1 PB PDF
1 PB PDF
*
Penulis korespondensi. Tel: 08117506113. Email: budi_drw@yahoo.com.
Abstrak
Keberadaan ekosistem hutan rawa gambut di Indonesia terus mengalami gangguan dan kerusakan akibat pola
pemanfaatan yang tidak bijaksana seperti terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Umumnya kebakaran tersebut berasal
dari adanya kegiatan manusia seperti penggunaan dan perubahan tutupan lahan. Kawasan Lindung Hutan Rawa Gambut
Semenanjung Kampar termasuk salah satu ekosistem hutan rawa gambut terbesar di Pulau Sumatera. Peranan utama dari
kawasan ini sebagai penjaga kestabilan lingkungan terhadap kawasan sekitarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui tingkat dan status serta faktor-faktor kunci yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan
rawa gambut terhadap kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan pendekatan Multi-Dimensional Scaling.
Mengacu kepada hasil penelitian secara keseluruhan indeks atau status keberlanjutan berada pada kriteria sedang
(45,81%) atau status cukup berkelanjutan. Secara parsial untuk masing-masing dimensi yang memiliki status cukup
berkelanjutan adalah ekonomi, teknologi dan hukum, sedangkan dimensi ekologi dan sosial kurang berkelanjutan
sehingga perlu mendapatkan perhatian serius.
Kata kunci: gambut, kebakaran, skala, Kampar.
Abstract
The existence of peat swamp forest ecosystem in Indonesia continues to become distruption and damage which are
caused by unwise utilization patterns such as forest and land fires. This happens because of human activities such as the
use and change of the land. Protected area of peat swamp forest in Kampar peninsula is one of the largest forest
ecosystems in Sumatera. The main function of this area is to maintain environment stability for the surrounding area.
This study aims at finding out the level, status and main factors influencing sustainable management of peat swamp forest
ecosystems toward forest and land fires by using multi-dimensional scaling approach. Based on the result of the study, it
was found that the overall index or continues status was at the mediocre criterion level (45.81%). Partially, each
dimension which has sustainable status includes economy, technology and law, while ecological and social dimensions
were not sustainable and need more serious attention.
Keywords: peat, fire, scaling, Kampar.
gambut juga dapat disebabkan oleh kebakaran dan Kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan
kegiatan penambangan (Masganti dkk, 2014). Lebih lahan gambut di Indonesia belum menyentuh akar
parah lagi akibat kebakaran hutan dan gambut akan permasalahan karena strategi penanggulangan
memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim kebakaran masih berfokus pada manajemen
global sebagai akibat pertambahan emisi gas rumah pemadaman, sedangkan akar penyebab kebakaran
kaca yang dilepaskan ke udara (Masganti dkk, hutan dan lahan gambut semakin kompleks,
2014). Padahal fungsi utamanya adalah sebagai termasuk sistem pengelolaan sumber daya alam di
sumberdaya keanekaragaman hayati dan tempat Indonesia (Chokkalingam dan Suyanto, 2004).
penyimpan karbon di alam (Whelan, 1995; Hooijer Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang
dkk, 2006; Joosten, 2009). Kebakaran hutan dan paling rawa terhadap kebakaran hutan dan lahan di
lahan gambut sering terjadi saat pembukaan lahan, Indonesia. Provinsi Riau memiliki pengaruh yang
yang menjadi kontributor emisi gas rumah kaca besar terhadap terjadinya polusi asap yang melintas
tertinggi dan sering menyudutkan Indonesia dalam batas negara, di mana pada umumnya kebakaran
forum internasional tentang lingkungan dan tersebut berada di lahan gambut (Nurhayati dkk,
perubahan iklim (Agus dan Subiksa, 2008; Subiksa 2010).
