Anda di halaman 1dari 13

5.

1 ORGANISASI DAN LINGKUNGANNYA


Lingkungan organisasi adalah semua elemen di dalam maupun di luar
organisasi yang dapat mempengaruhi sebagian atau keseluruhan suatu organisasi.
Terdapat dua jenis klasifikasi lingkungan yakni lingkungan internal dan
lingkungan eksternal. Lingkungan internal yang berpengaruh langsung dalam
organisasi meliputi karyawan/pegawai organisasi dalam, serta pimpinan manajer.
Lingkungan eksternal dibagi dua yaitu yang berpengaruh langsung dan tidak
langsung. Lingkungan eksternal dapat berubah secara dinamis sering
perkembangan pemahaman yang terjadi.
Perusahaan secara umum diartikan sebagai organisasi yang menciptakan
barang ataupun menyediakan jasa yang nantinya akan menghasilkan keuntungan.
Selain itu, secara umum masyarakat dapat diartikan sebagai konsumen yang
menggunakan atau memanfaatkan produk yang dihasilkan perusahaan.
Organisasi berada daam sebuah lingkungan yang dapat menjadi factor
pendukung maupun maupun penghambat organisasi. Kegiatan organisasi akan
merubah lingkungan, dan juga sebaliknya, lingkungan akan mendorong perubahan
pada organisasi.
Sebuah perusahaan atau organisasi bisnis yang beroperasi disebuah
lingkungan tidak dapat memungkiri bahwa selain kegiatan bisnis yang dilakukan,
organisasi (perusahaan) juga terlibat dalam lingkungan yang ada disekitarnya baik
internal maupun eksternal. Oleh karena itu, sebuah organisasi bisnis perlu
memahami lingkungan apa saja yang terkait secara langsung maupun tidak
langsung dengan kegiatan bisnis yang dilakukan.

5.2 STRUKTUR KEPEMILIKAN KORPORASI


5.2.1 STRUKTUR KEPEMILIKAN TERSEBAR
Pada model struktur kepemilikan ini, perusahaan memiliki pemegang saham
yang banyak (mayoritas) dengan jumlah saham yang sedikit (minoritas).
Pemegang saham minoritas kurang mengawasi aktivitas perusahaan dan
cenderung tidak terlibat dalam pengambilan keputusan atau kebijakan
perusahaan. Karena itu, pemegang saham minoritas disebut outsider dan
kepemilikan yang tersebar tersebut disebut sebagai outsider system dimana

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
kepemilikan yang tersebar ini merupakan model dari negara-negara
common law seperti Amerika Serikat dan Inggris (Roche, 2005). Outsider
system ini merupakan market-based model yang dengan ciri-ciri sebagai
berikut.
1. Perusahaan yang individualis.
2. Kepemilikannya privat.
3. Pasar modal yang mapan dan cenderung likuid,
4. Jumlah pemegang saham banyak dengan konsentrasi investor yang
kecil
5. Pengendalian perusahaan diwujudkan melalui pasar dan investor
luar.
Dalam outsider system ini terdapat anggota dewan yang independen untuk
mengawasi perilaku manajerial agar tetap terkontrol, sehingga menurut
Roche (2005), kebaikan dari sistem ini adalah :
1. Lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2. Tidak mudah ada korupsi.
3. Membantu perkembangan pasar modal yang likuid.
Meskipun demikian, sistem ini memiliki kelemahan, yaitu sebagai berikut.
1. Kepemilikan yang terkonsentrasi ini hanya tertarik pada
maksimalisasi profit jangka pendek.
2. Investor cenderung untuk menyetujui kebijakan dan strategi yang
menguntungkan keuntungan jangka pendek, tidak
mempertimbangkan kinerja perusahaan jangka panjang. Hal ini
dapat membuat konflik antara manajer dan pemilik.
3. Seringnya pergantian kepemilikan karena pemegang saham
melepaskan sahamnya untuk mendapatkan profit pada saham lain
yang lebih menguntungkan, sehingga hal tersebut dapat melemahkan
stabilitas perusahaan.
4. Investor minoritas ini kurang mengawasi keputusan dewan dan tidak
dapat mempertahankan direktur yang dapat dipercaya, sehingga
apabila terdapat direktur yang mendukung keputusan yang tidak
sejalan dengan perusahaan, mungkin masih tetap di dewan.

