Anda di halaman 1dari 9

Problematika Integrasi Nasional dan

Masyarakat Adat di Indonesia

Sejak awal abad ke-20, struktur masyarakat Indonesia yang masih ke sukuan mulai tergugat
karena munculnya ide nasionalisme dan integrasi dari sekelompok elit Nusantara (Marzali,
2009). Wacana tentang perwujudan integrasi nasional di Indonesia telah banyak dibahas dan
dicanangkan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan institusi-institusi yang terkait.
Perwujudan integrasi nasional ini menjadi penting karena pada dasarnya, dalam pembangunan
nasional dibutuhkan gerak yang searah dari berbagai pihak dalam sebuah negara untuk mencapai
tujuan-tujuan yang mengarah mada kesejahteraan dan ketentraman masyarakat.

Masalah-masalah etnik yang masih banyak terjadi di Indonesia ini menjadi tantangan dan
ancaman tersendiri bagi terciptanya integrasi nasional bangsa ini. Berdasarkan gambaran dari J.S
Furnival (dalam Suparlan, 2005), masyarakat majemuk Indonesia cenderung tidak menjadi satu
dan tidak merasa satu, mereka memiliki tradisi kultural sendiri dan memiliki interaksi yang
sangat terbatas dengan kelompok suku lain. Lalu apakah ini hanya di diamkan saja? Pada
dasarnya, perbedaan budaya, cara pandang, dan adat istiadat harus disinergikan satu sama lain,
membangun rasa kebersamaan dalam suatu wilayah, dengan melepaskan simbol-simbol
primordial dari komunitas adat, agar tercapai sebuah integrasi nasional yang telah dicita-citakan
sejak Indonesia belum merdeka.

Makalah ini berupaya mengaitkan berbagai jenis masalah yang terdapat dalam pemicu menjadi
satu kesatuan, yaitu seputar ancaman mengenai terwujudnya integrasi nasional Indonesia,
masalah komunitas/masyarakat adat yang terjadi di Indonesia, bagaimana cara menyikapi,
mengatasi dan mencegahnya, termasuk juga langkah konstruktif pemerintah dalam mengatasi
berbagai permasahan ini dan mengembangkan kegiatan budaya (kearifan lokal), yang saya
rangkum dalam judul “Problematika Integrasi Nasional dan Masyarakat Adat di Indonesia”.
Masalah Komunitas Adat : Ancaman terhadap Integrasi Nasional

Sebuah bangsa terdiri atas berbagai macam etnis atau suku yang hidup bersama dalam suatu
daerah dan saling berinteraksi satu sama lain. Fakta tersebut disajikan di Negara Indonesia yang
menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat pluralitas atau heterogenitas etnis yang
sangat beraneka ragam. Mereka membentuk sebuah komunitas adat yang memiliki identitas
budaya yang berbeda satu sama lainnya.

Yang harus diketahui dari fakta lapangan yang terjadi di Indonesia, baik dengan cara melihat
secara langsung maupun dengan berbagai pemberitaan di media massa, dapat kita diketahui
dengan nyata bahwasannya pluralitas yang terjadi di Indonesia memiliki sebuah ancaman atau
tantangan, yang berupa “konflik”. Konflik ini sering terjadi dikarenakan terdapat cara pandang
tertentu dalam suatu etnis yaitu primordialisme dan juga etnosentrisme, yang diwujudkan dalam
bentuk stereotip terhadap suku bangsa lain, ini merupakan bentuk sikap egois dan ingin menang
sendiri yang dapat mengarahkan masyarakat yang hidup dalam suatu etnis untuk terus
berprasangka buruk terhadap suku bangsa/etnis lain sehingga mudah terprovokasi dan
memunculkan konflik adat.