dkk, 2011). Pembakaran mempercepat proses Luas lahan gambut di Provinsi Riau sekitar
subsidensi gambut dan degradasi lahan, padahal 3,89 juta hektar dari 6,49 juta hektar total luas lahan
kecepatan pembentukan gambut untuk hutan primer gambut di pulau Sumatera. Saat ini diperkirakan
hanya 3 mm/tahun (Andriesse, 1988). lahan gambut yang telah terdegradasi sekitar
Pembakaran juga menyebabkan punahnya 2.313.561 hektar atau 59,54% dari total luas lahan
mikroorganisme sehingga mengganggu proses gambut di Provinsi Riau. Sisanya sekitar 1.037.020
dekomposisi dan kimia tanah serta hilangnya hektar dari lahan tersebut dimanfaatkan untuk
berbagai biota atau biodiversitas lainnya (Tan, 1994; budidaya tananam seperti kelapa sawit, tanaman
Setyaningsih, 2000). Pembakaran memang pangan dan hortikultura (Wahyunto dkk, 2013a).
menghasilkan abu yang mengandung basa-basa, Mengacu kepada potensi luas lahan gambut di
namun tidak cukup untuk menyuplai kebutuhan hara Provinsi Riau jika tidak dikelola dengan baik maka
tanaman (Kurnia dkk, 1997; Masganti, 2003). Selain akan mudah terbakar dan berdampak pada pelepasan
itu kurangnya pengetahuan tentang sistem pertanian karbon ke udara sehingga meningkatkan efek gas
dan perkebunan ramah lingkungan menyebabkan rumah kaca.
masih terjadinya bencana asap setiap tahun Kawasan Semenanjung Kampar merupakan
dibeberapa provinsi di Indonesia. Asap kebakaran salah satu hamparan hutan rawa gambut terluas yang
hutan dan lahan gambut dapat menjalar sehingga berada di Provinsi Riau. Semenanjung Kampar
mengganggu sistem transportasi penerbangan, memiliki ekosistem hutan gambut berada di antara 2
aktivitas ekonomi dan kesehatan masyarakat seperti (dua) sungai besar, yaitu Sungai Siak dan Sungai
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare dan Kampar. Hampir seluruh areal di Semenanjung
gatal-gatal (Sumantri, 2003; Aiken, 2004; Kampar merupakan lahan gambut dengan tiga kubah
Hergoualc’h and Verchot, 2013). gambut besar (peat dome) sebagai daerah intinya
Dampak langsung kebakaran hutan dan lahan dengan kedalaman gambut tergolong dalam hingga
gambut bagi manusia adalah kehilangan sumber sangat dalam dan beberapa kubah gambut kecil
mata pencaharian masyarakat terutama bagi mereka (Qomar dan Jaya, 2010). Tutupan hutan rawa
yang masih menggantungkan hidupnya pada sumber gambut di Semenanjung Kampar pada tahun 1982
daya alam (berladang, beternak, berburu/menangkap mencapai 97% dari luas total areal 702.129 hektar.
ikan dan sebagainya). Ladang, perkebunan dan lahan Pada tahun 2005 luas tutupan hutan yang ada hanya
pertanian lain yang terbakar akan memusnahkan mencapai 63% atau telah terjadi deforestasi sebesar
semua tanaman, yang berarti pada akhirnya produksi 34% dalam kurun waktu 23 tahun (1982-2005) dari
pertanian akan ikut terbakar (Adinugroho dkk, luas keseluruhan kawasan Semenanjung Kampar
2005). Lahan gambut dikenal sebagai lahan yang atau sekitar 260.348 hektar (Rifardi, 2008).
