Anda di halaman 1dari 57

BAB I

IDENTITAS BUKU

Judul buku : Pemberontakan Petani Banten 1888.

Terjemah dari : The Peasant”s Revolt of Banten In 1888

Pengarang : Prof. DR. Sartono Kartodirdjo


Penerjemah : Hasan Basari
Penerbit : Pustaka Jaya , Jakarta
Tahun dicetak : 1984
Cetakan : Pertama
Tebal Buku : 508 halaman

Ilustrasi Buku : Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono


Kartodirdjo merupakan sebuah studi awal masyarakat Indonesia yang
berupa peristiwa kerusuhan yang menyelimuti daerah Banten.

1
BAB II

INTISARI BUKU

A. Pendahuluan

Pemberontakan petani Banten terjadi dari tanggal 9 sampai 30 Juli 1888.


Pemberontakan ini merupakan salah satu contoh dari ledakan sosial yang melanda
pulau Jawa. Ledakan sosial ini diakibatkan oleh pengaruh barat yang semakin kuat di
Jawa. Pemberontakan-pemberontakan petani ini bersifat lokal dan tidak menunjukan
ciri-ciri modern seperti organisasi, ideologi-ideologi modern dan agitasi. Mereka
hanya ingin menggulingkan pemerintah tanpa tahu gerakan yang mereka ambil adalah
sebuah gerakan sosial revolusioner, mereka tidak tahu untuk apa mereka
memberontak karena tidak ada realisme dan tujuan yang dikemukakan oleh kaum
pemberontak. Pemberontakan ini hanya dipandang sebagai penentangan terhadap
masuknya perekonomian Barat seperti penetapan pajak yang tidak diinginkan.
Sehingga masyarakat merasa terganggu dan menjadi keresahan yang meluas. Hal ini
menyebabkan pemimpin agama membungkuskan pesan milenari tersebut dalam
istilah-istilah agama.

Pemberontakan Banten tersebut dipilih sebagai bentuk studi karena memiliki


gejala yang khas dari perubahan sosial dan perkembangan yang menyertainya.
Pemberontakan petani ini tidak dipimpin oleh petani biasa. Tetapi dipimpin oleh
orang yang dianggap terkemuka di pedesaan tersebut seperti pemimpin agama, atau
anggota kaum ningrat. Pemimpin-pemimpin inilah yang dikemudian hari
menyebarkan pada khalayak mengenai ramalan akan datangnya ratu adil atau Mahdi
untuk menarik massa agar bergabung dengan mereka untuk melakukan suatu
pemberontakan. Dalam hal ini penulis memaparkan bahwa seharusnya sejarah tidak
hanya mengutamakan politik dan tokoh-tokohnya yang terkenal. Tetapi sejarah juga
merupakan studi yang mempelajari mengenai kekuatan yang mendasari dan
menyangga masyarakat dalam lingkup kolonialisme tersebut. Sejarah merupakan
keseluruhan matrik tata hubungan ekonomi sosial dan politik dengan menyoroti
pelbagai segi masyarakat Indonesia dan pola-pola perkembangannya.

2
Lingkup dan tujuan dari studi ini seluruhnya yaitu hanya mengenai gerakan-
gerakan sosial Banten abad 19 Saja. Hal ini dikarenakan penyelidikan sejarah akan
lebih jelas batas-batasnya secara geografis dan kultural. Sedangkan tujuannya yaitu
untuk memberikan batasan yang jelas mengenai latar belakang kultural dan
keagamaan dari permasalahannya, dan sebagai penghubung fenomena historis tentang
pemberontakan petani tersebut dengan kondis-kondisi sosial, ekonomi dan politik di
Banten. Hal ini agar kita menemukan unsur identitas dan kontinuitasnya. Gerakan
sosial merupakan satu hal yang kompleks. Secara teoritis gerakan sosial ini dapat
dibahas secara terpisah antara aspek sosio-ekonomi, politis dan keagamaan yang
merupakan kondisional dari pergerakan tersebut.

Aspek-aspek tersebut pun memiliki hubungan yang berkesinambungan,


dimana hal ini menentukan sebab akibat dari pergerakan yang sedang terjadi tersebut.
Selain itu, dalam pembahasan pemberontakan petani Banten ini, penulis membahas
tentang kedinamisan hubungan orang-orang yang terlibat di dalamnya dalam
mengkonsolidasikan gerakan tersebut dengan menilik sistem-sistem nilai tradisional
dan keagamaan sebagai bentuk penentangan terhadap westernisasi untuk
memperhitungkan proses politik sebagai suatu konsep yang mengacu kepada interaksi
antara pelbagai unsur sosial untuk memperoleh alokasi otoritas.

Pembahasan dalam buku ini meliputi hasil dari sisa-sisa dokumen yang dicatat
dalam kegiatan pejabat-pejabat dan opsir-opsir tentara, serta transaksi-transaksi
administratif oleh badan-badan pemerintahan. Hal ini dinilai karena memiliki
relevansi bagi pemberontakan Banten yang memuat sebagian besar data mengenai
jalannya pemberontakan, catatan-catatan mengenai kaum pemberontakan oleh
pengadilan, ketetapan gubernur jendral mengenai pengangkatan atau pemecatan
pegawai-pegawai negeri sipil dan pembuangan kaum pemberontak. Walaupun
dokumen-dokumen tersebut pada dasarnya ditulis dari sudut pandang pejabat-pejabat
kolonial yang mana dokumen-dokumen resmi tersebut jarang memuat keterangan
yang tidak terperinci sehingga meletusnya pemberontakan petani Banten pun terlepas
dari kendali pemerintah kolonial.

3
Studi ini beranggapan bahwa gerakan keagamaan pada hakikatnya merupakan
gerakan sosial yang memiliki hubungan khusus dengan kelas-kelas sosial yang
dibumbui etos kultural di dalam golongan-golongan tersebut disertai dengan kondisi-
kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku.

B. Latar Belakang Sosial dan Ekonomis

Banten merupakan wilayah yang memiliki luas sekitar 114 mil persegi dengan
pendudukpaling padat disekitar distrik Cilegon. Kepadatan ini tentunya berkaitan
dengan penggarapan tanah di wilayah tersebut. Daerah itu dapat dibagi menjadi 2
bagian, yaitu daerah selatan yang berupa pegunungan yang jarang penduduk dan utara
yang penduduknya lebih padat serta tanah-anahnya yang banyak dilakukan
penggarapan. Kesultanan Banten sendiri terdapat di bagia Utara yang berdiri pada
tahun 1520 oleh pendatang kerajaan Demak Jawa Tengah tetapi dihapuskan oleh
Daendels pada 1808. Daerah kesultanan ini meliputi daera pegununga Banten, bagian
Barat Bogor, dan Jakarta dan juga Lampung di Sumatra Selatan. Daerah ini oleh
Orang Portugis disebut juga Sunda Batam yang dimana merupakan sebuah kota pusat
perdagangan lada. Kota ini maju setelah Malaka direbut Portugis pada 1511 dan
memudar setelah belanda pada 1619 menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan.

Banten memiliki banyak pelabuhan diantaranya adalah Anyer. Pada tahun


1808 pulalah daerah tersebut dibuatkan Postweg (jalan post) oleh Belanda yang
terkenal dengan sebutan jalan Anyer Panarukan. Orang Belanda mengenal orang
Banten sebagai orang-orang fanatik beragama, memiliki sikap agresif, serta
bersemangat untuk memberontak. Hal ini dikarenakan orang Banten terdiri atas
orang-orang pendatang keturunan Jawa, Demak, dan Cirebon. Mengenai tanaman
karakteristik yang ditanam di daerah ini yaitu tanaman berupa tebu, kacang, kapas,
dan kelapa. Disamping itu disana juga terdapat industri yang mengakibatkan
pemusatan penduduk di distrik Cilegon. Walaupun demikian mayoritas dari rakyat
yaitu tetap menjadi petani. Hanya minoritas penduduk yang mencari nafkah di bidang
perdagangan. Karena mayoritas penduduk sebagai petani inilah memunculkan sistem
hak atas tanah oleh kesultanan. Fungsi Sultan yang berupa memeberikan perlindungan
mengakibatkan ia menguasai perekonomian, maka mobilisasi produksi dari sistem

4
agraris pun digunakan untuk menunjang rumah tangganya serta untuk pejabat-pejabat
negaranya.

Dalam perkembangannya baik dari masyarakat maupun orang-orang


kesultanan tersebut pun membuka lahan pesawahan baru sehingga pemungutan pajak
menjadi hal utama yang dijalankan dalam sistem birokrasi.Dalam tahun 1808
Daendels menghapuskan tanah-tanah milik sultan tersebut serta menghapuskan pula
hal-hal yang bersangkutan dengan penggarapan tanah oleh petani. Penghapusan inilah
yang menjadi cikal bakal pihak kesultanan kehilangan pengaruh politik dan
banyaknya rasa tidak puas dikalangan rakyat sehingga menjadi biang kerusuhan di
Banten sampai tahun 1830 dan berlangsung hingga meletusnya pemberontakan. Pada
rentang waktu 1808 atas penghapusan sistem kesultanan oleh Dendels sampai dengan
1888 ini pun terjadi beberapa konflik yang terjadi, diantaranya adalah konflik
mengenai hak tanah yaitu adanya pegadaian sawah jika pemiliknya menerima
pinjaman.

Saat melakukannya terdapat banyak sekali transaksi-transaksi tanah yang


dilakukan untuk menegaskan persetujuan tanah tersebut diantaranya yaitu menjadikan
tanah sebagai jaminan, serta persetujuan bagi hasil dari tanah dan penggarapannya.
Hal ini tentunya merupakan sebuah pembaharuan dalam perekonomian agraris, yang
mana pembaharuan ini menyebabkan sering terjadinya suatu bentrokan-bentrokan
kepentingan. Selain itu juga terdapat wajib kerja bakti yaitu mengenai kewajiban
untuk membayar pajak dalam bentu kerja. Wajib kerja bakti itu erat kaitannya dengan
hak garap sawah. Hal iniuntuk membedakan antara tanah-tanah kesultanan atau milik
orang pribadi. Masyarakat baik yang masih diperbudak oleh kaum elite atau yang
sudah merdeka pada saat itu diwajibkan untuk menyumbangkan tenaga mereka untuk
kepentingan umum seperti mebuat jalan atau membuka lahan baru bahkan mereka
harus memberikan jasa-jasa pribadi kepada sultan atau pembesar umpamanya
memikul tandu mereka atau barang-barang mereka dalam perjalanan.

Hal ini pun mengundang potensi konflik karena dianggap telah menggunakan
tenaga petani atau buruh dengan melampaui batas atau disebut juga dengan
pemerasan tenaga kerja. Yang menjadi pokok permasalah dari penjelasan diatas
adalah kondisi sosio-ekonomis di Bnten abad 19 merupakan salah satu contoh yang

5
mencolok mengenai tidak memadainya perundang-undang modern sebagai sarana
untuk meniadakan keburukan sosial apabila pada pelaksanaannya tetap mengikuti
pola tradisional. Yang kiranya penghapusan sistem kesultanan, pertanahan dan
perbudakan oleh Belanda yang merujuk pada ekonomi modern tersebut dilaksanakan
dengan lamban oleh masyarakat setempat. Meskipun menuurut peraturannya semua
hal tersebut telah dihapuskannamun berbagai kerja wajib yang harus dilaksanakan
oleh petani bagi kepala-kepala setempat dan daerah mereka masih tetap bertahan dan
malah bertambah banyak.

Dalam pembahasan sosio-ekonomis tentunya harus diketahui juga sistem


stratifikasi sosial pada masyarakatnya. Pada puncak hirarki terdapat sang sultan yang
secara turun-temurun ia berada dalam tingkat stratifikasi atas menjadi seseorang yang
berkuasa. Disusul pula oleh pejabat-pejabat tinggi, priyayi dll. Tetapi dalam
perkembangannya pemerintah kolonial mengubah mekanisme administrasinya ke
model barat dengan mengubah personil sultan menjadi birokrat-birokrat, sedangkan
anggota-anggotanya diambil dari berbagai lapisan masyarakat, orang-orang dari
rakyat biasa yang disenangi pun dapat diangkat untuk menduduki jabatan rendahan
birokrasi dengan restu pemerintahan kolonial. Status dan peranan sosial tersebut
tentunya sangat penting ditelaah, termasuk juga peranan bagi sang pemuka agama
yang juga meainkan peranan yang esensial dalam gerakan sosial. Sebelumnya
terdapat 2 golongan sosial yang merupakan lapisan bawah dalam hirarki sosial yaitu
golongan yang tidak memiliki sosio-ekonomis dan bersifat membangkang dan
melakukan tindakan diluar hukum. Yang kedua yaitu golongan para bujang yang
bekerja dengan cara diupah oleh golongan elite.

Kembali pada pembahasan pemuka agama, mereka memiliki prestise dan


dapat memperbesarkekuasaan sosial mereka karena pemuka agama merupakan orang-
orang yang sangat disegani oleh masyarakat umum, walaupun demikian dalam
pemerintahan ini terdapat sifat sekulerisasi, sehingga hal inilah yang menimbulkan
pemuka-pemuka agama inipun memberontak.Tepat pada tahun 1879 terjadilah wabah
penyakit ternak, yang mengakibatkan kerugian besar-besaran serta raa cemas
dikalangan rakyat. Pada tahun berikutnya muncul pula wabah demam yang dimana
menyebabkan banyak penduduk meninggal dunia hal ini mengakibatkan
kekurangannya tenaga kerja untuk menggarap sawah, ataupun memanen sehingga

6
terjadinya musim kelaparan yang tidak dapat dielakkan. Tambahan pula pada tahun
1883 Gunung Krakatau pun meletus yang mengakibatkan pukulan hebat bagi
penduduk.

C. Perkembangan Politik

Norma-norma dan tujuan politik dibahas sebagai nilai-nilai representative


golongan-golongan sosialyang terlibat didalam percaturan politik. Selain itu didalam
masyarakat Banten, lembaga-lembaga politik tidak semata-mata mengacu kepada
negara atau pemerintah, melainkan cenderung untuk diasosiasikan dengan satuan-
satuan sosial lainnya seperti keluarga, golongan-golongan keturunan dan komunitas
keagamaan. Pengandaian-pengandaian teoritis umum yang mendasari studi ini
berkaitan dengan dua komponen utama diantaranya satu, penggunaan bagan konsep
weber mengenai pelembagaan kekuasaan yang kiranya cocok bagi suatu analisa
perbandingan mengenai lembaga-lembaga sosial yang tradisional dan yang modern di
Banten. Kedua, tipologi orientasi-nilai sosial seperti yang dikonstruksikan oleh
Parsons berguna untuk menyoroti lebih tajam diferensiasi dan variabilitas struktur
sistem-sistem sosial yang tradisional dan yang modern.

Studi ini menggunakan sebagai titik tolaknya deskripsi mengenai sistem


tradisional di Banten, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Ia
merupakan masyarakat tradisional yang menjadi kacau akibat pengaruh Barat namun
sementara itu pola-pola tradisional yang masih tetap dominan dalam kehidupan
banyak golongan sosial di Banten abad XIX. Pengaruh yang dominan terhadap
masyarakat Banten abad XIX adalah tradisi kesetiaan-kesetiaan dan nilai-nilai lama,
yang memperlihatkan daya tahan yang luar biasa. Perkembangan politik yang terjadi
selama periode yang sedang ditelaah menunjukan dengan jelas bahwa timbul
kesetiaan-kesetiaan dan pengelompokan-pengelompokan baru, sementara
persekutuan-persekutuan lama dibubarkan.

Dibawah kondisi-kondisi politik, golongan berkuasa yang tradisional


berusaha mempertahankan kekuasaan dan privilese mereka, sementara golongan-
golongan baru, dengan dukungan penguasa kolonial, menentang mereka. Naiknya
kedudukan golongan melahirkan persekutuan diantara mereka yang tidak memegang
kekuasaan dan pengawasan, yakni kaum bangsawan dan pemuka-pemuka agama.

7
Persaingan-persaingan dinyatakan dalam bentuk pengelompokan-pengelompokan
politik, yang pada gilirannya dinyatakan dalam sikap mendukung atau merintangi
penguasa-penguasa kolonial.

Struktur Politik Tradisional Dan Keruntuhannya

Didalam struktur negara tradisional, kekuasaan sultanlah yang mempunyai


prerogative, baik dalam urusan politik maupun dalam urusan agama. Langsung
dibawah sultan adalah para pangeran anggota keluarga sultandan anggota-anggota
kaum bangsawan lainnya. Diantara mereka ada yang bertugas mengawasi pasukan
pengawal keraton dan budak-budak, akan tetapi sebagai anggota-anggota golongan
keturunan sultan mereka biasanya tidak dimasukan kedalam organisasi administratif.
Kekuasaan administratif dilimpahkan kepada anggota-anggota lapisan atas birokrasi
(bureaucratic gentry). Yang mengepalai birokrasi pusat adalah patih (wazir besar),
sedangkan fungsi pengadilan agama dipegag oleh Fakih Najamuddin. Patih dibantu
oleh dua kliwon yang biasanya disebut patih. Dibawah pejabat-pejabat tingkat teratas
itu adalah para punggawa, yang ditugasi administrasi dan pengawasan atas
penanaman lada, produksinya dan perdagangannya. Sejajar dengan pejabat-pejabat
terkemuka di kota-kota pelabuhan itu adalah para kepala daerah, yakni Bumi Lebak,
Pangeran Caringin, Bupati Pontang dan Jasinga.

