Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI II

PERCOBAAN 5
PENGUJIAN ANTISEPTIK ATAU DESINFEKTAN

Disusun oleh :
Kelompok 5 / Shift A

Irham Rahman Hakim 10060316027


Ocha Nadia Pertiwi 10060316028
Faradhya Annisa Prameswari 10060316030
M. Zandan Firmansyah 10060316031
Susmawati 10060316032

Asisten Dosen : Sopiah Gunawan, S.Farm

Tanggal Praktikum : Selasa, 26 Februari 2019


Tanggal Penyerahan : Selasa, 5 Maret 2019

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT D


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2019 M / 1440 H
PERCOBAAN 5
PENGUJIAN ANTISEPTIK ATAU DESINFEKTAN

I. TUJUAN
1. Menjelaskan perbedaan antara antiseptic, desinfektan, dan antibiotic.
2. Menjelaskan perbedaan prinsip pengujian antiseptic.
3. Menjelaskan perbedaan prinsip dan kegunaan pengujian metode kontak
(koefisien fenol) dengan metode difusi agar.
II. PENDAHULUAN

Antimikroba adalah suatu bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan


metabolisme mikroorganisme. Pemakaian bahan antimikroba merupakan suatu
usaha untuk mengendalikan bakteri maupun jamur, yaitu segala kegiatan yang
dapat menghambat, membasmi, atau menyingkirkan mikroorganisme. Tujuan
utama pengendalian mikroorganisme untuk mencegah penyebaran penyakit dan
infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah
pembusukan dan perusakan oleh mikroorganisme. Ada beberapa hal yang harus
dipenuhi oleh suatu bahan antimikroba, seperti mampu mematikan
mikroorganisme, mudah larut dan bersifat stabil, tidak bersifat racun bagi manusia
dan hewan, tidak bergabung dengan bahan organik, efektif pada suhu kamar dan
suhu tubuh, tidak menimbulkan karat dan warna, berkemampuan menghilangkan
bau yang kurang sedap, murah dan mudah didapat (Pelczar dan Chan, 1988).
Antiseptik adalah zat yang biasa digunakan untuk menghambat
pertumbuhan dan membunuh mikroorganisme berbahaya (patogenik) yang terdapat
pada permukaan tubuh luar mahluk hidup. Secara umum, antiseptik berbeda dengan
obat-obatan maupun disinfektan. Obat-obatan seperti antibiotik misalnya,
membunuh mikroorganisme secara internal, sedangkan disinfektan berfungsi
sebagai zat untuk membunuh mikroorganisme yang terdapat pada benda yang tidak
bernyawa(Waluyo, 2005).
Diantara zat antiseptik yang umum digunakan diantaranya adalah alkohol,
iodium, hidrogen peroksida dan asam borak. Kekuatan masing-masing zat
antiseptik tersebut berbeda-beda.Kekuatan suatu zat antiseptik biasanya dinyatakan
sebagai perbandingan antara kekuatan zat antiseptik tertentu terhadap kekuatan
antiseptik dari fenol (pada kondisi dan mikroorganisme yang sama), atau yang lebih
dikenal sebagai koefisien fenol (coefficient of phenol). Fenol sendiri, pertama kali
digunakan sebagai zat antiseptik oleh Joseph Lister pada proses
pembedahan(Waluyo, 2005).
Beberapa antiseptik merupakan germisida, yaitumampu membunuh
mikroba, dan ada pula yang hanya mencegah atau menunda pertumbuhan mikroba
tersebut. Antibacterial adalah antiseptik hanya dapat dipakai melawan
bakteri.Pembersih tangan merupakan salah satu produk antiseptik.Dalam
pembuatan pembersih tangan ini digunakan alkohol (etanol) dari kulit pisang,
karena alkohol mempunyai potensi sebagai antiseptik yang cukup optimal pada
kadar 70%(Waluyo, 2005).
Desinfektan adalah zat kimia yang mematikan sel vegetatif belum tentu
mematikan bentuk spora mikroorganisme penyebab suatu penyakit. Arti lain
desinfektan adalah bahan yang digunakan untuk melaksanakan disinfeksi, terutama
untuk benda-benda mati. Kata ini sinonim dengan zat antiseptik, namun digunakan
untuk mikroorganisme yang kontak dengan tubuh tanpa mengakibatkan kerusakan
besar pada jaringan Desinfektan digunakan untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada benda-benda mati seperti meja, lantai, objek glass dan lain-
lain. Kelompok utama desinfektan adalah fenol, alkohol, aldehid, halogen, logam
berat, detergen, dan kemosterilisator gas. Cara kerja zat-zat kimia dalam mematikan
atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme berbeda-beda antara lain dengan:
merusak dinding sel, mengubah permeabilitas sel, mengubah molekul protein dan
asam amino yang dimiliki mikroorganisme, menghambat kerja enzim, menghambat
sintesis asam nukleat dan protein, serta sebagai antimetabolit (Waluyo, 2005).
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang
mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam
organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika
khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam
bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap
mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau
memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri.
Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Antibiotika dapat
digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya
(Mycek, 2000).
Koefisien fenol adalah kemampuan desinfektan untuk membunuh bakteri
dibandingkan dengan fenol. Uji fenol adalah membandingkan aktivitas antimikroba
dari komponen-komponen kimia dengan fenol sebagai standar uji. Pengenceran
desinfektan secara bertahap dan fenol ditempatkan dalam tabung reaksi steril, kultur
murni bakteri yang digunakan sebagai standar ditambahkan pada setiap tabung.
Bakteri itu tersbut dimasukan pada setiap tabung dengan interval waktu 5, 10, dan15
menit. Semua subkultur dieramkan pada suhu 37O selama48 jam dilihat
kekeruhanya. Pada prinsipnya uji koefisien fenol merupakan Perbandingan
aktivitas fenol dengan pengenceran baku terhadap aktivitas sampel dengan
pengenceran tertentu MIC (konsentrasi terendah dimana pertumbuhan bakteri
terhambat) suatu antiseptik terhadap bakteri tertentu. Metode pegenceran bertingkat
dengan mengurangi konsentrasi zat sebanyak setengah dari konsentrasi awal
dengan volume yang sama. Metode turbidimetri Menentukan takaran dengan
melihat kekeruhan yang terjadi setelah percobaan dilakukan V1 C1 = V2 C2. Hasil
kali konsentrasi dengan volume senyawa yang semula digunakan adalah sama
dengan hasil kali konsentrasi senyawa tersebut dalam volume setelah pengenceran.
Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 8,3 gram/100 ml. Fenol
memiliki sifat yang cenderung asam, artinya dapat melepaskan ion H+ dari gugus
hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O− yang
dapat dilarutkan dalam air (Aditya, 2009). Dibandingkan dengan alkohol alifatik
lainnya, fenol bersifat lebih asam. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan fenol
dengan NaOH, di mana fenol dapat melepaskan H+. Pada keadaan yang sama,
alkohol alifatik lainnya tidak dapat bereaksi seperti itu. Pelepasan ini diakibatkan
pelengkapan orbital antara satu-satunya pasangan oksigen dan sistem aromatik,
yang mendelokalisasi beban negatif melalui cincin tersebut dan menstabilkan
anionnya. Fenol didapatkan melalui oksidasi sebagian pada benzena atau asam
benzoate dengan proses Raschig, Fenol juga dapat diperoleh sebagai hasil dari
oksidasi batu bara. Fenol dapat digunakan sebagai antiseptik seperti yang
digunakan Sir Joseph Lister saat mempraktikkan pembedahan antiseptik. Fenol
merupakan komponen utama pada anstiseptik dagang, triklorofenol atau dikenal
sebagai TCP (trichlorophenol). Fenol juga merupakan bagian komposisi beberapa
anestitika oral, misalnya semprotan kloraseptik (Aditya, 2009).
Fenol berfungsi dalam pembuatan obat-obatan (bagian dari produksi
paspirin, pembasmi rumput liar, dan lainnya. Fenol yang terkonsentrasi dapat
mengakibatkan pembakaran kimiawi pada kulit yang terbuka. Penyuntikan fenol
juga pernah digunakan pada eksekusi mati. Penyuntikan ini sering digunakan pada
masa Nazi, Perang Dunia II. Suntikan fenol diberikan pada ribuan orang di kemah-
kemah, terutama di Auschwitz-Birkenau. Penyuntikan ini dilakukan oleh dokter
secara penyuntikan ke vena (intravena) di lengan dan jantung. Penyuntikan ke
jantung dapat mengakibatkan kematian langsung (Aditya, 2009).