rapuh atau rentan dengan perubahan karakteristik Kawasan Semenanjung Kampar telah
yang tidak menguntungkan. Lahan gambut ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah
mempunyai manfaat multifungsi yaitu fungsi satu bagian dari area kunci bagi keanekaragaman
hidrologi, produksi dan ekologi yang sangat vital hayati hutan rawa gambut (Anonim, 2007), dan area
bagi kelangsugan hidup manusia dan lingkungan penting bagi habitat burung di Pulau Sumatera
sekitarnya (Masganti, 2003). Oleh karena itu perlu (Anonim, 2003). Eksistensi hutan gambut
pengelolaan yang khas agar tidak terjadi perubahan Semenanjung Kampar sangat penting dalam
karakteristik yang menyebabkan produktivitas lahan melindungi dan melestarikan keanekaragaman
menurun, tidak produktif dan terbakar (Masganti hayati, demikian juga dalam mempertahankan
dkk, 2014). fungsi hidrologis dan penjaga stabilitas iklim mikro
Juli 2016 BUDI DARMAWAN DKK.: PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM 197
yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan kategori buruk atau tidak berkelanjutan dan berada
lebih besar atau sama dengan 50% (≥50%), sehingga pada rentang 0-40% atau secara rata-rata sebesar
sistem dikatakan berkelanjutan dan tidak 33,37%.
berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50% Pengetahuan tentang fungsi utama lahan
(<50%) (Tabel 1). gambut yang masih rendah disebabkan karena
Nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di lokasi
dapat juga divisualisasikan dalam bentuk diagram penelitian, yaitu: tidak pernah sekolah (16,11%),
layang-layang untuk mempermudah dalam proses pendidikan dasar (40,20%), pendidikan menengah
perbandingan dan mengetahui titik-titik pertama (14,77%), pendidikan menengah atas
ketidakberlanjutannya. Analisis ordinasi dengan (24,16%), dan sedikit sekali berpendidikan tinggi
metode MDS dilakukan melalui beberapa tahapan (4,70%). Tingkat pendidikan responden untuk
sebagai berikut: tahap penentuan atribut, tahap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih lanjut
penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (scoring) relatif masih rendah antara lain karena faktor
berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, motivasi dan rendahnya kesadaran orang tua pada
tahap analisis ordinasi untuk menentukan ordinasi saat mereka masih kecil untuk menyekolahkan anak-
dan nilai stress melalui ALSCAL Algorithm, anaknya karena alasan kesulitan ekonomi rumah
melakukan rotasi untuk menentukan posisi indeks tangga serta lebih memprioritaskan untuk bekerja
dan status keberlanjutan pada ordinasi bad atau membantu orang tua di ladang/bertani, menjadi
good, dan melakukan analisis sensitivitas, yakni nelayan, buruh perusahaan perkebunan dan jenis-
Leverage Analysis dan Monte Carlo Analysis untuk jenis pekerjaan sampingan lainnya.
memperhitungkan aspek ketidakpastian (KavanaGh,
2001). Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi
Ekonomi
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis keberlanjutan indeks dan status
dimensi ekonomi menggunakan 5 atribut terpilih,
Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi yaitu: penghasilan, pengeluaran, tanggungan, luas
Ekologi kebun, dan pekerjaan. Hasil analisis leverage atribut
Analisis indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi seperti disajikan pada Gambar 3.
dimensi ekologi menggunakan 5 atribut terpilih, Gambar 3 memperlihatkan hasil analisis
yaitu: tingkat konversi hutan dan lahan gambut, leverage atribut dimensi ekonomi urutan prioritas
metode bakar ramah lingkungan, pengetahuan atribut yang sangat perlu mendapat perhatian, yaitu
fungsi utama hutan rawa gambut, pengetahuan persentase luas kebun dan jumlah tanggungan.
penyebab kebakaran hutan rawa gambut, dan Secara keseluruhan indeks keberlanjutan untuk
pengetahuan dampak kebakaran hutan rawa gambut.
