Anda di halaman 1dari 12

7.

1 Sifat Diskriminasi Pekerjaan

Arti diskriminasi adalah membedakan satu objek dari objek lainnya, tindakan yang secara moral
adalah netral dan tidak dapat disalahkan. Berbeda dengan pengertian modern, istilah ini secara moral
tidak netral. Karena membedakan seseorang dari orang lain bukan berdasarkan keunggulan yang
dimiliki, namun berdasarkan prasangka atau sikap yang secara moral tercela.

Diskriminasi dalam ketenagakerjaan melibatkan tiga elemen dasar. Pertama, keputusan yang
merugikan seorang pegawai atau calon pegawai bukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Kedua,
keputusan yang sepenuhnya atau sebagian diambil berdasarkan prasangka rasial atau seksual, streotip
yang salah, atau sikap lain yang secara moral tidak benar terhadap anggota kelompok tertentu. Ketiga,
keputusan yang merugikan pada kepentingan pegawai.

7.2 Tingkat Diskriminasi

Indikator pertama diskrimnasi muncul apabila terdapat proporsi yang tidak seimbangatas
anggota kelompok tertentu yang memegang jabatan yang kurang diminati dalam suatu institusi tanpa
mempertimbangkan preferensi ataupun kemampuan mereka. Ada tiga perbandingan yang
membuktikan distribusi semacam itu.

a. perbandingan atas keuntungan rata-rata yang diberikan institusi pada kelompok yang
terdiskriminasi dengan keuntungan rata-rata yang diberikan pada kelompok lain.

b. perbandingan atas proporsi kelompok yang terdiskriminasi yang terdapat dalam tingkt
yang sama

c. Perbandingan proporsi dari anggota kelompok tersebut yang memegang jabatan yang
lebih menguntungkan dengan proporsi kelompok lain pada jabatan yang sama.

7.3 Diskriminasi: Utilitas, Hak, dan Keadilan

Utilitas

Argumen utilitarian yang menentang diskriminasi rasial dan seksual didasarkan pada
gagasan bahwa produktivitas masyarakat akan optimal jika pekerjaan diberiakn berdasarkan
kompetensi (’kebaikan’).

Namun, argumen ini dihadapkan pada dua keberatan. Pertama, jika argumen ini benar,
pekerjaan haruslah diberikan dengan dasar kualifikasi yang berkaitan dengan pekerjaan, hanya
jika hal tersebut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, argumen utilitarian harus
menjawab tuntutan penentangnya yang menyatakan bahwa masyarakat secara keseluruhan akan
mem[peroleh keuntungan dari keberadaan bentuk diskriminasi seksual tertentu.
Kaum utilitarian menanggapi berbagai kritik dengan menyatakan bahwa menggunakan
faktor selain kualifikasi pekerjaan tidak akan memberikan keuntungan yang lebih besar
dibandingkan dengan kualifikasi pekerjaan.

Hak

Argumen non-utilitarian yang menentang diskriminasi rasial dan seksual salah satunya
menyatakan diskriminasi salah karena melanggar hak moral dasar manusia. Diskriminasi
melanggar hak prinsip ini dalam dua cara. Pertama, diskriminasi didasarkan pada keyakinan suatu
kelompok dianggap terlau rendah dibanding kelompok lain. Kedua, diskriminasi menempatkan
kelompok yang terdiskriminasi dalam posisi sosial dan ekonomi yang rendah.

Keadilan

Argumen non-utilitarian kedua melihat diskriminasi melanggar prinsip keadilan.


Diskriminasi melanggar prinsip ini dengan cara menutup kesempatan bagi kaum mnoritas untuk
menduduki posisi tertentu dala suatu lembaga dan berarti mereka tidak memperoleh kesempatan
yang sama dengan orang lain.