Dari perspektif antropologi hukum, fenomena konflik dapat muncul karena adanya konflik nilai,
konflik norma, dan juga konflik kepentingan antar komunitas etnis, golongan ataupun agama
dalam masyarakat (Najwan, 2009). Seperti yang sudah disinggung diatas, tingkat pluralitas atau
heterogenitas yang tinggi sering menimbulkan gesekan-gesekan terjadi dalam masyarakat yang
mengarah pada tindakan konflik dan kerusuhan. Konflik tersebut sering disebut sebagai konflik
horizontal yang aktor utamanya adalah suku-suku yang saling mempertahankan kepentingannya,
nilai, norma, maupun adat budaya etnisnya. Masalah ini memang tidak dapat dihindari, seperti
yang diugkapkan Dahendrof (dalam Suparlan 2005) bahwa konflik merupakan suatu yang
endemik dan selalu ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat.

Terdapat banyak sekali konflik antar suku atau antar komunitas adat yang terjadi di Indonesia.
Disini saya menuliskan dua kasus yang cukup terkenal. Yang pertama adalah kasus yang terjadi
di daerah Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, yaitu konflik antara suku Melayu
(Sambas) dengan suku Madura. Konflik ini menyebabkan sekitar 1800 tempat tinggal hancur,
banyak nyawa melayang dan kerugian materi atau infrastruktur yang tidak terhitung, bahkan
konflik ini menyebabkan suku Madura terusir dari wilayah tersebut.

Kedua adalah kasus konflik antar etnis yang sering terjadi di Provinsi Lampung. Karena pada
dasarnya, Provinsi Lampung merupakan daerah tujuan transmigrasi sehingga tidak
mengherankan bahwa di wilayah ini sering terjadi konflik antar etnis. Koflik antar suku yang
paling tertanam dan masih teringat hingga sekarang adalah konflik yang terjadi antara suku Bali
Nuraga dengan etnis Lampung asli di daerah Kalianda Kabupaten Lampung Selatan pada 27
Oktober 2012 sampai dengan 29 Oktober 2012. Dari pemetaan Kepolisian Daerah (Polda)
Lampung, ada 112 titik potensi konflik di Lampung sejak 2012 hingga sekarang, 68 di antaranya
terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dijabarkan bahwa terdapat 18
potensi konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), 22 potensi konflik sumber daya
alam (SDA), dan 4 potensi konflik terkait batas wilayah (Lampungpost.co).

Konflik antar suku yang berlarut-larut merupakan suatu pelanggaran HAM dan merupakan
bencana bagi negara. Hal ini merupakan salah ancaman bagi terciptanya integrasi nasional di
Indonesia. Mengapa hal ini menjadi ancaman?. Pertama-tama kita harus memahami, apa makna
dari integrasi itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “integrasi” bermakna sebagai
pembauran hingga menjadi kesatuan. Kata “kesatuan” mengisyaratkan berbagai macam elemen
yang berbeda satu sama lain mengalami proses pembauran. Jika pembaruan telah mencapai suatu
perhimpunan, maka gejala perubahan ini dinamai integrasi.

Dalam sosiologi, integrasi sosial berarti proses penyesuaian unsur-unsur yang saling berbeda
dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki
keserasian fungsi. Dengan demikian, ada dua unsur pokok integrasi sosial. Unsur pertama adalah
pembauran atau penyesuaian, sedangkan unsur kedua adalah unsur fungsional. Jika
kemajemukan sosial gagal mencapai pembauran atau penyesuaian satu sama lain, maka
kemajemukan sosial berarti disentegrasi sosial (Hendry, 2003).
Dapat diketahui bahwa konflik ini pada dasarnya menjadi penghalang yang nyata bagi
terciptanya integrasi nasional pada masyarakat Indonesia. Bagaimana bisa terjadi pembauran
apabila keragaman yang ada masih dianggap sebagai perbedaan yang dapat sewaktu-waktu
menimbulkan konflik. Perlu adanya kesadaran sikap dan jiwa yang positif dari berbagai pihak
yang terkait dalam pengembangan proses integrasi ini.