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
5.2.2 STRUKTUR KEPEMILIKAN TERKONSENTRASI
Pada model struktur kepemilikan ini, terdapat dua kelompok pemegang
saham, yaitu pemegang saham mayoritas (yang bertindak sebagai
pengendali) dan pemegang saham minoritas. Struktur kepemilikan ini
banyak dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang (seperti
Indonesia, Korea) dan Continental European. Roche (2005) berpendapat
bahwa perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi, mempunyai
beberapa keuntungan sebagai berikut.
1. Pemegang saham mayoritas memiliki kekuatan dan insentif untuk
mengawasi manajemen dengan lebih dekat, sehingga dapat
meminimalkan timbulnya mismanajemen dan kecurangan.
2. Karena kepemilikan mereka yang signifikan dan adanya hak
pengendalian, insider cenderung untuk menjaga investasinya dalam
perusahaan untuk jangka waktu yang lama.
Kelemahan dari sistem ini adalah sebagai berikut.
1. Pemegang saham mayoritas dapat berkolusi dengan manajemen
untuk mengambil alih asset perusahaan dengan biaya dari pemegang
saham minoritas. Ini merupakan risiko yang signifikan bagi
pemegang saham minoritas yang tidak dilindungi dengan hukum.
2. Hal yang sama, ketika manajer mengendalikan sejumlah besar
saham atau hak suara yang digunakan untuk mempengaruhi
keputusan dewan yang menguntungkan mereka dengan biaya
perusahaan. Jadi terdapat masalah keagenan antara pemegang saham
minoritas dengan pengendali (pemegang saham mayoritas).
3. Selain itu kemungkinan terjadi masalah keagenan antara pemilik dan
kreditur lebih besar daripada tipe perusahaan yang kepemilikannya
menyebar.

5.3 GOVERNANCE: PEMISAHAN KEPEMILIKAN DAN


PENGENDALIAN
Berle dan Means (1932) menyatakan dalam buku mereka yang pertama
bahwa, “Ketika perusahaan tumbuh, mereka mengalami pemisahan kepemilikan

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
dan kendali dan ada saatnya pemisahan ini menciptakan konflik kepentingan
antara manajer dan pemilik, yaitu para pemegang saham.” Dari pernyataan
tersebut, fokus utama ditujukan pada salah satu peristiwa penting dalam aktivitas
perusahaan, yaitu penawaran umum perdana (IPO) perusahaan.
5.3.1 Pengandaian Logika Menggunakan Initial Public Offering (IPO)
Saham yang ditawarkan dalam IPO mungkin terdiri dari dua jenis yaitu :
1. Pertama, mereka dapat terdiri dari saham utama (primer). Ini adalah
saham baru yang dikeluarkan oleh perusahaan itu sendiri. Hasil dari
penjualan saham utama ini meningkatkan modal ekuitas perusahaan.
2. Kedua, mereka dapat terdiri dari saham sekunder. Ini adalah saham
perusahaan yang ada, yang dipegang oleh pemegang sahamnya yang
berkuasa. Alasan penting mengapa perusahaan memutuskan untuk
melakukan IPO adalah untuk memberikan pemegang saham petahana
mereka (biasanya pendiri) kesempatan untuk menjual sebagian atau
seluruh kepemilikan mereka. Mungkin ada titik di masa pendiri
perusahaan di mana ia mungkin ingin keluar dari perusahaannya dan
mendiversifikasi portofolio investasinya. Tentu saja, hasil dari
penjualan saham sekunder akan bertambah ke pemegang saham yang
menjualkan sahamnya, bukan ke perusahaan itu sendiri. Karenanya,
menjual saham sekunder tidak meningkatkan basis ekuitas
perusahaan.
Sebagian besar perusahaan cenderung memiliki campuran saham utama dan
sekunder dalam IPO mereka. Namun, yang patut digarisbawahi adalah
penjualan saham primer dan penjualan saham sekunder melemahkan
kepemilikan pemegang saham yang ada. Misalkan sebuah perusahaan
dengan 100 saham yang beredar sebelum IPO dan semua saham ini
dipegang oleh pendiri. Oleh karena itu, sebelum IPO, pendiri memiliki
semua saham sebesar 100, yaitu 100% dari ekuitas. Perusahaan sekarang
memutuskan untuk IPO. IPO akan terdiri dari penerbitan dan penjualan 20
saham utama, serta penjualan 10 saham sekunder yang dipegang oleh
pendiri. Sebagai hasil dari IPO, saham yang dipegang pendiri kini telah