III. BAHAN DAN ALAT


Bahan Alat
Alumunium Foil Bunsen
Aquadest Cawan petri
Benang Kasur Erlenmeyer
Eschericihia Coli Jarum ose
hibiscrub Lidi kapas
Infusa daun sirih Neraca Analitik
Kapas berlemak Penggaris
Nutrien Agar Pipet ukur 1 mL
Staphylococcus aureus Pipet ukur 10 mL
Tabung Reaksi
IV. PROSEDUR
4.1 Persiapan Praktikum
Alat dan bahan disterilkan, dibuat infusa daun sirih 10% dan 20% lalu dibuat
suspensi bakteri.
4.2 Hari Praktikum
Disiapkan 1 tabung reaksi dan disiapkan media agar sebanyak 15 mL dalam
cawan petri sebanyak 6 buah dan diberi nama (t15 detik, t30 detik, t45 detik, t60
detik, t75 detik dan t90 detik). Dibuat suspensi bakteri dalam aquadest steril
kemudian dimasukkan larutan uji kel.5 sebanyak 5 mL kedalam tabung reaksi.
Lalu, ditambahkan 1 tetes biakan bakteri E.coli ke dalam tabung tersebut , kocok
sampai tercampur merata. Dicatat waktu ketika mulai menenteskan bakteri dengan
teknik steril pada interval 15, 30, 45, 60, 75, dan 90 detik, dimasukkan jarum ose
steril ke dalam tabung dan dioleskan ke permukaan agar dalam cawan petri.
Diinkubasi seluruh biakan dalan cawan petri pada suhu 370C selama 18-24 jam dan
dilakukan pengujian yang sama untuk standar.
V. DATA PENGAMATAN

Pertumbuhan pada cawan petri (detik)


kelompok
15 30 45 60 75 90
1 + - + - - -
2 +++ ++ + + ++ +
3 +++ ++ + + + +
4 + + + + + +
5 ++ ++ + - - -
6 +++ ++ + + + +++
7 - - - - - -

Keterangan :

