Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

PARKINSON

Pembimbing
dr. Endang Kuswiowati, Sp. S(K)

Penyusun
Welmin Sorya Leatomu 112017280

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf


RS Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 13 Agustus 2018 – 15 September 2018
1
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif ke 2 paling sering dijumpai


setelah penyakit Alzheimer. Berbagai gejala penyakit Parkinson, antara lain tremor waktu
istirahat, telah dikemukakan sejak Glen tahun 138-201, bahkan berbagai macam tremor sudah
digambarkan tahun 2500 sebelum masehi oleh bangsa India. Namun Dr. James Parkinson pada
tahun 1817 yang pertama kali menulis deskripsi gejala penyakit Parkinson dengan rinci dan
lengkap kecuali kelemahan otot sehingga disebutnya paralysis agitans. Pada tahun 1894, Blocg
dan Marinesco menduga substansia nigra sebagai lokus lesi, dan tahun 1919 Tretiakoff
menyimpulkan dari hasil penelitian post mortem penderita penyakit Parkinson pada disertasinya
bahwa ada kesamaan lesi yang ditemukan yaitu lesi disubstansia nigra. Lebih lanjut, secara
terpisah dan dengan cara berbeda ditunjukkan Bein, Carlsson dan Hornykiewicz tahun 1950an,
bahwa penurunan kadar dopamine sebagai kelainan biokimiawi yang mendasari penyakit
Parkinson.

Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan wanita
seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum
usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara keseluruhan,
pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa, meningkat
dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada usia 85 – 89 tahun. Di Amerika Serikat,
ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta
orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50
tahun dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di
Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri maupun di
dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum
diketahui.1

2
BAB II
PENYAKIT PARKINSON

2.1 DEFINISI
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan erat
dengan usia. Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh degenerasi neuron-neuron
berpigmen neuromelamin, terutama di pars kompakta substansia nigra yang disertai inklusi
sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies), atau disebut juga parkinsonisme idiopatik atau primer.
Sedangkan Parkinonisme adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu istirahat,
rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat penurunan kadar dopamine dengan
berbagai macam sebab. Sindrom ini sering disebut sebagai Sindrom Parkinson.2

2.2 KLASIFIKASI
Penyakit parkinson dapat dibagi atas 3 kategori, yaitu :2.3
1. Parkinson primer/idiopatik/paralysis agitans.
Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya belum jelas.
Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk jenis ini.
2. Parkinson sekunder atau simtomatik
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain : tuberkulosis, sifilis
meningovaskuler. Toksin seperti 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP),
Mn, CO, sianida. Obat-obatan yang menghambat reseptor dopamin dan menurunkan
cadangan dopamin misalnya golongan fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain,
misalnya perdarahan serebral pasca trauma yang berulang-ulang pada petinju, infark
lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.
3. Sindrom Parkinson Plus (Multiple System Degeneration)
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran penyakit
keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada Progressive supranuclear palsy, Multiple system
atrophy (sindrom Shy-drager, degenerasi striatonigral, olivo-pontocerebellar
degeneration, parkinsonism-amyotrophy syndrome), Degenerasi kortikobasal ganglionik,

3
Sindrom demensia, Hidrosefalus normotensif, dan Kelainan herediter (Penyakit Wilson,
penyakit Huntington, Parkinsonisme familial dengan neuropati peripheral).

2.3 ETIOLOGI
Etiologi Parkinson primer masih belum diketahui. Terdapat beberapa dugaan, di
antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional (belum diketahui), reaksi abnormal
terhadap virus yang sudah umum, pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui,
terjadinya penuaan yang prematur atau dipercepat.
Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra. Suatu
kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary). Akibatnya,
penderita tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak disadarinya.
Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum jelas benar, akan tetapi ada beberapa faktor
resiko ( multifaktorial ) yang telah diidentifikasikan, yaitu :
1. Usia : Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 dari 10.000
penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial yang
mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada substansia nigra pada penyakit parkinson.
2. Genetik : Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit
parkinson. Yaitu mutasi pada gen a-sinuklein pada lengan panjang kromosom 4 (PARK1)
pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif
parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin (PARK2) di kromosom 6.
Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria. Adanya riwayat penyakit parkinson
pada keluarga meningakatkan faktor resiko menderita penyakit parkinson sebesar 8,8 kali
pada usia kurang dari 70 tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari 70 tahun. Meskipun sangat
jarang, jika disebabkan oleh keturunan, gejala parkinsonisme tampak pada usia relatif muda.
Kasus-kasus genetika di USA sangat sedikit, belum ditemukan kasus genetika pada 100
penderita yang diperiksa. Di Eropa pun demikian. Penelitian di Jerman menemukan hasil nol
pada 70 penderita. Contoh klasik dari penyebab genetika ditemukan pada keluarga-keluarga
di Italia karena kasus penyakit itu terjadi pada usia 46 tahun.
3. Faktor Lingkungan
a) Xenobiotik : Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menimbulkan
kerusakan mitokondria.

4
b) Pekerjaan : Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan lama.
c) Infeksi : Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor predesposisi
penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan
menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.
d) Diet : Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu
mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi merupakan
neuroprotektif.
4. Ras : angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit
berwarna.
5. Trauma kepala : Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski
peranannya masih belum jelas benar.
6. Stress dan depresi : Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala
motorik. Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada stress dan
depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu stress oksidatif.2,4

2.4 PATOFISIOLOGI
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar
dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta (SNc) sebesar 40-50% yang
disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab multifaktor.
Substansia nigra (sering disebut black substance), adalah suatu region kecil di otak (brain
stem) yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi pusat control/koordinasi
dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmitter yang disebut dopamine, yang
berfungsi untuk mengatur seluruh gerakan otot dan keseimbangan tubuh yang dilakukan oleh
sistem saraf pusat. Dopamine diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di
otak terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan refleks postural, serta kelancaran
komunikasi (bicara). Pada penyakit Parkinson sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi,
sehingga produksi dopamine menurun dan akibatnya semua fungsi neuron di system saraf pusat
(SSP) menurun dan menghasilkan kelambatan gerak (bradikinesia), kelambatan bicara dan
berpikir (bradifrenia), tremor dan kekauan (rigiditas).5
Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc adalah
stress oksidatif. Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti

5
dopamine quinon yang dapat bereaksi dengan alfa sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini
menumpuk, tidak dapat di gradasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway, sehingga menyebabkan
kematian sel-sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antara lain :
 Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan nitric-oxide
(NO) yang menghasilkan peroxynitric-radical.
 Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosin trifosfat (ATP) dan
akumulasi elektron-elektron yang memperburuk stres oksidatif, akhirnya menghasilkan
peningkatan apoptosis dan kematian sel.
 Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu
apoptosis sel-sel SNc.
 Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena
penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia
nigra sebesar 40 – 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik
(Lewy bodies). Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf
yang mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia
nigra pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang. Dalam
kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum
akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang
berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus
palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu
jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan reseptor D2 . Maka bila
masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan.

 Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia nigra


pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada
rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum
muncul sampai lebih dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin
berkurang 80%. Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur
direk dengan neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2
yang inhibitorik tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus
palidus segmen eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga
fungsi inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi

6
inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nucleus
subtalamikus melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat
akibat inhibisi.

 Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen


interna / substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang
eksitatorik akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus /
substansia nigra. Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari
jalur langsung ,sehingga output ganglia basalis menjadi berlebihan kearah
talamus.

 Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah GABAnergik
sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya rangsangan dari talamus
ke korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output korteks motorik ke
neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokinesia.6

Gambar.1.: Skema teori ketidakseimbangan jalur langsung dan tidak langsung

7
Keterangan Singkatan6
 D2 : Reseptor dopamin 2 bersifat inhibitorik
 D1 : Reseptor dopamin 1 bersifat eksitatorik
 SNc : Substansia nigra pars compacta
 SNr : Substansia nigra pars retikulata
 GPe : Globus palidus pars eksterna
 GPi : Globus palidus pars interna
 STN : Subthalamic nucleus
 VL : Ventrolateral thalamus = talamus

Kajian Biomolekuler penyakit Parkinson

 Studi postmortem secara konsisten menyoroti adanya kerusakan oksidatif dalam


patogenesis PD, dan khususnya kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan DNA
dapat diamati pada substansia nigra pars compakta (SNc) otak pasien PD
sporadik. Stress oksidatif akan membahayakan integritas neuron sehingga
mempercepat degenerasi neuron. Sumber peningkatan stress oksidatif ini masih
belum jelas namun mungkin saja melibatkan disfungsi mitokondria, peningkatan
metabolisme dopamin yang menghasilkan hidrogen peroksida dan reactive
oxygen species (ROS) lain dalam jumlah besar, peningkatan besi reaktif, dan
gangguan jalur pertahanan antioksidan (Jenner 2003).

 Penurunan selektif sebesar 30-40 % pada aktivitas complex-I rantai respirasi


mitokondria ditemukan dalam SNc penderita penyakit Parkinson (Svhapira, dkk
1990). Mitokondria terekspos oleh lingkungan yang sangat oksidatif, dan proses
fosforilasi oksidatif berhubungan dengan produksi ROS. Banyak bukti mengarah
pada peran utama disfungsi mitokondria sebagai dasar patogenesis PD, dan
khususnya, defek mitokondria complex-I (complex-I) dari rantai respirasi. Defek
complex-I mungkin yang paling tepat menyebabkan degenerasi neuron pada PD
melalui penurunan sintesis ATP.

8
 Beberapa studi epidemiologi memperlihatkan bahwa pestisida dan toksin lain dari
lingkungan yang menghambat complex-I terlibat dalam patogenesis PD sporadik
(Sherer, dkk, 2002a). MPTP menghambat complex-I dan menimbulkan gejala
Parkinson pada manusia dan model binatang (Dauer & Przedborski, 2003).

 Bukti terbaru menunjukkan cacat pada ubiquitin proteasome system (UPS) dan
protein yang salah peran juga mendasari patogenesis molekuler penyakit
Parkinson. Gagasan ini didukung oleh fakta bahwa α-synuclein, parkin, dan DJ-1
yang merupakan kelainan genetik, saling mempengaruhi fungsi UPS maupun
mitokondria, yang mungkin menghasilkan permulaan jalur yang terlibat dalam
degenerasi neuron pada penyakit Parkinson.

 Agregasi α-synuclein secara jelas menurun dari inhibisi complex-I dan agregasi
semacam itu bisa juga menghambat atau membanjiri fungsi proteasomal. Jika
inhibisi complex-I merupakan inti patogenesis PD, maka dalam rangkaian
kejadian yang dipicu oleh agregasi α-synuclein, peningkatan stress oksidatif, dan
defisit sintesis ATP, semuanya itu bisa mengganggu fungsi normal UPS. Inhibisi
terhadap UPS akan menghasilkan akumulasi protein di samping ditargetkan untuk
degradasi, beberapa diantaranya bersifat sitotoksik, yang dalam kombinasinya
dengan bahaya oksidatif akan pasti mengakibatkan kematian neuron
dopaminergik. Parkin, UCH-L1, dan DJ1 terlibat dalam pemeliharaan fungsi
UPS, sementara PINK1, bersama dengan parkin dan DJ1, akan meregulasi fungsi
normal mitokondria; penyakit terkait mutasi dalam gen ini akan mengarah pada
sekelompok kejadian yang mengawali kematian neuron DA. Namun, jalur
kejadian ini selain mengakibatkan inhibisi proteasome tetapi dapat juga bolak-
balik mengganggu fungsi mitokondria. Pengamatan ini mengarah pada hubungan
silang berderajat besar antara mitokondria dan UPS, dan disfungsi pada masing-
masing atau semua sistem akan mengarah pada poin akhir yang umum dari
degenerasi neuron DA.6

9
2.5 GEJALA KLINIS
 Gejala Motorik

Gambaran: 2. klinis penyakit Parkinson

a. Tremor
Gejala penyakit parkinson sering luput dari pandangan awam, dan dianggap sebagai
suatu hal yang lumrah terjadi pada orang tua. Salah satu ciri khas dari penyakit parkinson
adalah tangan tremor (bergetar) jika sedang beristirahat. Namun, jika orang itu diminta
melakukan sesuatu, getaran tersebut tidak terlihat lagi. Itu yang disebut resting tremor,
yang hilang juga sewaktu tidur. Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi
metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam atau
memulung-mulung (pill rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi
pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut membuka
menutup, lidah terjulur-tertarik. Tremor ini menghilang waktu istirahat dan menghebat
waktu emosi terangsang (resting/ alternating tremor). Tremor tidak hanya terjadi pada
tangan atau kaki, tetapi bisa juga terjadi pada kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah
dan jari tangan (seperti orang menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat
istirahat/tanpa sadar. Bahkan, kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak sedang
melakukan aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut bisa berhenti.

10
Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat penyakit, tremor
bisa terjadi pada kedua belah sisi.
b. Rigiditas/kekakuan
Tanda yang lain adalah kekakuan (rigiditas). Jika kepalan tangan yang tremor tersebut
digerakkan (oleh orang lain) secara perlahan ke atas bertumpu pada pergelangan tangan,
terasa ada tahanan seperti melewati suatu roda yang bergigi sehingga gerakannya menjadi
terpatah-patah/putus-putus. Selain di tangan maupun di kaki, kekakuan itu bisa juga
terjadi di leher. Akibat kekakuan itu, gerakannya menjadi tidak halus lagi seperti break-
dance. Gerakan yang kaku membuat penderita akan berjalan dengan postur yang
membungkuk. Untuk mempertahankan pusat gravitasinya agar tidak jatuh, langkahnya
menjadi cepat tetapi pendek-pendek.Adanya hipertoni pada otot fleksor ekstensor dan
hipertoni seluruh gerakan, hal ini oleh karena meningkatnya aktifitas motorneuron alfa,
adanya fenomena roda bergigi (cogwheel phenomenon).
c. Akinesia/Bradikinesia
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga tanda
akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat. Dalam pekerjaan
sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang semakin mengecil, sulit
mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik
sehingga penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa
ekspresi. Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan
berkurang, sehingga sering keluar air liur. Gerakan volunter menjadi lambat sehingga
berkurangnya gerak asosiatif, misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai
berjalan, lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi
lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan
gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan mata
berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut.2
d. Tiba-tiba Berhenti atau Ragu-ragu untuk Melangkah
Gejala lain adalah freezing, yaitu berhenti di tempat saat mau mulai melangkah,
sedang berjalan, atau berputar balik; dan start hesitation, yaitu ragu-ragu untuk mulai
melangkah. Bisa juga terjadi sering kencing, dan sembelit. Penderita menjadi lambat
berpikir dan depresi. Hilangnya refleks postural disebabkan kegagalan integrasi dari saraf