Hasil analisis leverage atribut dimensi ekologi Tabel 1. Nilai indeks, status dan interpretasi
seperti disajikan pada Gambar 2. Hasil analisis keberlanjutan MDS.
leverage atribut dimensi ekologi maka urutan Nilai Indeks (%) Interpretasi
prioritas atribut sensitif tersebut perlu mendapat 0 - 24,99 Tidak berkelanjutan
perhatian lebih atau sangat mempengaruhi 25 - 49,99 Kurang berkelanjutan
pengelolaan keberlanjutan lahan gambut terhadap 50 - 74,99 Cukup berkelanjutan
kebakaran, yaitu pengetahuan tentang fungsi utama 75 - 100 Sangat berkelanjutan
Sumber : Thamrin dkk. (2007).
lahan gambut. Secara keseluruhan indeks
keberlanjutan untuk dimensi ekologi berada pada
Pengamatan
Batas
Acuan
Gambar 2. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi ekologi.
Juli 2016 BUDI DARMAWAN DKK.: PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM 199
Pengamatan
60 atas
Batas
20 bagus
buruk
21,89
0
0 20 40 3,3860 80 100
-20 -2,91 -3,30
-2.91
-2.99 -3.36
-13,73
-40
-60
bawah
Sumbu X setelah rotasi: skala keberlanjutan
(b)
Gambar 3. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi ekonomi.
Pengamatan
Batas
Acuan
Gambar 4. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi sosial.
dimensi ekonomi berada pada kategori sedang atau dalam proses implementasi pencegahan kebakaran
cukup berkelanjutan dan berada pada rentang 40- hutan rawa gambut, dan ikut serta dalam proses
80% atau secara rata-rata sebesar 56,98%. Mengacu pengawasan pencegahan hutan rawa gambut seperti
kepada besarnya nilai indeks tersebut mengartikan disajikan pada Gambar 4. Hasil analisis leverage
bahwa dari sisi dimensi ekonomi telah memberikan atribut dimensi sosial penelitian maka atribut yang
manfaat yang lebih besar bila dibandingkan dengan paling sensitif dan perlu mendapat perhatian
dimensi ekologi. terhadap pengelolaan pencegahan kebakaran, yaitu
Dimensi ekonomi merupakan salah satu faktor tingkat pendidikan dan pemadaman api. Secara
sangat dominan terhadap maraknya kerusakan keseluruhan nilai indeks keberlanjutan untuk
lingkungan seperti kebakaran dan konversi lahan. dimensi sosial berada pada kategori buruk atau tidak
Pada dasarnya hampir semua kasus degradasi lahan berkelanjutan serta berada pada rentang 0-40% atau
dan rusaknya ekosistem selalu dipicu dari masalah secara rata-rata sebesar 30,61%.
peningkatan ekonomi. Namun, alternatif ekonomi Mulai memudarnya modal sosial dalam hal
yang menjadi unsur penting pada program pengelolaan ekosistem lahan gambut pada saat awal
konservasi haruslah mendapat mendukung dari pembukaan lahan juga merupakan faktor pendukung
kegiatan konservasi itu sendiri. Sebab, apabila aspek lainnya karena sebagian responden penelitian berupa
peningkatan ekonomi masyarakat tidak menjadi masyarakat pendatang atau baru menetap di daerah
bagian dari peningkatan kegiatan konservasi, maka penelitian, yaitu masyarakat yang berasal dari luar
kegiatan tersebut justru menjadi permasalahan dan daerah yang kemudian bermigrasi untuk mencari
ancaman bagi kawasan yang akan di konservasi. penghidupan baru dengan cara membuka hutan rawa
gambut untuk sektor kegiatan pertanian dan
Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Sosial perkebunan. Selain itu mulai memudarnya nilai
Analisis keberlanjutan indeks dan status kearifan lokal atau aturan-aturan yang sudah
dimensi sosial menggunakan 6 atribut terpilih, yaitu: diwariskan secara turun-temurun untuk tetap
pendidikan, kearifan lokal, ikut serta dalam proses menjaga ekosistem hutan rawa gambut nampaknya
pemadaman api, ikut serta dalam proses perencanaan sudah mulai berangsur-angsur pudar karena para
pencegahan kebakaran hutan rawa gambut, ikut serta “tetua” yang ada di dalam masyarakat sudah tiada
200 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 2
Pengamatan
Batas
Acuan
Gambar 5. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi teknologi.
