konsep-konsep yang
tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan informasi wahyu yang dibawah
oleh Asal sang “teolog”. Apa yang diperintahkan oleh syari’at Islam dan apa
yang diketahui oleh akal sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan
dan keindahan dapat tertemu dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
Dengan kata lain, hakikat kebenaran yang dilakukan oleh filsafat sejalan
dengan apa yang ada dalam wahyu.

4. Tentang Epistemologi
Bagi Ibnu Thufail, pengalaman merupakan suatu proses pengenalan
lingkungan melalui indera. Organ-organ indera berfungsi berkat jiwa yang ada
dalam hati. Dari situ berbagai data indera yang kacau mencapai otak yang
menyebarkan ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf, yang selanjutnya diproses
menjadi kesatuan persetif.

9
5. Tentang Derajat Intelektual
Pada tokoh pelaku dalam risalah Hayyu bin Yaqdzan oleh Ibnu Thufail
dimaksudkan sebagai symbol keanekaragaman derajat intelektual manusia.
Mereka terbagi dalam tidak kelompak utama, yaitu: (1) filosof, yang dalam
cerita itu diperankan oleh Hayyu bin Yaqdzan, yang memperoleh kebenaran
dari perenungannya atas realitas alam; (2) agamawan, yang dalam cerita
diperankan oleh Asal, yang berpegang dengan wahyu dalam beragama; (3)
masyarakat awam, yang dalam cerita diperankan oleh Salman dan masyarakat.
Mereka dalam beragama hanya berdasarkan tradisi dan taqlid, serta menerima
agama hanya dalam bentuk zahirnya saja.15

6. Tentang kosmologi cahaya


Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa
kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu
dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap
berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada
prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada
cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke
yang lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan. semua itu merupakan
pantulan matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu
sendiri, bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cermin itu.
Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari
kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat dicermin,
yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada
cahaya pertama serta perwujudannya di dalam kosmos.16

7. Epistemology Pengetahuan

15
Maftukhin, Op.cit., hlm.188-191.
16
Mustofa, Op.cit., hlm. 277.

10
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong,
imaji tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya
tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka
keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal
semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-
tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan
exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam
memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa.
Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan
untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan
nalar, disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain
membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.17
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat
indera. Organ-organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewan yang ada di dalam
hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak menyebarkanya
ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur
yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang
oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan pembedaannya,
dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda
ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima
bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-
fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah dapat
dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu
tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak
muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak

17
Ibid, 278

11
ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab
tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.
Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat Hume, Ibnu
Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bias mendatangkan
pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir dalam
skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan
sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi
oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu
Thufail sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah
mengemukakan terlebih dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat
ketidakmampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-teki mengenai kekekalan
dan penciptaan sementara dunia ini, juga ketidakmampuan akal induktif untuk
menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat, dan akhirnya
menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat pernyataan bersama Al
Ghazali bahwa rangkaian sebab akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan
keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang
membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini,
kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat
dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa
menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau
didengar telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan
atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat,
didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa
dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu
lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu

12
pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah
sama.18

8. Etika atau Akhlak


Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi
non-bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan
Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek
sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa
dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi
kebutuhan tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari
cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan
jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan
tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas
esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki
jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya
tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat
Tuhan baik yang positif maupun yang negative, yaitu pengetahuan,
kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan
sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan
demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial.
Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya
membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi
sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.19

18
Ibid, 279
19
Ibid, 279-280

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik
bin Muhammad bin Thufail. Dia merupakan pemuka besar pertama pemikiran filsufis
Muwahhid di Spanyol. Di Eropa dia terkenal dengan nama Abubacer. Ibnu Thufail
dilahirkan di Wadi Asy dekat Granada pada tahun 506 H/ 1110 M. Ibnu Thufayl
mengembuskan napas terakhir di Maroko pada tahun 1185 M dan dimakamkan si
sana. Semua karya filosof Ibnu Thufail tidak ada lagi yang masih tinggal di
tangankita selain Hayyu bin Yaqdzan. Pemikiran Ibnu Thufail diantaranya mengenai
tentang Tuhan, dunia (kosmologi), akal dan wahyu, epistemology, derajat intelektual
manusia.

B. Saran
Syukur Alhamdulillah demikian makalah yang dapat kami susun. Dalam
penyusunan makalah ini kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan.Untuk
itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah kami ini dan berikutnya.Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.Amin.

14
DAFTAR PUSTAKA

May,Asmal. 2019.Pengembangan Pemikiran Pendidikan Filsafat Islam. Pekanbaru :


Suska Press.
Al-ahwani,Ahmad fuad.1995.Filsafat Islam.Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dedi,Supriyadi.2009.Pengantar Filsafat Islam.Bandung:CV PUSTAKA SETIA.
Maftukhin.2012.Filsafat Islam.Yogyakarta:Teras.
Murtiningsih,Wahyu.2014.Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah.
Jogjakarta:IRCiSoD.
Mustofa.1997.Filsafat Islam.Bandung:Pustaka Setia.
Poerwantana dkk.1991.Seluk-Beluk Filsafat Islam.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Suyono,Yusuf.2008.Bersama Ibn Rush menengahi filsafat & ortodoksi.Semarang:
Walisongo Press.
Zar, Sirajuddin. 2004.Filsafat Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo.

15

Anda mungkin juga menyukai