11
propioseptif dan labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan
ganglia basalis yang akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini
mengakibatkan penderita mudah jatuh.
e. Mikrografia
Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini
merupakan gejala dini.
f. Langkah dan gaya jalan (sikap Parkinson)
Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat (marche a petit
pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan, punggung
melengkung bila berjalan.
g. Bicara monoton
Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara, otot laring,
sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan volume suara
halus (suara bisikan) yang lambat.
h. Demensia
Adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan defisit
kognitif.
i. Gangguan behavioral
Lambat-laun menjadi dependen (tergantung kepada orang lain), mudah takut, sikap
kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap pertanyaan lambat (bradifrenia)
biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal diberi waktu yang cukup.
j. Gejala Lain
Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas pangkal hidungnya
(tanda Myerson positif) 5

 Gejala non motorik


a. Disfungsi otonom
 Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia
dan hipotensi ortostatik
 Kulit berminyak dan infeksi kulit seboroik

12
 Pengeluaran urin yang banyak
 Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat seksual,
perilaku, orgasme.
b. Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi
c. Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat
d. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)
e. Gangguan sensasi
 kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna
 penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension
orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian
tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan
 berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau (microsmia atau anosmia).5

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan Penunjang
o EEG (Elektro Encelopaty)
o CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki
melebar,hidrosefalua eks vakuo). Penyakit Parkinson merupakan penyakit
kronisyang membutuhkan penanganan secara holistik meliputi berbagai
bidang.Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan penyakit ini,
tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala yang timbul.
o Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis,karena
tidak memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit
Parkinson. Pengukuran kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air
kencing, darah maupun cairan otak akan menurun pada penyakit Parkinson
dibandingkan kontrol.Lebih lanjut , dalam keadaan tidak ada penanda biologis
yang spesifik penyakit, maka diagnosis definitive terhadap penyakit Parkinson
hanya ditegakkan dengan otopsi. Dua penelitian patologis terpisah
berkesimpulan bahwa hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria patologis

13
aktual, sedangkan yang 24% mempunyai penyebab lain untuk parkinsonisme
tersebut.4
 Neuroimaging :
o Magnetik Resonance Imaging ( MRI )
Baru – baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI , didapati bahwa hanya pasien yang
dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan signal di striatum.
o Positron Emission Tomography ( PET )
Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah memberi kontribusi
yang signifikan untuk melihat kedalam sistem dopamine nigrostriatal dan peranannya
dalam patofisiologi penyakit Parkinson. Penurunan karakteristik pada pengambilan
fluorodopa , khususnya di putamen , dapat diperlihatkan hampir pada semua
penderita penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini.Pada saat awitan gejala ,
penderita penyakit Parkinson telah memperlihatkan penurunan 30% pada
pengambilan fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat membedakan
antara penyakit Parkinson dengan parkinsonisme atipikal. PET juga merupakan suatu
alat untuk secara obyektif memonitor progresi penyakit , maupun secara obyektif
memperlihatkan fungsi implantasi jaringan mesensefalon fetus.

Gambar:3 . PET pada penderita Parkinson pre dan prost transplantasi

14
o Single Photon Emission Computed Tomography ( SPECT )
Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post sinapsis oleh
SPECT , suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara sindroma Parkinson plus
dan penyakit Parkinson, yang merupakan penyakit presinapsis murni. Penempelan ke
striatum oleh derivat kokain [123]beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55,
berkurang secara signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis terkena
maupun tidak terkena pada penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang
secara signifikan dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang
berkisar antara 36% pada tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V. Marek
dan yang lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar 11% pada
pengambilan [123]beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit Parkinson dini yang
dipantau selama 2 tahun.
Sekarang telah memungkinkan untuk memvisualisasi dan menghitung degenerasi
sel saraf nigrostriatal pada penyakit Parkinson.Dengan demikian, imaging transporter
dopamin pre-sinapsis yang menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin
terbukti berguna dalam mendeteksi orang yang beresiko secara dini. Sebenarnya,
potensi SPECT sebagai suatu metoda skrining untuk penyakit Parkinson dini atau
bahkan presimptomatik tampaknya telah menjadi kenyataan dalam praktek. Potensi
teknik tersebut sebagai metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi
farmakologis baru, sekarang sedang diselidiki
 Skala Hoehn dan yahr
stage 0 tidak ada tanda-tanda penyakit
Stage 1 tanda-tanda unilateral
Stage 1 tanda-tanda unilateral dan axsial
Stage 2 tanda-tanda bilaterall tanpa gangguan keseimbangan
Stage 2,5 penyakit bilateral ringan
Stage 3 penyakit bilateral ringan-sedang terjadi ketidak seimbangan tubuh, secara
fisik masih mandiri
Stage 4 penyakit parah tidak mampu hidup sendiri
Stage 5 tidak bias berjalan atau berdiri tanpa bantuan .4

15
2.7 DIAGNOSIS

Kriteria Diagnostik Berdasar National Institute of Neurological Disorders and


Stroke (NINDS)1
 Group A (Gejala khas penyakit Parkinson)
- Resting tremor
- Bradikinesia
- Rigiditas
- Onset asimetris
 Group B (Kriteria diagnosis alternative)
- Manifestasi klinis yang tidak biasa di awal penyakit
- Instabilitas postural dalam 3 tahun pertama setelah timbulnya gejala
- Freezing fenomena dalam 3 tahun pertama
- Halusinasi yang tidak terkait dengan pengobatan dalam 3 tahun pertama
- Demensia yang mendahului gejala motorik atau terdapat pada tahun
pertama
- Supranuclear gaze palsy
- Disautomonia simptomatik yang tidak terkait medikasi
- Adanya kondisi yang dapat menimbulkan gejala parkinsonism (lesi otak
fokal atau penggunaan obat neuroleptika dalam 6 bulan terakhir)

Diagnosis penyakit Parkinson ditegakkan berdasarkan kriteria :


1. Secara klinis
 Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik : tremor, rigiditas, bradikinesia
atau
 3 dari 4 tanda motorik : tremor, rigiditas, bradikinesia dan ketidakstabilan postural.
2. Krieteria Koller
 Didapati 2 dari 3 tanda cardinal gangguan motorik : tremor saat istirahat atau gangguan
refleks postural, rigiditas, bradikinesia yang berlangsung 1 tahun atau lebih.
 Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan sedang (minimal
1.000 mg/hari selama 1 bulan) dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih.