Pada awal abad ke XIX para punggawa diangkat oleh sultan untuk mengepalai
administrasi bagian-bagian kesultanan. Pada tingkat hirarki birokrasi yang paling
bawah, para ngabeuy dan lurah ditugaskan untuk mengawasi sejumlah rumah tangga.
Tugas utama mereka adalah memungut pajak dan upeti serta memelihara ketertiban
umum. Jabatan ngabeuy sering kali dipegang secara turun-temurun dan dianggap agak
patriarkal Meskipun kepemilikan tanah mempunyai arti penting, pengawasan atasnya
tidak merupakan satu-satunya landasan material kekuasaan politik para penguasa di
Banten. Transaksi-transaksi komersial selalu berada dibawah pengawasan dan
dikenakan pajak oleh pejabat-pejabat sultan. Selain itu, hak monopoli atas hasil-hasil
pokok, seperti lada merupakan salah satu prerogatif negara di bidang ekonomi.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan ekonomi yang diambil oleh
sultan meliputi bea import dan eksport yang dikenakan atas perdagangan lada,
tembakau, gambir, kapas, dan sebagainya.

8
Dan pajak yang dikenakan atas ternak, rumah, dan perahu. Selain itu, sultan
juga memperoleh penghasilan dari menyewakan hak mengutip pajak pasar, pabrik
gula, tanah milik, dan sebagainya. Sementara, perdagangan di Banten dalam abad
XIX mengalami kemunduran, pertanian semakin penting dalam perekonomian
Banten, sehingga akibatnya imbalan jasa untuk pejabat-pejabat terutama terutama
terdiri dari hadiah-hadiah tanah. Dalam perjalanan sejarah kesultanan Banten, telah
terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh pangeran-pangeran yang
membangkang, yang oleh karena menganggap dirinya cakap untuk memerintah lalu
melawan kekuasaan sultan yang baru. Pemberontakan-pemberontakan yang
tradisional sering kali menghasilkan perubahan-perubahan personil, akan tetapi tidak
mengubah sistemnya. Dengan diberlakukannya administrasi Barat, sistem itu mulai
mengalami perubahan yang berangsur-angsur tetapi mendasar.

Setelah aneksasi kesultanan Banten oleh Daendels dalam tahun 1808, sultan
dan alat-alat politiknya dipertahankan akan tetapi ditempatkan dibawah pengawasan
ketat pemerintah Belanda. Banten dinyatakan sebagai daerah kekuasaannya dan luas
wilayahnya sangat diperkecil. Sultan Abu’n-Natsr Mohamad Ishak Zainu’l Mustakin
dibuang ke Amboina dan digantikan oleh Sultan Abu’l-Mafakhir Mohamad Aliudin.
Ia diperbolehkan memakai gelar sultan, akan tetapi pada kenyataannya ia hanya
merupakan semacam boneka saja, oleh karena Banten sekarang sudah dimasukan ke
dalam wilayah Belanda, “kekuasaannya” ternyata tidak menguntungkan bagi
masyarakat Banten, oleh karena ia menjadi permainan klik-klik para pemuka agama
dan para pemuka keraton yang secara diam-diam mendukung satu komplotan orang-
orang yang tidak puas.

Peranan Politik Kaum Bangsawan

Sejak permulaannya, kaum bangsawan mempunyai kedudukan yang jauh lebih


menguntungkan dalam arena politik di Banten sesudah aneksasi, oleh karena aneksasi
kolonial yang baru tidak bisa berjalan tanpa dukungan kaum bangsawan Banten yang
sangat berpengaruh. Ketika itu dirasakan sebagai tindakan yang paling tepat untuk
mengangkat anggota-anggota bangsawan atau orang-orang yang mempunyai
hubungan erat dengan mereka sebagai pejabat-pejabat tinggi selama tahap-tahap
pertama pemerintahan Belanda, guna memudahkan pelaksanaan kebijaksanaan

9
kolonial di daerah yang rusuh itu. Ketika itu rakyat Banten masih dianggap
mempunyai loyalitas politik terhadap kaum bangsawan. Sesungguhnya, dimata orang-
orang Banten, kaum bangsawan Banten mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada
pamongpraja-pada mulanya, pejabat-pejabat pamongpraja yang pada mulanya,
pejabat-pejabat pamongpraja yang berasal dari rakyat biasa tidak dipandang tinggi
oleh penduduk. Kebijaksanaan tersebut telah menyebabkan orang-orang berdarah
bangsawan menguasai tingkat-tingkat atasan birokrasi kolonial dengan cara yang
sangat menyolok. Maksud pemerintah kolonial adalah agar mereka berfungsi sebagai
peringkat dalam proses perpaduan antara sistem politik yang baru dan tatanan
masyarakat Banten yang lama.

Peranan Putri Ratu Siti Aminah

Di Banten abad XIX perkawinan antara wanita bangsawan dan pejabat yang
berpangkat tinggi sudah merupakan satu kecenderungan yang umum, pada tahun
1880an, Ratu Siti Aminah dilukiskan sebagai wanita lanjut usia yang giat dan
bersemangat. Ia merupakan tokoh yang dominan di lingkungan keluarga sultan. Selain
itu ia juga merupakan penjelmaan islam yang ortodoks , yang merupakan cirri khas
kesultanan. Pengaruhnya yang besar dirasakan tidak hanya oleh kalangan elite agama
di Kasunyatan, Banten, dan Kanari, yang merupakan pusat-pusat keagamaan di
keresidenan Banten. Satu contoh yang terkenal dari intrik-intriknya itu adalah
peristiwa Sabidin yang sangat terkenal pada tahun 1882. Tak disangsikan lagi bahwa
Ratu Siti Aminah memperoleh keuntungan yang sangat besar bukan saja dari
kedudukannya berdasarkan keturunan, melainkan juga dari kedudukannya sebagai ibu
bupati Serang mertua bupati Pandeglang.

Peristiwa Sabidin

Menurut Java Bode, Sabidin dilahirkan di Yogyakarta , sebagai anak seorang


wanita Indonesia bernama Piet (sic). Pada usia 12 tahun ia pergi ke Surabaya dan
mendapat pekerjaan disebuah bengkel angkatan laut. ia berturut-turut bekerja sebagai
tukang gambar dan juru kemudi. Secara kebetulan ia berkenala dengan pelukis
terkenal, Raden Saleh yang membawanya ke Paris sebagai salah seorang pelayannya,
kembali di Batavia, Sabidin mendapat kenalan-kenalan baru diantaranya R.M..
Sunario, seorang cucu Mangkunegoro. Di kemudian hari ia dengan lihai

10
memanfaatkan hubungan itu. Karena ia masih merasa tertarik oleh angkatan laut, ia
bekerja sebagai pramugara, mula-mula di kapal “angus”, kemudian di kapal “Zee
Meeuw”. Beberapa waktu kemudian ia berhenti dari pekerjaannya dan mendarat di
Onrust, dan dari sana ia menuju Karangantu, lalu Kasemen.

Dalam perjalanan kelilingnya, Sabidin diterima dengan ramah, mula-mula


oleh Patih Lebak, Jayapraja, Ipar Bupati Pandeglang, kemudian oleh haji Iyang di
Cianjur dan haji Saripah di Bandung. Terutama di Lebak ia mendapat sambutan yang
sangat meriah, oleh karena yang dibangga-banggakan oleh patih disana ialah bahwa ia
mempunyai hubungan dengan keluarga sultan melalui perkawinannya dengan seorang
ipar Ratu Hamsah, anak Ratu Siti Aminah. Kunjungan Sabidin sangat membesarkan
hatinya dan memperkokoh ikatan di kalangan kaum bangsawan. Sementara itu, di
Banten tersiar kabar angin bahwa Pangeran Timur mempunyai maksud untuk
berusaha memulihkan hak-hak kesultanan , dengan didukung oleh keenam saudara
laki-lakinya.

Menurut catatan-catatan masa itu, para penggerak utama peristiwa Sabidin itu
adalah pensiunan Patih Lebak, Jayakusuma, dan Patih pada waktu itu, Tubagus
Jayapraja. Peristiwa Sabidin merupakan gejala yang mencerminkan masyarakat
Banten dalam peralihan. Selain artinya sebagai gerakan untuk memulihkan kedudukan
sultan, peristiwa itu menunjukan dengan jelas bahwa golongan-golongan yang
berdasarkan garis keturunan dan terdiri dari anggota-anggota keluarga besar
memainkan peranan penting dalam percaturan politik di Banten. Loyalitas lebih
ditentukan oleh ikatan kerabat atau garis keturunan ayah daripada prinsip-prinsip yang
abstrak. Aspek hubungan tradisional ini berkisar di sekitar keluarga sultan sebagai
keluarga pertama di Banten. Yang terutama menarik adalah disatu pihak bagaimana
kaum bangsawan berusaha membina hubungan yang kekal dengan anggota-anggota
pamongpraja, dan di lain pihak bagaimana yang disebut terakhir ini harus
mengkonsolidasikan kedudukan mereka dengan jalan menggabungkan diri dengan
keluarga sultan yang sudah mapan.

Kebijaksanaan Mengenai Penerimaan Pegawai Pemerintah

Struktur hirarki yang sudah ada dalam masyarakat Banten telah memudahkan
pembentukan sistem birokrasi kolonial, sehingga dalam hal ini tidak diperkirakan

11
akan terjadi perubahan-perubahan radikal dalam struktur kekuasaan.kenyataan bahwa
ikatan-ikatan kewajiban dan ketergantungan politik untuk sebagian mengikuti garis-
garis birokrasi hirarkis dan untuk sebagian lagi mengikuti garis-garis hubungan
kekerabatan, tak boleh tidak mempengaruhi rencana kebijaksanaan kolonial. Karena
terus-menerus dilanda perpecahan di dalam negeri, Banten menjadi semakin rawan
terhadap penetrasi Belanda. Sultan-sultan dan pangeran-pangeran selalu berusaha
mencari sekutu yang kuatdan Belanda bersedia memberikan bantuan yang diminta itu
dengan imbalan upeti dan kemudian kekuasaan penuh. Sejak tahun 1684, Banten
merupakan jajahan kompeni (VOC), akan tetapi kesultanan dan semua lembaga
politik pribumi tidak diganggunya. Setelah kesultanan dihapuskan, diberlakukan satu
sistem birokrasi baru, dimana Banten dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Utara,
Barat, dan Selatan.

Selama abad XIX Banten terkenal sebagai daerah yang sulit diperintah.
Pamongpraja sering kali tidak berdaya. Dalam tahun dua puluhan, pejabat-pejabat
Eropa yang sedikit sekali jumlahnya, kebnayakan tinggal di ibukota keresidenan.
Sebagai akibat situasi politik itu, Belanda harus banyak bertumpu kepada pejabat-
pejabat Banten dalam menangani administrasi di daerah itu. Kedudukannya yang
lemah dengan sendirinya menyebabkan pemerintah kolonial berada pada posisi yang
tidak menguntungkan dalam soal pengangkatan pegawai-pegawai pemerintah.

Struktur Birokrasi Kolonial Dan Konflik Kelembagaan

Dilihat dari segi pengangkatan dan penggantian pejabat-pejabat birokrasi di


Banten tidak dapat diidentifikasikan sebagai birokrasi yang benar-benar rasional-
legal, dimana persyaratan-persyaratan teknis merupakan dasar utama untuk
menyaring pejabat. Faktor-faktor diluar birokrasi, seperti derajat keluarga orang yang
bersangkutan, yakni apakah orang itu punya hubungan keluarga dengan kaum
bangsawan Banten atau tidak, pada umumnya menentukan pengangkatan dan
kenaikan pangkatnya. Dualisme ini berarti bahwa di satu pihak kebijaksanaan
kolonial masih memperhitungkan faktor-faktor khusus seperti latar belakang keluarga,
sedangkan dilain pihak ia juga menekankan aspek-aspek yang berlaku umum seperti
persyaratan teknis. Penetrasi adminstrati rasional-legal secara progresif jelas
menimbulkan ketegangan dan ketidak stabilan yang besar dalam masyarakat Banten.

12
Perubahan politik ini melahirkan konflik-konflik kelembagaan yang memaksa
pejabat-pejabat pamongpraja untuk berulang kali memainkan peranan yang saling
bertentangan.

Peranan Politik Elite Agama

Elite agama terlibat dengan cara yang berbeda dalam konflik kelembagaan itu.
Sementara pamongpraja secara keseluruhan memperlihatkan sikap menyesuaikan diri
dengan sistem politik yang diberlakukan oleh Belanda, kaum elite agama cenderung
untuk menolaknya. Semakin lanjut proses modernisasi serta gelaja yang
menyertainya, yakni sekularisasi, semakin sengit perlawanan mereka oleh karena
mereka sudah mengikat diri sepenuhnya kepada norma-norma dan nilai-nilai islam,
yang sama sekali tidak dapat diperdamaikan dengan sistem secular. Kedudukan sosial
mereka menjadi taruhan.Banyak anggota elite agama dimasukkan kedalam kerangka
umum sistem administratif, dan membentuk satu kelas administratif religious di
samping kelas administratif sekular. Jabatan ketua Mahkamah Agung dipegang oleh
seorang ulama, yang biasanya memakai nama resmi Fakih Najamuddin. Kaum elite
agama menempati kedudukan yang strategis, baik pada tingkat lokal maupun pada
tingkat pusat, sehingga mereka dapat dengan mudah berhubungan dengan keraton dan
tingkat-tingkat atas birokrasi.

Seletah kesultanan dihapuskan, kaum elite agama tidak lagi mendapat


kesempatan untuk berpartisipasi dalam soal-soal kebijaksanaan, meskipun dalam
kenyataannya jabatan Fakih Najamuddin tetap dipertahankan sampai tahun 1868 dan
pengadilan-pengadilan agama masih diselenggarakan oleh pejabat-pejabat agama.
Kekuasaan politik para kiyai atau haji sebagai guru tarekat atau guru ngaji
dibuktikan dengan jelas oleh kasus tarekat kadiriah dan pesantren-pesantren yang
banyak sekali terdapat di Banten Utara selama tahun-tahun tujuh puluhan dan delapan
puluhan. Terutama para kiyai yang menjadi guru tarekat yang dihormati dan disegani
oleh kebanyakan penduduk desa, dan dalam perjalanan waktu memperoleh pengaruh
yang besar sekali. Reputasi kiyai-kiyai yang terkemuka sering kali mendahului
faktor-faktor lain sebagai sumber kewibawaan mereka. Kedudukan politik mereka
yang relatif mandiri merupakan akibat dari tersedianya sumber-sumber daya seperti
pemilikan tanah, keuntungan dari usaha dagang kecil-kecilan atau meminjamkan

13
uang, persembahan dari murid-murid atau pengikut-pengikut mereka. Satu landasan
materi lainnya yang perlu disebut adalah pengumpulan zakat dan fitrah yang
pembagiannya masih berada dibawah pengawasan elite agama.

Hubungan Antara Pejabat-Pejabat Banten Dan Eropa

Satu perkembangan yang menyertai pernyataan pemerintah Belanda mengenai


status Banten mengenai status Banten sebagai wilayah kekuasaannya, adalah
pembentukan kerangka praktek-praktek legal dan administrative modern sebagai
unsure-unsur birokrasi kolonial. Maka dikembangkanlah satu perangkat
kepamongprajaan yang baru, yaitu satu jaringan administrator-administrator Belanda
dengan cepat dibangun, dan kekuasaan politik didistribusikan diantara mereka,
mereka ditugaskan untuk mengawasi kegiatan para bupati dan bawahan mereka.
Administrator-administrator Belanda itu merupakan unsure-unsur birokrasi yang
ditempatkan diantara pemerintah pusat dan pamongpraja pribumi di satu pihak dan
rakyat di lain pihak. Penetrasi personil asing dari birokrasi kolonial kedalam struktur
administratif tingkat daerah itu menyebabkan terjadinya pergeseran fokus kekuasaan
dan tanggung jawab dari kekuasaan sah para bupati berdasarkan tradisi kepada
kekuasaan pemerintah Belanda. Satu konsekuensi yang langsung adalah merosotnya
kedudukan para bupati, yang sekarang hanya merupakan agen-agen atau “boneka”
majikan mereka, orang Belanda.

Dalam hirarki pejabat-pejabat yang disusun oleh Belanda, residen hanya


merupakan anak tangga yang lebih tinggi dari tangga kekuasaan dimana pejabat-
pejabat pribumi merupakan anakn tangga yang lebih rendah. Administrasi
keresidenan satu distrik artificial yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial
dipercayakan kepada residen, yang untuk itu diberi kekuasaan –kekuasaan yang besar
yang melebihi kekuasaan yang pernah dimiliki oleh kepala-kepala daerah pribumi
dalam organisasi yang tradisional. Residen bertanggung jawab atas ketentraman,
kesejahteraan dan ketertiban di daerahnya, mengawasi fungsi dan kegiatan semua
pejabat setempat, baik Eropa maupun pribumi.