Praktik Diskriminasi

a. Rekrutmen, Perusahaan yang sepenuhnya bergantung pada referensi verbal para


pegawai saat ini dalam merekrut karyawan baru cenderung merekrut karyawan dari
kelompok ras dan seksual yang sama yang terdapat dalam perusahaan.

b. Seleksi, kualifikasi pekerjaan dianggap diskriminatif jika tidak relevan dengan pekerjaan
yang akan dilaksanakan.

c. Kenaikan pangkat, dikatakan diskriminatif jika perusahaan memisahkan evaluasi kerja pria
kulit putih dengan pegawai perempuan dan pegawai dari kelompok minoritas.

d. Kondisi pekerjaan, pemberian gaji akan diskriminatif jika dalam jumlah yang tidak sama
untuk orang yang melaksanakan pekerjaan yang pada dasarnya sama

e. PHK, memecat berdasarkan pertimbangan ras, dan jenis kelamin merupakan


diskriminasi.

7.4 Tindakan Afirmatif

Untuk menghapus pengaruh diskriminasi masa lalu, banyak perusahaan yang melaksanakan
pogram tindakan afirmatif yang dimaksudkan untuk mencapai distribusi yang lebih representatif
dalam perusahaan dengan memberikan preferensi pada kaum perempuan dan minoritas.

Inti dari program ini adalah suatu penyelidikan yang mendetail atas semua klasifikasi pekerjaan
besar dalam perusahaan. Tujuan penyelidika untuk menentukan apakah jumlah pegawai perempuan
dan minoritas dalam klasifikasi kerja tertentu lebih kecil dibandingkan yang diperkirakan dari tingkat
ketersediaan tenaga kerja kelompok ini di wilayah tempat mereka direkrut. Perusahaan menunjuk
seseorang untuk mengoorinasikan dan melaksanakan program afirmatif, dan melaksanakan program
dan langkah khusus untuk menambah pegawai baru dari kelompok minoritas dan perempuan untuk
memenuhi tujuan yang ditetapkan.

Bagi banyak orang, program tindakan afirmatif yang memberikan pekerjaan berdasarkan
keanggotaan dalam kelompok yang dirugikan tidak sepenuhnya legal. Namun, yang lain
menginterpretasikan ”rekomendasi” secara lebih sempit, yaitu senioritas tidak dapat diberikan hanya
karena seseorang menjadi anggota suatu kelompok yang dirugikan.

Tindakan Afirmatif Sebagai Kompensasi

Keadilan kompensatif mengimplementasikan bahwa seseorang wajib memberikan


kompensasi terhadap orang yang dirugikan secara sengaja. Selanjutnya, program tindakan
afirmatif diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk ganti rugi yang diberikan kaum pria kulit
putih kepada perempuan dan kaum minoritas karena telah merugikan mereka di masa lalu.

Kelemahan argumen yang mendukung tindakan afirmatif yang didasarkan pada prinsip
kompensasi adalah prinsip ini mensyaratkan hanya dari individu yang sengaja merugikan orang
lain, dan hanya memberikan kompensasi kepada individu yang dirugikan.

Tindakan Afirmatif Sebagai Instrumen untuk Mencapai Tujuan Sosial

Hambatan utama yang dihadapi oleh pembenaran utilitarian atas program afirmatif,
pertama berkaitan dengan persoalan apakah biaya sosial dari program tindakan afirmatif lebih
besar dari keuntungan yang diperoleh. Kedua, mempertanyakan asumsi bahwa ras merupakan
indikator kebutuhan yang tepat.

Salah satu tujuan pogram tindakan afirmatif adalah mendistribusikan keuntungan dan
beban masyarakat yang konsisten dengan prinsip keadilan distributif, dan mampu menghapuskan
dominasi rasatau jenis kelamin tertentu atas kelompok pekerjaan yang penting.

Tujuan dasarnya adalah terciptanya masyarakat yang lebih adil.Kesempatan yang


dimiliki seseorang tidak dibatasi oleh ras atau jenis kelaminnya. Tujuan ini secara moral sah sejauh
usaha untuk memperoleh kesempatan yang sama secara moral juga masih dianggap sah.