16
3. Kriteria Gelb & Gilman
 Gejala kelompok A (khas untuk penyakit Parkinson) terdiri dari :
1) Resting tremor
2) Bradikinesia
3) Rigiditas
4) Permulaan asimetris
 Gejala klinis kelompok B (gejala dini tak lazim), diagnosa alternatif, terdiri dari :
1) Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun pertama
2) Fenomena tak dapat bergerak sama sekali (freezing) pada 3 tahun pertama
3) Halusinasi (tidak ada hubungan dengan pengobatan) dalam 3 tahun pertama
4) Demensia sebelum gejala motorik pada tahun pertama.
 Diagnosis “possible” : terdapat paling sedikit 2 dari gejala kelompok A dimana salah
satu diantaranya adalah tremor atau bradikinesia dan tak terdapat gejala kelompok B,
lama gejala kurang dari 3 tahun disertai respon jelas terhadap levodopa atau
dopamine agonis.
 Diagnosis “probable” : terdapat paling sedikit 3 dari 4 gejala kelompok A, dan tidak
terdapat gejala dari kelompok B, lama penyakit paling sedikit 3 tahun dan respon
jelas terhadap levodopa atau dopamine agonis.
 Diagnosis “pasti”: memenuhi semua kriteria probable dan pemeriksaan histopatologis
yang positif.4

DIAGNOSIS BANDING
1. Atrofi sistem multiple (multiple system atrophy, MSA)
Gambaran ekstrapiramidal bersama dengan satu atau lebih gejala berikut :
- Kegagalan otonom (sindrom Shy Drager)
- Disfungsi serebelar
- Gambaran pyramidal
Jika parkinsonisme lebih dominan, maka sindrom ini disebut MSA-P, sebaliknya bila
gambaran serebelar lebih dominan maka disebut MSA-C.
2. Palsi supranuklear progresif (PSP, sindrom Steel Richardson Olszweski)

17
Kegagalan pandangan volunter (pertama melirik ke arah bawah, kemudian ke arah atas,
kemudian horizontal) berhubungan dengan disfungsi ekstrapiramidal dengan
instabilitas postural awal dan demensia.
3. Sindrom kombinasi gambaran parkinsonian dan disfungsi korteks serebri
Degenerasi kortikobasal (sangat jarang)
Demensia yang disertai badan Lewy. 2

Beberapa gejala klinik seperti tremor, gaya berjalan yang abnormal (seperti,
freezing), instabilitas postural, gejala-gejala piramidal lain yang responsif dengan
pemberian levodopa dapat digunakan sebagai pembeda penyakit parkinson dengan
gangguan parkinsonian lainnya. Meskipun adanya perbedaan kepadatan reseptor dopamin
postsinaptik pada pasien dengan penyakit parkinson atau gangguan atypical parkinsonian
lainnya telah dikemukakan sebagai penjelasan terhadap lemahnya respon terhadap
pengobatan dengan levodopa, hal ini bukan merupakan satu-satunya penjelasan. Baru-baru
ini positron emission tomografi menunjukkan adanya preservasi relatif reseptor dopamin
pada PSP, yang diduga memiliki peranan terhadap penurunan respon terapi dengan
levodopa. Lebih jauh lagi pasien dengan MSA pada awalnya memiliki respon yang
sempurna, namun kemudian terjadi orofacial diskinesia dan hilangnya kemanjuran
antiparkinsonian terkait dengan pemberian levodopa. Meskipun adanya perbaikan dengan
levodopa diduga kuat sebagai penyakit parkinson, namun tidak berarti hal ini dapat
sepenuhnya membedakan penyakit parkinson dari penyakit parkinsonian lainnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 77% pasien yang memiliki respon sempurna terhadap terapi
dengan levodopa, secara patologik merupakan pasien dengan penyakit parkinson. Injeksi
subkutan apomorfin telah digunakan untuk membedakan penyakit parkinson dengan
gangguan parkinsonian lainnya; namun bagaimanapun test ini tidaklah lebih unggul
dibandingkan uji levodopa dan memiliki kontribusi yang kecil dalam evaluasi diagnostik.1,3
Tehnik neuroimaging juga dapat berguna dalam mendiagnosis penyakit parkinson,
seperti : MRI, [18F]-fluorodopa positron emission tomografi, [11C]-eaclopride imaging of
dopamine D2 receptors dan single photon emission computed tomografi dari striatal
dopamine re-uptake. Satu penelitian mengungkapkan bahwa sonografi parenkim otak
mungkin memiliki spesifikasi yang tinggi dalam membedakan penyakit parkinson dengan

18
atypical parkinsonism. Walau bagaimanapun, hyperechogenicity yang abnormal dapat
ditemukan tidak hanya pada penyakit parkinson, melainkan juga pada tremor essential.1

2.8 PENATALAKSANAAN
Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang berkembang progresif dan
penyebabnya tidak diketahui, oleh karena itu strategi penatalaksanaannya adalah 1) terapi
simtomatik, untuk mempertahankan independensi pasien, 2) neuroproteksi dan 3) neurorestorasi,
keduanya untuk menghambat progresivitas penyakit Parkinson. Strategi ini ditujukan untuk
mempertahankan kualitas hidup penderitanya.5

1. Terapi farmakologik
 Outcome : meningkatkan kualitas hidup dengan meminimalkan ketidakmampuan fisik
dan efek samping yang ditimbulkan.
 Tujuan :
1. Pengobatan jangka pendek untuk menghilangkan gejala dan mengembalikan
fungis tubuh yang mengalami kecacatan
2. Pengobatan jangka panjang untuk efektivitas dan membatasi timbulnya
komplikasi terapi
 Sasaran : komponen dopaminergik dan kolinergik di substansia nigra
 Terapi :
a. Terapi Non Farmakologi
o Fisioterapi
Bertujuan untuk mengurangi rigiditas, bradikinesia dan memperbaiki
keseimbangan koordinasi gerak
o Olahraga ringan secara rutin, terutama latihan otot sendi yang terdapat pada
leher, lengan, badan, dan tungkai
o Dukungan keluarga dan lingkungan sekitarnya
b. Terapi Farmakologi : obat Dopaminergik Sentral, Agonis Dopamin,
Antikolinergik. Obat Dopamino – antikolinergik, dan
Penghambat Monoamin Oksidase.5

19
TERAPI FARMAKOLOGI
1. Obat Dopaminergik Sentral
Levodopa
Substitusi defisiensi DA-striatum tidak dapat dilakukan dengan pemberian DA, sebab
DA tidak melintasi sawar darah-otak. Kemudian ternyata bahwa penggunaan dopa-rasemik
banyak menimbulkan efek samping yang mengganggu. Levodopa, sebagai isomer aktif lebih
efektif dan kurang toksik.
Levodopa cepat diabsorpsi secara aktif terutama dari usus halus. Kecepatan absorpsi
sangat tergantung dari kecepatan pengosongan lambung. Absorpsi juga dihambat oleh
makanan tinggi protein akibat kompetisi asam amino dengan levodopa dalam absorpsi
maupun transport ke otak. Levodopa yang dapat mencapai sirkulasi kira-kira 22-30% dosis
oral; sedangkan 60% atau lebih mengalami biotransformasi di saluran cerna dan hati. Hati
mengandung sangat banyak mengandung enzim dopa-dekarboksilase (dekarboksilase asam
amino-I-aromatik, DC). Selain di hati, enzim ini tersebar di berbagai jaringan, juga dalam
dinding kapiler di otak. Jelaslah bahwa levodopa yang mencapai jaringan otak jumlahnya
sedikit sekali. Diperkirakan hanya 1% dari dosis yang diberikan mencapai SSP. Pemberian
penghambat dekarboksilase mengurangi pembentukan dopamin di perifer.7
Biotransformasi levodopa menghasilkan berbagai metabolit (gambar 1). Levodopa
terutama dibiotransformasi menjadi DA yang dalam tahap selanjutnya cepat diubah lagi
menjadi DOPAC (3,4-dihidroksi fenil asetat) oleh enzim MAO dan AD (aldehid
dehidrogenase), dan HVA (asam homovanilat). Pemberian levodopa akan menyebabkan
peningkatan kadar HVA dalam cairan serebrospinal (CSS). Biotransformasi menjadi
metabolit lain hanya sedikit jumlahnya. Metabolit levodopa cepat sekali diekskresi melalui
urin. 7