Situasi Politik Dalam Tahun-Tahun 1870-An Dan 1880-An

Bukti-bukti yang tidak meagukan lagi tentang adanya ketidakstabilan politik


yang terus-menerus di Banten adalah banyaknya perbentengan-perbentengan yang

14
tersebar di seluruh daerah itu, misalnya Serang, Anyer, Caringin, Cimanuk,
Rangkasbitung, Pandeglang, dan Tanara. Adanya perbentengan-perbentengan itu
merupakan peringatan yang tetap bahwa pemerintah kolonial setiap saat siap unutk
menggunakan kekerasan guna menindas pemberontakan rakyat. Sejak meninggalnya
Haji Mohammad Adian dalam tahun 1859, tidak diangkat Fakih Najamuddin yang
baru sebagai penggantinya. Sejak tahun itu, bupati dalam kenyataannya ditugaskan
untuk mengawasi soal-soal keagamaan di daerahnya. Langkah penting ini yang
mengarah pada sekularisasi tidak menimbulkan reaksi yang hebat dari pihak kaum
elite agama, yang hanya merasa kecewa tanpa berbuat apa-apa ketika salah satu
lembaga mereka yang otonom dihapuskan oleh pemerintah.

Pemindahan pejabat dari satu tempat ke tempat yang lain menimbulkan


perlawanan yang sengit dari pamongpraja pribumi, yang pada dasarnya hanya
memikirkan bagaimana caranya untuk mempertahankan kedudukan mereka yang
sudah berakar di tempat mereka. Dalam hubungan ini pejabat-pejabat Belanda
memandang golongan pamongpraja yang seperti itu sebagai penyakit kanker dalam
situasi politik di Banten.

D. Keresahan Sosial

Beberapa cirri dan faktor yang menyebabkan keresahan sosial di Banten


diantaranya satu, keresahan itu dapat menjelma menjadi gerakan-gerakan sosial yang
mendominasi. Pergolakan-pergolakan sosial yang disertai ambruknya nilai-nilai
tradisional ditandai oleh ketidak puasan, suasana panas, dan gelisah di kalangan
penduduk. Kedua, pembahasan mengenai keresahan sosial dan beberapa konsekuensi
politiknya dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi mengenai kecenderungan untuk
berontak atau kehadiran suatu kondisi pemberontakan di Banten. Sepanjang abad XIX
Banten merupakan gelanggang pemberontakan, sehingga cukup alasan untuk
menamakannya sebagai tempat persemaian kerusuhan.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergolakan-pergolakan dan


keresahan sosial adalah kompleks dan beraneka ragam. Faktor-faktor seperri
disintegrasi tatanan tradisioanl dan proses yang menyertainya, yakni semakin
memburuknya sistem politik, dan tumbuhnya kebencian religious terhadap penguasa-
penguasa asing sangat menonjol. Kegusaran penduduk terhadap perpajakan menjadi

15
bertambah sebagai akibat langkanya uang dan rendahnya harga hasil-hasil
pertanian.kerusuhan sosial merupakan konsekuensi langsung dari penetrasi
perekonomian uang kedalam masyarakat Banten. Selain menimbulkan kegusaran
penduduk, pemerintah kolonial juga mengancam kedudukan istimewa kaum aristocrat
lama dan kaum elite agama.

Tersisihnya mereka di bidang politik menyebabkan mudah terpengaruh untuk


melakukan pemberontakan sebagai cara untuk menyalurkan ketidakpuasan dan rasa
dendam .Karakteristik-karakteristik utama milenarianisme yakni penolakan yang
mendalam dan total terhadap situasi sekarang. Satu hal lainnya yang menyolok adalah
bahwa gerakan-gerakan itu pada dasarnya tidak jelas mengenai caranya kesultanan itu
hendak dipulihkan.

Kepemimpinan Revolusioner

Tidak lama setelah kesultanan dihapuskan, ketika keadaan menjadi sangat


kacau dan seluruh tatanan sosial sudah hampir ambruk, muncullah pemimpin-
pemimpin untuk memimpin mereka yang merasa tidak puas dalam usaha melawan
kekuatan-kekuatan yang dominan. Dalam perjalanan waktu, berbagai unsure sosial
bercampur baur didalam pemberontakan diantaranya pamongpraja, bansawan, orang-
orang dari kalangan agama, anggota-anggota pengurus desa dan orang-orang yang
sudah dinyatakan diluar hukum. Sumber-sumber utama pemimpin revolusioner adalah
kelas atasan lama di pedesaan, kaum elite agama, dan kaum bangsawan. Dengan
sendirinya krisis-krisis sosial dan politik yang silih berganti di dalam masyarakat
Banten merupakan faktor-faktor penting dalam pembentukan golongan elite
revolusioner.

Peranan Unsur-Unsur Perubahan Dalam Gerakan Protes

Sejarah Banten menunjukkan bahwa dalam pertengahan pertama abad XIX


bandit-bandit pemberontak itu mempunyai watak politik yang jelas karena mereka
menghasut agar melakukan perlawanan yang gigih terhadap pemerintah kolonial.
Akan tetapi, menjelang tahun 1880-an, bandit-bandit itu menjadi perampok-perampok
dan penyamun-penyamun belaka, yang tidak mempunyai ikatan dengan gerakan-
gerakan pemberontakan.

16
Satu Dasawarsa Situasi Politik Yang Memburuk (1808-1819)

Tahun 1809 segerombolan bajak laut mengibarkan bendera pemberontakan


sebagai jawaban atas beban kerja yang melampaui batas yang dikenakan oleh
Daendels. Tindakan-tindakan pemerasan itu dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin
pemberontak untuk menimbulkan kebencian terhadap pemerintah kolonial. Selama
masa pemerintahan sultan, golongan-golongan yang memberontak tetap aktif.
Sebagian dari mereka melakukan penyamuan-penyamuan dan yang lainnya terus
membangkang terhadap pihak berwajib. Dalam tahun 1815 serangan-serangan yang
tiada hentinya ini mulai memuncak dalam pengepungan terhadap keraton sultan di
Pandeglang. Gerombolan-gerombolan penyamun itu dipimpin oleh Noriman, yang
juga dikenal sebagai sultan Kanoman.

Pada akhir tahun 1818, beberapa anggota pamongpraja yang bertugas


memungut sewa tanah juga menjadikorban serangan yang tak kenal ampun. Dengan
cara itu, kaum pemberontak dapat merebut dukungan dan rasa hormat penduduk
melalui citra mereka sebagai pembela kepentingan rakyat. Sebagai akibatya, pejabat-
pejabat semakin terisolasi dan kekuasaan pemerintah dihalaukan dari daerah-daerah
pedesaan. Sebagai akibat kelalaian administratif dan ketiadaan pengawasan
pemerintah, timbulah satu situasi yang melahirkan kondisi-kondisi yang
menguntungkan bagi kaum pemberontak.

Pemberontakan-Pemberontakan Berkala Antara 1820-1845

Pembentukan sebuah organisasi administrasi baru pada pertengahan tahun


1819 dapat dipandang sebagai satu langkah yang diambil oleh pemerintah dalam
tekadnya untuk memperbaiki situasi di Banten yang sudah berada di tepi kehancuran.
Orang yang sebenarnya menghasut pemberontakan pada akhir tahun 1825 adalah
Tumenggung Mohamad, seorang demang dari Menes. Ia dan pengikut-pengikutnya
menolak untuk membayar pajak, dan gerakan itu kemudian berkembang menajdi
huru-hara yang ditujukan terhadap pemungut-pemungut pajak. Faktor-faktor yang
membantu Tumenggung Mohamad dan gerombolannya untuk mengelakan diri
darikejaran pasukan pemerintah bukanlah hanya karena medan operasi yang sulit,
melainkan karena rasa hormat yang sangat mendalam dan rasa takut yang tumbuh
dikalangan rakyat.

17
Peristiwa Cikandi 1845

Pada tanggal 13 Desember kaum pemberontak merebut rumah tuan tanah di


Cikandi Udik dan membunuh tuan tanah Kamphuys, istrinya dan lima orang anaknya.
Salah satu seorang pengahsut utama pemberontakan itu adalah Amir, penduduk
Bayuku, sebuah dusun yang terletak di dalam perkebunan tersebut. Oleh karena ia
tidak mampu membayar pajak kepada tuan-tuannya, ia harus menjual kerbaunya atau
meninggalkan dusun itu.

Pemberontakan Wakhia 1850

Pada tanggal 24 Februari, demangcilogon dan stafnya dibunuh di roh jambu


ketika sedang melakukan perjalanan inspeksi. Mereka sama sekali tidak mengetahui
adanya kaum pemberontak yang sedang bergerak maju, dank arena tidak mendapat
peringatan dari kepala desa, Nasid, mereka masuk perangkap.Penghasut utama
pemberontakan ini adalah Raden Bagus Jayakarta, patih Serang. Fakta bahwa telah
dua kali ia melampaui dalam hal perangkat bupati, telah memperkuat tekadnya untuk
menggunakan kekerasan guna menyalurkan rasa dendamnya. Pemberontakan Wakhia
merupakan satu contoh yang sangat jelas mengenai fakta bahwa pejabat-pejabat
pamongpraja yang mengalami frustasi, karena ambisi mereka dalam hal kenaikan
pangkat tidak terpenuhi.

Kerusuhan-Kerusuhan Besar Antara 1851 Dan 1870

Tidak lebih dari setahun setelah pemberontakan Wakhia, diketahui ada


komplotan baru. Pada tanggal 15 April 1851, Mas Usup Jaro Tras Daud, dan
keluarganya dibunuh oleh dua orang yang tidak dikenal. Dalam pertengahan kedua
tahun 1862, pejabat-pejabat Banten sibuk melakukan pengejaran terhadap seorang
yang bernama Pungut dan kawan-kawannya, yang berkeliaran di daerah itu dan tidak
hanya mengancam akan menghancurkan ketentramandan ketertiban di Banten, akan
tetapi juga menghasut kerusuhan. Pusat-pusat komplotan tahun 1866 adalah distrik
Kolelet, yaitu nama yang kemudian diberikan kepada peristiwa itu. Menurut rencana
para pengomplot, pemberontakan akan dimulai pada malam hari tanggal 27 Juli atau
tanggal 14 bulan mulud menurut perhitungan tahun Jawa. Dengan cara menyerang
dan membakar habis kota Pandeglang.

18
Perampokan, Banditisme, Dan Kegiatan Di Luar Hukum

Pada awal abad XIX, bandit-bandit muncul secara bersamaan dengan


pecahnya pemberontakan-pemberontakan, sedangkan dikemudian hari kegiatan-
kegiatan mereka mengalami pasang surut sejalan dengan tingkat keefektifa
administrasi. Ketika pemerintah kolonial belum mampu menghadirkan kekuasaannya
disemua tempat dan setiap saat, dan ketika tangan alat-alat penegak hukumnya sering
terlalu pendek, maka daerah itu merupakan tempat persembunyian bagi segala macam
orang yang nekad dan malang. Pemberontakan di Banten disebabkan oleh faktor-
faktor yang kompleks dan beraneka ragam. Kemelaratan yang umum, administrasi
yang buruk, ketimpangan dibidang ekonomi, dan ambisi pribadi.

E. Kebangunan Agama

Kecenderungan-Kecenderungan Umum

Akhir dari abad XIX merupakan satu periode kebangkitan kemabli di bidang
agama,dan dengan sendirinya menariklah untuk menyelidiki sampai sejauh mana hal
itu telah merangsang gerakan pemberontakan di Banten yang merupakan pokok studi
ini. Dalam kehidupan ini perlu di kemukakan,bahwa gerakan-gerakan protes
keagamaan merupakan produk kekuatan-kekuatan sosial yang sama menunjang sikap-
sikap memberontak. Di Banten abad XIX,kebangkitan kehidupan agama dan jenis-
jenis gerakan sosial lainnya nampaknya mempunyai banyak persamaan,khususnya
dalam hal cita-cita nilenarisnya dan landasannya yang terdiri dari kelas bawahan.
Selama beberapa dasawarsa,sebagian besar Pulau Jawa dilanda gerakan
kebangkitan kembali kehidupan agama,yang memperlihatkan peningkatan yang
ssangat luar biasa dalam kegiatan agama,seperti melakukan shalat,naik
haji,memberikan pendidikan islam tradisional kepada anak-anak muda,mendirikan
cabang-cabang tarekat,penyelengaraan khotbah yang meluas,dan sebagainya.
Mengenai Banten dalam tahun-tahun 1880an dapat dikemukakan bahwa tarekat-
tarekat telah berkembang menjadi golongan-golongan kebangkitan kembali yang
paling dominan. Pada permulaannya tarekat-tarekat itu pada dasarnya merupakan
gerakan-gerakan kebangkitan kembali agama,akan tetapi secara berangsur-angsur
mereka berkembang menajdi badan-badan politik keagmaan.

19
Mengenai ajaran-ajaran Sufi,kita mengetahui dengan pasti bahwa ajaran-
ajaran itu telah masuk ke Indonesia sejak abad XVI atau awal abad XVII. Sejak abad
XVII,gerakan Satariah menyebar dari Aceh ke Jawa Barat dan dari sana ke Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Yang menyebarkan Satariah di Jawa Barat adalah Syekh
Abdul Muhyi dari Karang,seorang murid Abdurra’uf. Seorang mistikus Kadiriah yang
sangat terkenal adalah Hamzah al Faansuri,yang telah mengunjung pelbagai
tempat,termasuk Banten,sebagai seorang darwis pengembara. Khususnya Banten telah
mengadakan kontak dengan Mekah sejak pertengahan pertama abad XVII,dengan
jalan mengirimkan berulang kembali misi-misi ke sana untuk mencari informasi
mengenai soal-soal keagamaan.
Dalam pertengahan kedua abad XIX,Banten terkenal sebagai sebuah pusat
islam ortodoks,di mana pengetahuan tentang agama sangat dihargai. Terdapat
petunjuk-petunjuk yang menyatakan bahwa alirah Kadiriah telah memasuki
masyarakat islam di Banten sebelum abad XIX,akan tetapi ketika itu belum mencapai
momentum yang vital. Pemerintah kolonial telah menciptakan suatu struktur
keagamaan yang institusional yang terdiri dari horarki pejabat-pejabat agama yang
profesional,dengan fungsi-fungsi dan kekuasaan-kekuasaan yang diakui secara resmi.
Golongan pejabat-pejabat agama resmi ini biasanya membiarkan diri dijadikan alat
kebijaksanaan kolonial Belanda untuk menindas manifestasi kegiatan-kegiatan
perkumpulan-perkumpulan agama pada khususnya,dan untuk membendung arus
kebangkitan kembali agama pada umumnya.Dalam membahas kebangkitan kembali
agama islam,kita tidak boleh lupa ba hwa hal itu bisa dipahami di dalam konteks
gerakan sosial di Banten. Di dalamnya tahapnya yang paling akhir sebelum
meletusnya pemberontakan tahun 1888,gerakan kebangunan ini telah melahirkan
kepemimpinan yang karasmatik,pengikut-pengikut yang militan,organisasi pencarian
anggota-anggota baru yang efektif dan ideologi yang memikat,yang kesemuanya
merupakan unsur-unsur yang esensial dari suatu gerakan revolusioner yang ampuh.
Ibadah Haji

Dalam tulisan Snouck Hurgronje yang otoritatif yang esensial dari sudut
pandang kitabsekarang adalah untuk mnekankan bahwa ibadah haji merupakan satu
sumber sosial bagi revitalisasi kehidupan agama. Menurut kalangan penduduk bangsa
Eropa, Mekah hanya merupakan tempat persemaian fanatsme keagamaan,di mana

20
kepada orang-orang yang menunaikan ibadah naik haji di tanamkan perasaan
permusuhan terhadap penguasa-penguasa Kristen di tanah air mereka.

Ada satu hal yang menyebabkan timbulnya sikap anti-Barat yang sengit,yang
inheren dalam semangat kalangan-kalangan di Mekah dan yang menyebar ke
Nusantara melalui jemaah haji.. seperti telah dikemukakan sebelumnya, dengan
kemajuan yang dicapai oleh Imprealisme Barat di Timur Tengah dan Afrika
Utara,maka dalam pertengahan abad kedua abad XIX bangsa-bangsa yang beragama
islam menjadi lemah dan terpaksa mengambil sikap defensif. Dalam periode ini
Mekah menjadi tempat berlindungnya fundamentalisme islma yang keras.
Konservatisme ini mendapat dukungan dan penganut di kalangan masyarakat Jawah
salah satu fakta yang relevan adalah dan perlundi kemukakan dalam setiap
pembahasan mengenai gerakan-gerakan keagamaan yang dilancarakan dari Mekah
adalah bahwa gerakan-gerakan itu terseret kedalam perpecahan dan menghabiskan
energi mereka dalam pertentangan antargolongan.

Golongan-golongan di dalam gerakan itu yang saling bertentangan adalah


mereka yang berorientasi kepada ajaran islam yang formalistik,dan pelbagai golongan
yang menganut aliran-aliran mistik,seperti tarekat-tarekat Kadirah,Satariah,Rifaiah
dan Naksibandiah. Selain itu,di dalam tarekat Naksibandiah itu sendiri terdapat
kelompok-kelompok seperti pengikut-pengikut Sulaiman Effendi dan kelompok uang
dipimpin oleh Khalil Pasha. Di sinilah letaknya kelemahan gerakan-gerakan
keagamaan itu terpecahnya masyarakat Islam ke dalam pelbagai gerakan tarekat tidak
membantu terwujudnya suatu gerakan masa yang bersatu melawan pemerintah
kolonial.