Menanggapi, Mencegah, Dan Menyelesaikan Masalah Komunitas Adat Dan Integrasi


Nasional : Langkah Konstruktif Berbagai Pihak Terkait

Sebelum membahas mengenai masalah integrasi nasional, maka harus mengupas terlebih dahulu
hal yang mendasari mengapa integrasi nasional di Indonesia itu sulit untuk tercapai. Banyaknya
konflik antar etnis menyebabkan berbagai dampak yang menghalangi tercapainya integrasi
nasional di Indonesia. Dimulai dari bagaimana setiap etnis yang ada di Indonesia dapat
menyikapi segala problema yang terjadi di lingkungan mereka. Dengan segala perbedaan yang
ada sudah semestinya setiap individu yang tinggal di negara multietnis mampu berfikir dan
bertindak secara bijak dalam menyikapi segala isu yang ada, menjunjung tinggi toleransi dan
musyawarah, ditambah dengan memanfaatkan kearifan lokal budaya mereka untuk
menyelesaikan segala permasalahan.

Kemudian, kita juga harus memahami bahwa arah integrasi nasional yang diharapkan bukanlah
penyatuan berbagai budaya dan identitas ke dalam satu kultur dan budaya baru, yang
menghilangkan budaya aslinya. Tetapi pada dasarnya integrasi yang diharapkan adalah upaya
membangun rasa kebersamaan dalam suatu wilayah, dengan melepaskan simbol-simbol
primordial dari komunitas adat. Maka dari itu, sudah semestinya integrasi yang dibangun harus
berdasarkan pada kelompok-kelompok etnis atau adat yang terlibat, bukan desain kelompok
ataupun penguasa. Masyarakat harus bersama-sama membangun kekuatan dan perekat diantara
mereka. Nilai-nilai yang menjadi kekuatan dari jntegrasi ini harus mulai disosialisasikan sejak
kecil, internalisasi nilai-nilai dasar ini sudah harus terbentuk dalam keluarga sejak dini.
Penguatan integrasi sosial kemudian harus diperkuat dalam konteks yang lebih menyentuh pada
kekuasaan, yang kemudian lebih popular dengan integrasi politik. Adanya hubungan yang baik
dengan masyarakat dengan elit politik, yang kemudian bisa terintegrasi dengan berbagai
kebijakan yang menguatkan harmonisasi sosial.

Dalam membangun integrasi sosial yang kuat di tengah masyarakat maka paling tidak harus
didekati dua pendekatan yang mendasar, yakni: faktor struktural dan kultural (Utami, 2000).
Faktor struktural mencakup peran pemerintah dalam membangun kondisi kehidupan masyarakat
yang lebih baik, lebih harmonis dan lebih memberikan keadilan kepada semua pihak. Tidak lupa
memberikan akses ekonomi, politik dan sosial budaya tanpa kecuali kepada seluruh masyarakat.
Sedangkan faktor kultural mencakup kesadaran masyarakat untuk saling menghormati dan
menghargai satu sama lainnya. Membangun sikap adaptasi masyarakat pada kultur yang berbeda,
agar bisa mengurangi ketegangan-ketagangan yang timbul dalam kehidupan bersama.

Pada dasarnya Indonesia sudah memiliki serangkaian perangkat yang dapat mendukung
terciptanya integrasi nasional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, Kebijakan
Pemerintah, ditambah dengan kearifan lokal yang dimiliki setiap etnis yang ada di Indonesia. Hal
tersebut harus dikombinasikan dan disinergikan dengan sikap serta pandangan masyarakat agar
konflik tidak terjadi berlarut-larut dan integrasi dapa segera tercapai.