Mekanisme Kerja
Pengubahan levodopa menjadi DA membutuhkan adanya dekarboksilase asam L-
amino aromatik. Pada sebagian pasien Parkinson, aktivitas enzim ini menurun, tetapi
mencukupi untuk mengubah levodopa menjadi dopamin.
Kerja dopamin telah diteliti pada taraf molekular dan reseptor, dengan teknik ikatan
ligan. Kesimpulan yang didapat ialah bahwa sekurang-kurangnya terdapat 2 jenis reseptor

20
dopamin yaitu D1 dan D2. Reseptor D1 lebih terlokalisasi di badan sel dan terminal
prasinaps neuron striatum dan di terminal prasinaps akson nigrostriatal yang dopaminergik.
Walaupun dopamin meningkatkan aktivitas adenilat siklase homogenat ganglia basal,
kebanyakan peneliti berpendapat bahwa kerja levodopa (dan bromokriptin) diperantarakan
oleh reseptor D2.
Selain itu kapasitas neuroleptik menimbulkan sindrom Parkinson juga dianggap
terutama berdasarkan blokade reseptor D2. Karena reseptor D1 dan D2 tersebar di prasinap
dan pascasinap striatum, sulit membayangkan fungsi dopaminergik pada taraf reseptor.
Walaupun terdapat pertentangan kenyataan bahwa reseptor D1 yang bersifat menghambat
dan reseptor D2 yang bersifat merangsang pada eksperimen elektrofisiologis, tetapi secara
keseluruhan efek dopamin agaknya menghambat letupan neuron di striatum.
Kira-kira 75% pasien Parkinsonisme berkurang gejalanya sebanyak 50%. Hasil
pengobatan pada orang-orang tertentu menakjubkan terutama pada awal terapi. Boleh
dikatakan semua gejala dan tanda membaik, kecuali demensia dan instabilitas postural.
Perbaikan terjadi pada gejala bradikinesia dan rigiditas, tremor sedikit diperbaiki atau malah
memburuk karena berkurangnya rigiditas.
Efek samping levodopa terutama disebabkan terbentuknya dopamin di berbagai organ
perifer. Hal tersebut terjadi karena diperlukan dosis levodopa yang besar untuk mendapat
efek terapi yaitu peningkatan DA di nigrostriatum. Karena tujuan pemberian levodopa adalah
peningkatan DA-striatum maka efek terhadap organ lain menjadi efek samping obat ini. Efek
samping levodopa di perifer dapat dikurangi dengan pemberian penghambat dekarboksilase
yang akan dibahas kemudian.
Efek samping yang dirasakan berdampak pada sistem cerna, diskinesia dan gerakan
spontan abnormal, psikis, sistem kardiovaskular, efek metabolit dan endokrin serta efek
terhadap sistem lain seperti pada ginjal. Ada beberapa bentuk gejala yang umumnya timbul
setelah penggunaan jangka panjang (1-5 tahun) yaitu perpendekan masa kerja, efek pasang-
surut dan pembekuan gerakan.
Perpendekan masa kerja levodopa (wearing-off) yaitu gejala Parkinson timbul
sebelum pasien menelan dosis berikutnya. Efek ini berkurang dengan pemberian jumlah
dosis harian yang sama tetapi lebih sering misalnya dari 3 kali menjadi 5 kali sehari.
Fenomena pasang-surut (on-off) ialah fluktuasi efek obat dalam waktu singkat, beberapa jam

21
membaik lalu memburuk mendadak atau sebagian otot tubuh memperlihatkan perbaikan,
lainnya tidak; terjadinya tidak berhubungan dengan waktu minum obat. Pembekuan gerakan
(freezing). Secara mendadak pasien yang sedang berjalan tidak bisa melangkah atau langkah-
langkahnya pendek-pendek sekali. Pembekuan gerakan ini bisa juga terjadi pada aktivitas
lain. Belum ditemukan cara untuk mengatasi fenomena pasang-surut dan pembekuan gerakan
ini.7

INTERAKSI OBAT. Penghambat dekarboksilase. Pemberian penghambat dekarboksilase


perifer (yang tidak melintasi sawar sawar darah-otak) bersama levodopa menghambat
biotransformasi levodopa menjadi DA di perifer. Kejadian ini sekaligus memberikan
berbagai manfaat :
1. meningkatkan jumlah levodopa yang mencapai jaringan otak sehingga memungkinkan
pengurangan dosis sebanyak 75%
2. pada terapi yang baru dimulai dosis efektif lebih cepat tercapai
3. efek samping seperti mual, muntah dan efek pada sistem kardiovaskular termasuk efek
hipotensi sangat berkurang karena kurangnya DA yang terbentuk di perifer
4. gejala penyakit Parkinson yang hanya timbul pada waktu tertentu dalam sehari (variasi
diurnal) lebih mudah dikendalikan, bahkan frekuensi dosis harian dapat dikurangi tanpa
mengurangi efek terapi
5. efek antagonisme piridoksin dapat dihindari
6. manfaat dan perbaikan gejala bagi pasien meningkat dibanding dengan pada pemberian
levodopa saja
Terapi kombinasi ini terutama bermanfaat terhadap gejala hipokinesia, tetapi kurang
terhadap rigiditas. Terhadap gejala tremor sedikit sekali pengaruhnya dan baru terlihat
setelah terapi berjalan cukup lama.
Sediaan penghambat dekarboksilase untuk pengobatan kombinasi dengan levodopa
ialah karbidopa (MK-486, alfametildopahidrazin), benserazid (Ro 4-4602, seriltrihidroksi-
benzilhidrazin). Terapi kombinasi diberikan dalam perbandingan dosis sebagai berikut ;
karbidopa : levodopa = 1 : 10 atau 1 : 4; benserazid : levodopa = 1 : 4.
Piridoksin. Dalam jumlah yang kecil (lebih dari 5 mg) piridoksin sudah dapat
meningkatkan dekarbiksilasi levodopa di perifer, akibatnya levodopa yang mencapai jaringan

22
otak berkurang. Efek piridoksin yang merugikan ini terlihat setelah pemberian obat
penghambat dekarboksilase.
Sebaiknya levodopa diberikan peroral dengan makanan untuk mengurangi iritasi.
Terapi dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan secara berangsur-angsur, tetapi sebaiknya tidak
melebihi 8 g sehari.1

2. AGONIS DOPAMIN
Beberapa zat kimia memiliki sifat dopaminergik, dengan mekanisme kerja
merangsang reseptor dopaminergik sentral. Obat yang termasuk golongan ini ialah :
apomorfin, piribedil, bromokriptin dan pergolin.1
a. BROMOKRIPTIN
Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat ini lebih besar afinitasnya
terhadap reseptor D2 dan merupakan antagonis reseptor D1. Organ yang dipengaruhi ialah
yang memiliki reseptor dopamin yaitu SSP, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis
dan saluran cerna.
Efektivitas bromokriptin pada penyakit Parkinson cukup nyata dan lebih nyata
lagi pada pasien dengan derajat penyakit lebih berat.
Kenyataan ini didukung oleh fakta :
(1) efek terapi bromokriptin tidak tergantung dari enzim dekarboksilase
(2) bertambah beratnya penyakit akan lebih meningkatkan sensitivitas reseptor dopaminergik
(supersensitivitas denervasi).
Bromokriptin menyebabkan kadar HVA dalam CSS menurun, yang memberikan
kesan bahwa obat ini menghambat pembebasan DA dari ujung saraf otak. Terapi
kombinasi levodopa dan bromokriptin pada penyakit Parkinson dapat mengurangi dosis
levodopa sambil tetap mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan efek terapinya.
Indikasi utama bromokriptin ialah sebagai tambahan levodopa pada pasien yang
tidak memberikan respons memuaskan terhadap levodopa, dan untuk mengatasi fluktuasi
respons levodopa dengan atau tanpa karbidipa. Bromokriptin diindikasikan sebagai
pengganti levodopa bila levodopa dikontraindikasikan.
Efek samping bromokriptin memperlihatkan variasi individu yang nyata. Titrasi
dosis yang teliti perlu untuk menentukan dosis yang tepat. Mual, muntah dan hipotensi