Pesantren

Terlepas dari aspek Pan-Islamisme yang menampakkan diri dalam gelora


semangat untuk mencampakkan dominasi Barat kebangunan agama juga mencakup
suatu revitalisasi mendalam kehidupan beragama melalui lembaga-lembaga islam
baik setempat maupun kosmopolitan. Sebagai lembaga yang sangat tua usianya
pesantren tidak hanya mengajarkan pengetahuan dasar tentang Islam akan tetapi juga
memberikan latihan dalam cara hidup dan cara berpikir orang islam. Ketaatan yang
mutlak kepada kiyai satu disiplin yang keras dalam kehiupan sehari-hari dan

21
persamaan serta persaudaraan di kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial
dalam kehidupan pesantren. Satu hal yang menonjol adalah bahwa dalam pertengahan
kedua abad XIX banyak haji menajdi kiyai dan mendirikan pesantren mereka sendiri.
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa banyak haji telah kembali ke desa asal
mereka tanpa memiliki ilmu pengetahuan yang lebih banyak tentang islam dari pada
mereka berangkat ke tanah suci namun demikian tidak orang satupun yang
menghalang-halangi mereka untuk mengajarkan soal agama.

Selama beberapa dasawarsa di Banten terdapat peninggalan fanatisme di


kalangan pesantren,dan satu sikap yang bermusuhan dan agresif di tanamkan pada diri
para santri terhadap orang-orang santri dan kaum priyayi. Konflik sosial yang
terkandung secara intern di dalam antagonisme religion politik ini sering kali
terungkap secara terbuka dalam bentuk cemoohan yang terutama di tunjukan kepada
priyayi dengan sendirinya pejabat-pejabat menyadari sepenuhnya bagaimana rakyat
memusuhi mereka dan pemerintah kolonialnnntak bisa akhirnya mereka melihat
bahwa pesantren merupakan alat pengendalian ideologis yang berguna dan bahwa
pelajaran yang diberikan di sana di jadikan alat kepentingan kaum elite agama. Oleh
karena itu maka setelah pemberontakan Cilegon dapat di tumpas pemerintah
mengambil langkah-langkah untuk menempatkan semua pesantren di bawah
pengawasan resmi yang ketat.

Gerakan Tarekat

Tarekat merupakan alat yang baik sekai untuk mengorganisasikan gerakan


dan menyelenggarakan indoktrinasi tentang cita-cita kebangkitan kembali. Di pulau
jawa abad XIX hanya ada tiga tarekat yang penting yaitu Kadariah,Naksibandiah dan
Satariah. Di sana-sini terdapat pula kelompok-kelompok dengan nama Rahmaniah
atau Rifaiah,akan tetapi tidak banyak artinya. Di pulau Jawa secara keseluruhan
Naksabandiah merupakan tarekat yang paling kuat aka tetapi keadaannya berbeda dari
daerah ke daerah di Bnayumas yang paling dominan adalah tarekat Satariah dan di
Bnaten tarekat Kadariah. Seperti telah di kemukakan di atas,kedua tarekat itu sudah
sangat tua dan mapan di Indonesia pada umumnya dan di Jawa pada khhususnya.
Tarekat Kadariah dan Naksibandiah menekankan baik pada perintah-perintah yang

22
positif maupun larangan-larangan kedua tarekat itu lebih keras dari tarekat-tarekat
lainnya dan oleh karena itu pengaruh mereka pun lebih besar.

Salah satu aspek yang menyolok dari gerakan-gerakan tarekat adalah adanya
persaingan di antara tarekat-tarekat itu. Persaingan ini tidak di sebabkan oleh faktor-
faktor keagamaan atau sosial,melainkan oleh kenyataan bahwa tarekat-tarekat itu
saling bersaing dalam menyebarkan ajaran mereka atau mencari pengikut-pengikut
baru. Di jawa barat yang bersaing itu adalah Naksibandiah,Kadariah dan Satariah.
Yang disebut pertama mempunyai kedudukan yang kuat berkat
pemimpinnya,Naksibandiah memperoleh pengikut dikalangan priyayi-priyayi
terkemuka tertentu juga keresidenan Banyumas merupakan ajang persaingan yang
sangat sengit di antara tarekat-tarekat lainnya adalah Kamaliah dan Haalwaliah.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya,di Bantenlah timbul gerakan besar
kebangunan agama islam yang terutama mempunyai kaitan dengan tarekat Kadariah.
Sesungguhnyatarekat ini menjadi mata tombak protes religio-politik terhadap situasi
kolonial. Sebelum didirikannya kemabli tarekat Kadariah pada awal tahun-tahun
1870-an para kiyai menyelenggarakan pesantrennya sedniri dengan caranya sendiri
dan bersaing dengan kiyai-kiyai lainnya untuk mendapat nama sebagai ulama yang
pandai.

Aspek-Aspek Eskatologis Gerakan-Gerakan Keagamaan

Satu ciri yang cukup lazim dari gerakan –gerakan kebangunan agama adalah
munculnya ide-ide melenari,dalam hal ini ide eskatologis Islam,yang mencakup pula
harapan akan kedatangan Mahdi. Dalam tahap kemduian,kata-kata bergelora perang
sabil dan jihad mulai tersebar dikalangan anggota-anggota tarekat Kadariah,kata-kata
yang sesungguhnya sudah dikenal oleh kaum Muslimin yang sangat taat di Banten.
Kepercayaan tentang akan tibanya seorang Mahdi boleh dikatakan hidup terus dalam
sejarah Islam. Nama Mahdi untuk pertama kalinya muncul hanya setengah abad
setelah wafatnya nabi. Kepercayaan mengenai Mahdi tersebarluas sekali dan meliputi
daerah-daerah seperti Persia,Afrika Utara,India dan Indonesia. Sebagai salah satu
kepercayaa yang laten di kalangan umat Islam,ide tentang Mahdi itu telah terbukti
merupakan satu kekuatan yang memberi semangat di waktu-waktu yang sulit yang
mampu menggerakan massa rakyat. Dalam suasana revolusioner yang meliputi bagian

23
akhir bagi mereka hal itu sudah merupakan soal “hidup atau mati” bagaimanapun
melalui pesantren dan tarekatnya,kiyai dapat menguasai masyarakat desa dan dengan
demikian dapat dengan mudah megerahkan sumber-sumber daya material dan
manusia kaum tani.

Gerakan Jihad

Gerakan kebangunan agama islam juga berkaitan dengan kesadaran yang kuat
di kalangan rakyat bahwa negeri mereka haus di anggap sebagai dar al-islam yang
untuk sementara waktu diperintah oleh penguasa-penguasa asing. Ada satu keyakinan
kuat bahwa,bgitu keadaannya memungkinkan,negeri mereka akan di ubah dengan
menggunakan kekuatan dan menjadi wilayah islam yang sejati. Oleh karena orang-
orang yang tidak percaya sudah dikutuk sebagi musuh kerajaan Allah maka usaha
menaklukkan mereka dengan senjata muslim merupakan satu kewajiban suci yang
menuntut pengorbanan. Sikap ini merupakan buah hasil ajaran tentang Perang Sabil
yang menyatakan bahwa umat islam berkewajiban memerangi orang-orang yang
belum memeluk islam tujuan utama perang sabil adalah mendirikan sebuah negara
islam yang merdeka di mana orang dapat mempraktekkan agama islam yang sejati. Ini
berarti bahwa bagi penganut-penganut gerakan kebangunan agama islam dan anggota-
anggota tarekat,jihad atau perang sabil merupakan tindakan pengorbanan yang paling
luhur untuk mewujudkan negara yang ideal puncak segala pengabdian,doa-doa,puasa
dan perjalanan naik haji.

Khatib-Khatib Keliling Dan Buku-Buku Khotbah Yang Beredar

Gerakan militan untuk membangunkan islam di Indonesia itu juga dipercepat


oleh pengaruh para syarif,sayid atau syekh tarekat-tarekat mistik yang berkelilingi dari
satu tempat ke tempat yang lain. Ahli-ahli mistik atau ulama-ulama berkeliling dari
satu tempat ke tempat lain mengunjungi pangeran-pangeran dan berkhotbah di mesjid
sebagai orang-oarang suci. Satu hal lain yang perlu di catat adalah bahwa buku-buku
khotbah salah jumat di mesjid yang beredar luas diamati dengan cermat oleh pihak
berwajib yang merasa curiga. Pada pertengahan tahun-tahun 1880-an pemerintah
menerima laporan bahwa ada khatib-khatib yang berkhotbah dengan menggunakan
bahan dari buku yang bernama Majmu’al Khatab. Buku ini memuat sejumlah naskah

24
khotbah dan doa yang ditulis oleh orang yang bernama Abdul Rakhman bin Ismail bin
Nabatah al Miri.

Ledakan-Ledakan Fanatisme Agama Yang Terpisah-Pisah

Tahun 1881 sejumlah tahanan diantaranya terdapat seorang haji melarikan diri
dari penajara Rangkasbitung beberapa di antara mereka mencoba memulai suatu
perang sabil akan tetapi bagian terbesar dari orang-orang yang melarikan diri itu
merasa enggan untuk mengikuti jejak mereka penduduk sama sekali tidak
menanggapi seruan mereka. Pada tanggal 2 oktober 1883 seorang serdadu Belanda
ketika sedang membeli tembakau di pasar serang dengan tiba-tiba saja di serang oleh
seorang laki-laki bersenjata yang tidak dikenal. Satu percobaan pembunuhan lainnya
yaitu pada tanggal 19 November kali ini seorang laki-laki berpakaian putih mencoba
masuk dengan paksa ke dalam tangsi serang setelah melukai seorang penjaga yang
bernama Umar Jaman.

Unsur-Unsur Gerakan Protes Yang Sangat Penting

Tarekat dan kiyai kedua-duanya merupakan inti kekuatan-kekuatan yang


menimbulkan pemberontakan Banten itu. Kohesi gerakakan kohesi gerakan
pemberontakan yang mengesankan itu jelas bekat kepemimpinan kiyai dan guru
tarekat karismatik. Kekhasan tarekat adalah bahwa organisasinya di bangun sekitar
seorang pemimpin karismatik yang manjdi pusat kesetiaan segenap anggotanya ikatan
yang paling kuat adalah sentimen koloektif pengabdian mistik. Di dalam hal
ketegangan yang terdapat secara inheren dalam hubungan antara pejabat-pejabat
kolonial dan para kiyai maka yang disebut belakangan mempunyai kelebihan karena
kedudukan mereka yang strategis. Tempat pekerjaan mereka membuat mereka cocok
untuk manjadi penggerak kegiatan-kegiatan pemberontakan sebagai pemenang
kekuatan karismatik mereka menerima hadiah-hadiah kehormatan,sekongan-sekongan
dan segala macam seumbangan sukarela, yang lebih penting lagi yaitu kenyataan
bahwa rakyat sangat mematuhi dan mencitai kiyai yang berjuang untuk tujuan yang
suci. Sesungguhnya kaum kiyai merupakan pemimpin-pemimpin alami dalam
masyarakat Banten,legitimasi kepemimpinan mereka bersumber pada kewibawaan
pribadi merka. Sebaliknya pejabat-pejabat pamongpraja tidak memiliki karisma dan

25
oleh karena itu mereka tidak dapat memiliki kewibawaan yang sama seperti yang
dimiliki kiyai.

F. Gerakan Pemberontakan

Awal Mula Terjadinya Gerakan Pemberontakan Petani


Bagi banyak pengamat di masa itu, pemberontakan tahun 1888 itu
kelihatannya seperti suatu fonemena yang berdiri sendiri. Akan tetapi peristiwa itu
bukan merupakan suatu tindakan yang tiba-tiba di pihak petani-petani yang tidak tahu
apa-apa, yang mengamuk karena fanatik agama, seperti yang hendak dikesankan oleh
beberapa laporan. Sejak hari pertama sudah jelas bahwa ini merupakan suatu
pemberontakan yang telah dipersiapkan dan direncanakan dan mempunyai lingkup
yang jauh melampaui Batas-batas kota kecil Cilegon. Peristiwa.peristiwa yang telah
terjadi menunjukkan bahwa tarekat atau perkumpulan tertutup yang merupakan sarana
untuk menyebarkan informasi-informasi rahasia dan komunikasi di antara anggota-
anggota komplotan telah memainkan peranan yang penting.
Dalam pertemuan-pertemuan itulah gerakan tersebut mempersatukan para
kiyai sebagai pemimpin komplotan di daerah masing-masing. Dengan menggunakan
agama sebagai kedok mereka tukar-menukar pengalaman dan membicarakan strategi
kampanye. Dalam peristiwa ini harus dipahami bahwa kaum elite agama, para haji
dan kiyai mempunyai prestise sosial yang sangat besar, terutama di daerah-daerah
pedesaan. Di sana ukuran prestise yang berdasarkan agama sangat berbeda dengan
yang berlaku di Barat dan di kalangan priyayi. Konsekuensi politik dari ketimpangan
itu adalah bahwa di mata rakyat, kiyai atau haji lebih tinggi kedudukannya
dibandingkan dengan pamongpraja pribumi, sehingga menurut pendapat mereka yang
disebut pertama tidak saja harus lebih dihormati akan tetapi juga merupakan orang-
orang yang harus ditaati lebih dulu.
Tidak mengherankan bahwa kiyai atau haji dapat dengan mudah mengerahkan
orang untuk segala macam tujuan. Pengaruh para guru menjadi demikian dominan
sehingga pamongpraja pribumi harus mengandalkan kepada perantaraan mereka
dalam soal-soal seperti memungut pajak atau mengerahkan tenaga kerja untuk
pekerjaan umum. Namun disayangkan sekali bahwa tidak banyak diperoleh informasi
mengenai para pemimpin gerakan revolusioner atau para elite agama tersebut. Begitu

26
pula dengan tentang tarekatnya yang tidak banyak diketahui seperti tidak adanya
catatan-catatan mengenai pertemuan-pertemuan dari tarekat tersebut. Hanya tentang
beberapa orang saja di antara mereka terdapat sejumlah data yang pasti. Mereka
antara lain ; Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki dan Haji Wasid.
1. Haji Abdul Karim
Haji Abdul Karim bergelar Kiyai Agung yang merupakan ulama besar yang
dihormati, disegani dan populer karena dianggap wali Allah oleh masyarakat. Beliau
juga dianggap sebagai ulama yang paling menonjol di antara pemimpin-pemimpin
gerakan itu. Haji Karim merupakan salah satu pelopor pemberontakan karena ia
penumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup merdeka terlepas dari
kolonialisme. Beliau adalah seorang pemimpin agama dan guru tarekat khadiriyah.
Pada tahun 1872 Beliau mendirikan sebuah pesantren. Oleh karena Beliau sudah
terkenal, maka dalam waktu singkat ia sudah mempunyai murid-murid yang sangat
setia, mengabdi dan patuh kepadanya.
Sulit untuk memperkirakan jumlah pengikutnya. Tetapi yang pasti, dengan
cepat Beliau tampil sebagai tokoh yang dominan di kalangan elite agama. Khotbah-
khotbah Haji Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap penduduk.
Dalam kegiatan dakwahnya Beliau menekankan keyakinan dan praktek agama harus
menjalani proses pemurnian yang intensif melalui zikir untuk mebangkitkan semangat
masyarakat untuk merdeka dari kekuasaan orang kafir. Dalam kotbahnya ia juga
sering menyampaikan ramalan-ramalan tentang hari kiamat dan akan datangnya
seorang penolong yakni Mahdi yang terus membakar semangat. Namun hal ini ia
tidak langsng menyuruh pengikutnya untuk memberontak, karena menurutnya, perang
Sabil belum waktunya terjadi. Namun, dalm pekembangannya Haji Karim pergi ke
Mekkah. Kepada murid-muridnya yang paling dekat ia memberitahukan bahwa ia
tidak bermaksud kembali ke Banten selama daerah itu masih terbelenggu di bawah
dominasi asing. Hanya di atas bumi Islam yang murni ia akan menginjakkan kakinya
lagi.
2. Kyai Haji Tubagus Ismail
Kyai Haji Tubagus Ismail adalah murid Haji Abdul Karim. Beliau dianggap
sebagai calon wali Allah. Ia termasuk dalam kaum bangsawan Banten yang telah
kehilangan semua pengaruh politiknya namun masih memilki prestise sosial di
kalangan penduduk. Untuk menambah prestise sosialnya ia mendirikan sebuah

27
pesantren dan sebuah cabang tarekat Kadiriah. Dengan demikian ia dapat menaikkan
prestisenya dan mempunyai pengikut yang banyak. Ia telah beberapa kali naik haji, dan
perjalanannya ke mekah itu telah menambah permusuhan dengan pemerintahan
kolonial. Kyai haji Tubagus Ismail mulai mengadakan propaganda untuk gerakan
pemberontakan melawan pemerintahan kafir.
Hal pertama yang dilakukannya dalam proses propaganda adalah meyakinkan
rekan-rekan seperjalanannya bahwa menurut para ulama di Mekah, Banten akan
mempunyai rajanya sendiri tidak lama setelah pohon-pohon johar ditanam di pinggir-
pinggir jalan. Setelah itu ia memperoleh dukungan dari beberapa ulama. Gerakan
pemberontakan pada masa ini menggunakan Guru-guru tarekat sebagai alat untuk
menyebarkan gagasan itu dan mencari pengikut. Dan merahasiakan pertemuan-
pertemuan dengan cara menggunakan kedok pesta, umpamanya pesta perkawinan,
pesta sunatan, atau pertemuan zikir.
3. Haji Marjuki
Haji Marjuki merupakan salah seorang pengikut Haji Abdul Karim yang paling
setia dan paling disenangi. Beliau sudah mempunyai reputasi yang mapan sebagai guru
agama, dan kemasyhuran yang sangat menambah prestise dan pengaruhnya di mata
rekan-rekannya sesama haji di Banten. Tidak mengherankan jika Haji Wasid dan Kiyai
Haji Tubagus Ismail menganggapnya sebagai seorang sekutu yang sangat kuat dan
mereka memintanya dengan sangat agar ikut dalam gerakan pemberontakan. Oleh
karena ia bertindak atas perintah Haji Abdul Karim, propagandanya dengan cepat
diterima oleh umum.
Haji Marjuki ini juga turut mengobarkan semangat rakyat untuk melawan
pemerintah kafir dan mempropagandakan bahwa untuk melawan pemerintah harus
menggunakan cara jihad. Haji Marjuki melanjutkan propagandanya tentang jihad
dengan jalan mengunjungi para kiyai tarekat Kadiriah di Tangerang dan Batavia,
termasuk Haji Kasiman dari Tegalkunir dan Haji Camang dari Pakojan. Karena mereka
menaruh simpati mereka menjanjikan dukungan yang kuat. Mereka siap mengirimkan
murid-murid mereka sebagai sukarelawan ke Banten. Oleh karena ia terkenal sebagai
orang yang pandai, maka murid-murid yang mengikuti kuliah-kuliahnya selalu banyak.
la tidak pernah merahasiakan prinsip-prinsip politiknya.
Namun demikian, dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan sahabat-sahabat
dan murid-muridnya seusai memberikan kuliah, tidak ada indikasi sedikit pun bahwa ia

