Anda di halaman 1dari 37

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tepat
pada waktunya. Makalah ini memuat tentang “KEBUTUHAN SEKSUAL”dan
makalah ini disusun agar pembaca khususnya mahasiswa keperawatan dapat
mengetahui pentingnya mempelajari tentang seksualitas, khususnya dalam rangka
menghindari hal-hal negatif yang mungkin terjadi.
Saya yakin makalah ini pasti tidak lepas dari kesalahan. Sehingga, saya
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Serta, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jember, 25 Juli 2018

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………......4


1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................... 5
1.4 Manfaat Penulisan .................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 7
2.1 Definisi Kebutuhan Seksualitas ............................................. 7
2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Seksualitas........................ 7
2.3 Siklus Respon Seksual............................................................. 13
2.4 Orientasi Seksualitas............................................................... 16
2.5 Disfungsi Seksualitas.............................................................. 23

BAB III PENUTUP....................................................................................... 43


3.1 Simpulan.................................................................................. 43
3.2 Saran........................................................................................ 44

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 45

BAB I

2
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejak dahulu, seksualitas merupakan hal yang masih dianggap tabu untuk
dibahas. Walaupun kemudian kita tahu bahwa seksualitas di zaman sekarang akan
selalu diidentikkan dengan pergaulan bebas, pada dasarnya tidak semua orang
memiliki pemahan yang baik seputar seksualitas, bahkan mungkin hanya
segelintir orang saja dari sekian banyak orang di dunia ini. Padahal sama halnya
dengan masalah-masalah lain dalam hidup ini, kunci pemecahannya adalah
dengan memahami hakikat masalah itu sendiri. Poin penting ini juga berlaku
bagi seksualitas,yaitu penting sekali bagi kita untuk memahami
seputas seksualitas agar dapat menyelesaikan masalah berkenaan dengan
seksualitas itu sendiri. Konsep seksualitas seseorang dipengaruhi oleh banyak
aspek dalam kehidupan, baik aspek biologis maupun psikologis.Tentu saja, kita
tidak memerlukan seks sama seperti kita membutuhkan makanan, minuman dan
tempat tinggal demi keberlangsungan hidup. Namun demikian, kita tetap
membutuhkannya sebagai syarat mutlak untuk meneruskan keturunan (Kusnanto,
2014).
Pada masa remaja, rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting
dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis.
Padahal pada masa remaja informasi masalah seksual sudah seharusnya mulai
diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau sumber-
sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Pemberian informasi
masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam
potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual mereka
sendiri (Handbook of adolescent psychology, 1980). Tentu saja hal tersebut akan
sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila ia tidak memiliki
pengetahuan dan informasi yang tepat.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita tidak mengetahui
dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat tidak
matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung
resiko dari hubungan seksual tersebut. Di Indonesia jumlah remaja yang berusia

3
10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30% dari total penduduk. Sekitar 15-20
% dari remaja berusia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di
luar nikah. Setiap tahunnya 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun
melahirkan. Hingga Juni 2006 telah tercatat 6332 kasus AIDS dan 4527 kasus
HIV positif di Indonesia, dengan 78,8% dari kasus-kasus baru yang dilaporkan
berasal dari usia 15-29 tahun.
Diperkirakan bahwa terdapat sekitar 270.000 pekerja seks perempuan yang
ada di Indonesia, dimana lebih dari 60% adalah berusia 24 tahun atau kurang dan
30% berusia 15 tahun atau kurang. Setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi
di Indonesia dimana 20% diantaranya adalah aborsi yang dilakukan oleh remaja
(Okanegara, 2007)
Untuk mencegah bertambahnya kasus-kasus yang menghambat
pertumbuhan dan perkembangan remaja khususnya di Indonesia seperti yang telah
disebutkan di atas, maka sangat diperlukan pendidikan seksual untuk memberi
informasi yang benar dengan sumber yang tepat kepada remaja, keluarga dan
masyarakat demi memenuhi rasa ingin tahu dari remaja sehingga remaja
memahami tentang seksualitas tanpa harus dari perilaku yang sembarangan
ataupun dari sumber-sumber yang kurang mendidik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi kebutuhan seksual?
2. Apa sajakah faktor-faktor yang memengaruhi seksual?
3. Bagaimanakah siklus respon seksual?
4. Bagaimanakah orientasi seksual?
5. Bagaimanakah disfungsi seksual?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui definisi kebutuhan seksual
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi seksual.
3. Untuk mengetahui siklus respon seksual.
4. Untuk mengetahui orientasi seksual.
5. Untuk mengetahui disfungsi seksual.

