Anda di halaman 1dari 7

Nama: Muhammad Arief Surachman

NIM: 1710313210035
Kelas: D
Jurusan: S1 Akuntansi

PAJAK PPH PASAL 24

 Pengertian PPh Pasal 24


Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat diperhitungkan
atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar negeri. Hal ini sesuai
dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh :

1. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
2. Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan


perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah pajak yang dibayarkan atau terutang di
luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam
negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam
tahun pajak yang sama.

Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan berapa besar
jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan diluar negeri dan pajak tersebut dapat
dikreditkan atau dikurangkan dari penghasilan yang ada didalam negeri sehingga menghindari
pengenaan pajak berganda.

 Subjek dan Objek PPh Pasal 24


Yang menjadi Subjek PPh Pasal 24 adalah: Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

Objek PPh pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.

 Penentuan Sumber Penghasilan PPh Pasal 24


Dalam menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan sebagai berikut:
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas
tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau sewa tersebut
bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara
tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau
berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah Negara tempat
lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.

 Penggabungan Penghasilan yang berasal dari luar negeri


Penghasilan kena pajak dalam formula tersebut tidak termasuk Pajak yang bersifat final
sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) UU PPh Penggabungan penghasilan yang berasal dari
luar negeri dilakukan sebagai berikut:

1. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut
2. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
3. untuk penghasilan berupa dividen sesuai Pasal 18 ayat 2 UU PPh dilakukan dalam tahun
pajak pada saat perolehan deviden tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan.

Jadi, Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan
seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut
berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka
seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya
penghasilan, atau dalam tahun pajak tetapi kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh
digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Pajak atas penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia
hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak.

 Besarnya Kredit Pajak Luar Negeri yang boleh dikreditkan


Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan hanya atas pajak yang langsung dikenakan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar negeri, dan setinggi tingginya
sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi
jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap
penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak, atau
setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas penghasilan Kena Pajak dalam hal
penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

Maksimum Kredit Pajak = Penghasilan LN x Pajak terhutang tahun berjalan

PKP

 Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri


Menurut Keputusan Menteri Keuangan (164/KMK.03/2002)

1. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan Pajak
Penghasilan yang terutang di Indonesia.
2. Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak
digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
3. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah
di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung menurut
perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau
maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di
dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan
Kena Pajak).
4. Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan PPh
Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
5. Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat
(1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan
penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
6. Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang
dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
7. Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan
permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan
a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
b. Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
c. Dokumen pembayaran PPh di luar negeri
d. Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib
pajak.
8. Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak
harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan
dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
9. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas
kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
10. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan
tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak
lainnya.

 Pengurangan/pengembalian pajak penghasilan luar negeri


Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di Luar
Negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada
kredit pajak Luar Negeri semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang
terutang atas seluruh penghasilan Wajib pajak dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan
atau pengembalian tersebut.

 Perubahan besarnya penghasilan luar negeri


Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus
melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dikumen
yang berkenaan dengan perubahan tersebut.

1. Jika karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang


mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih besar
daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang terutang di Luar Negeri
menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak penghasilan di Indonesia juga
kurang bayar. Sesuai dengan UU No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan tatacara
perpajakan, apabila WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan pajak yang terutang
menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah
pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT terakhir sampai dengan
tanggal pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
2. Apabila karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan pajak atas
penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam
SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar, yang akan mengakibatkan pajak
penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil, sehingga pajak penghasilan
menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib
pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

PAJAK PPH PASAL 25


 Pajak penghasilan pasal 25
Bagi pemilik usaha/pengusaha, baik usaha perorangan maupun badan usaha, salah satu ketentuan
pajak yang harus dipahami dengan baik adalah Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25). Pajak
yang satu ini memberi kemudahan pembayaran pajak penghasilan dengan cara diangsur. Dengan
begitu, Wajib Pajak tidak terlalu terbebani dengan ketentuan pajak terutang yang harus dilunasi
dalam waktu satu tahun. Inilah yang menjadi tujuan PPh Pasal 25 yang ingin bisa meringankan
beban Wajib Pajak.

Perhitungan PPh Pasal 25 dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam bentuk SPT Tahunan.
Karena sifatnya yang tahunan, penghitungan pajak akan didapat setelah adanya data penghasilan
selama satu tahun tersebut. Untuk skala perusahaan, penghasilan tersebut hanya bisa dibuat
setelah adanya laporan keuangan yang dilaporkan dalam tutup buku tahunan.