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
turun menjadi 90 saham dan perusahaan sekarang memiliki 120 saham
beredar. Saham pendiri telah turun dari 100% menjadi 75% (90/120).
5.3.2 Pemisahan Antara Kepemilikan dan Pengendalian
Goergen and Renneboog (2003) membandingkan perusahaan dari dua
sistem tata kelola perusahaan yang sangat berbeda, yaitu Jerman dan
Inggris, dan melacak struktur kendali perusahaan selama enam tahun setelah
IPO. Mereka mulai dengan daftar perusahaan Jerman yang memiliki IPO
mereka selama 1980-an. Fokus mereka terletak pada perusahaan-perusahaan
yang dikendalikan oleh keluarga atau individu sebelum IPO. Mereka
mengambil sampel orang-orang pemilik saham terbesar di perusahaan yang
memegang setidaknya 25% hak suara di Jerman kemudian
membandingkannya dengan perusahaan IPO Inggris dengan ukuran yang
sama. Hasil yang didapat adalah sebagai berikut.
1. Dilihat dari kontrol mayoritas, maka pemegang saham awal IPO
Jerman kehilangan kontrol hanya setelah tahun 5. Namun, bahkan
pada tahun 6 pemegang saham awal masih memegang rata-rata 45%
suara. Lain halnya dengan Inggris, saham awal perusahaan-
perusahaan Inggris telah kehilangan kendali dua tahun setelah IPO.
2. Pemegang saham besar baru membutuhkan waktu sedikit lebih lama
untuk muncul di IPO Jerman, enam tahun setelah IPO, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua negara.
3. Ada perbedaan substansial dalam pemegang saham bebas antara IPO
Jerman dan Inggris. Sementara IPO Jerman memiliki pemegang
saham bebas sekitar 25%, IPO Inggris memiliki pemegang saham
bebas yang jauh lebih tinggi sekitar 40%.
ada bukti pemisahan kepemilikan dan kontrol yang cukup cepat di
perusahaan-perusahaan Inggris setelah IPO sedangkan tidak ada bukti untuk
perusahaan Jerman di mana tingkat kontrol yang cukup besar tetap dengan
pemegang saham awal lama setelah IPO. Akhirnya, usia rata-rata
perusahaan Jerman pada saat IPO adalah sekitar 50 tahun dibandingkan
dengan sekitar 13 tahun untuk perusahaan Inggris.