4
1.4. Manfaat Penulisan
Diharapkan makalah ini dapat mengedukasi mahasiswa khususnya
mahasiswa keperawatan mengenai pentingnya pendidikan seksualitas untuk
memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu tentang faktor-faktor yang memengaruhi,
siklus respon, orientasi dan disfungsi seksual.

BAB II
PEMBAHASAN

5
2.1 Definisi kebutuhan seksualitas
Kebutuhan seksualitas merupakan kebutuhan dasar manusia berupa
ekspresi perasaan 2 individu secara pribadi yg saling menghargai, memperhatikan,
dan menyayangi sehingga terjadi sebuah hubungan timbal balik antara kedua
individu tersebut (Nursalam dan Ferry, 2013).
Seksualitas meliputi bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan
bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut terhadap orang lain
melalui tindakan yang dilakukannya seperti, sentuhan, ciuman, pelukan,
senggama, atau melalui perilaku yang lebih halus seperti isyarat gerak tubuh,
etiket, berpakaian, dan perbendaharaan kata.
Menurut (Raharjo, 2007) menjelaskan bahwa seksualitas merupakan suatu
konsep, kontruksi sosial terhadap nilai, orientasi, dan perilaku yang berkaitan
dengan seks. Makna seksual dapat ditinjau dari berbagai aspek, diantaranya:
1. Aspek Biologis
Aspek ini memandang dari segi biologi seperti pandangan anatomidan
fisiologi dari sistem reproduksi (seksual), kemampuan organ seks, danadanya
hormonal serta sistem saraf yang berfungsi atau berhubungan
dengankebutuhan seksual.
2. Aspek Psikologis
Aspek ini merupakan pandangan terhadap identitas jeniskelamin,sebuah
perasaan dari diri sendiri terhadap kesadaran identirasnya,serta memandang
gambaran seksual atau bentuk konsep diri yang lain.
3. Aspek Sosial Budaya
Aspek ini merupakan pandangan budaya atau keyakinan yang berlakudi
masyarakat terhadap kebutuhan seksual serta perilaku di masyarakat

2.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi masalah seksual


Menurut (Haditono, 2006) faktor – faktor yang mempengaruhi masalah
seksual adalah
1. Pertimbangan Perkembangan

6
a. Proses perkembangan manusia mempengaruhi aspek psikososial,
emosional dan biologik kehidupan yang selanjutnya akan
mempengaruhi seksualitas individu.
b. Hanya aspek seksualitas yang telah dibedakan sejak fase konsepsi.
2. Kebiasaan Hidup Sehat dan Kondisi Kesehatan
a. Tubuh, jiwa dan emosi yang sehat merupakan persyaratan utama
untuk dapat mencapai kepuasan seksual.
b. Trauma atau stress dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk
melakukan kegiatan atau fungsi kehidupan sehari-hari yang tentunya
juga mempengaruhi ekspresi seksualitasnya, termasuk penyakit.
c. Kebiasaan tidur, istirahat, gizi yang adekuat dan pandangan hidup
yang positif mengkontribusi pada kehidupan seksual yang
membahagiakan.
3. Peran dan Hubungan
a. Kualitas hubungan seseorang dengan pasangan hidupnya sangat
mempengaruhi kualitas hubungan seksualnya.
b. Cinta dan rasa percaya merupakan kunci utama yang memfasilitasi
rasa nyaman seseorang terhadap seksualitas dan hubungan
seksualnya dengan seseorang yang dicintai dan dipercayainya.
c. Pengalaman dalam berhubungan seksual seringkali ditentukan oleh
dengan siapa individu tersebut berhubungan seksual
4. Konsep Diri
a. Pandangan individu terhadap dirinya sendiri mempunyai dampak
langsung terhadap seksualitas.
5. Budaya, Nilai, dan Keyakinan
a. Faktor budaya, termasuk pandangan masyarakat tentang
seksualitas dapat mempengaruhi individu.
b. Tiap budaya mempunyai norma-norma tertentu tentang identitas
dan perilaku seksual.
c. Budaya turut menentukan lama hubungan seksual, cara stimulasi
seksual dan hal lain terkait dengan kegiatan seksual
6. Agama