- : tidak ada pertumbuhan


+ : ada pertumbuhan
++ : banyak pertumbuhan
+++ : sangat banyak pertumbuhan

Kelompok 1A
Kelompok 2A

Kelompok 3A
Kelompok 4A

Kelompok 5A
Kelompok 6A

Kelompok 7A
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan kombinasi antibiotika yang
bertujuan unutk memperoleh gambaran mengenai efek yang terjadi bila dua
antibiotika dikombinasi secara in vitro dan untuk menentukan efek kombinasi yang
terjadi dengan menggunakan dua metode, yaitu dengan metode pita kertas dan
metode sumur. Pada metode pita kertas, antimikroba akan berdifusi dari pita ke
medium padat (inokulum) sehingga akan menghambat pertumbuhan mikroba
berupa daerah bening yang luasnya bergantung pada konsentrasi antibiotika,
potensi antibiotika. Efek kombinasi ditunjukkan dengan terbentuknya daerah
hambatan yang spesifik disekitar daerah pertemuan dari masing-masing antibiotika.
Sedangkan pada metode sumur, efek kombinasi digambarkan dengan mengamati
diameter hambatan yang terdapat disekitar sumur dan membandingkan antara
antibiotika kombinasi dengan antibiotika tunggal.
Langkah awal sterilisasi alat-alat dan media dilakukan guna memastikan alat
dan media telah benar-beenar dalam keadaan bebas bakteri atau mikroorganisme
yang dapat mengganggu hasil pengamatn. Metode sterilisasi yang dipilih adalah
panas lembab menggunakan autoklaf. Teknik ini dipilih karena dinilai lebih efektif
untuk membunuh mikroba lebih baik dengan waktu yang relatif cepat yaitu 15
menit dengan suhu 121˚C dan dibantu dengan adanya tekanan uap air. Bakteri yang
digunakan dalam percobaan kali ini adalah Staphylococcus aureus yang merupakan
bakteri gram positif, dan Escherichia coli yang merupakan bakteri gram negatif.
Pada pengujian kombinasi antibakteri dengan pita kertas, cawan petri diisi
ddngan suspensi bakteri lalu dimasukkan media nutrient agar (NA). sebelum
digunakan, NA dicairkan terlebih dahulu dengan cara dipanaskan sampai suhu ±45-
53˚C. Dibuat demikian karena suhu tersebut dinilai dapat mencairkan media
sehingga mudah dicetak, namun juga tidak terlalu panas sehingga menyebabkan
bakteri mati. Kemudian cawan petri diputar agar suspensi bakteri dan media agar
homogen. Antibiotika yang digunakan pada percobaan kali ini diantaranya adalah
ampisilin Na, kloramfenikol, dan tetrasiklin HCl.
Ampisilin merupakan antibiotik simisintetik yang stabil terhadap
asam/amidase tetapi tidak tahan terhadap enzim β-laktamase. Ampisilin bekerja
dengan cara mengikat protein spesifik pengikat penisilin (PBPs) yang berada di
dalam dinding sel bakteri. Senyawa ini menghambat tahapan ketiga dan terakhir
dalam proses pembentukan dinding sel bakteri, sehingga bakteri kesulitan
membentuk dinding sel. Antibiotik ini mempunyai keaktifan melawan bakteri gram
positif dan gram negatif, yang merupakan golongan bakterisid dengan spektrum
kerja luas (Muschler, 1991). Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum
kerja luas yang bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein pada bakteri.
Yang dihambat adalah enzim petidil transferase yang berperan sebagai katalisator
yang membentuk ikatan-ikatan peptide pada proses sintesis protein bakteri.
Kloramfenikol bersifat bakteiostatik yang dalam konsentrasi tinggi kadang-kadang
bersifat bakterisid terhadap bakteri-bakteri tertentu (Muschler, 1991). Sedangkan
tetrasiklin yang juga merupakan antibiotik spektrum luas, merupakan antibiotik
yang bersifat bakteriostatik bekerja dengan cara menghambat sintesis protein
bakteri. Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya
(Muschler, 1991).
Pada metode pita kertas diamati hambatan pertumbuhan pola sekitar pita
kertas yang dapat menunjukkan efek kombinasi antibakteri yaitu aditif, sinergis,
dan antagonis. Efek aditif terjadi jika kombinasi obat menghasilkan efek serupa.