 Cara pembayaran PPh 25


Agar Wajib Pajak tidak terlalu terbebani dalam pembayaran pajak, ada peraturan yang
meringankan, yaitu dengan mekanisme PPh Pasal 25. Dalam PPh Pasal 25 dijelaskan bahwa
pembayaran pajak bisa diangsur atau dicicil di muka dengan pembayaran cicilan setiap bulan.
Tujuan dari PPh Pasal 25 ini sangat jelas, yaitu untuk menghindari pembayaran pajak sekaligus
pada akhir tahun pajak yang memberatkan. Meskipun demikian, pembayaran ini tetap harus
dilakukan sendiri dan tidak boleh diwakilkan.

 Ketentuan mengenai perhitungan PPh 25


Berdasarkan patokan umum yang sering digunakan, PPh pasal 25 dihitung berdasarkan data SPT
Tahunan pada tahun sebelumnya. Dengan ini, kita akan mengasumsikan bahwa penghasilan
tahun ini sama dengan tahun lalu. Tentu saja nantinya pasti ada selisih dan perbedaan dengan
kondisi sebenarnya pada tahun pajak terakhir. Jika nantinya ditemukan selisih kekurangan, selisih
tersebut dibayarkan sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan inilah yang dinamakan
dengan PPh Pasal 29. Sebaliknya, jika ada kelebihan bayar, kondisi ini dinamakan sebagai
restitusi dan wajib pajak bisa meminta kelebihan pembayaran atas pajak yang telah dibayarkan.
Besarnya PPh Pasal 25 bisa dihitung lewat cara di bawah ini.

 Cara Menghitung Besarnya PPh Pasal 25


Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan
Terutang sesuai dengan SPT Tahunan tahun sebelumnya dikurangi dengan kredit pajak (PPh
Pasal 21, 22, 23, dan 24) dibagi dengan 12 (atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak).

Adapun yang dimaksud kredit pajak (Pajak Penghasilan yang dipotong) dalam pasal-pasal di atas
adalah sebagai berikut.

PPh Pasal 21: Bagi yang memiliki NPWP, pembayaran kredit pajak sesuai dengan tarif (Pasal 17
Ayat 1) dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP.

PPh Pasal 22: Pungutan sebesar 100% bagi yang tidak memiliki NPWP.

PPh Pasal 23: potongan sebesar 15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah. Potongan
2% berdasarkan sewa, imbalan jasa, serta penghasilan lain.

PPh pasal 24: Pajak penghasilah yang dibayarkan di luar negeri dan boleh dikreditkan sesuai
ketentuan dalam pasal 24.

 Cara Menghitung PPh Pasal 25 Untuk Kondisi-Kondisi Tertentu


Kadang kala dalam perhitungan PPh Pasal 25, ada hal khusus, seperti penerbitan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB) hasil pemeriksaan, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, dan lain-
lain. Untuk itu, perhitungan PPh Pasal 25 mengikuti ketentuan sebagai berikut.

Besaran angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan batas waktu penyampaian SPT
sama besarnya dengan PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak pada tahun sebelumnya. Apabila
tahun pajak adalah tahun kalender (Januari–Desember), yang diartikan sebagai bulan-bulan
sebelumnya adalah bulan Januari–Februari. Sebagai contoh, jika PPh Pasal 25 jatuh pada bulan
Januari dan Februari 2012, PPh Pasal 25 sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2011.

Jika dalam tahun berjalan telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang
lalu, besaran angsuran pajak dihitung berdasarkan SKP yang baru diterbitkan. Dan itu akan
berlaku pada bulan berikutnya setelah SKP diterbitkan.
 Kebijakan mengenai tarif PPh 25
1. Wajib Pajak kategori Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)

Wajib Pajak OPPT adalah siapa saja yang menjalankan usaha penjualan barang (grosir
ataupun eceran) dan usaha jasa dengan satu tempat usaha atau lebih. Bagi OPPT, akan
dikenakan PPh Pasal 25 sebesar 0,75% x omzet bulanan pada tiap-tiap tempat usaha.

2. Wajib Pajak kategori Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT)


Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah sebagai berikut.
>Rp50 juta = 5%
Rp50 juta – Rp250 juta = 15%
Rp250 juta – Rp500 juta = 25%
>Rp500 juta = 30%

3. Wajib Pajak Badan


Untuk WP Badan, tarif yang dikenakan adalah PKP x 25% Tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh
seperti yang dijelaskan di atas dan Pasal 31 E UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan.

 Sanksi Keterlambatan
Wajib Pajak yang terlambat dalam membayar pajak akan dikenakan sanksi berupa bunga sebesar
2% per bulan. Keterlambatan dihitung mulai dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal
pembayaran. PPh Pasal 25 bisa memberikan dampak positif bagi pemilik usaha. Selain itu, disisi
lain, pemasukan sektor pajak dari PPh Pasal 25 ini cukup dominan dalam menambah pemasukan
negara. Dengan membayar pajak tepat waktu dan sesuai ketentuan, Anda turut serta membangun
iklim pertumbuhan usaha yang positif di tanah air.

Anda mungkin juga menyukai