Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular
yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypty dan atau Aedes albopictus.
Infeksi virus dengue ini dengan cepat menyebar luas ke sebagian besar
negaranegara Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang
tinggal di daerah tropis dan subtropis. Penyakit DBD kali pertama muncul pada
tahun 1968 di kota Surabaya dan Jakarta. Hingga saat ini masih menjadi masalah
kesehatan terhadap masyarakat dan endemik di berbagai negara di dunia (WHO,
2012).
DBD merupakan “Major Problem Diseases In The World” berdasarkan
angka kesakitan dan kematian akibat DBD yang masih tinggi. Menurut WHO,
angka kesakitan DBD dapat mencapai lebih kurang 50 juta jiwa manusia
dilaporkan lebh dari 100 negara di dunia yang terkena kasus DBD 2,5 miliar jiwa
(Taufiq, 2007).
Sumber data dari Kementerian Kesehatan (2012), jumlah penderita DBD
yang dilaporkan pada tahun 2012 sebanyak 90.245 kasus dengan jumlah kematian
816 orang (Index Ratio (IR) = 37,27 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate
(CFR) = 0,90 %). Kasus DBD pada tahun 2012 terdapat 8.177 kasus DBD di Jawa
Timur. Menurut data dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, angka kesakitan
pada penyakit DBD pada tahun 2008 sebesar 23,75%, pada tahun 2009 sebesar
14,15%, pada tahun 2010 sebesar 18,75%. Jumlah pasien DBD di Jawa Timur
mencapai 26.059 orang dengan angka kesakitan (Index Ratio atau IR) sebesar
68,53/100.000 penduduk. Sedangkan 19.663 kasus di Jawa Barat, 7.088 kasus di
Jawa Tengah dan 6.669 kasus di DKI Jakarta. Wilayah Provinsi tersebut memiliki
jumlah penduduk yang besar dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi
sehingga merupakan salah satu faktor risiko penyebaran DBD (Depkes RI,2012).
Perjalanan penyakit DBD ini cepat, tidak hanya menimbulkan Kejadian Luar
Biasa (KLB) tetapi tanda awal syok pada penderita DBD juga dapat
mengakibatkan kematian bila terlambat mendapatkan pengobatan yang tidak
adekuat (Depkes RI, 2005). Penyebab lain kematian DBD ialah perdarahan hebat
pada saluran pencernaan biasanya terjadi setelah syok berlangsung lama dan tidak
dapat diatasi (Depkes RI, 2005). Syok yang terjadi pada penderita DBD dikenal
dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) yang merupakan kegagalan sirkulasi darah
karena kehilangan plasma dalam darah akibat permeabilitas kapiler darah yang
meningkat (Nadesul, 2007). Hal ini terjadi pada DBD derajat III dan derajat IV.
Pada DBD derajat III terdapat tanda-tanda syok seperti nadi teraba cepat dan
lemah, penurunan tekanan darah, gelisah, sianosis disekitar mulut, kulit teraba
dingin dan lembab pada ujung hidung, jari tangan dan kaki serta terjadi
hemokonsentrasi dan trombositopenia (Depkes, 2005). Sedangkan pada DBD
derajat IV penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, denyut nadi tidak
teraba, tekanan darah tidak terukur serta sudah terjadi hemokonsentrasi dan
trombositopenia (Anggraeni, 2010).
Menurut Tatty (2004) dalam Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXI, No.1,
April 2005, pada stadium awal DBD sulit untuk dapat dibedakan dimana infeksi
dengue ringan dan infeksi dengue yang berat. Hal ini disebabkan karena kesulitan
memprediksi perjalanan klinis dari DBD sehingga mengakibatkan keterlambatan
untuk mendeteksi munculnya syok pada stadium awal dan dapat menyebabkan
timbulnya komplikasi salah satunya disfungsi organ multiple. Pasien yang pada
waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, namun dalam waktu singkat dapat
menjadi buruk dan tidak tertolong dan akhirnya meninggal (stadium Dengue Shock
Syndrome atau DSS).
Faktor risiko dari pejamu yang menyebabkan terjadinya infeksi dengue