Kearifan Lokal Masyarakat Etnis di Indonesia : Langkah Konstruktif Mengembangkan


Kegiatan Budaya

Indonesia memiliki banyak kearifan lokal yang memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia.
Kearifan lokal merupakan modal pembentukan karakter luhur (Wangiran, 2012). Langkah
konstruktif guna mengembangkan budaya sudah semestinya dibangun secara mendasar dan
dikembangkan secara masif lewat program-program pendidikan. Diperlukan suatu upaya
pengembangan pendidikan kearifan lokal dengan peran serta aktif dari masyarakat untuk menjadi
prakarsa dan menjadi penyelenggara program tersebut. Maka dari itu, pemerintah harus bergerak,
merangkul setiap elemen masyarakat, membentuk komunitas-komunitas dengan program yang
nyata, membangun kemitraan, menjadikan kearifan lokal ini menjadi suatu hal yang dapat digali
demi kepentingan bersama. Pengembangan kegiatan penelitian juga dibutuhkan untuk dapat
mengenali kearifan lokal yang dimiliki secara mendalam dan selanjutnya dapat dimanfaatkan
sebagai pembuatan suatu program. Pemerintah juga harus mampu menciptakan kebijakan yang
sesuai dengan setiap etnis yang memiliki kearifan lokal tersebut, jangan sampai justru
menimbulkan hal yang dapat membahayakan stabilitas etnis dan negara.

Berkaitan dengan hal itu, perlu adanya transformasi nilai-nilai kearifan lokal untuk pembangunan
karakter bangsa, agar bangsa Indonesia mampu mempertahankan budaya bangsa, serta mampu
melaksanakan musyawarah mufakat, kerja sama atau gotong royong berbagai kearifan lokal
lainnya sebagai upaya mempertahankan warisan budaya tersebut. Karena, pembangunan karakter
bangsa melalui kearifan lokal itu sangatlah dibutuhkan.

Musyawarah Mufakat

Negara Indonesia adalah Negara yang menganut paham demokrasi, demokrasi di artikan dalam
kehidupan berkelompok atau bermasyarakat adalah bermusyawarah. Musyawarah bertujuan
untuk memecahkan suatu masalah yang dirundingkan guna mencari jalan keluar dan tetap
mengedepankan kedamaian serta keharmonisan dalam bermasyarakat (Sugandi, 2011)

Musyawarah mufakat berkaitan erat dengan keberadaan sila ke empat dari Pancasila, yaitu
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Sila ini mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah.
Segala keputusan-keputusan yang diambil dalam musyawarah harus dilandasi oleh pancasila dan
konflik-konflik yang terjadi dalam musyawarah harus di hadapi dengan asas kekeluargaan.

Lalu, apakah musyawarah mufakat bisa disamakan dengan demokrasi? Menurut pandangan saya,
musyawarah mufakat dan demokrasi merupakan dua nilai yang dijabarkan dari sila ke 4
Pancasila ini. Di mana demokrasi itu sendiri secara politik sebenarnya diartikan sebagai suatu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Lincoln). Maka dalam hal ini rakyat lah
yang terlibat dalam proses pemerintahan, dan sistem pemerintahan mengabdi kepada
kepentingan rakyat dengan tanpa memandang partisipasi mereka dalam kehidupan politik.
Dalam konteks Indonesia, mengingat jumlah penduduk yang sangat banyak, maka dapat
disimpulkan bahwa demokrasi yang diterapkan adalah berupa demokrasi tidak langsung, di mana
suara atau aspirasi rakyat diwakilkan kepada badan legislatif dan sejenisnya. Tapi dalam hal ini,
saya lebih memahami demokrasi sebagai pola kehidupan berkelompok atau bermasyarakat yang
mengedepankan demokrasi dalam kehidupannya.