Pengamatan
Peningkatan penegakkan 100
skala keberlanjutan
hukum Acuan
Menindak tegas 50
6,46 buruk baik
pembakar hutan dan…
0 4,11
-0,73
Kebijakan penyiapan -7,21
-14.53-11.80 -18,72
-14.99
9,14 0 50 -19,47
-19.45 100
lahan tanpa bakar
Sosialisasi dengan media -50
3,84 bawah
cetak dan elektronik
-100
0 5 10
Nilai RMS leverage (%) (skala 0 - 100) Sumbu X setelah rotasi: skala keberlanjutan
(a) (b)
Gambar 6. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi hukum.
atau berkurang intensitasnya untuk selalu komunitas lokal, pemecahan masalah isu dan
mengingatkan peranan penting ekosistem lahan batasan atau ketentuan penggunaan, pengembangan
gambut kepada generasi berikutnya. pengelolaan dan opsi restorasi, dan penelitian,
pemantauan dan evaluasi.
Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi
Teknologi Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi
Analisis keberlanjutan indeks dan status Hukum
dimensi teknologi menggunakan 6 atribut terpilih, Analisis keberlanjutan indeks dan status
yaitu: ketrampilan sumber daya manusia, dimensi hukum menggunakan 4 atribut terpilih,
kelengkapan peralatan, kerjasama teknik dengan yaitu: sosialisasi dengan media cetak dan elektronik,
lembaga donor, pendanaan, pengurangan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar, menindak
penggunaan api, dan pelatihan dan bimbingan tegas pembakar hutan rawa gambut, peningkatan
pencegahan kebakaran seperti disajikan pada penegakan hukum seperti disajikan pada Gambar 6.
Gambar 5. Hasil analisis leverage atribut dimensi Gambar 6 memperlihatkan atribut dimensi
teknologi yang paling sensitif dan perlu mendapat hukum yang paling sensitif dan perlu mendapat
perhatian lebih atau mempengaruhi pengelolaan perhatian lebih atau mempengaruhi pengelolaan
hutan rawa gambut adalah masalah pendanaan, hutan rawa gambut terhadap kebakaran adalah
menggurangi penggunaan api, dan kelengkapan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar, peningkatan
peralatan kebakaran. Secara keseluruhan indeks penegakkan hukum dan menindak tegas pembakar
keberlanjutan untuk dimensi teknologi berada pada hutan dan lahan. Secara rata-rata keseluruhan indeks
kategori sedang atau cukup berkelanjutan, yaitu keberlanjutan untuk dimensi hukum berada pada
secara rata-rata sebesar 51,99%. kategori sedang atau cukup berkelanjutan, yaitu
Noor (2010) menyebutkan dalam konteks secara rata-rata sebesar 50,69%.
pencegahan kebakaran, pengelolaan dan konservasi Penerapan saksi hukum terhadap para pelaku
lahan gambut maka pengembangan ilmu dan pembakar lahan, baik disegaja maupun tidak
teknologi mutlak harus dilakukan seperti disengaja masih belum optimal dan bersifat “tebang
pendidikan, pertukaran informasi dan kemudahan pilih”. Penegakkan hukum lingkungan, khususnya
akses, pelatihan dan lokakarya, perbaikan kebakaran hutan dan lahan gambut seperti
pengelolaan dengan melibatkan kelompok menegakkan benang basah. Hukum hanya mampu
Juli 2016 BUDI DARMAWAN DKK.: PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM 201
Tabel 1. Nilai S-Stress dan RMS masing-masing Tabel 2. Hasil analisis Monte Carlo dan MDS pada
dimensi. selang kepercayaan 95%.