28
seorang penganjur gerakan revolusioner di kalangan umat Islam di Indonesia. Begitu
pula ia tidak menghasut murid-muridnya agar memberontak dan mematahkan belenggu
penguasa-penguasa Kristen. Ia mengecam keras pemberontakan yang dipimpin oleh
Haji Wasid sebagai terlalu pagi dan menimbulkan korban jiwa yang sia-sia saja.
4. Haji Wasid
Haji wasid merupakan pemimpin pemberontak yang baru muncul beberapa
tahun sebelum pemberontakan itu pecah. Haji Wasid muncul setelah haji Marjuki telah
gagal dalam perencanaan pemberontakan. Ia dengan penuh semangat ikut ambil bagian
dalam kegiatan propaganda-propaganda yang ditujukan kepada para kyai di luar
banten. la cukup cerdik untuk menarik keuntungan dari suasana kebangunan agama
yang sedang meliputi lingkungannya, dengan jalan mengidentifikasikan urusan-urusan
pribadinya dengan kepentingan bersama masyarakatnya. la sangat berpengaruh, tidak
hanya dalam kedudukannya sebagai guru agama, tetapi juga karena kepribadiannya
yang kuat. Selain itu, ia dikenal sebagai orang yang suka bertengkar dan gampang
marah dengan kecenderungan kepada mistik.
Namun, kemampuannya untuk mengkoordinasikan pemberontakan tidak perlu
diragukan. Hal ini terbukti dengan, pada bulan puasa(Juni 1887) dia mampu
mengkoordinisasikan sebuah pertemuaan untuk membahas kelanjutan
pemberotakan.Seperti dijelaskan diawal bahwa untuk menjaga supaya tidak dicurigai
oleh pemerintah, para pemimpin beserta pengikutnya ini dalam mengadakan pertemuan
tidak secara terang-terangan. Mereka menggunakan kedok pertemuan adat, kenduri,
dan ibadah untuk memicarakan rencana pemberontakan.
Pada bulan Juni 1887 mereka mengadakan pertemuan yang terutama
membicarakan tentang soal mempropagandakan gagasan tentang jihad dan usaha-usaha
yang menyertainya, yakni merekrut pengikut, oleh karena para pemimpin pemberontak
tahu benar bahwa pemberontakan hanya akan berhasil apabila mengikut sertakan
sebagian besar penduduk yang tersebar di daerah yang luas. Sebaliknya, mereka
menghendaki kepastian bahwa semua bawahan mereka akan melaksanakan perintah-
perintah mereka. Hasil yang telah dicapai oleh para propagandia sejak pertemuan
terakhir pada pertengahan tahun 1886, adalah bahwa propaganda tentang rencana
pemberontakan itu telah dapat diperluas sampai kepada kiyai-kiyai tertentu di luar
Banten. Ini berarti bahwa gerakan revolusioner itu tidak lagi hanya terbatas pada
kalangan kecil murid-murid para pemimpin pemberontak di Banten Utara; satu langkah

29
besar ke arah terlaksananya gagasan mengenai suatu pemberontakan yang umum
seperti yang telah dikemukakan oleh Haji Marjuki.

Proses Terjadinya Gerakan Pemberontakan Petani


Gerakan pemberontakan kaum petani ini dipimpin oleh beberapa elit desa dan
tokoh agama. Antara lain Haji Abdul Karim,Kyai Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki,
dan lain-lain. Mengingat pentingnya peran mereka dalam pemberontakan, maka akan
diuraikan mengenai kegiatan-kegiatan pemimpin itu. Haji Abdul Karim,ulama besar
dan suci di mata rakyat, adalah yang paling menonjol di mata rakyat. Beliau adalah
seorang pemimpin agama dan guru Tarekat khadiriyah. Melalui kotbah-kotbahnya ia
dapat membakar semangat rakyat agar dapat memperbarui kehidupan agaam dan
menjalankan syariat Islam. Dalam kotbahnya ia sering menyampaikan ramalan-
ramalan tentang hari kiamat dan akan datangnya seorang penolong yakni Mahdi.
Namun hal ini ia tidak langsung menyuruh pengikutnya untuk memberontak, karena
menurutnya, perang Sabil belum waktunya terjadi.
Kyai Haji Tubagus Ismail, ia adalah murid Haji Abdul Karim. Ia termasuk
dalam kaum bangsawan Banten yang telah kehilangan semua pengaruh politiknya
namun masih memilki prestise sosial di kalangan penduduk. Ia telah beberapa kali
naik haji, dan perjalanannya ke mekah itu telah menambah permusuhan dengan
pemerintahan kolonial. Kyai haji Tubagus Ismail mulai mengadakan
propagandauntuk gerakan pemberontakan melawan pemerintahan kafir. Haji Marjuki,
ia merupakan alim pribumi yang sudah berkali-kali ke Mekah. Ia bersama H. Tubagus
Ismail menjalin relasi yang sangat kuat. Haji Marjuki ini juga turut mengobarkan
semangat rakyat untuk melawan pemerintah kafir dan mempropagandakan bahwa
untuk melawan pemerintah harus menggunakan cara jihad. Ia adalah pemimpin yang
paling agresif dari tokoh yang lain, karena ia yangmengusulkan supaya
pemberontakan harus segera dilakukan secepatnya.
Namun yang janggal adalah ketika hari pemberotakan akan dilaksanakan, ia
justru pulang ke mekah dengan keluarganya ada di sana. Karena hal inilah banyak
pendapat nahwa haji Marjuki hanya ingin menyelamatkan dir tanpa ingin terlibat
dalam pemberontakan. Haji wasid, Karena haji Marjuki telah gagal dalam
perencanaan pemberontakan, maka muncullah tokoh haji Wasid. Ia dengan penuh
semangat ikut ambil bagian dalam kegiatan propaganda-propaganda yang ditujukan

30
kepada para kyai di luar banten. Untuk menjaga supaya tidak dicurigai oleh
pemerintah, para pemimpin beserta pengikutnya ini dalam mengadakan pertemuan
tidak secara terang-terangan. Mereka menggunakan kedok pertemuan adat, kenduri,
dan ibadah untuk memicarakan rencana pemberontakan. Sejauh ini tidak tercium
gelagat yang buruk oleh pemerintah. Karena ketika seseorang yang akan masuk dalam
pertemuan harus mengucapkan sumpah untuk tidak membocorkan rencana
pemberontakan
Pada tanggal 29 September 1887, kyai-kyai Banten mengadakan pertemuan
dalam tempo kurang dari sebulan di Beji, sebagai tamu H. Wasid. Kegiatan-kegiatan
persiapan pemberontakan selama tiga bulan terakhir tahun 1887, ditandai oleh faktor-
faktor sebagai berikut :
a. Latihan pencak silat, pencak merupakan bagian yang penting dari pendidikan di
pesantren di masa itu. Sejak bertahun-tahun ini merupakan cabang olah raga yang
populer di desa-desa, dimana sering diselenggarakan pertandingan pencak di
bawah terang bulan. Jenis hiburan rakyat yang tidak terlihat membahayakan ini
tidak akan dicurigai oleh pemerintah. Akan tetapi dalam waktu yang
bersamaanorang-orang berlatih kelewang di rumah mereka.Dalam Periode ini
orang dengan mudah melihat bagaimana pencak dengan cepat menjadi populer.
Rupa-rupanya olahraga yang populer ini digunakan sebagai kedok untuk menutupi
kegiatan yang sebenarnya melatih para pengikut dalam ilmuperang.
b. Usaha pengumpulan senjata. Dapat dikemukakan bahwa senjata-senjata itu untuk
sebagian dibuat oleh para panai besi setempat, sedangkan sebagian lagi dari
persediaan senjata gelap itu diperoleh dari tempat lain, terutama Batavia. Seorang
yang bernama Haji Abdulsalam dari Bojonegoro ditugaskan untuk membeli
senjata di Batavia.
c. Propaganda di luar banten, seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa haji
Marjuki telah beberapa kali mengunjungi ulama-ulama di Tangerang, Bogor,
Priangan, dan di Ponorogo. Kegiatan ini dilanjutkan seperti menghasut rakyat
dengan membakar semangat mereka dengan kotbah-kotbah tentang ramalan-
ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil, mendorong mereka untuk menggunakan
jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan.
Semangat revolusioner semakin menggelora di hati rakyat. Rakyat sudah
tidak sabar untuk mengadakan pemberontakan. Yang sangat penting artinya

31
adalah pertemuan pada tanggal 12 bulan Ruwah,atau 22 April 1888, yang
diadakan di rumah Haji Wasid di Beji. Pada akhir jamuan, ketiga ratus orang tamu
berkumpul di masjid, dimana para kyai dan murid-murid mereka bersumpah :
pertama, bahwa mereka akan ambil bagian dalam Perang Sabil, kedua, bahwa
mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagai kafir, ketiga, bahwa mereka
tidak akan membocorkan rencana mereka pada pihak luar. Tidak lama sesudah itu,
pada akhir Bulan April 1888, para kyai berkumpul lagi di Kaloran, dimana
diputuskan bahwa pemberontakan akan dimulaipada bulan Sura (September
1888). Juga diputuskan pembagian para kyai dalam penyerangan yakni ke distrik
Cilegon, distrik Serang, distrik Tanaka dan Cikandi, dan distrik Anyer.
Setelah setiap kelompok menyelesaikan tugas di daerah yang telah
ditetapkan baginya, mereka harus terus bergerak ke Serang dimana akan
berlangsung pertempuran yang menentukan. Mereka dengan khidmat berjanji
membunuh semua orang Eropa dan semua pejabat pemerintah. Keputusan lain
yang diambil adalah seperti berikut : untuk setiap empat puluh orang akan
diangkat seorang pemimpin kelompok; pakaian-pakaian dikumpulkan dan dipakai
dalam pertempuran; setiap orang yang telah bersumpah akan menendatangani
pengukuhannya secara tertulis.
Pemerintah kolonial sebenarnya telah mendengar desas-desus mengenai
akan diadakannya Perang Sabil. Hanya mereka tidak tahu hal itu akan terjadi
kapan ,dimana dan terhadap siapa perang tersebut akan dilancarkan. Para kyai
terus mengadakan pertemuan-pertemuan dan perjalanan selama dua bulan
berikutnya. Dan kegiatan mereka mencapai puncaknya antara pertengahan bulan
Juni dan hari dimulainya pemberontakan.
Mengenai hari pemberontakan belum tercapai kesepakatan. Haji Marjuki
mendesak agar pemberontakan tidak dimulai sebelum Bulan Sura (September
1888), sementara Haji Wasid mengusulkan untuk sesegera mungkin mengadakan
pemberontakan. Akhirnya dengan pembicaraan yang cukup lama, mereka berdua
menghitung tanggal pemberontakan menurut ilmu ramal tradisional. Tanggal yang
dipilih adalah 9 Juli 1888.
Pada hari Minggu tanggal 8 Juli 1888. Cilegon menyaksikan sebuah arak-
arakan berpakaian putih dan sepotong kain putih yang diikat di kepala. Takbir dan
kasidah dengan iringan rebana menambah semaraknya suasana. Kemudian malam

32
harinya, barisan orang-orang yang terus bertambah besar, bersenjata golok dan
tombak, dan dipimpin oleh Haji Wasid dan haji Tubagus Ismail, bergerak ke arah
Saneja, salah satu tempat pemusatan yang penting, dimana mereka menantikan
tanda yang akan diberikan untuk menyerang.
Adegan pembukaan tragedi berdarah yang berlangsung selama bulan Juli
ini telah direncanakan di Desa saneja tersebut yang berbatasan dengan Cilegon.
Sebagai ibukota afdeling Anyer, Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-
pejabat pamong praja, Eropa, dan pribumi, yakni asisten residen,kontrolir muda,
patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam, dan
pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. Serangan pertama
dilancarkan di desa Saneja tersebut. Serangan dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail
dan menuju ke rumah pejabat-pejabat di Cilegon. Lalu terjadilah peristiwa
pertama, yakni penyerangan ke rumah Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten
residen. Rumah dikepung oleh pemberontak, namun Dumas lari ke rumah jaksa,
istri dan kedua anaknya lari kerumah Ajun kolektor.
Sementara peristiwa itu berlangsung di bagian tenggara Cilegon,
sepasukan pemberontak diperintahkan untuk menuju Kepatihan. Sejak semula
telah jelas bahwa patih merupakan orang yang hendak dibunuh oleh kaum
pemberontak. Bukti nyata ketidakpopuleran patih di kalangan rakyat karena patih
seringkali bersikap sinis terhadap soal-soal agama dan peraturan-peraturan yang
mengikat soal agama. Setibanya di kepatihan, ternyata patih tidak dirumah
sehingga pemberontak bergerak ke tempat lain. Serangan umum dilancarkan
keesokan harinya. Memang pada saat itu sepasukan pemberontak di bawah
pimpinan kyai Haji Tubagus Ismail dan haji Usman dari Aryawinangun sedang
menuju gardu di pasar Jombang Wetan. Mukanya ditutupi oleh kain putih. Dari
segala jurusan kaum pemberontak, baik yang bersenjata maupun yang tidak
berdatangan menuju gardu tersebut.
Pemimpin utama operasi ini adalah Haji Wasid. Atas perintahnya,
sebagian kaum pemberontak akan menyerbu penjara untuk membebaskan semua
tahanan, sebagian lagi akan menyerang kepatihan , dan sebagian lagi akan menuju
ke rumah Asisten Residen. Sementara kaum pemberontakan berkumpul, pejabat-
pejabat pamongpraja dan keluarga mereka berusaha menyelamatkan diri dalam
suasana ketakutan. Jaksa dan istrinya bersembunyi di rumah Ajun kolektor,

33
sementara Gubels, wedana, dua orang opas dan beberapa orang lain bersembunyi
di penjara. Kekerasan dan kekacauan terjadi dimana-mana. Hampir senua pejabat
terkemuka di Cilegon jatuh sebagai korban senjata kaum pemberontak yang haus
darah. Disini kekuatan asing benar-benar berhadapan dengan kekeuatan kaum
pemberontakan.
Dalam pertumpahan darah dan penghancuran yang berlangsung, Dumas
merupakan korban pertama. Ia jatuh ke tangan Kyai Haji Tubagus ismail,
Kamidin dll, di rumah seorang Cina, tan Keng Hok, dan dibunuh di tempat
persembunyiannya. Dari informasi yang diberikan, jaksa dan ajun Kolektor jatuh
ke tangan pemberontak. Oleh karena mereka sangat dibenci oleh rakyat sehingga
mereka langsung dibunuh. Tempat lainnya yang menjadi ajang amukan rakyat
pada hari Senin berdarah itu adalah rumah Asisten residen. Seperti telah
dikemukakan di atas, sepasukan pemberontak di bawah pimpinan Kyai haji
tubagus ismail bergerak menuju rumah itu.
Begitu Abusamad seorang opas melihat kedatangannya,ia menyuruh
pelayan-pelayan bersembunyi di sebuah kamar di bagian belakang rumah. Ia
sendiri berhasil meloloskan diri dengan jalan melompati tembok halaman
belakang rumah. Semua personil lainnya di rumah asisten residen, bersembunyi
di sebuah kamar. Seorang anak men Gubels menangis, sehingga diketahui oleh
pemberontak maka ia di bunuh tanpa ampun. Begitu juga saudaranya juga
dibunuh dengan kejam, namun terhadap babunya tidak dbunuh asalkan ia
mengucapkan kalimat syahadat. Satu kekejaman lain terjadi di rumah Bachet,
kepala penjualan di gudang gaam. Karena ia adalah orang Eropa maka ia dibunuh
juga. Kemudia pemberontak di bawah pimpinan Lurah Jasim bergerak ke penjara
dan membebaskan tahanan sebanyak dua puluh orang. Salah satu dari tahanan
yang dibebaskan adalah Agus Suradikaria. Ia adalah penjahat yang kejam, yang
akhirnya bergabung dengan kaum pemberontak karena ingin membalas dendan
karena telah dipenjarakan oleh pemerinah kolonial.
Sebagian besar pejabat pemerintah dapat dibunuh, yang tidak dibunuh
adalah kaum wanita dan para babu yang merupakan pribumi. Setelah itu dilakukan
pencarian terhadap orang-orang yang telah melarikan diri. Dikabarkan
pemberotak telah mendekat dari arah utara. Grondhout diburu oleh pemberontak
yang dipimpin oleh Lurah kasar. Sementara itu banyak satuan pemberontak masih