Penerapan Tindakan Afirmatif dan Penanganan Keberagaman

Kriteria lain selain ras dan jenis kelamin yang perlu dipertimbangkan saat mengambil
keputusan dalam program tindakan afirmatif. Pertama, jika hanya kriteria ras dan jenis kelamin
yang digunakan akan mengarah pada perekrutan pegawai yang tidak berkualifikasi dan mungkin
menurunkan produktivitas. Kedua, banyak pekerjaan yang memiliki pengaruh penting pada
kehidupan orang lain. Jika suatu pekerjaan memiliki pengaruh penting, katakanlah pada jiwa orang
lain, kriteria selain ras dan jenis kelamin harus diutamakan dan lebih dipertimbangkan
dibandingkan tindakan afirmatif.

Kontroversi sehubungan dengan kelayakan moral program tindakan afirmatif belum


berakhir. Tidak berarti program seperti itu tidak melanggar semua prinsip moral. Jika argumen itu
benar, program tindakan afirmatif setidaknya konsisten dengan prinsip moral.

ETIKA INDIVIDU DAN ORGANISASI

ETIKA INDIVIDU DAN ORGANISASI

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Organisasi rasional

Model organisasi bisnis yang “rasional” yang lebih tradisional mendefenisikan organisasi
sebagai suatu struktur hubungan formal (yang didefenisikan secara eksplisit dan digunakan secara
terbuka) yang bertujuan mencapai tujuan teknis atau ekonomi dengan efisiensi maksimal. E. H. Schein
memberikan satu defenisi ringkas tentang organisasi dari prespektif tersebut yaitu organisasi adalah
koordinasi rasional atas aktivitas-aktivitas sejumlah individu untuk mencapai tujuan atau sasaran
eksplisit bersama, melalui pembagian tenaga kerja dan fungsi dan melalui hirarki otoritas dan
tanggung jawab.

Berbagai tingkatan dalam organisasi dan yang mengatur semua individu ke dalam tujuan
organisasi dan hirarki formal adalah kontrak. Hal ini mengasumsikan bahwa pegawai sebagai agen
yang secara bebas dan sadar telah setuju untuk menerima otoritas formal organisasi dan berusaha
mearaih tujuan organisasi, dan sebagai gantinya mereka memperoleh dukungan dalam bentuk gaji
dan kondisi kerja yang baik. Dari perjanjian kontraktual tersebut, pegawai menerima tanggungjawab
moral untuk mematuhi atasan dalam usaha mencapai organisasi, dan selanjutnya organisasi juga
memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan dukungan ekonomi pada para pegawai seperti
yang telah dijanjikan. Teori utilitarian memberikan dukungan tambahan pada pandangan bahwa
pegawai memiliki kewajiban untuk berusaha mencapai tujuan perusahaan secara loyal.

Tanggungjawab etis dasar yang muncul dari aspek-aspek ‘rasional” organisasi difokuskan
pada dua kewajiban moral yakni a) kewajiban atasan untuk mematuhi atasan dalam organisasi dalam
mencapai tujuan-tujuan organisasi, dan b) kewajiban atasan untuk memberikan gaji yang adil dan
kondisi kerja yang baik.

a. Kewajiban pegawai terhadap perusahaan

Dalam pandangan rasional perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah untuk bekerja
mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-kegiatan yang mungkin mengancam tujuan
tersebut. Kewajiban karyawan dan perusahaan dibagi menjadi tiga yaitu:

1) Kewajiban Ketaatan

Dalam kewajiban ketaatan karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan,


tetapi karyawan tidak harus mematuhi semua perintah yang diberikan oleh atasannya.
Perintah-perintah tersebut antara lain seperti etika atasan menyuruh karyawan tersebut
untuk melakukan hal yang tidak bermoral, seperti membunuh musuh atasannya, atau dapat
pula berupa korupsi. Dapat pula dalam bentuk mengerjakan tugas pribadi atasannya, misalnya
untuk kepentingan pribadi atasan bukan untuk kepentingan perusahaan, seperti mencuci
mobil dan merenovasi rumah pribadi milik atasannya. Karyawan juga tidak perlu mematuhi
perintah yang memang demi kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan
yang disepakati, misalnya sekretaris diberi tugas untuk bersih-bersih, dan lain
sebagainya. Cara untuk menghindari terjadinya kesulitan seputar kewajiban ketaaatan adalah
membuat deskripsi pekerjaan yang jelas dan cukup lengkap pada saat karyawan mulai bekerja
di perusahaan. Namun deskripsi pekerjaan ini harus dibuat cukup luwes sehingga kepentingan
perusahaan selalu bisa di beri prioritas.

2) Kewajiban Konfidensialitas

Kewajiban ini adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat


konfidensial atau rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Kewajiban
ini tidak hanya berlaku selama karyawan bekerja di perusahaan tetapi berlangsung terus
setelah ia pindah kerja. Kewajiban ini menjadi lebih aktual ketika karyawan tersebut pindah
kerja di perusahaan baru yang bergerak di bidang yang sama. Contohnya adalah seorang
akuntan, ia tidak boleh membocorkan kondisi finansial perusahaan lama ke perusahaan baru.
Kewajiban konfidensialitas ini terbatas pada informasi perusahaan. Hal-hal lain yang diperoleh
atau diketahui sambil bekerja di perusahaan pada prinsipnya tidak termasuk kewajiban
konfidensialitas. Misalnya keterampilan yang dikembangkan oleh karyawan itu dengan
bekerja pada perusahaan yang sama. Alasan etika yang mendasari kewajiban ini adalah bahwa
perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu.

3. Kewajiban Loyalitas

Kewajiban loyalitas adalah konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan


perusahaan ia harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan dan turut merealisasikan tujuan
tersebut. Faktor utama yang dapat membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konfilk
kepentingan (conflict of interest) artinya konflik kepentingan pribadi karyawan dan
kepentingan perusahaan. Karyawan tidak boleh menjalankan kepentingan pribadi yang
bersaing dengan kepentingan perusahaan. Misalnya karyawan memproduksi produk yang
sama dengan produk perusahaan dan menjualnya dengan harga murah. Konflik kepentingan
tidak selalu berkaitan dengan masalah uang. Contohnya, seorang yang bekerja di suatu
perusahan memutuskan untuk membeli peralatan kantor dari perusahaan tempat dimana
anaknya bekerja, walaupun sebenarnya ada penawaran harga yang lebih baik dari perusahaan
lain.

4. Kewajiban Melaporkan kesalahan

Ada dua macam pelaporan kesalahan perusahaan atau whistle blowing, secara
internal dan eksternal. Dalam pelaporan internal, pelaporan kesalahan dilakukan di dalam
perusahaan sendiri dengan melewati atasan langsung. Misalnya seorang karyawan bawahan
melaporkan suatu kesalahan langsung kepada direksi, dengan melewati kepala bagian dan
manajer umum. Pada pelaporan eksternal, karyawan melaporkan kesalahan perusahaan
kepada instansi pemerintah atau kepada masyarakat melalui media komunikasi. Misalnya
karyawan melaporkan bahwa perusahaannya tidak memenuhi kontribusinya kepada
Jamsostek atau tidak membayar pajak melalui media massa atau pihak eksternal lainnya.

Terdapat sebuah pertanyaan etika dalam melakukan pelaporan kesalahan perusahan


ini, “apakah whistle blowing ini boleh dilakukan karena pada prinsipnya bertentangan dengan
kewajiban loyalitas karyawan terhadap perusahaannya?” Namun setelah didiskusikan lebih
mendalam, jawabnya adalah boleh karena karyawan tidak hanya mempunyai kewajiban
loyalitas kepada perusahaan tetapi ia juga mempunyai kewajiban kepada masyarakat umum
apabila perusahaan tersebut melakukan kesalahan.

Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila lima syarat berikut terpenuhi:

1. Kesalahan perusahaan harus besar.


Kesalahan ini hanya dapat dilaporkan jika menyebabkan kerugian bagi pihak ketiga, terjadi
pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan kegiatan yang dilakukan perusahaan
bertentangan dengan tujuan perusahaan.

2. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar.

3. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak
ketiga, bukan karena motif lain.

Misalnya karyawan memutuskan berhenti dari suatu pekerjaan karena kecewa dengan
atasannya. Setelah ia pergi dari perusahaan itu, ia membuka praktek kurang etis dari
perusahaan seperti tidak membayar pajak. Motif pelaporan ini adalah untuk balas
dendam.

4. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan
dibawa ke luar.

Jika karyawan merasa bertanggungjawab, ia harus berusaha dulu untuk menyelesaikan


masalah di dalam perusahaan sendiri melalui jalur yang tepat. Hal ini juga sesuai dengan
kewajiban loyalitasnya. Baru setelah upaya penyelesaian secara internal gagal, ia boleh
memikirkan whistle blowing.

5. Harus ada kemungkinan nyata bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses.

Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan menghasilkan apa-apa,
misalnya tidak bisa mencegah terjadinya kerugian untuk pihak ketiga, lebih baik orang
tersebut tidak melapor.

Whistle blowing adalah masalah etis yang tidak enak untuk semua pihak yang
bersangkutan. Untuk perusahaan ataupun pelaku bisnis, whistle blowing akan membawakan
banyak kerugian secara materil maupun moril. Mulai dari turunnya pamor perusahaan
terhadap produknya, hingga menurunnya keuntungan yang didapatkan akibat pelaporan ini.
Untuk pelapor, whistle blowing adalah langkah yang diambil dengan berat hati karena resiko
yang akan didapatkannya cukup besar. Di beberapa negara ada kode etik profesi, misalnya
kode etik insinyur yang secara tidak langsung menganjurkan whistle blowing. Dalam kode etik
ini memuat ketentuan bahwa keamanan dan keselamatan masyarakat harus di tempatkan di
atas segalanya. Ada juga negara yang melindungi para whistle-blowers melalui jalur hukum,
seperti Inggris dengan undang-undang yang disebut The Public Interest Disclosure Act (1998).
Ada sejumlah situasi dimana pegawai gagal melaksanakan kewajiban untuk mencapai tujuan
perusahaan, yaitu sebagai berikut:

1. Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan dalam bisnis muncul saat seorang pegawai atau pejabat duatu
perusahaan melaksanakan tugasnya, namun dia memiliki kepentingan-kepentingan pribadi
terhadap hasil dari pelaksanaan tugas tersebut yang (a) mungkin bertentangan dengan
kepentingan perusahaan, dan (b) cukup substansial sehingga kemungkinan mempengaruhi
penilaiannya sehingga tidak seperti yang diharapkan perusahaan. Konflik kepentingan bisa
bersifat aktual dan potensial. Konflik kepentingan aktual terjadi saat seseorang melaksanakan
kewajibannya dalam satu cara yang mengganggu perusahaan dan melakukannya demi
kepentingan pribadi. Konflik kepentingan potensial terjadi saat seseorang, karena didorong
kepentingan pribadi, bertindak dalam suatu cara yang merugikan perusahaan.

2. Pencurian Pegawai dan Komputer

Pegawai perusahaan memiliki perjanjian kontraktual untuk hanya menerima keuntungan


tertentu sebagai ganti hasil kerjanya dan menggunakan sumber daya perusahaan hanya dalam
usaha untuk mencapai tujuan perusahaan. Tindakan pegawai yang mencari tambahan
keuntungan pribadi atau menggunakan sumber daya perusahaan untuk dirinya sendiri merupakan
tindakan pencurian karena keduanya berarti mengambil atau menggunakan properti milik orang
lain (perusahaan) tanpa persetujuan pemilik yang sah.