Dimensi S-Stress (%) RMS (%) Iterasi# Dimensi MDS Monte Selisih
Ekologi 33,37 Carlo
34.63 1,26
Ekologi 16,37 91,92 25
Ekonomi 19,96 87,56 25 Ekonomi 56,98 56,99 0,01
Sosial 14,12 94,18 25 Sosial 30,61 31,95 1,34
Teknologi 22,53 90,55 25 Teknologi 51,99 51,95 0,04
Hukum 22,67 92,12 25 Hukum 50,69 50,47 0,22
Sumber : Hasil analisis. Sumber : Hasil analisis.
maka digunakan analisis sensitivitas Monte Carlo mengatur pengelolaan kawasan Semenanjung
seperti disajikan pada Tabel 2. Kampar secara terpadu menyebabkan ketidapastian
Tabel 2 memperlihatkan hasil uji analisis yang cukup besar mengenai masa depannya. Untuk
sensitivitas maka selisih antara hasil analisis MDS itu diperlukan upaya terpadu dan kemauan politik
dengan analisis Monte Carlo tidak jauh berbeda, yang kuat oleh pemangku kepentingan untuk
sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan mengelola eksistensi kawasan Semenanjung
kondisi daerah penelitian. Metode Rap-Gambut Kampar.
yang dimodifikasikan dari Rapfish hasil penelitian
ini dapat diterapkan dalam merumuskan kebijakan DAFTAR PUSTAKA
dan program pengelolaan hutan rawa gambut
terhadap kebakaran di Semenanjung Kampar. Adinugroho, W.C., Suryadiputra, I.N.N., Saharjo,
B.H., dan Siboro, L., 2005. Panduan
KESIMPULAN Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambut: Wetlands International – IP, Bogor.
Hutan rawa gambut diketahui sebagai sumber Agus, F. dan Subiksa, I.G.M., 2008. Lahan Gambut:
daya alam yang rapuh atau rentan dengan perubahan Potensi Untuk Pertanian dan Aspek
karakteristik yang tidak ramah lingkungan. Oleh Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
karena itu perlu pengelolaan yang spesifik agar tidak 36 hal.
terjadi perubahan karakteristik yang menyebabkan Aiken, S.R., 2004. Runaway Fires, Smoke-Haze
peranannya semakin menurun, apalagi terjadi Pollution, and Un-natural Disasters in
kerusakan yang sangat parah (kebakaran). Hasil Indonesia. The Geographical Review,
evaluasi terhadap 5 dimensi indeks dan status 94(1):55-79.
keberlanjutan pengelolaan hutan rawa gambut Andriesse, J.P., 1988. Nature and Management of
terhadap kebakaran di Semenanjung Kampar telah Tropical Peat Soils. Soil Resources
menyebabkan dimensi ekologi dan sosial kurang Management & Conservation Service. FAO
berkelanjutan. Tingkat keberlanjutan kedua dimensi Land and Water Development Divisions.
tersebut lebih disebabkan rendahnya tingkat FAO, Rome. 165 pp.
pengetahuan akan peranan (fungsi dan manfaat) Anonim, 2003. Important Bird Areas in Asia: Key
ekosistem hutan rawa gambut karena masih Sites for Conservation. Birdlife International
menggunakan metode bakar saat pembukaan lahan (Birdlife Conservation Series No. 13).
sebab dianggap cara murah dan mudah. Selain itu Cambridge.
masih lemahnya penegakkan hukum yang dilakukan Anonim, 2006. Strategi dan Rencana Tindak
oleh aparat terkait mengakibatkan masih leluasanya Nasional Pengelolaan Lahan Gambut
oknum masyarakat dan perusahaan melakukan Berkelanjutan. Kelompok Kerja Pengelolaan
konversi lahan dengan cara membakar. Lahan Gambut Nasional. Jakarta.