Contoh dari efek aditif adalah kombinasi antar sesama bakteriostatik. Efek sinergis
terjadi jika dua antibiotik atau lebih diberikan secara bersamaan, obat yang satu
dapat memperkuat atau mempunyai efek lebih besar dari pada efek gabungan dari
kedua obat tersebut. Biasanya kombinasi antar sesama bakterisid. Sedangkan efek
antagonis terjadi jika kedua antibiotik dikombinasikan mempunyai kerja yang
berlawanan dan menghasilkan efek yang lebih kecil atau saling meniadakan,
sehingga kerja dari kedua antibiotik tersebut hilang. Kombinasi antibiotik yang dapt
menghasilkan efek kerja antagonis yaitu kombinasi bakterisid dan bakteriostatik.
Berdasarkan hasil pengamatan dari 7 kelompok yang dilakukan
menggunakan metode pita kertas dengan kombinasi antibiotik tetrasiklin dan
kloramfenikol diperoleh dua hasil efek sinergis pada bakteri S.aureus dan E.coli
yang memiliki zona bening disekitar pita kertas dengan zona bening lebih besar
dilekukan-lekukan pita kertas, dan satu hasil efek aditif pada bakteri S.aureus yang
menunjukkan zona bening mengikuti alur bentuk kedua pita kertas tersebut tanpa
adanya zona bening yang lebih besar pada lekukannya. Menurut Juasa (2013), efek
aditif, yaitu aksi gabungan, adalah sama dengan jumlah aksi kedua zat tersebut bila
bekerja sendiri-sendiri. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, efek aditif dapat
dihasilkan dari kombinasi kedua antibiotik yang bersifat bakteriostatik. Tetrasiklin
dan kloramfenikol keduanya merupakan antibiotik golongan bakteriostatik, dimana
jika keduanya dikombinasikan akan menghasilkan efek serupa. Tetrasiklin dan
kloramfenikol memiliki aktivitas kerja sama-sama menghambat sintesis protein
bakteri yang sama-sama akan menghambat pertumbuhan bakteri. Namun turut
dihasilkannya efek sinergis kali ini dapat disebabkan karena ketidaktelitian saat
mengamati zona bening, atau karena kekurangan dari metode pita kertas itu sendiri
dimana volume antibiotiknya tidak dapat diketahui dengan pasti apakah pita kertas
yang satu menyerap volume antibiotik yang sama dengan pita kertas lainnya.
Pada kombinasi antibiotika ampisilin dan kloramfenikol, di dapatkan hasil
efek aditif pada bakteri S.aureus yang memiliki zona bening mengikuti bentuk
lekukan pita kertas. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ampisilin bersifat
bakterisid dan kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Menurut Juasa (2013),
kombinasi bakterisid dan bakteriostatik akan menghasilkan efek kerja antagonis.
Antibiotik bakterisid bekerja pada bakteri yang sedang tumbuh sehingga kombinasi
dengan jenis antibiotik bakteriostatik akan memperlemah efek baketerisidnya.
Kloramfenikol menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga akan melumpuhkan
kerja ampisilin sebagai inhibitor sintesis dinding sel yang membutuhkan
pertumbuhan aktif mikroorganisme untuk dapat bekerja. Perolehan hasil yang
berbeda dengan literatur tersebut dapat disebabkan karena ketidaktelitian pada saat
pemipetan suspensi bakteri sehingga bakteri yang terdapat dalam cawan petri
cenderung sedikit yang menyebabkan antibiotik bekerja lebih baik dari seharusnya.
Atau sebaliknya, dapat terjadi karena pita kertas terlalu sedikit menyerap antibiotik
sehingga kadar salah satu antibiotik dalam cawan petri tidak terlalu banyak yang
menyebabkan efek saling meniadakan dari kedua antibiotik tersebut tidak terlalu
kuat. Hasil lain yang diperoleh yaitu menunjukkan efek yang tidak dapat ditentukan
pada bakteri E.coli karena hanya memiliki zona bening disekitar pita kertas yang
mengandung ampisilin, sedangkan pita kertas yang mengandung kloramfenikol
tidak menghasilkan zona bening sama sekali. Tidak terbentuknya zona bening
