BY : SABILA RAHMAN
Dihari Minggu yang cerah, ibu meminta Mimi mengembalikan payung Bu Ana.
Bu Ana adalah tetangga serta ibu guru Mimi di sekolah. Ibu berpesan kepada Mimi agar
berhati-hati membawa payung tersebut.
“Baik Bunda, serahkan saja pada Mimi. Mimi jalan ya.” Dengan wajah ceria
Mimipun pergi. Ditengah perjalanan menuju rumah Bu Ana, Mimi bertemu dengan
temannya Sinta.
“Mi, lihat boneka beruangku, lucu dan cantikkan. Ini hadiah nenekku karena aku
ulang tahun kemarin.”
“Yuk.” Aku dan Sintapun bermain bersama. Kami berdua asyik mengumpulkan
daun-daunan dan menyusunnya menjadi sebuah tumpukan yang cantik. Lalu kami
menidurkan boneka beruang itu diatas tumpukan dedaunan. Lalu aku membuka payung
Bu Ana dan menggunakannya sebagai rumah-rumahan bagi boneka beruang Sinta.
Karena terlalu asyik bermain aku lupa akan tugaku. Hari semakin sore dan angin
bertiup kencang. Payung milik Bu Ana terbawa angin. Aku merasa ketakutan dan Sinta
berlari mengejar payung tersebut. Namun payung itu sudah terbang jauh.
“Aduh Sinta, itu payung Bu Ana, gimana ya, aku takut dimarahi bunda.”
“Udah, jangan takut. Kamu harus cari jalan keluarnya.” Ujar Sinta. Akupun
pulang. Hatiku gemetaran.
Alhasil bunda memelukku dan mengusap kepalaku seraya berkata “Sepahit dan
sesakit apapun kita wajib jujur pada semua orang termasuk orangtua. Jangan biarkan
rasa takut merampas kejujuran kita. Kebohongan bisa membawa kegelapan hidup.
Jujur itu pahit tapi tidak mematikan kita.” Saat itu juga aku minta maaf pada bunda dan
berlutut tidak mau berbohong lagi.