34
berkeliaran di desa-desa untuk memburu korban mereka. Para pelarian merupakan
pejabat dan keluarganya, mereka tidak diperbolehkan tinggal di desa-desa karena
mereka bukan muslim. Di Trate Udik mereka mendap perlakuan serupa, namun
jaro setempat menasihatkan agar mereka menyatakan masuk Islam jika mereka
berjumpa dengan pemberontak. Pencarian tetap dilanjutkan, akhirnya Gubbels
berhasil ditangkap dan dibunuh. Nasib yang lebih baik di dapat oleh istri dan
anak-anak Dumas. Ketika mereka bersmbunyi, pintu kamar diketuk dengan keras
dan dipaksa untuk membukanya, Istri Dumas memohon supaya tidak dibunuh
dengan mengatakan bahwa ia akan masuk Islam. Oleh karena itu ia diampuni oleh
kaum pemberontak.
Di tengah gencarnya para pemberontak dalam memberangus para pejabat
pemerintah yang dibencinya, terjadi suatu peristiwa yang tragis, takni terbunhnya
orang yang tidak bersalah. Tokoh fenomenal yang menjadi salah salah seorang
korban, adalah Raden Tjakradiningrat, Wedana Cilegon, yang menurut PAA.
Djajadiningrat “....tempat kediamannya tidak didekat orang Eropah atau dekat
Ambtenar boemi-poetra jang lain......” (1936:55). Menurut rekaman PAA.
Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu adalah ketika ia akan
bermusyawarah dengan para perjuang (peroeseh, Djajadiningrat), namun di antara
mereka terdapat seorang tahanan yang sedang menunggu putusan perkara,
namanya Kasidin. Kasidin adalah seorang pencuri yang ditangkap oleh Wedana
Tjakradiningrat. Catatan Djajdiningrat berikutnya, menunjukkan bahwa ketika
Tjakradiningrat dikepung oleh para perjuang, terdengar suara “.....djangan dianiaja
jang seorang itoe, ia tidak berdosa !” tapi Kasidin yang ada pada kerumunan
tersebut, melompat kemuka terdengar suara “..... ini jang mesti didahoeloekan !”
dan pada saat berikutnya Kasidin membacok leher Wedana Tjakradiningrat (PAA.
Djajdiningrat, 1936:56).
Paman PAA. Djajadiningrat, yaitu Raden Astrasoetadiningrat mendapati
jenazah Raden Tjakradiningrat tanpa kepala terbaring dijalanan dekat alun-alun,
dan kepalanya ditemukan di tempat yang tidak jauh dari tempat badannya
terbaring, bersama dua mayat anak dari assisten Resident. Menurut keterangan
yang masih belum pasti kebenarannya, jenazah almarhum Wedana Raden
Tjakradiningrat dimakamkan di suatu tempat dekat penjara yang kini telah
menjadi pemukiman penduduk, kurang lebih 300 meter di sebelah barat perapatan

35
jalan Raya Cilegon-Anyer-Bojonegara, setidaknya terdapat asumsi bahwa di
dalam suatu keributan, pertempuran atau pun anarki, sering kali jatuh korban yang
tidak berdosa.
Raden Tjakradiningrat salah satu korban yang mati sia-sia karena
seharusnya beliau tidak mati oleh orang kita sendiri, sebab ia termasuk pejuang
yang saat itu sebagai pejabat di dalam pemerintahan Karena besarnya kekacauan
yang timbul ketika pemberontakan terjadi, banyak korban yang berjatuhan. Paling
tidak 17 pejabat pemerintah tewas, dimana 7 diantaranya adalah orang Belanda,
dan selebihnya adalah orang pribumi, dan salah satunya Wedana Cilegon yaitu
Raden Tjakradiningrat serta seorang Jaksa. Dari pihak pejuang dinyatakan 11
orang gugur, diantaranya Kiyai Haji Wasid, Haji Ismail, Haji Usman, dan
kesemuanya merupakan tokoh pahlawan puncak pergerakaan tersebut, selain itu
19 orang gugur dalam perperangan tersebut dan perang terjadi selama tiga
minggu, setelah peperangan reda 94 orang pejuang yang tertangkap dibuang oleh
para penjajah kedaerah Sumatera, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan
Jawa Timur.
Dampak Gerakan Pemberontakan Petani
Pemberontakan telah memaksa pemerintah kolonial meninjau kembali
pembaruan-pembaruan kebijakan yang telah diadakan. Diantara kebijakan yang
dirubah tersebut antara lain:
1. Pengaturan-pengaturan administratif.
Pengaturan yang paling mendesak adalah mengenai pengangkatanseorang
asisten residen di afdeling Anyer untuk mengisi lowongan yang disebabkan oleh
kematian Gubbels. Menurut van Vleuten, orang yang paling cocok untuk jabatan
itu adalah van Hasselt, yang saat itu masih menjabat sebagai asisten residen di
Sumedang. Van Hasselt pernah bertugas di Banten sebagai asisten residen Caringin
selama kuranglebih tujuh tahun, dan telah berpengalaman dalam hal bekerja sama
dengan pejabat-pejabat Banten, baik tinggi maupun rendah. Ia kelihatannya akan
mampu untuk memulihkan hubungan baik antara pejabat-pejabat eropa dan
pribumi di Caringin.
Langkah berikutnya adalah membebaskan Raden Penna dari tugasnya.
Kedudukannya sebagai Patih Afdeling Anyer tidak dapat dipertahankan lagi
setelah adanya peristiwa pemberontakan itu, dan dengan cara apapun ia harus

36
dipindahkan dari sana.Seperti halnya bupati Serang R.A.P. Gondokusumo yang
juga dianggap bertanggung jawab atas pecahnya pemberontakan itu. Tidak lama
setelah pemberontakan, terdengar desas-desus ia mengundurkan diri.
2. Penempatan Detasemen-detasemen tentara.
Hasrat melakukan pembalasan yang berkobar, seringkali dilampiaskan
terhadap haji yang pertama ditemui oleh Belanda. Oleh karena sudah tidak merasa
aman lagi, sementara orang Belanda mempersenjatai diri dan yang lainnya banyak
yang pindah ke kota. Tidaklah mengherankan bahwa di dalam suasana seperti
kekuatan militer dianggap penting. Pada akhir tahun masih terdapat detasemen-
detasemen tentara di tempat-tempat dimana telah dikerahkan kontingen-kontingen
pemberontak dalam jumlah yang besar selama pemberontakan, seperti Cilegon,
Bojonegoro, dan Balagendung. Detasemen-detasemen itu masing-masing
berkekuatan 17 orang dan hanya akan ditarik setelah hukuman yang dijatuhkan
oleh Mahkamah Agung terhadap kaum pemberontak dilaksanakan.
3. Masalah Kedudukan Kepala Desa.
Masalah yang dihadapi adalah bagaimana mengkonsolidasi kedudukan
kepala desa, yang ditempat-tempat lainnya di Pulau Jawa merupakan “palladium”,
ketentraman dan ketertiban. Oleh karena itu langkah-langkah harus diambil untuk
memperkuat kedudukan kepala desa dan membuatnya lebih menarik. Sering kali
terjadi, ada kepala desa yang minta berhenti sementara banyak kepala Desa lainnya
dengan tidak sabar lagi menantikan saatnya mereka dibebaskan dari jabatan
mereka. Semua itu disebabkan karena beban dan resiko yang melekat pada jabatan
mereka tidak mendapat imbalan secukupnya.
Ia menyarankan agar kepala desa diberi imbalan dalam bentuk pembebasan
dari sewa tanah sampai sejumlah 25 Gulden, anggota-anggota pamong lainnya agar
dibebaskan dari sewa tanah sampai sejumlah 15 Gulden. Oleh karena ada
kerabatan-kerabatan terhadap usul residen itu, Direktur departemen dalam Negeri
menganjurkan agar kepala desa dan anggota-anggota pamong desa lainnya diberi
tanah jabatan.

4. Masalah Pajak.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk membuat satu system perpajakan
yang dapat dilaksanakan dan, terutama setelah pemberontakan, perhatian pihak

37
berwajib ditujukan terhadap persoalan itu. Seperti telah disebutkan diatas,
Komisaris pemerintah di dalam laporannya menganggap pemungutan sewa tanah
secara komunal sebagai salah satu sumber ketidak puasan dikalangan penduduk.
Dan mengusulkan agar orang kembali kepada pemungutan secara perseorangan.
Akan tetapi residen Banten berpendapat bahwa pemerintah tak mungkin kembali
kepada system pemungutan sewa tanah secara perseorangan tahun itu dan kiaranya
tidak menguntungkan untuk mengambil langkah itu dalam masa depan yang dekat.
Ia berpendapat bahwa untuk sementara waktu akan cukup kiranya untuk
meluruskan pemungutan sewa tanah itu, terutama di afdeling-afdeling Anyer dan
Serang, dimana sering kali dicatat adanya ketidak puasan dikalangan pembayar
pajak. Komite-komite itu juga harus memastikan apakah penduduk diperlakukan
secara adil oleh pamong desa pada saat pembagian beban pajak itu. Dalam waktu
yang bersamaan, hendaknya dikumpulkan data-data mengenai harga padi,
produktivitas lahan, dan dengan sendirinya ukuran yang tepat dari lahan-lahan itu.
Selain ketiga faktor itu, keadaan tanaman lahan yang bersangkutan juga harus
diperhitungkan dalam menetapkan besarnya pajak. Residen mengemukakan usul-
usul balasan sebagai berikut : untuk mengatasi keberatan-keberatan terhadap
pembagian beban pajak menurut system “repartitie” hendaknya dilakukan
pengukuran dan pembuatan gambar peta mengenai lahan-lahan yang juga
menunjukan batas-batas setiap lahan, sementara taksiran mengenai beban pajak
yang harus dipikul oleh setiap lahan oleh pemerintahan pusat.
5. Masalah Pencacaran Kembali
Oleh karena telah disuarakan keluhan-keluhan mengenai pencacaran
kembali, kita juga harus mencurahkan perhatian kepada langkah-langkah untuk
perbaikan kesehatan rakyat tanpa menimbulkan ketakutan dengan jalan mengatasi
prasangka-prasangka mereka. Umum mengetahui bahwa rakyat Banten sangat
lambat mengerti bahwa vaksinasi merupakan suatu keharusan untuk memerangi
penyakit dan memajukan kesejahteraan rakyat. Seperti diketahui, protes-protes
yang menentang vaksinasi terhadap wanita dan gadis melibatkan manifestasi rakyat
yang sangat keras. Oleh karena ada tentangan dari penduduk maka pencacaran
dilakukan disaksikan oleh pejabat pamong praja yang pengaruhnya diperlukan agar
kampanye itu bisa efektif. Menurut laporan Kepala Dinas Kesehatan umum, dalam

38
tahun 1889 pencacaran dapat dilaksanakan di Banten tanpa campur tangan atau
keluhan dari rakyat.
6. Masalah-masalah urusan Agama.
Setelah terjadinya peristiwa berdarah di Cilegon, orang dicekam oleh
perasaan ngeri dan kampanye yang menghendaki agar kaum pemberontak
ditumpas tanpa ampun menapat sambutan hangat dan dukungan yang luas di
sebagian besar masyarakat Belanda, kampanye itu menuntut agar orang dilarang
mengenakan pakaian haji, agar peserta-peserta dalam pemberontakan dihukum
keras dan agar guru-guru agama diawasi secara ketat. Akan tetapi sebagai
tanggapan atas rekomendasi yang lantang itu, pemerintah pusat menolak setiap
tindakan yang melibatkan pengejaran terhadap kaum haji hanya karena mereka
melakukan kewajiban-kewajiban agama mereka. Sesudah Snouck Hurgronje
bertindak sebagai penasihat, pemerintah mulai dengan tindakan pembaruan dalam
urusan agama, dan dijadikan pegangan adalah pandangan Snouck hurgronje.
Kemudian asisten residen anyar mengeluarkan larangan untuk mengadakan
arak-arakan dan hiburan musik dalam pesta-pesta dan peneyelenggaraan dzikir
tidak boleh mengganggu lingkungan. Van Vleuten berpendapat bahwa sekolah-
sekolah agama telah menimbulkan keresahan. Kemudian diadakan pembatasan-
pembatasan terhadap praktek-praktek yang mereka anggap tidak baik dan
merendahkan yang dikaitkan dengan pendidikan agama. Dianjurkan agar tidak saja
guru-guru agama diklasifikasikan dalam berbagai kategori, melainkan juga agar
diadakan ujian untuk menentukan apakah seseorang memenuhi syarat untuk
bertindak sebagai guru agama.
Holle, penasehat kehormatan mengenai urusan pribumi mengemukakan
pandangannya mengenai apa yang harus dilakukan dalam rangka apa yang ia
namakan “kebijakan jalan tengah”. Menurut pendapatnya, tindakan –tindakan
keras yang diambil di Banten telah menimbulkan dendam kesumat di kalangan
penduduk. Cara yang paling aman adalah mengambil langkah-langkah preventif
dan memebrikan reaksi terhadap inovasi-inovasi tanpa ribut-ribut. Pemerintah
hendaknya jangan melakukan sesuatau yang menimbulkan kesan paksaan atau
pengejaran. Setelah peristiwa pemberontakan di Cilegon pemerintah memutuskan
untuk mengangkat sebagai penasehat mengenai soal-soal Arab dan Pribumi dan
untuk menantikan kedatangannya sebelum diambil langkah-langkah yang

39
menentukan di bidang agama. Snouck Hurgronje menganggap tidak ada gunanya
untuk membuang sekian banyaknya orang yang dicurigai sebagai pemberontak,
yang tidak dapat dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena tidak ada bukti. Ia
memperingatkan residen jangan bertindak keras tanpa alasan yang cukup dan
menyerukan agar jumlah orang-orang yang dibuang dikurangi sampai sekecil
mungkin. Menurut Snouck Hurgronje, pemerintah dapat menggunakan cara-cara
lain untuk memberantas keburukan fanatisme, dan setiap tindakan harus diambil
secara bijaksana dan tanpa menggunakan kekerasan sehingga tidak akan
menimbulkan kecurigaan di kaum Muslim bahwa pemerintah Belanda memusuhi
Islam dan berusaha menghina penganut-penganutnya. Menurut Snouck Hurgronje,
perintah utama yang terkandung dalam prinsip untuk bersikap netral tehadap
agama adalah bahwa praktek-praktek keagamaan yang beraneka ragam itu harus
dibiarkan, akan tetapi penyalahgunaan agama untuk tujuan-tujuan politik tidak
boleh dibiarkan. Menurut pendapatnya, pemerintah harus mengambil lebih banyak
tindakan administratif untuk memperbaiki administrasi soal-soal keagamaan.
Snouck Hurgronje beranggapan bahwa pemerintah harus hati-hati sekali
dalam mengangkat penghulu, orang macam bagaimana yang memegang jabatan itu
merupakan soal yang akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang sangat besar
di masa dekat mendatang apabila para penghulu itu diberi tugas untuk mengawasi
pendidikan agama. Kondisi administrasi Snouck Hurgronje menyadari bahwa
kondisi –kondisi yang buruk, penyelewengan-penyelewengan administratif serta
admininstrasi yang tidak efektif merupakan lingkaran setan. Menurut
pendapatnya kesalahan utama terletak pada kecenderungan untuk membiarkan
pejabat-pejabat Eropa menyelenggarakan sendiri seluruh administrasi menurut ide-
ide mereka. Pejabat pribumi tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan tugas-
tugas yang diberikan kepada mereka dari atas dan mengambil sikap menurut istilah
mereka sendiri “turut angin”.
Snouck Hurgronje berpendapat bahwa keterbatasan cakrawala intelektual
mereka itu untuk sebagian besar disebabkan oleh kenyataan bahwa pemerintah
telah sangat mengabaikan pendidikan modern bagi priyayi Banten. Dalam
hubungan ini, pengiriman anak-anak priyayi Banten ke sekolah Menak di Bandung
yang dinamakan “hoofdenschool”, sekolah tempat anak-anak priyayi dididik untuk
menjadi pamong praja dapat dianggap sebagai satu langkah yang penting untuk

40
mengisi kekosongan pendidikan modern itu. Namun demikian, baru dalam tahun
1910 sekolah tersebut dibuka di Serang.
Dikarenakan terjadi persengketaan intern diantara anggota-anggota priyayi
Banten, yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang melawan hukum atau
tidak terhormat dalam perlombaan yang memperebutkan jabatan-jabatan
adminstratif di daerah itu. Oleh sebab itu, maka sikap membudak, favoritisme,
kecurigaan, dan intrik tumbuh subur, dan ketiadaan kerjasama dikalangan pejabat
pribumi menimbulkan hambatan sehingga adminstrasi tidak dapat bekerja
sebagaimana mestinya.Kemudian usaha-usaha dilakukan tidak hanya untuk
mengurangi hal-hal yang tidak menyenangkan penduduk, akan tetapi juga
memperbaiki taraf hidup di daerah itu. Satu diantara usaha-usaha itu adalah
membangun atau memperbaiki jembatan-jembatan dan jalan-jalan yang diperlukan
mutlak untuk pengangkutan. Yang paling dipikirkannya rupanya adalah soal
memulihkan ketentraman dan ketertiban, perbaikan kehidupan rakyat di bidang
materi baginya merupakan soal kedua. Namun demikian, sulit untuk
memperkirakan perbaikan-perbaikan apa saja yang terjadi sesudah itu dalam taraf
penduduk Banten.
Dampaknya bagi rakyat adalah timbulnya trauma yang mendalam sebagai
akibat dibakarnya desa-desa secara dramatis benar-benar telah menyebabkan
merosotnya moril penduduk setempat. Selama berlangsungnya penumpasan
pemberontakan, rakyat tetap bersikap pasif, meskipun mereka masih menunjukkan
sikap baik yang hati-hati terhadap kaum pemberontak.
G. Pemberontakan dimulai

Pemberontakan meletus tepatnya di Cilegon dibawah pimpinan haji


Tubagus Ismail dan Haji Wasid. Pemberontakan tersebut dimulai pada hari senin 9
Juli 1888 disusul dengn penyerangan terhadap Serang. Rencana berdarah tersebut
direncanakan di desa Saneja yang terletak diperbatasan Cilegon. Cilegon menjadi
sasaran utama pemberontakan karena Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-
pejabat pamong praja, eropa dan pribumi. Haji Tubagus Ismail melancarkan
serangan pertamanya dengan diawali dari desa Saneja pada tanggal 8 Juli dan
bergerak menuju tempat tinggal pejabat-pejabat di Cilegon. Rumah Dumas seorang

41
juru tulis di kantor asisten residen merupkan serangan yang pertama hal ini
dikarenakan rumah Dumas adalah rumah yang kebetulan dilewati.