disekitar salah satu pita kertas, menunjukkan tidak adanya mekanisme kerja yang
dihasilkan antibiotik tersebut, yang dalam hal ini adalah kloramfenikol terhadap
E.coli. Hal ini kemungkinan terjadi seperti yang sudah dibahas sebelumnya, karena
volume antibiotik yang tidak dapat dipastikan, apakah mungkin pita tidak menyerap
antibiotik dengan baik. Dikarenakan semua pita direndam dalam tempat yang berisi
kloramfenikol yang sama, maka tidak dapat disimpulkan kloramfenikol mengalami
penurunan kualitas karena terbukti kloramfenikol menunjukkan daya hambat pada
cawan petri lain.
Yang terakhir, kombinasi antibiotik ampisilin dan tetrasiklin menghasilkan
efek kerja aditif terhadap kedua bakteri. Menurut jurnal penelitian oleh Juasa
(2013), kombinasi antibiotika ampisilin dengan tetrasiklin menghasilkan efek
antagonis. Kombinasi antibiotik jenis bakterisid dan bakteriostatik akan
memperlemah efek bakterisid karena antibiotik jenis bakterisid bekerja pada bakteri
yang sedang tumbuh, sehingga kombinasi keduanya akan merugikan. Diperolehnya
hasil yang bertentangan dengan literatur ini kemungkinan terjadi karena kesalahan
praktikan dalam menganalisis pengamatan, dan dapat pula disebabkan karena kadar
ampisilin yang digunakan berkurang atau pengerjaan yang dilakukan kurang aseptis
dilihat dari alat-alat dan media yang digunakan.
Pada pengujian kombinasi antibakteri dengan metode difusi sumur, aktivitas
antibiotika dilihat dengan membandingkan ukuran diameter hambat antara
kombinasi antibiotik dengan ukuran diameter hambat antibiotik tunggal, dimana
dua lubang/sumur dibuat pada media agar dalam cawan petri yang telah terisi
suspensi bakteri. Kemudian ke dalam lubang pertama dimasukkan kombinasi dua
jenis antibiotika yang berbeda dan pada lubang kedua dimasukkan antibiotika
tunggal. Bakteri yang digunakan tetap sama yaitu S.aureus dan E.coli.
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh bahwa pada kelompok 1
dengan menggunakan bakteri S.aureus dan kombinasi antibiotik tetrasiklin dan
kloramfenikol, diperoleh efek kerja sinergis. Hal ini ditunjukkan dengan diameter
zona hambat kombinasi antibiotik 2,85 cm yang jauh lebih besar dari pada
antibiotik tunggal kloramfenikol yang sama sekali tidak menghasilkan zona
hambat. Hasil serupa juga diperoleh dari kelompok 4 dengan menggunakan bakteri
E.coli yang turut menghasilkan efek sinergis dengan diameter hambat 3 cm, dan
antibiotik tunggal kloramfenikol yang sama sekali tidak menghasilkan zona
hambat, dan data kelompok 7 yang menghasilkan efek sinergis dengan diameter
hambat kombinasi antibiotik sebesar 2,5 cm dan diameter hambat antibiotika
tunggal kloramfenikol sebesar 2 cm. Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang
sebelumnya mengatakan bahwa kombinasi dua antibiotik bakteriostatik akan
menghasilkan efek kerja aditif yang ditandai dengan ukuran zona hambat yang
sama atau hampir sama dengan antibiotik tunggalnya.
Hasil yang diperoleh dari kelompok 2 dengan menggunakan bakteri
S.aureus dan kombinasi antibiotik ampisilin dan kloramfenikol menunjukkan efek
sinergis karena diameter hambat kombinasi antibiotika lebih besar daripada
diameter antibiotika tunggal ampisilin yaitu 3,05 cm dan 2,805 cm. Hal ini
bertentangan dengan literatur yang menyebutkan bahwa kombinasi antibiotika jenis
bakterisid dan bakteriostatik akan melemahkan efek bakterisidnya sehingga efek
kerja antibiotik menurun. Berbeda dengan hasil yang diperoleh dari kelompok 5
dengan menggunakan kombinasi antibiotik yang sama namun menggunakan
bakteri E.coli, yang tidak menunjukkan kerja dari kedua antibiotika dikarenakan
tidak adanya zona hambat disekitar sumur sehingga tidak dapat ditentukan efek
antibiotik tersebut terhadap bakteri yang digunakan.
Data pengamatan kelompok 3 dengan kombinasi antibiotik ampisilin dan