Tindakan memeriksa, menggunakan atau menyalin informasi atau program komputer merupakan
pencurian. Disebut pencurian karena informasi yang dikumpulkan dalam bank data komputer oleh
suatu perusahaan dan program komputer yang dikembangkan atau dibeli perusahaan merupakan
properti dari perusahaan yang bersangkutan.

3. Insider Trading

Insider trading sebagai tindakan membeli dan menjual saham perusahaan berdasarkan
informasi “orang dalam” perusahaan. Informasi “dari dalam” atau “dari orang dalam” tentang
suatu perusahaan merupakan informasi rahasia yang tidak dimiliki publik di luar perusahaan,
namun memiliki pengaruh material pada harga saham perusahaan. Insider trading adalah ilegal
dan tidak etis karena orang yang melakukannya berarti “mencuri” informasi dan memperoleh
keuntungan yang tidak adil dari anggota masyarakat lain. Namun demikian, sejumlah pihak
menyatakan bahwa insider trading secara sosial menguntungkan dan menurut prinsip utilitarian,
tindakan ini seharusnya tidak dilarang, malah dianjurkan.

b. Kewajiban perusahaan terhadap pegawai


Kewajiban moral dasar perusahaan terhadap pegawai, menurut pandangan rasional, adalah
memberikan kompensasi yang secara sukarela dan sadar telah mereka setujui sebagai imbalan atas
jasa mereka. Ada dua masalah yang berkaitan dengan kewajiban ini: kelayakan gaji dan kondisi kerja
pegawai. Gaji dan kondisi kerja merupakan aspek-aspek kompensasi yang diterima pegawai dari jasa
yang mereka berikan, dan keduanya berkaitan dengan masalah apakah pegawai menyetujui kontrak
kerja secara sukarela dan sadar. Jika seorang pegawai "dipaksa" menerima pekerjaan tanpa upah
yang memadai atau kondisi kerja yang layak, maka kontrak kerja tersebut dianggap tidak adil.

1) Gaji

Setiap perusahaan menghadapi dilema ketika menetapkan gaji pegawai seperti, bagaimana
menyeimbangkan kepentingan perusahaan untuk menekan biaya dengan kepentingan
pegawai untuk memperoleh kehidupan yang layak bagi diri mereka sendiri dan keluarga?
Tidak ada rumus sederhana untuk menentukan "gaji yang layak". Kelayakan gaji sebagian
bergantung pada dukungan yang diberikan masyarakat (jaminan sosial, perawatan
kesehatan, kompensasi pengangguran, pendidikan umum, kesejahteraan, dan sebagainya),
kebebasan pasar kerja, kontribusi pegawai, dan posisi kompetitif perusahaan. Meskipun
tidak ada cara untuk menentukan gaji yang layak dengan pasti, namun kita setidaknya bisa
mengidentifikasi sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan gaji dan
upah, yaitu: a) Gaji dalam industri dan wilayah tempat seseorang bekerja, b) Kemampuan
perusahaan, c) Sifat pekerjaan, d) Peraturan upah minimum, e) Hubungan dengan gaji lain,
dan f) Kelayakan negosiasi gaji.

2) Kondisi Kerja: Kesehatan dan Keamanan

Keselamatan kerja bisa terwujud bilamana tempat kerja itu aman, bebas dari resiko
terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan si pekerja cedera atau bahkan mati. Hampir
semua negara modern mempunyai peraturan hukum guna melindungi keselamatan dan
kesehatan kaum pekerja. Dalam hal ini peraturan hokum disemua negara belum tentu sama
dan belum tentu memuaskan. Terlepas dari aturan hukum para ajikan tidak bebas dari
kewajiban tetapi terikat dengan alasan

alasan etika. Keselamatan dan kesehatan pekerja tidak pernah boleh dikorbankan kepada
kepentingan ekonomis. Resiko memang tidak selalu bisa dihindari, tetapi harus dibatasi
sampai seminimal mungkin, walaupun upaya itu bisa mengakibatkan biaya produksi
bertambah. Selain itu si pekerja harus menerima resiko itu dengan bebas, setelah lebih
dahulu ia diberikan ekstra untuk mengimbangi resiko, baik dalam gaji langsung maupun
asuransi khusus.