Kejadian ini tak ayal dianggap sebagai kesempatan yang paling baik untuk
menunjukan kebencian rakyat dalam satu tindakan yang sama. Disisi bagian
tenggara, sepasukan pemberontak pun diperintahkan menuju kepatihan. Patih
merupakan salah satu dari orang-orang yang hendak ibunuh oleh kaum
pemberontak. Tetapi ternyata sang patih tersebu sudah meninggalka Cilegon Utara
dan pembunuhan pun tidak terjadi. Akhirnya terjadilah serangan umum yang
dilakukan oleh haji Tubagus Ismail yang berkolaborasi dengan Haji Usman dari
Arjawinangun, Haji Wasid, Haji Abdul gani, dan haji Nasiman. Kali ini sebagian
kaum pemeberontak menyerbu penjara untuk membebaskan semua tahanan.
Sebagian lagi menyerang kepatihan dan sebagian lagi bergerak menuju rumah
asisten residen. Perintah untuk memulai serangan itupun disambut oleh kaum
pemberontak dengan kobaran semangat. Hingga dalam sekejap keluarga pamong
praja dan lainnyapun berusaha menyelamatkan diri dalam suasana ketakutan.

Setelah distrik Cilegon diduduki oleh kaum pemberontak, dilancarkanlah


usaha besar-besaran untuk mencari pejabat-pejabat yang berhasil meloloskan diri.
Pemburuan utama salah satunya adalah Grondhout yang merupakan lurah kasar.
Dalam pemberontakan ini pegawai-pegawai pamongpraja tingkat rendah, baik
orang Eropa maupun orang Banten mengalami nasib yang sama dengan yang
dialami oleh atasan-atasan mereka. Di pusat peristiwa para tawanan pmeberontak
diperintahkan untuk mengucap sumpah bahwa mereka akan ikut dalam
pemeberontakan. Pada saat itu kaum pemeberontak berhasil mengumpulkan satu
pasukan yang terdiri dari beratus ratus orang baik yang bersenjata maupun tidak
bersenjata. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Haji Wasid yang bermarkas di
gardu Jombang Wetan untuk memimpin pemberontakan diberikan gelar raja atau
raja islam oleh para pemberontak, mereka memberi hormat kepadanya. Selain haji
wasid, gelar tersebut pun diberikan pada Agus Suradikaria dan Haji Tubagus
Ismail.

42
Peristiwa penting yang lain adalah pengejaran terhadap asisten residen. Hal
ini dilansir karena Gubbels sedang tidak di tempat tugasnya di Cilegon saat
pemberontakan pecah. Ia bertugas di afdeling Anyer bersama dengan pejabat
lainnya dimana mereka tidak mengetahui sedikitpun mengenai pemberontakan
yang terjadi di Cilegon. Hingga akhirnya saat ia pulang ke tanah pemberontakan
itupun ia diserang dengan mendapatkan luka tusukan tombak di dada dan mati
ditangan para pemberontak. Ditempat lain dibawah pimpinan Agus Suradikaria,
bekas pejabat yang membelot dan bergabung dengan kaum pemberontak itu
mengetuai rapat haji-haji. Merekaa menyuruh anak-anak buahnya untuk menjaga
jalan-jalan keluar dari Cilegon. Ketika pemberontakan sedang terjadi, patih Anyer
yaitu Raden Penna secara kebetulan sedang berada di Serang. Disana Raden Penna
berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan orang-orang yang bersedia berangkat
ke Cilegon untuk melawan kaum pemberontak. Tetapi karena Anyer kidul belum
pulih dari kepanikan, pasukan penolong dari pimpinan Raden Penna pun baru bisa
berangkat keesokan harinya.

Selain pemberontakan di Cilegon, huru hara juga terjadi di daerah lain.


Seperti Bojonegoro, Balagedung, Krapyak, Grogol dan Mancak. Di Bojonegoro
pemberontakan meletus pada minggu malam, mendahului pemberontakan di
Cilegon. Tindakan kekerasan juga terjadi di Balagedung pada tanggal 9 Juli. Yaitu
serangan terhadap rumah Asisten Wedana, rumah dari asiste tersebut dihancurkan,
isinya diangkut dan arsip-arsipnya dibakar. Demikian pula dengan Asisten Wedana
di Grogol, ia bahkan gagal melarikan diri dan terbunuh ditanga pemberontak.
Beralih dri afdeling Anyer ke afdeling Serang, pada tanggal 9 Juli satuan-satuan
pemberontak dari distrik Serang dan daerah daerah sekitarnya berkumpul di
Bendung, terumbu, Kubang, Kaloran dan Kaganteran. Haji Wasid menyatakan
bahwa pemberontakan akan dimulai minggu malam itu juga. Keesokan harinya
orang-orang datang berduyun-duyundi Bendung dan setelah mendapatkan pengikut
yang besar jumlahnya, mereka berjalan ke jantung Banten. Menurut rencana-
rencana yang ditetapkan mereka akan mulai beroperasi etelah menerima perintah
dari haji Wasid yang mana serang akan diserang dari berbagai jurusan. Tetapi
ternyata alun-alun Serang dijaga oleh tentara, hal ini pun membuat para
pemberontak mengurungkan niatnya.

43
H. Penumpasan Pemberontakan dan Kelanjutannya

Distrik-distrik di bagian barat afdeling Serang dapat dianggap merupakan


bagian utama pemberontakan Juli 1888, sebelum gelombang pemberontakan
mencapai ibukota keresidenan Banten, pemerintahan pun sudah menjalankan
reaksi. Setelah Cilegon diduduki dan bergerak menuju Serang maka tidak
disangsikan lagi bahwa pemimpin pemberontakan Haji Wasid telah merencanakan
hrndak merebut ibukota kereidenan dan membantai pamongprajanya. Tetapi
rencana ini tidak berjalan dengan mulus, pejabat-pejabat serang memutuskan untuk
mengirim sepasukan tentara dengan 28 senjata api untuk memulihkan Cilegon. Hal
ini membuat kaum pemberontak mengalami satu pukulan hebat ketika mereka
menyadari bahwa bentrokan dengan tentara pemerintah di Toyomerto berakhir
dengan tewasnya sejumlah kawan seperjuangan mereka disamping banyaknya
yang luka-luka.

Selain itu mereka juga terkejut melihat senapan jenis baru yaitu
senapanrepetir yang digunakan oleh tentara pemerintah. Efeknya adalah suatu
psikosis yang meluas di kalangan pemberontak yang dimanifestasikan dalam
bentuk sikap kecewa dan sebagai akibatnya mereka kehilangan semangat untuk
meneruskan perjuangan guna mencapai cita-cita pemberontakan. Oleh karena itu
kekalahan di Toyomerto dapat dianggap sebagai titik balik dalam jalannya
pemberontakan tersebut. Dalam cerita mengenai pemberontakan diatas, maka
beralih pula kisahnya mengenai sebuah tim pertolongan tanggal 10 juli. Dimana
terdapat seorang Raden Penna yang terburu-buru mengumpulkan orang yang
bersedia ikut dengannya ke Serang. Ia berhasil mengumpulkan 13 orang dan
berangkat menuju Cilegon. Selain itu untuk menumpas pemberontakan yang
hampir padam itu, dikirimkan pasukan-pasukan ekspedisi ke berbagai daerah. Hal
ini agar mereka dapat melakukan penangkapan-penangkapan dan mengambil
tindakan terhadap kaum pemberontak.

Meskipun sudah tidak terlihat adanya huru-hara di sekitar daerah Serang,


desa-desa tersebut setiap hari selalu dilalui patroli-patroli militer karena ditakutkan
para pemberontak akan menyerbu kota. Patroli itu juga dimaksudkan untuk
menenangkan banyak penduduk ibukota itu yang masih dilanda kepanikan. Sasaran

44
utama operasi pasukan-pasukan patroli itu adalah desa–desa asal pemimpin
terkemuka pemberontakan. Tetapi sayangnya pemimpin-pemimpin itu selalu dapat
meloloskan diri setiap kali tentara mengepung desa mereka. Dan nampaknya
tentara juga telah kehilangan jejak-jejak semua pimpinan pemberontakan tersebut.

Sebagai akibat dibakarnya desa-desa oleh para tentara yang berpatroli,


kaum pemberontak terpaksa beralih strategi yang bersifat defensif semata-mata.
Rencana Haji Wasid pun untuk bertahan di daerahnya sendiri mendapatkan
pukulan hebat. Oleh karena itu ia kehilangan basis operasinya yang utama. Ia tidak
mungkin mengerahkan kembali pasukan pemberontak dalam jumlah yang bear.
Satu-satunya alternatif ialah melanjutkan perjuangan selama mungkin dengan
menggunakan taktik kejar-lari. Kelanjutannya, para pemberontak itu pun menjadi
terpecah belah dan usaha-usahanya untuk menghidupkan kembali api
pemberontakan yang tersisa pun tidak memungkinkan kembali. Karena diantara
pemberontak tersebut sendiri nyatanya banyak yang memisahkan diri. Selain dari
pihak internal yang sangat rumit tersebut, pemburuan terhadap kaum pemberontak
oleh pemerintahan kolonial nampaknya telah meluas sampai keluar perbatasan
Banten dan dimana-mana para pamongpraja pun mencari sosok-sosok dibalik aksi
pemberontakan tersebut. Pengejaran-pengejaran tersebutpun membuahkan hasil
dengan ditewaskannya para pemimpin dan pengikutnya dengan hukuman gantung.

Meskipun Banten kelihatannya kembali tenang setelah pemusnahan para


pemimpin pemberontakan, nyatanya semnagat keagamaan mereka pun belum
berkurang dan jiwa pemberontak di kalangan penduduk pun belum dapat
dipatahkan sepenuhnya. Dalam situasi ini tanda-tanda pemberontakan baru pun
bermunculan. Sepanjang bulan-bulan April-Mei tahun itu pemerintah terus
menerus diganggu oleh desas-desus yang menyatakan bahwa sebentar lagi
pemberontakan baru akan pecah. Kenyataan bahwa kaum pemberontak yang tidak
pernah mencoba kekuatan senjata terhadap kolonial pun membuat mereka merasa
bersalah sendiri. Para penduduk pun saling menuduh telah melanggar sumpah dan
telah meninggalkan pemimpin-pemimpin mereka. Hal ini pun akhirnya menjadi
alasan berkobarnya semangat pemberontakan kembali diantara mereka. Rencana-
rencana pemberontakan itu pun dilancarkam dengan dimaksudkan untuk membalas
dendam pemimpin-pemimpin mereka yang telah dibuang dan dihukum mati.

45
Tetapi rencana ini pun diketahui dan ditumpas sebelum mencapai tahap
pelaksanaannya.

I. Kelanjutan Pemeberontakan

Belanda dihadapkan dengan peristiwa – peristiwa yang mengejutkan.


Peristiwa – peristiwa bulan Juli 1888 benar-benar telah memaksa Belanda meninjau
kembali politik kolonialnya. Politik kolonial yang baru mengandung banyak
perubahan sebagai akibat pemberontakan itu, tak disangsikan lagi mempunyai
korelasi dengan pandangan mengenai pemberontakan tersebut yang terdapat
dikalangan pemerintah-pemerintah.

Mencari Penjelasan

Para penjabat-penjabat Banten benar-benar kebingungan dengan adanya


pemeberontakan Banten mereka tidak mengetahui apa yang menyebabkan
kerusuhan-kerusuhan itu terjadi , lalu mereka berusaha mencari penjelasan , mereka
mengemukakan berbagai pendapat saling bertentangan dan membingungkan. Mula-
mula Java Bode mengemukakan pendapatnya bahwa pemberontakan itu dilakukan
oleh orang-orang Lampung, bahkan Soerabaiach mengemukakan bahwa
pemberontakan itu hanya peristiwa kebetulan . Dengan beberapa pendapat dari para
penjabat ruang lingkup pemberontakan itu hanya bisa disimpulkan peristiwa yang
ngawur. Jalanya perisiiwa-peristiwa di seluruh wilayah Banten Utara tidak dapat
dicocokan denga teori yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut hanya sebuah
kebetulam dan bersifat lokal sehingga pendapat-pendapat tesebut mendapatkan
sebuat perdebatan yang belum pasti. Kebanyakan orang yang telah berpendapat atau
pun berdebat mengenai sebab – sebab pemberontakan menyadari factor utama dari
pemeberontakan tersebut ialah orang – orang yang terlibat dalam gerakan itu
semakin menyadari dengan factor-faktor yang mereka alami.

Pandangan-Pandangan Kontemporer

Dengan banyaknya berpendapat pemberontakan, membantu Belanda untuk


memahami dan menanggulangi situasi kritis yang mereka hadapi dengan itu pula
Belanda pun telah merencakan pembaharuan-pembaharuan untuk masa yang akan
datang. Seperti sudah dapat diperkirakan sebelumnya Belanda masih berusaha

46
mencari sebab – sebab pemberontakan. Selain Pendapat umum ternyata anggota
pemerintahan Kolonial pun sangat sibuk menyelidiki sebab-sebab pemberontkan itu
, mereka tidak hanya memahami tapi memanupulasi dan megarahkan situasinya .
Java Bode hanya mengemukakan permberontakan local tersebut di sebabkan oleh
pemuka – pemuka agama Islam yang berlandaskan fanatisme tarekat sufi. Pada
akhirnya artikel-artikel itu mengeluarkan sebuah peringatan kepada pemerintahan
Kolonial agar waspada terhadap okomplotan orang - orang Muslim.

Groneman sangat mengencam semangat VOC terhadap tubuh Kolonial dia


bahkan mengajurkan permbaharuan seperti penurunan pajak,penghapusan wajib
tanam dan yang tidak kalah penting yaitu Kristenisasi di Nusantara yang di jalankan
oleh Standaard suara kencaman itu disuarakan oleh De Tijd . Suara kabar tersebut
sangat bersimpati terhadap pribumi. Beberapa waktu kemudain Niewuwe Rotterdam
Courant mengemukakan penyebab pemberontakan itu dilakukan oleh kalangan luas
mereka juga menegaskan colonial Belanda harus memperbaharui Sisitem
Kristenisasi di Nusantara dan memperhatikan khusus terhadap pendududk yang
beragaama Islam.

Sebuah cerita yang dikemukakan oleh pemberontak yang ditawan mengulas


bahwa pemberontakan sudah dirancang sejak lama dan disebabkan oleh system
kolonialis Belanda terhadap pribumi. Mereka sangat tertekan oleh pajak yang tinggi
,para penjabat yang sangat menghina, pengahapusan agama, merendahkan
kehormatan kaum wanita,larangan pelaksanaan tradisi local, bahkan mereka rela
untuk mengajak perang salib dengan membunuh semua penjabat

Laporan Komisaris Pemerintah

Tidak disangka pemberontakan disebab oleh tekanan yang menumpuk yang


dirasakan oleh kalangan penduduk. Beberapa pecan kemudian Van Vleuteun
diangkat menjadi komisaris pemerintahan dia menyelidiki sebab – sebab dari
pemberontakan dia membuat catatan laporan tertulis dengan 200 halaman. Laporan
bagian utama menyebutkan bahwa pemberontakan tesebut disebabkan oleh orang –
orang yang beragama Islam mereka merasa ketakutan pemerinrtahan Belanda
menghapus agamanya, dibagian final laporan tersebut mengemukakan
pemberontakan tersebut terjadi dikarenakan pajak yang terlalu tinggi sehingga

47
menimbulkan tekanan terhadap pribumi. Van Vleuteun juga mengajukan
pembaharuan – pembaharuan system administrasi dan sisitem lainnya agar tidak
terlalu menekan kaum pribumi , bahwa system pemerintah yang menekan terus
kaum pribumi adalah bagian sumber untuk memicu pemberontakan terjadi.

Van Vleuteun menganggap perselisihan pemuka – pemuaka agama dengan


para penjabat pemerintah membuat acuan sangat berpengaruh terhadap
pemebrontakan dan ekspansi agama Islam membawa gangguan terhadap
ketentraman dan ketertiban. Van Vleuteun ingin mengajukan kepada pemerintah
belanda harus melipatgandakan usaha – usaha untuk mengontrol sisitem
keagamaan meskipun Van Vleuteun memiliki ideologi netral liberal yang cita-
citanya bertoleransi agama. Van Vleuteun mengakhiri laporannya dengan delapan
ulasan. Empat usulan yang pertama mengusulkan Van Hesselt diangkat sebagai
residen anyer dan pemecatan Raden Penna sebagai patih di daerah.