7
a. Pandangan agama tertentu yang diajarkan, ternyata berpengaruh
terhadap ekspresi seksualitas seseorang.
b. Berbagai bentuk ekspresi seksual yang diluar kebiasaan, dianggap
tidak wajar.
c. Konsep tentang keperawanan dapat diartikan sebagai kesucian dan
kegiatan seksual dianggap dosa, untuk agama tertentu.
7. Etik
a. Seksualitas yang sehat tergantung pada terbebasnya individu dari
rasa bersalah dan ansietas.
b. Apa yang diyakini salah oleh seseorang, bisa saja wajar bagi orang
lain.
Selain itu, menurut (Purnawan, 2008), Faktor yang mempengaruhi
perilaku seksual adalah sebagai berikut.
1. Faktro Internal
a. Perkembangan seksual (fisik, psikologis)
b. Pengetahuan mengenaikesehatan reproduksi
c. Motivasi
2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Menurut Wahyudi (2000) kurangnya komunikasi secara terbuka antara
orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku yang
menyimpang
b. Pergaulan
Menurut (Ahmawalily, 2010) perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh
lingkungan pergaulannya, terutama pada masa pubertas/remaja dimana pengaruh
teman sebaya lebih besar dibandingkan orangtuanya atau anggota keluarga lain.

c. Media masa
Penelitian yang dilakukan (Ahmawalily, 2010) menunjukan bahwa
frekuensi menonton film kekerasan yang disertai adegan-adegan merangsang
berkolerasi positif dengan indikator agresi seperti konflik dengan orang tua,

8
berkelahi , dan perilaku lain sebagi manifestasi dari dorongan seksual yang
dirasakannya.
Padahal menurut Wahyudi (2000), perilaku seksual secara rinci dapat
berupa:
a. Berfantasi: merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan
aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan
erotisme.
b. Pegangan Tangan : Aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan
seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba
aktivitas yang lain.
c. Cium Kering : Berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan
bibir.
Cium Basah : Berupa sentuhan bibir ke bibir.
d. Meraba : Merupakan kegiatan bagian-bagian sensitif rangsang seksual,
seperti leher, breast, paha, alat kelamin dan lain-lain.
e. Berpelukan : Aktivitas ini menimbulkan perasaan tenang, aman,
nyaman disertai rangsangan seksual (terutama bila mengenai daerah
aerogen/sensitif)
f. Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) : perilaku merangsang organ
kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual.
g. Oral Seks : merupakan aktivitas seksual dengan cara memaukan alat
kelamin ke dalam mulut lawan jenis.
h. Petting : merupakan seluruh aktivitas non intercourse (hingga
menempelkan alat kelamin).
i. Intercourse : merupakan aktivitas seksual dengan memasukan alat
kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.

Tahapan perkembangan ini disebut tahapan psikoseksual karena


memperesentasikan suatu kebutuhan (dan pemuasan) seksual yang menonjol pada
stiap tahapan perkembangan. Hambatan yang terjadi pada proses pemenuhan
kebutuhan seksual pada setiap tahapan disebut fiksasi, berpotensi