Musyawarah mufakat dan demokrasi bukanlah hal yang dapat disamakan. Menurut saya kedua
hal ini lebih kepada bagaimana keduanya dapat saling mengisi dan bersinergi. Dalam demokrasi,
khususnya ketika dalam proses perumusan kebijakan, maka harus memperhatikan bahwa setiap
aspirasi itu dapat dipertimbangkan dan dimusyawarahkan sehingga dapat menciptakan suatu
kebijakan yang berdampak. Jadi dapat disimpulkan bahwa musyawarah mufakat dan demokrasi
harus di sinergikan agar dapat mencapai titik temu, dan menciptakan kondisi yang dicita-citakan
di berbagai bidang.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, penerapan musyawarah mufakat harus diterapkan
dari hal-hal kecil dan dimulai sejak dini. Penanaman nilai-nilai ini sangatlah penting adanya, dan
akan sangat bermanfaat bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya
dalam konteks Indonesia. Karena dalam negara Indonesia, seperti yang dijelaskan sebelumnya
bahwasannya negara ini sering sekali terjadi gesekan-gesekan etnis yang mengarah pada konflik.
Penerapan musyawarah mufakat inidapat diterapkan sebagai media dalam mencegah dan
mengatasi konflik. Dan apabila konflik itu telah terjadi, musyawarah mufakat dan demokrasi
harus berjalan searah, mempertemukan berbagai kepentingan dan aspirasi yang dapat
memunculkan titik temu. Tujuannya agar berbagai kepentingan dapat dipertemukan dan
menghindari masalah yang berlarut-larut, menghindari munculnya berbagai kerugian dan
menjamin kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa musyawarah mufakat dan demokrasi dapat di sinergikan, yaitu
dalam proses demokrasi khususnya dalam proses penyusunan kebijakan, digunakan musyawarah
mufakat untuk mencapai tujuan yang tidak memihak pihak manapun dan menjamin keadilan dan
keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat pemerintah. Karena pada dasarnya, demokrasi ini di
identikkan dengan suatu sistem pemerintahan yang menjamin kesejahteraan rakyat luas. Sinergi
antara musyawarah mufakat dengan demokrasi sangat bermanfaat guna menyelesaikan konflik
dan juga menciptakan suatu kebijakan yang berdampak luas bagi kedamaian, ketentraman dan
kesejahteraan rakyat.

Kesimpulan

Indonesia adalah negara yang penuh dengan keragaman, baik itu dari segi etnis, budaya, adat
istiadat, dengan segala pola kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya. Masyarakat adat di
Indonesia juga memiliki berbagai kearifan lokal yang sangat khas dan menunjukkan
eksistensinya dalam lingkup suku bangsa di Indonesia. Beriringan dengan hal itu, Indonesia juga
memiliki berbagai masalah terkait dengan isu etnis tersebut, contoh nyatanya adalah konflik
antar etnis yang sering terjadi di berbagai daerah dan berdampak bagi stabilitas nasional
Indonesia. Hal ini pula yang menjadikan Integrasi Nasional begitu sulit diwujudkan di negara ini,
ditandai dengan belum terciptanya rasa kebersamaan dalam suatu wilayah, dengan melepaskan
simbol-simbol primordial dari komunitas adat.

Dibutuhkan langkah nyata dari berbagai pihak untuk mengatasi hal ini, diantaranya dengan
berupaya dengan serius untuk mengatasi konflik antar etnis yang terjadi di daerah, membendung
segala hal yang dapat menjadi pemicu konflik, mengedepankan toleransi dan penanaman nilai-
nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan pemerintah juga harus mampu menciptakan
kebijakan yang adil dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya, karena pada dasarnya isu etnis
ini merupakan hal yang sangat sensitif terutama di negara multikultural seperti Indonesia ini.
Selain itu, kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap etnis juga harus mampu berkembang dan di
transformasikan menjadi nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembangunan karakter bangsa. Karena
dengan karakter bangsa yang kuat, akan membentuk suatu negara yang dapat menciptakan
kesejahteraan bagi rakyatnya, sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Referensi penulisan :

Amri, Ahmad. 2014. Polda Lampung Petakan 112 Potensi Konflik di


Lampung. (Lampungpost.co, diakses pada 29 Mei 2015, pukul 10.11 WIB)

Marzali, Amri. 2009. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta : PT Fajar Interpratama
Offset.

Sedyawati, Edi. 2001. Permasalahan Integrasi dan Disintegrasi Bangsa. Depok : Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia.

Sugandi, Fahmi. 2011. Pancasila Sila Ke-4 Sebagai Landasan Dalam Bermusyawarah. Skripsi
Sarjana Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : STMIK Amikom.

Suharno, Konflik, Etnisitas Dan Integrasi Nasional,


(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Karya%20B1%20%20Konflik,%20Etnisitas%20dan%20I
ntegrasi%20Nasional.pdf, diakses pada 29 Mei 2015, Pukul 09.12 WIB)

Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta : Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian

Yunus, Rasid. 2014. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter
Bangsa. Gorontalo : DeePublish UG

Anda mungkin juga menyukai