23
ortostatik merupakan efek samping awal berupa kolaps kardiovaskuler dapat terjadi.
Perhatian khusus diberikan harus pada mereka yang minum antihipertensi. Pemberian
obat bersama antasid atau makanan, dan memberikan dosis secara bertahap mengurangi
mual yang berat. Gangguan psikis berupa halusinasi penglihatan dan pendengaran lebih
sering ditemukan dibandingkan dengan pada pemberian levodopa. Turunan bromokriptin
lainnya yaitu Pergilid mesilat dan Lisurid.1

3. ANTIKOLINERGIK
Antikolinergik merupakan obat alternatif levodopa dalam pengobatan Parkinsonisme.
Prototip kelompok ini ialah triheksifenidil. Termasuk dalam kelompok ini ialah : biperiden,
prosiklidin, benztropin, dan antihistamin dengan efek antikolinergik difenhidramin dan
etopropazin.
Dasar kerja obat ini adalah mengurangi aktivitas kolinergik yang berlebihan di
ganglia basal.
Efek antikolinergik perifernya relatif lemah dibandingkan dengan atropin. Atropin
dan alkaloid beladon lainnya merupakan obat pertama yang dimanfaatkan pada penyakit
Parkinson, tetapi telah ditinggalkan karena efek perifernya terlalu menggangu.
a. Triheksifenidil, senyawa kolinergik-nya benztropin farmakodinamik.
Obat-obat ini terutama berefek sentral. Dibandingkan dengan potensi atropin,
triheksifenidil memperlihatkan potensi antispasmodik setengahnya, efek mitriadik
sepertiganya, efek terhadap kelenjar ludah dan vagus sepersepuluhnya. Seperti atropin,
triheksifenidil dosis besar menyebabkan perangsangan otak. Ketiga senyawa kolinergik
triheksifenidil yaitu biperin, sikrimin dan prosiklidin, pada umumnya serupa
triheksifenidil dalam efek antiparkinson maupun efek sampingnya. Bila terjadi toleransi
terhadap triheksifenidil, obat-obat tersebut dapat digunakan sebagai pengganti.
Benztropin tersedia sebagai benztropin meslat, yaitu suatu metasulfonat dari eter
tripinbenzohidril. Eter ini terdiri atas gugus basa tropin dan gugus antihistamin
(difenhidramin). Masing-masing bagian tetap mempertahankan sifat-sifatnya, termasuk
efek anti Parkinson. Efek sedasi gugus difenhidramin bermanfaat pada mereka yang
justru mengalami perangsangan akibat penggunaan obat lain; khususnya pada pasien
yang berusia lanjut. Sebaliknya sebagian basa tropinnya menimbulkan perangsangan.5

24
Efek Samping
Anti Parkinson kelompok antikolinergik menimbulkan efek samping sentral dan
perifer. Efek Samping Sentral dapat berupa gangguan neurologik yaitu : ataksia,
disartria, hipertermia; gangguan mental : pikiran kacau, amnesia, delusi halusinasi,
somnolen, dan koma. Efek samping perifer serupa atropin. Triheksifenidil juga dapat
menyebabkan kebutaan akibat komplikasi glaukoma sudut tertutup; terutama terjadi bila
dosis harian 15-30mg sehari. Pada pasien glaukoma sudut terbuka yang mendapat miotik,
antikolinergik cukup aman untuk digunakan. Efek samping ini sangat membatasi
penggunaan antikolinergik sentral. Pada kelompok pasien ini lebih aman diberi
antihistamin.

Efek Terapi
Obat antikolinergik khususnya bermanfaat terhadap Parkinsonisme akibat obat.
Misalnya oleh neuroleptik, termasuk juga antemetik turunan fenotiazin, yang
menimbulkan gangguan ekstrapiramidal akibat blockade reseptor DA di otak.
Pengalaman di klinik menunjukkan bahwa pemberian antikolinergik lebih efektif
daripada levodopa untuk mengatasi gejala ini. Penambahan antikolinergik golongan ini
secara rutin pada pemberian neuroleptik tidak dibenarkan, antara lain disebabkan
kemungkinan timbulnya akinesia tardif. Belum jelas perbedaan efek terapi antar obat
antikolinergik tapi jelas ada perbedaan keterterimaan obat antar individu.5
Triheksifenidil juga memperbaiki gejala dasar ludah (sialorrhoea) dan suasana
perasaan (mood). Selain pada penyakit Parkinson, triheksifenidil dapat juga digunakan
pada sindrom atetokoriatik, tortikolis spastik dan spasme fasialis; demikian juga
turunannya. Obat-obat ini digunakan sebagai pengganti triheksifenidil bila terjadi
toleransi. Berbeda dengan yang lain, prosiklidin masih boleh digunakan pada pasien
glaukoma dan hipertropi prostat dengan pengawasan ketat. Triheksifenidil terutama
berpengaruh baik terhadap tremor, tetapi bradikinasia/akinesia dan rigiditas juga
membaik. Secara keseluruhan triheksifenidil tidak seefektif levodopa pada penyakit
Parkinson bukan karena obat. Efektivitas benztropin bertahan lebih lama dari
antikolinergik lain.5

25
b. Senyawa Antihistamin
Beberapa antihistamin dapat dimanfaatkan efek antikolinergiknya untuk terapi
penyakit Parkinson, yaitu difenhidramin, fenindamin, orfenadrin, dan klorfenoksamin.
Keempat senyawa ini memiliki sifat farmakologik yang mirip satu dengan yang lainnya.
Difenhidramin diberikan bersama levodopa, untuk mengatasi efek ansietas dan
insomnia akibat levodopa. Walaupun menimbulkan perasaan kantuk, obat kelompok ini
dapat memperbaiki suasana perasaan, karena efek psikotropiknya menghasilkan euforia.
Efek antikolinergik perifer lemah, sehingga beser ludah hanya sedikit dipengaruhi.1

4. OBAT DOPAMINO-ANTIKOLINERGIK
a. Amantadin
Amantadin diduga meningkatkan aktivitas dopaminergik serta menghambat
aktivitas kolinergik di korpus striatum. Sebagai penjelasan telah dikemukakan bahwa
amantadin membebaskan DA dari ujung saraf dan menghambat ambilan presinaptik DA,
sehingga memperpanjang waktu paruh DA di sinaps. Berbeda dengan levodopa,
amantadin tidak meningkatkan kadar HVA dalam CSS. Mekanisme kerjanya belum
diketahui dengan pasti.
Efektivitasnya sebagai antiparkinson lebih rendah daripada levodopa tetapi
respons lebih cepat (2-5 hari) dan efek samping lebih rendah. Efektivitas amantadin tidak
dipengaruhi umur, jenis kelamin, lamanya penyakit, jenis penyakit dan pengobatan
tertentu. Efektivitasnya paling nyata pada pasien yang kurang baik responsnya terhadap
levodopa. Pemberian amantadin dan levodopa bersama-sama bersifat sinergis.1

b. Antidepresi trisiklik
Impiramin atau amitriptilin yang digunakan tersendiri efek anti Parkinsonnya
kecil sekali, tetapi bila dikombinasi dengan antikolinergik dapat sangat bermanfaat.
Dengan kombinasi ini, selain meningkartkan perbaikan rigiditas dan akinesia, gejala
depresi juga diperbaiki.1