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
5.4 STRUKTUR KEPEMILIKAN DAN MEKANISME PENGENDALIAN
Para peneliti berpendapat bahwa struktur kepemilikan perusahaan memiliki
pengaruh terhadap perusahaan. Tujuan perusahaan sangat ditentukan oleh struktur
kepemilikan, motivasi pemilik dan kreditur corporate governance dalam proses
insentif yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha membuat
berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan, setelah strategi ditentukan
maka langkah selanjutnya adalah perusahaan mengimplementasi strategi dan
mengalokasikan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan
perusahaan. Kesemua tahapan tersebut tidak terlepas dari peran pemilik dimana
sangat penting dalam menentukan keberlangsungan perusahaan.
Walsh dan Seward (1990) menyatakan bahwa terdapat dua mekanisme
untuk membantu menyamakan perbedaan kepentingan antara pemegang saham
dan manajer dalam rangka penerapan GCG, yaitu mekanisme pengendalian
internal perusahaan dan mekanisme pengendalian eksternal berdasarkan pasar.
Mekanisme pengendalian internal adalah pengendalian perusahaan yang
dilakukan dengan membuat seperangkat aturan yang mengatur tentang mekanisme
bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko – risiko yang
disetujui oleh principal dan agen. Salah satu pilihan mekanisme pengendalian
internal untuk menyamakan kepentingan saham dan manajer adalah kontrak
insentif jangka panjang (Walsh dan Seward, 1990: Jensen, 1993). Kontrak jangka
panjang ini dilakukan dengan memberikan insentif pada manajer apabila nilai
perusahaan atau kemakmuran pemegang saham meningkat, salah satunya dengan
cara memberi kepemilikan saham kepada manajer (Jensen dan Meckling, 1976;
Fama, 1980). Dengan demikian, manajer akan termotivasi untuk meningkatkan
nilai perusahaan atau meningkatkan pemegang saham karena hal tersebut juga
akan meningkatkan kekayaan manajer sendiri. Mekanisme pengendalian eksternal
adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar. Menurut teori pasar
untuk pengendalian perusahaan (market for corporate control), pada saat
diketahui bahwa manajemen berperilaku menguntungkan diri sendiri, kinerja
perusahaan akan menurun yang direflesikan oleh nilai saham perusahaan. Pada
kondisi tersebut, kelompok manajer lain akan menggantikan manajer yang sedang
memegang jabatan. Dengan demikian bekerjanya market for corporate bisa

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
menghambat tindakan menguntungkan manajer sendiri (Jensen dan Meckling,
1976).

5.5 MASALAH DALAM MODEL MANAJERIAL


Model manajerial ditandai dengan terpisahnya pengelolaan perusahaan dari
kepemilikan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, proses pemisahan tersebut
merupakan ciri pengembangan kapitalisme industrial pada awal abad ke-19,
sebagaimana dijelaskan oleh Berle dan Means (1932).
Dengan pemisahan tersebut, masalah yang segera muncul adalah tidak
sinkronnya kepentingan pemilik dan pengelola. Dengan makin modernnya sistem
korporasi, yang salah satunya ditandai dengan makin besarnya skala usaha
perusahaan, pola pembiayaan pun makin kompleks. Seiring dengan makin
berkembangnya pasar finansial, pemilik perusahaan pun makin anonim. Dalam
kasus perusahaan yang menjual kepemilikan di bursa saham, para pemegang
saham menjadi tidak saling kenal.
Dalam kasus perusahaan memiliki pemegang saham yang manjemuk,
masalah keagenan (agency problem) akan muncul bukan saja antara pemilik
modal dan pengelola, melainkan juga antara pemegang saham mayoritas dan
pemegang saham minoritas. Untuk memudahkan pembahasan, kita bisa
mengatakan ketegangan antara pemegang saham dan pengelola perusahaan
sebagai masalah keagenan tipe I, sedangkan ketegangan antara pemegang saham
mayoritas dan pemegang saham minoritas sebagai masalah keagenan tipe II.
Dalam kasus perusahaan di berbagai negara di kawasan Asia, sebagaimana
terjadi pula di negara berkembang lain, masalahnya tidak lagi terletak pada
masalah keagenan tipe pertama, melainkan tipe kedua. Selain itu, tipe kepemilikan
di tangan keluarga dan negara akan menimbulkan berbagai penyimpangan
kebijakan yang berlawanan dengan standar etis serta moral (moral hazard).
Ada beberapa cara atau mekanisme untuk menekan masalah keagenan tipe I,
yaitu sebagai berikut.
1. Sistem penggajian (remuneration system): diyakini, sistem
penggajian yang baik akan menekan sidat oportunis para pengelola
perusahaan, sebagaimana dijelaskan dalam teori biaya transaksi