salah satunya usia. Usia yang sering terkena infeksi dengue dibawah 15 tahun.
Menurut penelitian Nicolas Duma S. Dkk (2007) usia penderita DBD terbanyak
5-
14 tahun (32,6%), yang terendah pada usia 0-4 tahun dan  15 tahun berjumlah 1
orang (0,4%). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Kan (2004) usia 5-
9 tahun dan Dewi dkk, (2006) usia 6-10 tahun merupakan kelompok yang banyak
terinfeksi virus dengue dan memiliki derajat keparahan yang cenderung lebih
tinggi. Terjadi fenomena pergeseran umur pada usia produktif karena DBD
merupakan penyakit endemik. Makin muda usia penderita, makin tinggi
mortalitasnya. Hal ini diduga disebabkan karena pada anak yang lebih muda
endotel pembuluh darah kapiler rentan terjadi pelepasan sitokin sehingga terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler. Jenis kelamin perempuan dan laki-laki pada
umumnya tidak memiliki perbedaan pada penyakit ini.
Klasifikasi status gizi pada penelitian ini dipakai menurut berat badan
terhadap usia. Idealnya digunakan berat badan ideal menurut tinggi badan, namun
pada data rekam medik tidak mencantumkan data tinggi badan anak. Pada status
gizi dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi. Penelitian di
Thailand (dalam Hakim, 2012) orang dengan status gizi lebih, 1,01 kali lebih besar
peluangnya untuk terinfeksi virus dengue dibandingkan orang dengan status gizi
normal. Orang dengan status gizi kurang atau lebih, lebih rentan terhadap infeksi
virus dengue dibandingkan dengan orang dengan status gizi normal. Untuk dapat
menegakkan diagnosis DBD yang dapat menjadi DSS perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium seperti pemeriksaan serologi, pemeriksaan darah. Awal perjalanan
penyakit, diagnosis banding mencakup ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura),
demam chikungnya, malaria, demam tifoid. Adanya trombositopenia disertai
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain
(Sumarno&Herry, dkk, 2002).
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan antara beberapa faktor determinan dari faktor pejamu (host)
dengan angka kejadian syok pada penderita DBD.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara beberapa faktor determinan dari host terhadap angka
kejadian syok pada penderita DBD.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan status gizi penderita dengan terjadinya syok pada pasien
DBD.
2. Menganalisis hubungan usia penderita terhadap terjadinya syok pada pasien
DBD.
3. Menganalisis hubungan jenis kelamin penderita terhadap terjadinya syok pada
pasien DBD.
4. Menganalisis hubungan kecepatan datang penderita saat mulai dirawat terhadap
terjadinya syok.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Teoritis
Untuk membuktikan secara ilmiah Ilmu Kedokteran tentang hubungan status gizi,
usia, jenis kelamin dan kecepatan datang penderita DBD yang timbul syok dan
bagi peneliti lain sebagai referensi untuk mengembangkan penelitian ilmiah
selanjutnya.
1.4.2. Praktis
Penelitian ini bermanfaat bagi pembaca sebagai masukan guna lebih meningkatkan
pengetahuan tentang DBD yang diberikan terutama dalam memberikan informasi
kepada masyarakat tentang hubungan status gizi, usia, jenis kelamin dan kecepatan
datang penderita DBD yang timbul syok.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam 2- 7 hari, nyeri otot dan atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diatesis hemoragik (Suhendro, 2009).
Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi
DBD berat. Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh
dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit
(asimtomatik). Sebagian lagi akan menderita demam dengue saja yang tidak
menimbulkan kebocoran plasma dan mengakibatkan kematian (Kemenkes RI,
2013).