26
5. Penghambat Monoamine Oksidase- B (Mao-B)
Selegilin
Selegilin merupakan penghambat MAO-B yang relative spesifik. Saat ini dikenal dua
bentuk penghambat MAO, tipe A yang terutama berhubungan dengan deaminasi oksidatif
norepinefrin dan serotonin, tipe B yang memperlihatkan aktivitas terutama pada dopamin.
Penghambat MAO-A menyebabkan hipertensi bila terdapat tiramin yang masuk dari
makanan, demikian juga bila dikombinasi dengan levodopa. Selektivitas ini hanya berlaku
untuk dosis sampai 10mg/hari.
Selegilin menghambat deaminasi dopamin sehingga kadar dopamin di ujung saraf
dopaminergik lebih tinggi. Selain itu ada hipotesis yang mengemukakan bahwa selegilin
mungkin mencegah pembentukan neurotoksin endogen yang membutuhkan aktivasi oleh
MAO-B. Secara eksperimental pada hewan, selegilin mencegah Parkinsonisme akibat
MPTP. Mekanisme lain diduga berdasarkan pengaruh metabolitnya yaitu N-desmetil
selegilin, L-metamfetamin dan L-amfetamin. Isomer ini 3-10 kali kurang poten dari bentuk
D. Metamfetamin dan amfetamin menghambat ambilan dopamin dan meningkatkan
penglepasan dopamin.
Pada pasien penyakit Parkinson lanjut penambahan selegilin pada levodopa
meringankan fenomen wearing off. Fenomen pasang surut dan pembekuan gerakan tidak
jelas dipengaruhi. Penambahan selegilin memungkinkan pengurangan dosis levodopa 10-
30%. Dengan demikian efek samping levodopa berkurang. Pemberian selegilin tunggal pada
awal penyakit agaknya menghambat progresivitas penyakit Parkinson sehingga menunda
keperluan pengobatan dengan levodopa.5

PEMILIHAN OBAT PARKINSON


Ditinjau dari segi manfaat, para ahli sepakat bahwa kombinasi levodopa dengan
karbidopa merupakan obat penyakit Parkinson yang paling efektif. Pertentangan utama
dalam pengobatan penyakit Parkinson berpusat pada penentuan saat pengobatan dimulai.
Sebagian besar para klinisi cenderung menunda pengobatan sampai kombinasi ini benar-
benar diperlukan atas alasan bahwa efektifitasnya hanya bertahan kira-kira 5 tahun. Lainnya
berpendapat bahwa kegagalan terapi dengan levodopa/karbidopa tidak berkaitan dengan
lamanya terapi tetapi lebih dengan progresivitas penyakit. Data terakhir menyarankan bahwa

27
mortalitas dan progresivitas penyakit menurun bila pengobatan diberikan lebih cepat.
Pemberian levodopa/karbidopa perlu dititrasi demikian rupa untuk menghindarkan efek
samping insomnia, mual dan anoreksia. Biasanya efek terapi dicapai dengan pemberian 3-4
kali sehari. Masalah dapat timbul 2-5 tahun setelah pengobatan dimulai. Levodopa efektif
untuk terapi fase awal atau tingkat penyakit yang sudah lanjut. Kombinasi
Penelitian terbatas menyarankan bahwa pemberian selegilin pada awal penyakit,
menunda progresivitas penyakit dan dengan demikian menunda pengobatan dengan
levodopa/karbidopa. Dari data yang ada saat ini, anjuran tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara medis, karena dengan dosis yang dianjurkan maka efek
sampingnya sangat ringan/tidak ada. Biaya pengobatan dengan deprenil saat ini relatif mahal,
ini akan merupakan kendala yang utama bagi pasien di negeri kita. Penelitian dengan
deprenil masih harus dilakukan untuk mengetahui manfaatnya dalam kombinasi dengan obat
antiparkinson lainnya.
Selain selegilin, masih ada 3 jenis obat yang dapat diberikan sebelum atau bersama
levodopa/karbidopa yaitu : dopamin agonis, amantadin, dan antikolinergik. Tidak ada
pegangan kuat mana di antaranya yang terpilih untuk digunakan lebih dahulu.
Efek samping obat antikolinergik yang sangat membatasi penggunaannya sebagai
obat penyakit Parkinson yaitu prostatisme, glaucoma, dan memburuknya pasien dengan
dementia. Efek samping tersebut juga dapat terjadi dengan amantadin. Berdasarkan
kenyataan di atas pilihan jatuh pada bromokriptin atau lisurid. Kebanyakan pasien
mengalami perbaikan gejala walaupun tidak sebaik yang dicapai dengan levodopa/karbidopa.
Diskinesia jarang terjadi, demikian juga fenomena pasang surut dan fenomen perpendekan
masa kerja. Bila agonis dopamin tidak memuaskan, amantadin atau antikolinegik dosis
rendah dapat dicoba.
Jarang ada pasien yang dapat dibebaskan dari gejala klinik seterusnya. Cepat atau
lambat levodopa/karbidopa pasti dibutuhkan.

Tabel 1. Obat-obatan untuk mengobati penyakit Parkinson1

Obat Aturan Pemakaian Keterangan


levodopa Merupakan pengobatan utama Setelah beberapa
(dikombinasikan untuk Parkinson tahun digunakan,

28
dengan karbidopa) Diberikan bersama karbidopa untuk efektivitasnya bisa
meningkatkan efektivitasnya & berkurang
mengurangi efek sampingnya
Mulai dengan dosis rendah, yg
selanjutnya ditingkatkan sampai
efek terbesar diperoleh
Pada awal pengobatan seringkali
ditambahkan pada pemberian
bromokriptin atau levodopa untuk meningkatkan kerja Jarang diberikan
pergolid levodopa atau diberikan kemudian sendiri
ketika efek samping levodopa
menimbulkan masalah baru
Bisa meningkatkan
Seringkali diberikan sebagai
Selegilin aktivitas levodopa
tambahan pada pemakaian levodopa
di otak
Obat antikolinergik
Pada stadium awal penyakit bisa
(benztropin &
diberikan tanpa levodopa, pada Bisa menimbulkan
triheksifenidil), obat
stadium lanjut diberikan bersamaan beberapa efek
anti depresi tertentu,
dengan levodopa, mulai diberikan samping
antihistamin
dalam dosis rendah
(difenhidramin)
Digunakan pada stadium awal untuk Bisa menjadi tidak
penyakit yg ringan efektif setelah
Amantadin
Pada stadium lanjut diberikan untuk beberapa bulan
meningkatkan efek levodopa digunakan sendiri

2. Terapi pembedahan
Bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologis yang
mendasari (neurorestorasi).
a. Terapi ablasi lesi di otak
Termasuk katergori ini adalah thalamotomy dan pallidotomy
Indikasi : - fluktuasi motorik berat yang terus menerus
- diskinesia yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan medik
Dilakukan penghancuran di pusat lesi di otak dengan menggunakan kauterisasi. Efek
operasi ini bersifat permanen seumur hidup dan sangat tidak aman untuk melakukan ablasi
dikedua tempat tersebut.