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
(transaction cost theory). Akhir-akhir ini, diterapkan pemberian
kepemilikan perusahaan dalam persentasi tertentu kepada para
pengelola perusahaan sebagai salah satu cara menekan masalah
keagenan tipe pertama ini. Sistem tersebut dikenal sebagai stock
option.
2. Sistem pengawasan internal: untuk mengawasi jalannya perusahaan
yang dilakukan oleh pihak lain, para pemilik modal menugaskan
dengan pengawas yang membawahi para pengelola perusahaan di
bawah CEO (chief executive officer). Dalam sistem Anglo-Saxon
yang menggunakan tata kelola sistem tunggal (single-tiered system),
dewan pengawas tersebut dinamakan dewan direktur (board of
directors), sementara dalam sistem ganda (dual-tiered system)
seperti di Indonesia, dewan pengawas disebut dewan komiasaris
(commissioner). Baik dalam sistem yang menggunakan dewan
komisaris maupun dewan direktur, biasanya dewan pengawas terdiri
atas pihak dari dalam perusahaan yang mewakili para eksekutif dan
pihak luar yang bertugas mewakili kepentingan pemegang saham.
Dalam sistem dewan komisaris, wakil pemegang saham minoritas
biasanya disebut komisaris independen, sementara dalam kasus agak
unik yang terjadi di Jerman, para pekerja dalam pengertian buruh
memiliki wakil yang duduk di dewan pengawas dengan sebutan
sistem co-determinasi.
3. Sistem pengawasan eksternal (pasar): pengawasan melalui sistem
pasar bisa terjadi karena dua sebab. Pertama, kontrol yang dilakukan
oleh para investor itu sendiri dengan cara jual beli kepemilikan
(saham). Pada dasarnya, baik buruknya kinerja perusahaan akan
tercermin dari tinggi rendahnya harga perdagangan di bursa saham.
Makin baik kinerja perusahaan, makin meningkat pula harga
sahamnya di bursa. Begitu pula sebaliknya, apabila kinerja
perusahaan dinilai buruk, para investor cenderung melepas
kepemilikan saham tersebut sehingga harga perdagangan sahamnya
di bursa merosot. Kedua, kontrol bisa terjadi lewat mekanisme

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
akuisisi yang dilakukan atas alasan keterpaksaaan karena kinerja
perusahaan cenderung buruk dan sulit diselamatkan sehingga
mengundang perusahaan lain untuk mengakuisisi. Mekanisme ini
dikenal dengan sebutan hostile acquisition, karena pada dasarnya
pemilik lama, sebenarnya, tidak menginginkan perusahaannya dibeli
orang lain. Namun, kondisi perusahaan yang buruk membuat mereka
tidak punya pilihan selain menjual perusahaan tersebut ke pihak
(pemilik/perusahaan) lain.
4. Pasar eksekutif: mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap
kinerja para eksekutif dalam menjalankan perusahaan terjadi akibat
ketatnya persaingan pasar para eksekutif. Semakin tinggi penawaran
tenaga kerja di tingkat eksekutif tersebut, akan semakin kuat tekanan
bagi para pengelola perusahaan untuk membuktikan kinerja. Jika
mereka dinilai tidak memenuhi, kinerja yang baik, para pemilik
modal bisa saja memecat dan mengganti mereka dengan pengelola
baru. Fenomena ini semakin lazim dengan munculnya jasa pencarian
eksekutif kelas tinggi atau perusahaan jasa head-hunter. Globalisasi
dan mobilitas tenaga kerja antar-negara juga meningkatkan
persaingan pasar tenaga kerja eksekutif. Misalnya, banyak
perusahaan di Indonesia yang memperkerjakan eksekutif dari
Filipina, Malaysia, atau Singapura.
5. Konsentrasi kepemilikan: berbagai studi menunjukkan bahwa
konsentrasi kepemilikan diyakini akan meningkatkan kontrol
terhadap manajer. Hal tersebut sudah menjadi perhatian cukup lama
dalam studi-studi klasik (Jensen dan Meckling, 1976) hingga
kontemporer (Grossman dan Hart, 1980 & 1998; Shleifer danVishny,
1986). Pengawasan dan kontrol melalui konsentrasi kepemilikan
dinilai paling baik untuk mengendalikan sifat oportunisme para
pengelola perusahaan. Dengan kata lain, konsentrasi kepemilikan
akan segera memecahkan masalah keagenan tipe pertama. Namun,
pada saat bersamaan konsentrasi kepemilikan akan segera pula
memunculkan konflik kepentingan antara pemegang saham