9
menyebabkan gangguan perilaku pada waktu dewasa . Tahapan-tahapan
perkembangan psikoseksual (Kartono, 2007):
1. Tahap oral (0-1 tahun)
Kontak pertama yag dilakukan oleh bayi setelah kelahirannya adalah
melalui mulut(oral). Kepuasan seksual(kesenangan) pada saat ini diperoleh
melalui mulut, yakni melalui berbagai aktivitas mulut seperti makan,
minum, dan menghisap atau menggigit. Fiksasi pada tahap ini
menyebabkan orang mengembangkan kepribadian oral, yakni menjadi
orang yang tergantung dan lebih senang untuk bertindak pasif dan
menerima bantuan dari orang lain.
Tugas perkembangan utama fase oral adalah memperoleh rasa percaya,
baik kepada diri sendiri, dan orang lain. Cinta adalah perlindungan terbaik
terhadap ketakutan dan ketidakamanan. Anak-anak yang dicintai tidak
akan banyak menemui kesulitan dalam menerima dirinya, sebaliknya
anak-anak yang merasa tidak diinginkan, tidak diterima, dan tidak dicintai
cenderung mengalami kesulitan dalam menerima dirinya sendiri, dan
belajar untuk tidak mempercayai orang lain, serta memandang dunia
sebagai tempat yang mengancam. Efek penolakan pada fase oral akan
membentuk anak menjadi pribadi yang penakut, tidak aman, haus akan
perhatian, iri, agresif, benci, dan kesepian.
2. Tahap anal (1-3 tahun)
Interaksi melalui fungsi pembuangan isi perut (anal) dan memperoleh
kesenangan melalui aktivitas-aktivitas pembuangan. Pada fase anal anak
banyak berhadapan dengan tuntutan-tuntutan orangtua, terutama yang
berhubungan dengan toilet training, dimana anak memperoleh pengalaman
pertama dalam hal kedisiplinan. Fiksasi pada tahapan ini menyebabkan
anak mengembangkan kepribadian anal, yakni menjadi orang yang sangat
menekankan kepatuhan, konformitas, keteraturan, menjadi kikir, dan suka
melawan atau memberontak. Tugas perkembangan pada fase ini adalah
anak harus belajar mandiri, dan belajar mengakui dan menangani
perasaan-perasaan negatif. Banyak sikap terhadap fungsi tubuh sendiri
yang dipelajari anak dari orangtuanya. Selama fase anal anak akan

10
mengalami perasaan-perasaan negatif seperti benci, hasrat merusak,
marah, dan sebagainya, namun mereka harus belajar bahwa perasaan-
perasaan tersebut bisa diterima. Hal penting lain yang harus dipelajari
anak adalah bahwa mereka memiliki kekuatan, kemandirian, dan otonomi.
3. Tahap palis (3-5 tahun)
Pada fase ini anak laki-laki dan perempuan senang menyentuh
(mengeksploitasi) organ kelaminnya untuk memperoleh kesenangan
sambil melakukan fantasi-fantasi seksual. Anak laki-laki mengembangkan
fantasi seksual dengan ibunya disebut oedipus complex dan anak
perempuan mengembangkan fantasi seksual dengan ayahnya
disebut electra complex. Jika konflik oedipal ini tak terpecahkan, anak
laki-laki aka berkembang menjadi homoseksual atau heteroseksual
sedangka anak perempuan akan menjadi wanita genit penggoda pria atau
lesbian.. Fase Phalic juga merupakan periode perkembangan hati nurani,
dimana anak belajar mengenai standar-standar moral. Selama fase ini anak
perlu belajar menerima perasaan seksualnya sebagai hal yang alamiah dan
belajar memandang tubuhnya sendiri secara sehat. Mereka membutuhkan
contoh yang memadai bagi identifikasi peran seksual, untuk mengetahui
apa yang benar dan salah, serta apa yang maskulin dan feminin, sehingga
mereka memperoleh perspektif yang benar tentang peran mereka sebagai
anak laki-laki atau anak perempuan.
4. Tahap laten (6-12 tahun)
Pada tahap ini anak laki-laki dan anak perempuan menekankan semua
isu-isu oedipal dan kehilangan minat seksualnya. Sebaliknya, mereka
mulai melibatkan dirinya ke dalam kelompok bermain yang terdiri atas
anak-anak lain dari jenis kelamin yang sama, baik kelompok yang
kelompok yang bersifat full male atau full female. Namun berkurangnya
perhatian pada masalah seksual itu bersifat laten dan masih akan terus
memberikan pengaruh pada tahap perkembangan kepribadian berikutnya.
5. Tahap genital (12 tahun keatas)
Fase genital dimulai pada usia 12 tahun, yaitu pada masa remaja awal
dan berlanjut terus sepanjang hidup. Pada fase ini energi seksual anak