29
b. Deep Brain Stimulation (DBS)
Ditempatkan semacam elektroda pada beberapa pusat lesi di otak yang dihubungkan
dengan alat pemacunya yang dipasang di bawah kulit dada seperti alat pemacu jantung.
Pada prosedur ini tidak ada penghancuran lesi di otak, jadi relatif aman. Manfaatnya adalah
memperbaiki waktu off dari levodopa dan mengendalikan diskinesia.
c. Transplantasi
Percobaan transplantasi pada penderita penyakit parkinson dimulai 1982 oleh Lindvall dan
kawannya, jaringan medula adrenalis (autologous adrenal) yang menghasilkan dopamin.
Jaringan transplan (graft) lain yang pernah digunakan antara lain dari jaringan embrio
ventral mesensefalon yang menggunakan jaringan premordial steam atau progenitor cells,
non neural cells (biasanya fibroblast atau astrosytes), testis-derived sertoli cells dan carotid
body epithelial glomus cells. Untuk mencegah reaksi penolakan jaringan diberikan obat
immunosupressant cyclosporin A yang menghambat proliferasi T cells sehingga masa idup
graft jadi lebih panjang. Transplantasi yang berhasil baik dapat mengurangi gejala penyakit
parkinson selama 4 tahun kemudian efeknya menurun 4 – 6 tahun sesudah transplantasi.
Teknik operasi ini sering terbentur bermacam hambatan seperti ketiadaan donor, kesulitan
prosedur baik teknis maupun perijinan.
Thalamotomy dan thalamic stimulation, deep brains stimulation (DBS) dengan
implantasi elektroda dapat merupakan terapi yang mujarab dalam mengatasi tremor pada
penyakit parkinson ketika sudah tidak ada lagi respon dengan pengobatan non surgical.
Pallidotomy, pallidal deep brain stimulation dapat mengatasi gejala-gejala penyakit
parkinson pada pasien yang responnya terhadap medikasi antiparkinsonism mengalami
komplikasi dengan adanya fluktuasi fungsi motorik yang memburuk dan diskinesia. Pada
tahap dini, terapi pembedahan bukan merupakan indikasi. Tindakan ini juga cukup beresiko
serta membutuhkan biaya yang mahal, maka terapi pembedahan ini tidak mempunyai peran
pada awal penyakit Parkinson.1,8

Transplantasi sel dengan menggunakan substansia nigra fetus masih merupakan


teknik yang eksperimental. Perannya terhadap terapi penyakit parkinson idiopatik masih
belum ditetapkan walau pada pasien parkinsonisme akibat MPTP telah menunjukkan
perbaikan yang bermakna.1

30
3. Non Farmakologik
a. Edukasi
Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai penyakitnya, misalnya pentingnya
meminum obat teratur dan menghindari jatuh. Menimbulkan rasa simpati dan empati dari
anggota keluarganya sehingga dukungan fisik dan psikik mereka menjadi maksimal.
b. Terapi rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dan
menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta mengatasi masalah-masalah sebagai
berikut : Abnormalitas gerakan, Kecenderungan postur tubuh yang salah, Gejala otonom,
Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living – ADL), dan Perubahan psikologik.
Latihan yang diperlukan penderita parkinson meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan
psikoterapi.
Latihan fisioterapi meliputi : latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus,
latihan frenkle untuk berjalan dengan menapakkan kaki pada tanda-tanda di lantai, latihan
isometrik untuk kuadrisep femoris dan otot ekstensor panggul agar memudahkan menaiki
tangga dan bangkit dari kursi.
Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian ADL pasien, pengkajian lingkungan tenpat
tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai bermacam strategi, yaitu :
 Strategi kognitif : untuk menarik perhatian penuh/konsentrasi, bicara jelas dan tidak
cepat, mampu menggunakan tanda-tanda verbal maupun visual dan hanya
melakukan satu tugas kognitif maupun motorik.
 Strategi gerak : seperti bila akan belok saat berjalan gunakan tikungan yang agak
lebar, jarak kedua kaki harus agak lebar bila ingin memungut sesuatu dilantai.
 Strategi keseimbangan : melakukan ADL dengan duduk atau berdiri dengan kedua
kaki terbuka lebar dan dengan lengan berpegangan pada dinding. Hindari eskalator
atau pintu berputar. Saat bejalan di tempat ramai atau lantai tidak rata harus
konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat sekitar.
Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi kognitif, kepribadian, status mental
pasien dan keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi kognitif
dan melakukan intervensi psikoterapi.8

31
 Terapi Psikis
Dukungan dan edukasi merupakan hal sangat kritis saat seorang pasien
didiagnosis sebagai penderita penyakit parkinson. Pasien harus mengerti bahwa penyakit
parkinson merupakan penyakit kronik progresif dengan tingkat progresivitas yang
berbeda-beda pada setiap orang. Telah banyak pendekatan yang dilakukan untuk
memperingan gejala. Adanya group pendukung yang berisikan pasien penderita
parkinson tahap lanjut, akan lebih membantu penderita yang baru saja didiagnosis
sebagai penderita penyakit parkinson. Pasien harus diberikan nasehat mengenai latihan,
termasuk stretching, strengthening, fitness kardiovaskular, dan latihan keseimbangan
walaupun hanya dalam waktu singkat. Studi jangka pendek menyatakan bahwa hal ini
dapat meningkatkan kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
kecepatan berjalan, dan keseimbangan.8

2.9 PROGNOSIS
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan
perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka
penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi
mengalami progress hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan
fungsi otak general, dan dapat menyebabkan kematian.
Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien
berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat
bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah. Penyakit Parkinson sendiri
tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang sejalan dengan waktu. Rata-rata
harapan hidup pada pasien Parkinson pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang tidak
menderita Parkinson. Pada tahap akhir, penyakit Parkinson dapat menyebabkan komplikasi
seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian.
Progresifitas gejala pada Parkinson dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun
demikian pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk
memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-masing individu. Dengan treatment yang
tepat, kebanyakan pasien Parkinson dapat hidup produktif beberapa tahun setelah diagnosis.8

32
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif,


merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia basalis akibat penurunan atau
tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus palidus/ neostriatum (striatal
dopamine deficiency). Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di
Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-
400.000 penderita
Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan secara
holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan penyakit
ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala yang timbul . Obat-obatan yang ada
sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa
dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani
sepanjang hidupnya.
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total
disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat menyebabkan
kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien
berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat
bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjahrir H, Nasution D, Gofir A. Parkinson’s Disease & Other Movement Disorders. Pustaka
Cedekia dan Departemen Neurologi FK USU Medan. 2007. Hal 4-53.
2. Harsono. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Neurologis Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia dan UGM. 2008. Hal 233-243.
3. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. Hal 1139-1144.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. FKUI. 2007. Hal 1373-1377.
5. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. Hal 1139-1144.
6. Ganong, William F., and Mcphee, Stephen J. 2011. Patofisiologi Penyakit Edisi 5. Penyakit
Parkinson. Jakarta. EGC. Hal 188-189.
7. Bagian Ilmu Penyakit Saraf 2013. Standar Pelayanan medik Parkinson. Fakultas kedokteran
Universitas Hasanuddin. Hal 65-66.
8. Agoes, Azwar, dkk. 2010. Penyakit di Usia Tua. Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC. Hal 147-
152.

34

Anda mungkin juga menyukai