Untuk menjamin keberlanjutan peranan Anonim, 2007. Priority Sites for Conservation in
ekosistem hutan rawa gambut di Semenanjung Sumatra: Key Biodiversity Area. Departemen
Kampar maka stakeholders terkait perlu melakukan Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta.
intervensi kebijakan khusus guna mengurangi Anonim, 2010a. Profil Ekosistem Gambut di
kebakaran dengan cara penerapan inovasi teknologi Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup
atau alternatif program pembukaan lahan tanpa Republik Indonesia. Jakarta.
bakar, subsidi atau pendanaan teknologi pertanian/ Anonim, 2010b. Strategi Pengelolaan Ekosistem
perkebunan ramah lingkungan, dan penguatan Rawa Gambut. Untuk Penurunan Emisi Gas
penegakkan hukum terhadap para pelaku pembakar Rumah Kaca (GRK) dalam Rangka Adaptasi
lahan. Ketiadaan kelembagaan yang berfungsi untuk dan Mitigasi Perubahan Iklim. Seminar dan
204 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 2
Lokakarya Revitalisasi dan Penguatan Nugroho, B., 1999. Hutan Kita Dibakar. Skephi dan
Jejaring Kerjasama Pusat Penelitian Institut Studi Arus Informasi. Midas Surya
Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Grafindo. Jakarta.
Universitas Riau, Pekanbaru. Nurhayati, A.D., Aryanti, E., dan Saharjo, B.H.,
Anonim, 2012. Strategi Nasional REDD+: MRV 2010. Kandungan Emisi Gas Rumah Kaca
Sebagai Instrument Pengukuran Keberhasilan pada Kebakaran Hutan Rawa Gambut di
Pelaksanaan. Pelalawan Riau. J. Ilmu Pertanian Indonesia,
Anonim, 2014. Laporan Klimatologi Tahun 2014. 15(2):78-82.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Phillips, V.D., 1998. Peatswamp Ecology and
Geofisika. Pekanbaru. Sustainable Development in Borneo.
Chokkalingam, G.U., dan Suyanto, S., 2004. Biodiversity and Conservation, 7: 651-671.
Kebakaran, Mata Pencaharian, dan Kerusakan Pitcher, T.J., dan Preikshot, D.B., 2001. Rapfish: A
Lingkungan pada Lahan Basah di Indonesia: Rapid Appraisal Technique to Evaluate the
Lingkaran yang Tiada Berujung Pangkal. Sustainability Status of Fisheries. Fisheries
CIFOR/ICRAF. Fire Brief 4: 4 hal. Research, 49(3):255-270.
Hergoualc’h, K., dan Verchot, L.V., 2013. Qomar, N., dan Jaya, Y.V., 2010. Deforestasi dan
Greenhouse Gas Emission Factors for Land Penggunaan Lahan Lansekap Semenanjung
Use and Land-Use Change In Southeast Asian Kampar, Riau. Seminar dan Lokakarya
Peatlands. Mitigation and Adaptation Revitalisasi dan Penguatan Jejaring
Strategies for Global Change. Bogor. Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S., Hidup, Pekanbaru 19-20 November 2010.
2006. Peat-CO2, Assessment of CO2 Emissions Rifardi, 2008. Degradasi Ekologi Sumberdaya
from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hutan dan Lahan (Studi Kasus Hutan Rawa
Hydraulics report Q3943. Gambut Semenanjung Kampar Propinsi
Joosten, H., 2009. Peatland Status and Drainage Riau). Jurnal Bumi Lestari, 8(2):145-154.
Related Emissions in All Countries of The Rieley, J.O. 2003. Strategies for Implementing
World. The Global Peatland CO2 Picture. Sustainable Management of Peatland in
Wetlands International. Bangkok. Borneo. Strapeat-UNINOT. Wageningen.