Usulan Kelima mengusulkan penyelidikan-penyelidikan mengenai prinsip


yang menjadi dasar wajib kerja bakti di daerah itu, dan berlakunya kembali
penetapan sewa tanah untuk perorangan. Keenam mengusulakn pengakatan Van
Laick dan Van Pabst menjadi pembantu residen Banten dengan wewenang usulan
kelima. Ketujuh berisi usulan merekomendasikan agar Direktur Departemen Dalam
Negeri utnuk melaksanakan usul kelima dan usul keenam.Kedelapan menyarankan
Direktur Departemen Pendidikan, Agama ,dan Pendindustrian merancang sebuah
peraturan yang akan menempatkan Pendidikan agama dibawah pengawasaan yang
lebih ketat dari pihak pemerintah.Usulan tersebut ditanggapi baik oleh pihak Hindia
Belanda , namun ada juga yang menanggap usulan tesebut buruk karena bias
menjadi acuaan bangkitnya jihad dan perlawanan penduduk.

Pengaturan – Pengaturan Administratif

Pengangakatan seorang asisten residen di Afdeling Anyer untuk


menggaantikan lowongan yang disebabkan oleh kematian Gubberl. Pengangkatan
ini diisi oleh Van Hesselt karena ia diharapkan bisa mempunyai hubungan yang
baik antara para penjabat-penjabat di Banten.Langkah berikutnya , membebaskan
Raden Penna dalam tugasnya keputusan ini terjadi karena banya peristiwa-peristiwa
yang tidak disangka terjadi.

48
Penagangkatn Velders sebagai residen Banten pengangkatan tersebut telah
mendapatkan pertimbangan karena reputasi Velders yang baik, dan tindakan-
tindakan cepat yang diharapkan mampu bisa meperbaiki persoalan administrator.
Penurunan buapati R.A.P Serang Gundokusumo,penyebab ia turun memiliki banyak
pendapat diantaranya . Ada yang mengatakan bahwa ia memiliki sangkut paut
dengan pemberontakan yang terjadi dan adapula yang menyatakan bahwa ia turun
sudah dalam waktunya menjabat selama 30 tahun., namun yang jelas kita belum
mengetahui penyebab apa bisa menurunkan kedudukannya sebagai bupati R.A.P
Serang.

Beberapa tahun kemudain Mas Jayamatya mengungkapan tindak-tanduk


Gondokusumo yang menimbulakn skandal. Menurut kisahnya sang bupati tealh
diberitahu akal - akal terjadinya kerusuhan. Kedua yang memiliki hubungan tidak
baik dengan Raden Penna.Velders mengetahui sepenuhnya bahwa menentukan
Bupati Serang itu harusnya ada cakupannya yaitu : (1) ia harus mememiliki
martabat yang tinggi dan kemauan berkeja keras, (2) Setia pada pemerintahan
Hindia Belanda (3) dapat dipercaya dan diandalkan (4) jujur dan taat kepadaa
agama tetapi tidak terpengaruhi oleh pemimpin-pemimpin agama.Velders telah
memiliki penjabat-penjatbat yang dianggap memiliki potensial diantaranya , Mas
Jayatmaja, Raden Bagus Jayawinata, Raden Surwawninagun dan Raden Tumegung
Suria Nataningrat.

Penempatan Detasemen – Detasemen Tentara

Pada akhir tahun detasemen-detasemen tantara di tempatkan di Cilegon dan


Banten. Masing-masing detasemen tersebut memiliki kekuatan 17 orang. Residen
Banten menanggap perlu memeprtahankan tangsi di Cilegon untuk sementara waktu
; kekuatanya telah berkurang secara berangsur tinggal 25/30 orang dibwah pimpinan
seorang opsir. Sementara itu pemerintah dirasa perlu untuk membabngun kekuatan
prajurin diCaringin dan Lebak karena jauh dari Ibu Kota. Tiap detasemen harus
memiliki kekuatan 20 orang yang diharapkan diambil dari Ambon ,Manado dan
Timor agar tidak bersekutu dengan orang – orang Banten. Deatasemen- detasemen
polisi akan ditempatkan di afdeling-afdeling Caringin dan Lebak, masing-masing
terdiri dari 24 orang dibawah pimpinan 2 kopral ,1 sersan. Dalam usahanya militer

49
belanda memiliki strategi yang sama dengan orang Romawi Kuno yaitu : Divide et
Impera.

Masalah Kedudukan Kepala Desa

Residen menyarankan imbalan kepada Kepala desa dalam bentuk


pembebasam dari sewa tanah sampai sejumlah 25 gulden; anggota-anggota pamong
desa lainnya dibebaskan dari sewa tanah sampai sejumlah 15 gulden. Dalam usula
ini Direktur Departemen Dalam Negeri mengajurkan agar kepala desa dan
pamongnya diberi jabatan tanah. Direktur Departemen Dalam Negeri telah
menghitung pengeluaran tuang untuk membeli tanah jabatan tersebut tercatat 75.000
gulden untuk di Banten saja; ada 1256 desa tidak mempunyai tanah jabatan.

Masalah Pajak

Beban pajak telah menekan sekali penduduk, menurut Komisarin


Pemerintah salah stunya dengan sewa tanah secara komunal telah membinasakan
para penduduk. Banyak berbagai cara untuk menyikapi hal tersebut. Seperti telah
disebutkan diatas keluh kesah pajak menyelimuti para peduduk. Mengenai pajak
yang pertama , Residen mengambil keputusan cepat dengan mempulihkan cara
pemungutan pajak. Selanjutnya pemerintah mengadakan penyelidikan di pulau Jawa
yang hasilnya akan digunakan untuk survey itu, di perkirakan 4300 orang yang
berkerja sebagai pedagang kecil memiliki keuntungan kurang dari 50 gulden.
Residen Banten mengusulkan agar golongan pedagang kecil dibebaskan dari pajak
usaha.

Masalah Pencacaran Kembali

Para penduduka meiliki kesah keluh karena masalah vaksinisasi menurut


mereka vaksinisasi belum merata . Seperti diketahui protes-protes vaksinisasi yang
menentang terha`dap wanita dan gadis melibatkan manifestasi perasaan rakyat yang
keras.Menurut laporan Kepala Dinas Kesehatan Umum, dalam tahun 1889 pencacaran
dapat dilaksanakan di Bantentanpa campur tangan atau keluhan dari kalangan rakyat.

50
Masalah Urusan Agama

Snouck Hurgronje berpendapat pemerintah seharusnya mengambil lebih


banyak tindakan administrative untuk memperbaiki administrasi soal-soal keagamaan.
Dalam hubungan ini , salah satu masalah penting yang dihadapi pemerintah adalah
pengangkatan para penghulu . Snouk Hurgonje beranggapan bahwa pemerintah harus
lebih berhati-hati dalam mengangkat penghulu, bagaimana pun orang yang memegang
jabatan itu merupaka soal yang akan mempunyai konsekuensi yang sangat besar di
masa dekat mendaptang apabila para penghulu itu diberi tugas untuk mengawasi
Pendidikan agama. Islam di Banten telah menjelma dalam bentuk yang pali tidak
menarik selama berabad – abad. Melahirkan banyak fanatic dan mudah membenci
orang-orang kafir . Mereka menggunakan berbagai keluhan sebagai loncatan
menguasai kekuasaan politik dapat mengobarkan api ketidakpuasan dan menjadi
pemberontak.

Kondisi Administrasi

Kondisi administrasi pada 1880 an di Banten sangat perlu diperhatikan karena


pada saat itu suasana di Banten penuhbdengan prasangka,kecurigaan ,dendam dan
intrik-intrik. Pecahnya pemberontakan di Cilegon sangat menyedihkan banyak
beruhubngan dengan sengketa intern para priyai di Banten , mereka tidak segan –
segan melawan ukum dengan politk dan perebutan kursi jabatan Kita disini bisa
menarik kesimpulan dampak akibat pemberontakan ,berdampak menunjang taraf
hidup penduduk Banten dengan di bangunnya jalan-jalan , jembatan-jembatan untuk
jalur pengangkutan, serta pemulihan dibidang politik dan administrative guna
menunjang ketentraman di kalangan parapenduduk Banten.

J. Skala Gerakan Dan Faktor-Faktor Yang Relevan

Faktor yang dapat disusun terjadinya pemberontakan yaitu : (1) di Banten


terdapat satu tradisi untuk memberontak; (2) di daerah itu aspek ketegangan yang
berlangsung terus-menerus ,yang bersumber pada keada dimasa satu lapisan besar
penduduk mengalami ketersingkiran politik dan kelhilangan privilse mereka; (3)
dampak penrtasi dominasi colonial secara berangsur-angsur mengacaukan bagian-
bagian kehidupan agama (4) ada salah satu pimpinan revolusioner yang memberikan
landasan rasional terhdap pemberontak (5) salah satu alat keorganisasian telah

51
dibentuk untuk mengarahkan operasi dan mobilisasi sumber daya manusia dan
material menurut ruang dan waktu.

Aspek Nativistik

Pengagungan msa lampau sebagai bagian dari gagasan tentang Mahdi


memeberikan satu mekanisme kompensasi yang serasi dalam menghadapai kondisi-
kondisi yang sulit , seperti penderitaan fisik, frustasi yang diakibatkan oleh kehadiran
penguasa asing atau dekdensi moral. Usaha dilakuakn untuk menghidupkan kembali
aspek tertentu kebudayaan masa lampau yang digunakan sebagai lambang-lambang
kejayaan yang sudah lampau untuk melandaskan nilai-nilai dan loyalitas – loyalitas
dasar ; aspek itu juga meperlihatkan unsur utama dari regenerasi aatua revalitasi sperti
penumbangan kekuasaan asing dan pemulihan tatanan tradisonal , di mana bangsa
yang berkeadilan aka merasa hidup dalam keserasian dan kesejahteraan. Gerakan
pemberontakan di Banten dinyatakan golongan fenomena nativistik dengan
dibuktikan nya kebangkitan kembali dan milenarianisme.

Aspek Ketersingkiran

Ketersingkiran yang disebabkan karena kehilangan kedudukan social,


kehilangan hak-hak politi atau kehilangan warisan kultural bisa menimbulkan frustasi
yang tajam. Pemberontakan-pemberontakan menunjukan bahwa pemimpin-
pemimpin gerakan itu sedang berusaha mencari martabat dan harag diri dalam
konteks situasi colonial. Dalam kasus gerakan-gerkan di Banten ,nilai-nilai
keagamaan merupakan satu unsur yang penting , yang bercampur baur dengan nilai-
nilai tradisonal.

Aspek Agama

Gerakan – gerakan social di Banten dengan mudah mengambentuk keagamaa,


pandangan orang Banten didasarkan pada agama dan sebagai akibatnya protes-protes
social selalu dipahami dengan pengertian agama. Oleh karena itu protes-protes politik
mengambil bentuk keagamaan dan persoalan poltik serta persoalan agama lebih
diutamakan sehinggam saling melimpahi.

52
Proses Integrasi

Sesungguhnya gerkaan itu memperlihatkan kecenderungan menionjol kea rah


perkembangan modern, setidaknya dalam bentuk structural. Golongan-golongan
solidaritas itu telah mengembangkan suatu komunikasi yang mengatasi lingkungan desa
dan antar daerah. Demikian pula adanya taktik dan strategi modern dalam gerakan-
gerakan itu pada pokonya dapat diidentifikasikan sebagai gerkan-gerakan tradisional ,
keagamaan, dan milenari.

Ciri-Ciri Khas Gerakan Pemberontakan Di Banten

Ciri yang paling menonjol dari gerakan-gerakan adalah penolakan dan


perlawanan aktif terhadap dominasi asing serta lembaga-lembaga yang myertainya.
Keanekaragaman manifestasi ,perlawanan propaganda terangan-terangan untuk
mengusir Belanda kebebas dalam perjakan serta kerjak paksa yang dilakukan
pemerintahan Belanda. Gagasan tersebut untuk memulikan tradisi lama yang yaitu
system kesultanan. Salah satu ciri umum yaitu kepercayaan akan kebalan yang di dalam
masyarakat Banten tradisi tersebut memiliki daya Tarik yang kuat dan dapat berfungsi
sebagai salash satu alat yang ampuh untuk membangkitkan semangat agresif.Gerakan-
gerakan pemberontakan di Banten kebanyakan berlandasakan pendudk pedesaan,tak
peduli kelompok pimpinan yang mana yang menguasai berbagai kesempatan. Anggota
– anggota tersebut tidak diragukan lagi dari golongan kaum tani dan golongan
penduduk pedesaan lainnya.

53
BAB III

KESIMPULAN DAN KRITIK

A. Kesimpulan

Permasalahan sosio-ekonomis merupakan permasalah yang mengacu pada


ketidak puasan masyarakat terhadap pembaharuan. Seperti penghapusan kerja bakti
dan dikenakannya tarif pajak, pemungutan sewa tanah, dan penetapan pajak
perdagangan. Setelah ketidak puasan tersebut memuncak, pemberontakan pun terjadi.
Dan kenyataannya pemberontakan tersebut merupak sebuah rencana yang
menyeluruh. Tindakan-tindakan kaum pemberontak itupun dipengaruhi oleh
permusuhan mereka terhadap setiap orang yang ditugaskan untuk menjalankan roda
peraturan, perpajakan dll.kekalahan kaum pemberontak sendiri disebabkan karena
tidak adanya rencana pertahanan di pihak mereka Mereka tidak menyadari bahwa
organisasi dan strategi militer sangat efektif dan mutlak diperlukan. Mereka disini
hanya dapat mengh Pemberontakan petani di Banten yang berpusat di Cilegon ini
merupakan satu dari sekian banyak pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di
jawa pada masa itu.
Pemberontakan ini dipimpin oleh golongan agama yakni para tokoh agama
islam dan beberapa elit desa yang sudah tidak memiliki prestise politik akibat desakan
pemerintah kolonial. Penyebab terjadinya pemberontakan adalah masalah penarikan
pajak, permasalahan urusan agama, kemiskinan akibat kegagalan panen sebagai
dampak dari wabah penyakit dan gempa bumi yang terjadi pada waktu itu, dan
kesewenang-wenangan pegawai pemerintah.Pajak yang harus dibayar meliputi sewa
tanah yang sangat berat, pajak kepala, dan pajak usaha. Mereka yang tidak membayar
pajak diseret ke pengadilan dan didenda. Dalam permasalah urusan
agama, diberlakukannya peraturan yang ketat mengenai praktek keagamaan juga
merupakan salah satu penyebab terjadinya pemberontakan. Masalah-masalah lain
yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan itu adalah tidak dihiraukannya
kehormatan kaum wanita yang menimbulkan kemarahan di kalangan rakyat.
Pemberontakan ini dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 1888 sesuai kesepakatan
para pemimpin. Sebelum pemberontakan terjadi, beberapa bulan sebelumnya telah
dilakukan persiapan-persiapan berupa rapat-rapat rahasia dan pelatihan bela diri yang

54
juga dilakukan secara rahasia dengan berkedok acara adat seperti kenduri dan acara-
acara hajatan sehingga tidak memancing kecurigaan pemerintah kolonial.
Pemberontakan dilakukan secara sistematis dengan pembagian kelompok untuk
menyerang rumah-rumah dan kantor para pegawai pemerintah yang dibenci oleh
rakyat. Dimulai dari juru tulis pemerintah, jaksa, asisten residen dan sebagainya.
Semuanya didatangi oleh pemberontak dan dibantai bersama keluarganya. Karena
penyerangan ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang sangat banyak dari
kalangan penduduk maupun para pegawai pemerintah beserta keluarganya.
B. Kritik
Buku yang berjudul Pemberontakan Petani Banten karya Prof.Dr Sartono
Kartodidjo tentunya memiliki kelemahan dan kelebihan baik dari inttern maupun
ekstern.
Kelemahan dan kelebihan secara Intern:
Dilihat dari segi Isi Pembahasan, buku tersebut memiliki pembahasan materi yang
didalamnya cukup lengkap dan penulisnya pun mampu menjabarkan suatu peristiwa
sejarah pemberontakan petani Banten secara terperinci, tetapi kadang di dalam
beberapa paragraf terdapat kalimat yang tidak efektif sehingga cukup
membingungkan pembaca. Selain itu kami sebagai pembaca sangat sulit mebedakan
antara fakta dan cerita yang membumbui peristiwa pemberontakan tersebut dalam
persatuan babnya. Kurang terstrukturnya pembahasan dari bab ke bab juga
menjadikan buku ini sulit dipahami dan harus berulang kali dibaca.
Dilihat dari sudut pandang penulis, buku ini menggunakan sudut pandang indonesian
sentris, dimana para pemberontak dinilai tidak pantang menyerah dalam menumpas
habis pamongpraja dan pejabat-pejabat kolonial lainnya.
Kelemahan dan kelebihan secara Ekstern:
Buku tersebut memiliki cover yang tidak menarik. Pada cover tersebut hanya terdapat
gambar ganesha yang bermotif garis-garis hijau dengan backgroud hitam yang disertai
judul dan nama penulis. Di bagian belakang buku terdapat sekelumintbiografi sang
penulis Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo hal ini menambah sisi minat membaca dan
membuat si pembaca penasaran terhadap isi buku.

55
1
1

Anda mungkin juga menyukai