3) Kondisi Kerja: Kepuasan Kerja

Spesialisasi pekerjaan yang berlebihan memang tidak baik karena alasan lain, yaitu
bahwacara ini memberikan beban yang tidak adil pada pekerja. Juga ada banyak bukti
bahwa cara ini tidak mendukung efisiensi. Pekerjaan yang dispesialisasikan dalam dua
dimensi yaitu secara horizontal dengan membatasi jangkauan tugas dan membatasi
repetisi atau pengulangan dalam cakupan tugasnya. Jangkauan tugas yang terlampau jauh
melewati batas kemampuan pegawai dapat menyebabkan pegawai frustasi. Demikian
juga kerja rutin yang berulang dalam jangka waktu panjang dapat lebih cepat menciptakan
kejenuhan. Selain secara horizontal, pekerjaan juga bisa dispesialisasikan secara vertikal
dengan mebatasi rentang pengwasan dan pengambilan keputusan atas kegiatan-kegiatan
dala suatu pekerjaan.

4) Tidak melakukan diskriminasi

Perusahaan dalam operasinya tidak akan terhindar dari tindakan membeda-bedakan


pegawai. Contohnya saja diskiminasi yang terjadi dimana – mana seperti AS, Indonesia dan
lain – lain. Diskriminasi baru akan terhapus betul bila suatu negara semua warganya
mempunyai hak yang sama dan diperlakukan dengan cara yang sama pula. Diskriminasi
timbul biasanya disertai dengan alasan yang tidak relevan.

2.2 Organisasi politik

Dalam model organisasi politik, individu dilihat berkumpul membentuk koalisi yang
selanjutnya saling bersaing satu sama lain memperebutkan sumber daya, keuntungan, dan pengaruh.
Dengan demikian, "tujuan" organisasi menjadi tujuan yang dibentuk oleh koalisi yang paling kuat dan
paling dominan. Tujuan tidak ditetapkan oleh otoritas yang "sah", namun ditetapkan melalui tawar
menawar antara berbagai koalisi. Realita dasar organisasi, menurut model ini, bukanlah otoritas
formal atau hubungan kontraktual, namun kekuasaan: kemampuan individu (atau kelompok individu)
untuk mengubah perilaku pihak lain menuju cara yang diinginkan tanpa harus mengubah perilaku
mereka sendiri menuju cara yang tidak diinginkan.

Jika kita memfokuskan pada kekuasaan sebagai dasar realita organisasional, maka permasalahan etis
utama yang akan kita temui saat kita mengamati suatu organisasi adalah masalah yang berkaitan
dengan akuisisi dan pelaksanaan kekuasaan. Masalah etis utama difokuskan bukan pada kewajiban
kontraktual perusahaan dan pegawai, namun pada hambatan-hambatan moral terhadap penggunaan
kekuasaan di dalam organisasi. Etika perilaku organisasional yang dilihat dari perspektif model politik
difokuskan pada pertanyaan: Apa batasan moral, jika ada, pada pelaksanaan kekuasaan dalam
organisasi? Dalam bagian-bagian berikut ini, kita akan membahas dua aspek dari pertanyaan ini, yaitu:
(a) Apa, jika ada, batasan moral pada kekuasaan manajer yang dapat diterapkan pada pegawai? (b)
Apa, jika ada, batasan moral pada kekuasaan pegawai yang dapat diterapkan pada pegawai lain?