Kavanagh, P., 2001. Rapid Appraisal of Fisheries Rieley, J.O., dan Page, S.E., 2005. Wise Use of
(RAPFISH) Project. University of British Tropical Peatlands: Focus on Southeast Asia.
Columbia, Fisheries Centre. ALTERRA-Wageningen University and
Kurnia, U., Sinukaban, N., Suratmo, F.G., Pawitan, Research Centre and the EU INCO-
H., dan Suwardjo, H., 1997. Pengaruh Teknik STRAPEAT and RESTORPEAT
Rehabilitasi Lahan Terhadap Produktivitas Partnerships, Wageningen.
Tanah dan Kehilangan Hara. J. Tanah dan Ritung S, dan Wahyunto, 2003. Kandungan Karbon
Iklim, 15:10-18. Tanah Gambut di Pulau Sumatera. Workshop
Lavorel, S., Flannigan, M,D., Lambin, E.F., dan on Wise Use and Sustainable Peatlands
Scholes, M.C., 2007. Vulnerability of Land Management Practices October 13-14. Bogor.
Systems to Fire: Interactions among Humans, Saharjo, B.H., 2007. Shifting Cultivation in
Climate, the Atmosphere, and Ecosystems. Peatlands. Mitig Adapt Strat Glob Change
Mitig. Adapt. Strat. Glob Change, 12:33–53. 12:135–146.
Masganti, 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Setyaningsih, R., 2000. Dinamika Populasi Mikro-
Penyediaan Fosfat dalam Gambut Oligotrofik. organisme yang Berperan dalam Kesuburan di
Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Beberapa Jenis Tanah akibat Perlakukan
Gadjah Mada, Yogyakarta. 355 hal. Paraquat. Tesis. Program Pascasarjana
Masganti, Wahyunto., Ai Dariah., Nurhayati., dan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 71 hal.
Yusuf, R., 2014. Karakteristik dan Potensi Siegel, D.I, Reeve, A.S., Glaser, P.H., dan
Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradasi di Romanowicz, E.A., 1995. Climate-Driver
Provinsi Riau. J. Sumberdaya Lahan, 8:47-54. Flushing of Pore Water in Peatlands. Nature
Mitsch, W.J. dan Gosselink, J.M., 2000. Wetlands. 374:531-533.
Third Edition. John Wiley & Sons, Inc. Subiksa, I.G.M, Hartatik, W., dan Agus, F., 2011.
Noor, M., 2010. Lahan Gambut. Pengembangan, Pengelolaan Lahan Gambut secara
Konservasi, dan Perubahan Iklim. Gadjah Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Mada University Press. Yogyakarta. 16 hal.
Sumantri, 2003. Prinsip Pencegahan Kebakaran
Hutan. IPB Press. Bogor.
Juli 2016 BUDI DARMAWAN DKK.: PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM 205
Tan, K.H., 1994. Environmental Soil Science. Wahyunto, Ritung, S., Nugroho, K., Sulaiman, Y.,
Marcel Dekker Inc., New York. p 304. Hikmarullah., Tafakresnanto, C., Suparto, dan
Venter, O. dan Koh, L.P., 2012. Reducing Emissions Sukarman, 2013a. Peta Arahan lahan Gambut
from Deforestation and Forest Degradation Terdegradasi di Pulau Sumatera Skala
(REDD+): Game Changer or Just Another 1:250.000. Badan Litbang Pertanian,
Quick Fix?. Ann. N.Y. Acad. Sci., 1249:137– Kementerian Pertanian. Bogor. 27 hal.
150. Wahyunto., Dariah, A., Pitono, D., dan Sarwani, M.,
Wahyunto, dan Mulyani, A., 2011. Pengelolaan 2013b. Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut
Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia.
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Perspektif, 12(1):11-12.
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Whelan, R.J., 1995. The Ecology of Fire. Cambridge
Kementerian Pertanian. Bogor. University Press, New York. 343 p.