2. Etiologi
Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat serotipe
virus dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dapat dibedakan
dengan metodologi serologi. Infeksi pada manusia
salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang
oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara dan parsial
terhadap serotipe yang lain (Soedarmo, 2012). Virus-virus dengue menunjukkan
banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus lain, mempunyai genom RNA
rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukleotida ikosahedral dan terbungkus oleh
selaput lipid. Virionnya mempunyai panjang kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan
genom lengkap dikenal untuk mengisolasi keempat serotipe, mengkode
nukleokapsid atau protein inti (C), protein yang berkaitan dengan membrane (M),
dan protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein nonstruktural (NS) (WHO
2009).

3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, DBD atau sindrom syok dengue
(SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,
akan tetapi mempunyai faktor risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan adekuat (Suhendro, 2009).
a) Demam Dengeu (DD)
Gambaran klinis dari DD sering tergantung pada usia pasien. Bayi dan anak
kecil dapat mengalami penyakit demam, sering dengan ruam makropapuler. Anak
yang lebih besar dan orang dewasa dapat mengalami baik sindrom demam atau
penyakit klasik yang
melemahkan dengan mendadak demam tinggi, kadang-kadang dengan 2 puncak
(punggung sadel), sakit kepala berat, nyeri di belakang mata, nyeri otot dan tulang
atau sendi, mual dan muntah, dan ruam. Perdarahan kulit (petekie) tidak umum
terjadi. Biasanya ditemukan leukopenia dan mungkin tampak trombositopenia.
Pemulihan mungkin berpengaruh dengan keletihan dan depresi lama, khususnya
pada orang dewasa (Soedarmo, 2012).
b) Demam berdarah dengue (DBD)
Kasus khas DBD ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor: demam
tinggi, fenomena hemoragis, dan sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi.
Trombositopenia sedang sampai nyata dengan hemokonsentrasi secara bersamaan,
adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DBD. Perubahan patofisiologis
utama yang menentukan keparahan penyakit pada DBD dan yang membedakannya
dengan DD adalah rembesan plasma seperti dimanifestasikan oleh peningkatan
hematokrit (hematokonsentrasi, efusi serosa atau hipoprotemia). Anak-anak dengan
DBD umumnya menunjukkan peningkatan suhu tiba-tiba yang disertai kemerahan
wajah dan gejala konstituional non spesifik yang menyerupai DD, seperti
anoreksia, muntah, sakit kepala, dan nyeri otot, atau tulang dan sendi. Beberapa
pasien mengeluh sakit tenggorok dan nyeri faring sering ditemukan pada
pemeriksaan, tetapi rhinitis dan batuk jarang ditemukan. Nyeri konjungtiva
mungkin terjadi. Ketidak nyamanan epigastrik, nyeri tekan pada margin kosta
kanan, dan nyeri abdominal generalisata umum terjadi. Suhu biasanya tinggi
(>390C) dan menetap selama 2-7 hari. Kadang suhu mungkin setinggi 40-410 C;
konfulsi virus debris dapat terjadi terutama pada bayi (Soedarmo, 2012).
Untuk penegakkan diagnosa DBD diperlukan sekurang-kurangnya kriteria
klinis 1 dan 2 dan dua kriteria laboratorium. Kriteria klinis menurut WHO adalah :
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.

2. Manifestasi perdarahan minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk
perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
hematemesis dan atau melena.

3. Pembesaran hati.

4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (<
20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik < 80 mmHg) disertai kulit
teraba dingin dan lembab trutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien gelisah,
dan timbul sianosis di sekitar mulut.

4.Klasifikasi Demam Berdarah Dengue


Klasifikasi infeksi virus berdasarkan manifestasi klinis menurut WHO tahun
2011
4.1 Dengue Fever (DF)
DF atau demam dengue terjadi pada anak remaja hingga dewasa. Secara
umum gejala yang muncul adalah demam akut terkadang bifasik dengan sakit
kepala berat, myalgia, atralgia, kemerahan (rash), leukopenia dan trombositopenia.
Umumnya muncul gejala perdaraham seperti perdarahan saluran cerna,
hipermenorea, dan epistaksis masif.
4.2 Dengue Hemorragic Fever (DHF)
DHF biasanya dapat terjadi pada anak-anak usia 15 tahun hingga dewasa
dan dapat terjadi di daerah endemik DBD. Karakteristik DHF adalah onset akut
serta demam tinggi dan berhubungan dengan tanda DF pada fase awal demam
(early febrile phase) dan timbul ptekie pada uji torniquet.
4.3 Expanded Dengue Syndrome
Manifestasi tidak biasa pada pasien dengan komplikasi organ seperti ginjal,
hati, otak, atau jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan
kebocoran plasma. Kebanyakan pasien DHF dengan manifestasi komplikasi organ
menunjukkan periode syok yang memanjang dengan gagal organ.

Anda mungkin juga menyukai