tetrasiklin terhadap bakteri S.aureus menunjukkan efek sinergis. Hal ini
ditunjukkan dengan diameter zona hambat kombinasi antibiotik 2,6 cm yang lebih
besar dari pada antibiotik tunggal tetrasiklin yang sama sekali tidak menghasilkan
zona hambat. Berbeda dengan data pengamatan yang diperoleh dari kelompok 6,
kombinasi antibiotik menghasilkan efek antagonis dimana diameter hambat yang
dihasilkan sebesar 2,75 cm yang mana lebih kecil daripada diameter antibiotik
tunggal tetrasiklin yaitu sebesar 3 cm. Hal ini menunjukkan hasil yang sejalan
dengan literatur dimana dikatakan bahwa kombinasi antibiotika jenis bakterisid
yaitu ampisilin dan bakteriostatik yaitu tetrasiklin, akan melemahkan efek
bakterisidnya sehingga efek kerja antibiotik menurun.
Dari seluruh data pengamatan yang diperoleh, beberapa hasil bertentangan
dengan literatur. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ketidaktelitian dalam
pemipetan baik suspensi bakteri yang menyebabkan bakteri lebih banyak didalam
capet ataupun antibiotika yang dipipet terlalu sedikit sehingga menghasilkan efek
kerja yang tidak sesuai. Sterilitas pengerjaan pun dapat mempengaruhi dimana
apabila pengerjaan yang kurang aseptis akan memperrbesar kemungkinan
kontaminasi.
VII. KESIMPULAN
1. Kombinasi antibiotika menghasilkan efek yang berbeda-beda tergantung
dari sifat dan mekanisme kerja dari antibiotika itu sendiri. Efek yang
ditimbulkan meliputi:
 Efek aditif: efek yang ditimbulkan dari kombinasi dua antibiotika
bakteriostatik menghasilkan efek yang sama.
 Efek sinergis: efek yang ditimbulkan dari kombinasi dua antibiotika
bakterisid, menghasilkan efek yang lebih besar daripada antibiotika
tunggal.
 Efek antagonis: efek yang ditimbulkan dari kombinasi antibiotika
bakterisid dan bakteriostatik, menghasilkan efek yang lebih kecil
daripada antibiotika tunggal.
2. Pada pengujian kombinasi antibiotika dengan metode pita kertas, dihasilkan
beberapa efek sebagai berikut:
Mikroba: Staphylococcus aureus
 Kelompok 1 (tertrasiklin HCl + kloramfenikol) = sinergis
 Kelompok 2 (ampisilin Na + kloramfenikol) = aditif
 Kelompok 3 (ampisilin Na + tetrasiklin HCl) = aditif
 Kelompok 7 (tertrasiklin HCl + kloramfenikol) = aditif
Mikroba: Escherichia coli
 Kelompok 4 (tertrasiklin HCl + kloramfenikol) = sinergis
 Kelompok 5 (ampisilin Na + kloramfenikol) = tidak dapat ditentukan
 Kelompok 6 (ampisilin Na + tetrasiklin HCl) = aditif
3. Pada pengujian kombinasi antibiotik dengan metode sumur dihasilkan
beberapa efek sebagai berikut:
Mikroba: Staphylococcus aureus
 Kelompok 1 (tertrasiklin HCl + kloramfenikol) = sinergis
 Kelompok 2 (ampisilin Na + kloramfenikol) = sinergis
 Kelompok 3 (ampisilin Na + tetrasiklin HCl) = sinergis
 Kelompok 7 (tertrasiklin HCl + kloramfenikol) = sinergis
Mikroba: Escherichia coli
 Kelompok 4 (tertrasiklin HCl + kloramfenikol) = sinergis
 Kelompok 5 (ampisilin Na + kloramfenikol) = tidak dapat ditentukan
 Kelompok 6 (ampisilin Na + tetrasiklin HCl) = antagonis
4. Kombinasi antibiotik yang baik dari hasil praktikum kali ini dan
dibandingkan dengan literatur adalah ampisilin Na dan kloramfenikol,
dengan catatan dosis kloramfenikol ditingkatkan. Hal ini dikarenakan
kloramfenikol dalam dosis yang lebih tinggi dapat bersifat bakterisid
sehingga bila dikombinasikan dengan ampisilin yang juga bersifat
bakterisid akan menghasilkan efek sinergis.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

Aditya, H. (2009). Mikrobiologi Farmasi Dasar. Jakarta: Pelita Ilmu.


Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C. (2001), Farmakologi Ulasan
Bergambar 2nd ed. H. Hartanto, ed., Jakarta, Widya Medika.
Waluyo, Lud. (2005). Mikrobiologi Lingkungan. Universitas Muhammadiyah
Malang.

Anda mungkin juga menyukai