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
mayoritas dan pemegang saham minoritas. Atau dengan kata lain,
akan memunculkan masalah keagenan tipe kedua.

5.6 STRUKTUR KEPEMILIKAN DI NEGARA MAJU


Menurut Sycip, di kebanyakan negara industri maju seperti Inggris,
Amerika, Australia, Jerman, dan Perancis mayoritas perusahaan besar dan
menengah berstatus perusahaan publik. Sebagian besar pemegang saham
perusahaan-publik adalah masyarakat. Separuh dari penduduk usia dewasa di
Australia misalnya, memiliki saham-saham perusahaan publik.
Di Negara industri maju pasar modal menjadi sumber utama pendanaan
operasi jangka menengah perusahaan. Sebagai contoh sekitar 70-80% saham
perusahaan-perusahaan besar di Amerika dimiliki pemegang saham institusional.
Investor orang perorangan menanamkan dananya melalui investor institusional
seperti dana pensiun, mutual funds atau perusahaam reksadana. Maka dari itu, di
negara-negara tersebut, para pemegang saham mendesak perusahaan-perusahaan
publik menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsekuen,
termasuk melakukan evaluasi kinerja Board of Directors secara periodik. Tujuan
menyarankan perusahaan menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance
tersebut adalah untuk melindungi hak dan kepentingan dari para pemegang saham.

5.7 STRUKTUR KEPEMILIKAN DI ASIA


Pada umumnya, pemisahan antara kepemilikan dan kepengurusan
perusahaan di Asia tidak terlalu berkembang. Bisnis yang dijalankan lebih bersifat
kekeluargaan sehingga kelompok-kelompok usaha besar yang berkembang selalu
dikendalikan oleh anggota keluarga dari hubungan darah atau hubungan
perkawinan. Hal tersebut sangat terasa dalam sistem Keiretsu di Jepang, Chebol di
Korea, dan Konglomerasi di Indonesia.
Dalam sistem Anglo-Saxon, pemisahan antara pemilik dan pengelola
perusahaan umumnya cukup tegas. Pemilik modal menyerahkan sepenuhnya
pengelolaan perusahaan kepada para professional. Hal tersebut bisa terjadi karena
adanya dukungan sistem pasar modal yang kuat sehingga kepemilikan perusahaan
bisa dijualbelikan dengan baik. Dalam hal ini, kepemilikan perusahaan bisa saja

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
terjadi secara anonim lewat pembelian kepemilikan perusahaan lewat mekanisme
pasar modal. Umumnya, para pemilik modal ini memiliki suara dalam Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS). Para pemilik modal dikelompokkan dalam
pemilik modal besar (blockholder) atau pemilik modal kecil (ritel). Pemilik modal
besar memiliki hak suara cukup besar serta posisi lemah dalam menyuarakan
kepentingan. Banyak diantara mereka yang merasa tidak memiliki insentif untuk
menyuarakan kepentingan. Namun, dalam perusahaan dikenal sistem “komisaris
independen” yang bertugas melindungi kepentingan dan hak pemegang saham
minoritas. Di Korea, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, kontrol keluarga
terhadap perusahaan begitu tinggi. Kontrol para pemilik perusahaan dilakukan
melalui struktur piramida dan kepemilikan silang diantara beberapa perusahaan.
Model ini nampaknya sangat umum terjadi di semua negara di kawasan Asia.
Pada dasarnya, pemisahan antara pemilik dan pengelola sangat jarang terjadi
di Asia. Ditambah lagi, pemisahan antara kontrol dan manajerial juga jarang
terjadi karena para pemilik menguasai hak suara dengan model kepemilikan silang
yang dipertahankan untuk mempertahankan posisi.