2.2 Organisasi yang penuh perhatian


Aspek kehidupan organisasional tidak cukup baik digambarkan dalam model kontraktual
yang merupakan dasar dari organisasi "rasional", ataupun dengan model kekuasaan yang mendasari
organisasi "politik". Mungkin aspek tersebut paling tepat digambarkan sebagai organisasi penuh
perhatian (caring), di mana konsep-konsep moral utamanya sama dengan konsep yang mendasari
etika memberi perhatian. Jeanne M. Lied tka menggambarkan organisasi semacam itu sebagai
organisasi, atau bagian organisasi, di mana tindakan memberi perhatian merupakan: a) Difokuskan
sepenuhnya pada individu (pribadi), bukan "kualitas", "keuntungan", atau gagasan-gagasan lain
yang saat ini banyak dibicarakan; b) Dilihat sebagai tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, serta
bukan hanya sarana untuk mencapai kualitas, keuntungan, dan sebagainya; c) Bersifat pribadi,
dalam artian bahwa hal tersebur melibatkan individu-individu tertentu yang memberikan perhatian,
pada tingkat subjektif, pada individu tertentu lainnya; dan d) Pendorong pertumbuhan bagi yang
diberi perhatian, dalam artian bahwa tindakan ini menggerakkan mereka menuju pemanfaatan dan
pengembangan kemampuan seutuhnya, dalam konteks kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

Dalam organisasi caring,kepercayaan tumbuh subur karena orang merasa wajib saling
memercayai jika mereka melihat diri mereka sebagai pihak-pihak yang saling membutuhkan dan
saling terkait. Karena kepercayaan tumbuh subur dalam organisasi semacam itu, maka organisasi
tidak perlu melakukan banyak investasi untuk mengawasi para pegawainya dan memastikan bahwa
mereka tidak melanggar perjanjian kontraktual.

Dalam model kontraktual, masalah etis penting muncul dari kemungkinan terjadinya pelanggaran
terhadap hubungan kontraktual. Dalam model politik, masalah etis penting muncul dari
kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Lalu apa masalah etis penting dari perspektif
organisasi carin? Jawabannya adalah memberikan perhatian terlalu banyak atau kurang banyak.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Semua manusia tidak akan bisa lepas dari masalah etika, bila disadari secara jujur. Apalagi
sebuah perusahaan yang tidah berdiri sendiri, yang mempekerjakan banyak tenaga kerja, bila tidak
hati – hati dalam mengelola dapat merugikan semua pihak, tidak hanya perusahaan tapi juga
pekerjaan masyarakat. Pada jaman sekarang masalah etika bisnis sangatlah penting untuk
diperhatikan karena menyangkut perilaku jujur dan bermoral karena ada kaitanya dengan manusia.
Dalam setiap langkah bisnis, apabila pekerja dan pengusaha selalu memperhatikan hak dan kewajiban
masing – masing yang tidak menyimpang dari kepentingan bersama dalam arti tidak melanggar etika
maka semua akan dapat survive terus. Adapun kewajiban pekerjaan terhadap perusahaan merupakan
hak sedangkan kewajiban perusahaan terhadap karyawan antara lain tidak diskriminasi, upah adil,
menjamin kesehatan dan keselematan, tidak memberhentikan karyawan dengan semena – mena dan
lain – lain. Kewajiban ini bagi karyawan merupakan hak karyawan dan hak tersebut bila tidak dipenuhi
termasuk perbuatan yang kurang etis. Sekali lagi bahwa dalam bisnis modern yang penuh persaingan
ketat, para pengusaha menyadari bahwa pengakuan, penghargaa dan jaminan atas hak – hak pekerja
dalam jangka panjang akan sangat menentukan sehat tidaknya kinerja suatu perusahaan. Hal ini
disebabkan karena jaminan atas hak – hak pekerja pada akhirnya berpengaruh langsung secara positif
atas sikap, komitmen, loyalitas, produktivitas dan kinerja setiap pekerja.

REFERENSI

Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5, Penertbit Andi, Yogyakarta
Dewi, Sutrisna. 2011.ETIKA BISNIS Konsep Dasar Implementasi dan Kasus.Denpasar: Udayana
University Press

Anda mungkin juga menyukai