5.8 STRUKTUR KEPEMILIKAN DI INDONESIA


Struktur Kepemilikan di Indonesia ini diatur dalam Undang-Undang No. 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Peraturan Bapepam LK sebagai
otoritas pengawas pasar modal bagi perusahaan terbuka No. 8 Tahun 1995. UU PT
menyebutkan bahwa organ perusahaan terdiri dari Rapat Umum Pemegang
Saham, Dewan Direksi, dan Dewan Komisaris. RUPS memiliki kekuasaan
tertinggi dalam pengambilan keputusan di perusahaan, misalnya untuk hal
penambahan modal, perubahan modal, pemilihan eksekutif perusahaan, dan lain-
lain. Struktur ini juga diterapkan dalam BUMN berbentuk perseroan.
Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas, perusahaan publik
diharuskan mengeluarkan laporan tahunan yang telah diaudit. Laporan tersebut
terdiri dari laporan keuangan, laporan manajemen, pernyataan perusahaan terkait
dengan tata kelola perusahaan, dan terkait dengan tanggung jawab sosial
perusahaan.Selain itu, informasi terkait dengan kepemilikan saham dan eksekutif

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
perusahaan (direksi dan komisaris) juga harus dipublikasikan, misalnya kebijakan
remunerasi perusahaan. Informasi kepemilikan saham yang wajib dipublikasikan
adalah kepemilikan saham di atas 5% dan kepemilikan oleh eksekutif perusahaan.
Perusahaan tidak wajib mengungkapkan kepemilikan di bawah nilai tersebut
karena dianggap tidak material, kecuali untuk kepemilikan Direksi dan Komisaris
karena menunjukkan kontrol akan perusahaan.
Struktur kepemilikan di Indonesia secara garis besar memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Saham mayoritas umumnya dipegang di tangan keluarga dan negara.
Dalam kasus perusahaan keluarga, pemisahan antara kontrol dan
kepemilikan sebenarnya tidak terjadi karena biasanya para pengelola
perusahaan adalah anggota keluarga dari pemilik perusahaan.
2. Pemegang saham pengontrol memiliki hak suara yang melebihi
kepemilikan karena sistem kepemilikan yang bersifat pyramidal,
atau karena mereka menempatkan para manajer dari anggota
keluarga di perusahaan-perusahaan yang dikontrolnya.
3. Kepemilikan bank secara signifikan tidak begitu lazim.
4. Terdapat hubungan antara struktur kepemilikan dengan pemilihan
Dewan Pengawas.

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2
DAFTAR PUSTAKA

Goergen, Marc. 2012. Internasional Corporate Governance. England: Pearson.


Prasetyantoko, A. 2008.Corporate Governance: Pendekatan Institusional. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Sutojo, Siswanto. E. John Aldridge. 2008. Good Corporate Governance Tata
Kelola Perusahaan Yang Sehat. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka.
http://hudanusantara-end.blogspot.com/2010/11/good-corporate-
governance_2805.html (Diakses pada 17 Februari 2019).
https://www.kompasiana.com/inezlius/551ff41f81331198019dfb7a/praktik-good-
corporate-governance-terkait-struktur-kepemilikan-perusahaan-di-indonesia
(Diakses pada 17 Februari 2019).
https://www.academia.edu/30747803/PERUSAHAAN_DAN_LINGKUNGANN
YA (Diakses pada 17 Pebruari 2019)

C O R P O R AT E G O V E R N A N C E 2

Anda mungkin juga menyukai