11
mulai terarah kepada lawan jenis bukan lagi pada kepuasan diri melalui
masturbasi, dan anak mulai mengenal cinta kepada lawan jenis.
Ketika memasuki masa pubertas anak-anak mulai tertarik satu sama
lain dengan lawan jenisnya dan menjadi manusia yang lebih matang.
Mereka saling mengembangkan afeksi (hubungan) dan minat-minat
seksual, cinta, dan bentuk-bentuk keterikatan yang lain.

2.2.1 Siklus Respon Seksual


Menurut (Sarwono, 2009) Siklus respon seksual adalah tahapan yang
terjadi saat kita melakukan kegiatan seksual. Secara ilmiah siklus respon seksual
diartikan sebagai perubahan fisik dan emosional yang terjadi saat seseorang
terangsang dan merangsang secara seksual melalui kegiatan seksual. Siklus respon
seksual dapat Anda rasakan saat berhubungan seksual dan masturbasi. Mengetahui
bagaimana tubuh Anda merespon setiap tahap selama siklus dapat meningkatkan
hubungan Anda dan membantu Anda menentukan penyebab masalah seksual yang
mungkin Anda alami.
Siklus respon seksual memiliki empat tahap, yaitu tahap gairah, plateau,
orgasme, dan resolusi. Baik pria maupun wanita akan mengalami tahap ini saat
melakukan kegiatan seksual. Waktu yang dibutuhkan setiap orang untuk
mengalami siklus respon seksual tidak sama. Kadang seseorang bisa tahan lama
pada tahap pertama, atau kadang ada orang dalam waktu singkat sudah mencapai
tahap orgasme. Mengetahui perbedaan-perbedaan ini dapat membantu Anda dan
pasangan lebih memahami satu sama lain tentang kemampuan seksualnya.
Sehingga keharmonisan akan selalu terjaga. Karena sejatinya, seks harus
dilakukan dengan cinta dan pengertian, bukan nafsu belaka (Rahardjo, 2006)

1. Tahap Gairah
Pada tahap ini, gairah seksual mulai terasa dan semakin lama akan meningkat.
Tahap gairah dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa jam.
Ciri-ciri umum tahap gairah antara lain:
a) Ketegangan otot meningkat.

12
b) Denyut jantung dan pernapasan lebih cepat.
c) Kulit memerah (bercak kemerahan muncul di dada dan punggung).
d) Puting menjadi mengeras atau tegak (wanita).
e) Aliran darah ke alat kelamin meningkat, mengakibatkan pembengkakan
klitoris wanita dan labia minora (bibir bagian dalam), dan ereksi penis bagi
pria.
f) Pelumasan vagina dimulai.
g) Payudara wanita mengencang (membesar) dan dinding vagina mulai
membengkak.
h) Testis pria membengkak, skrotum menjadi kencang, dan mulai
mensekresikan cairan pelumas.
2. Tahap Plateau (Klimaks)
Pada tahap plateau, Anda akan merasakan hasrat seksual tinggi. Kenikmatan
seksual yang membuat Anda melupakan masalah-masalah Anda. Ini adalah
puncak kenikmatan sebelum mencapai orgasme. Ciri-ciri umum tahap plateau
antara lain:
a) Semua perubahan yang terjadi pada tahap 1 (gairah) lebih intensif.
b) Vagina terus membengkak karena peningkatan aliran darah
c) Dinding vagina berubah menjadi ungu gelap.
d) Klitoris wanita menjadi sangat sensitif, bahkan terasa sakit jika disentuh.
Klitoris juga akan dan memendek ke bawah, untuk menghindari
rangsangan langsung dari penis.
e) Testis pria itu ditarik ke dalam skrotum, posisi testis naik ke atas.
f) Pernapasan, denyut jantung, dan tekanan darah terus meningkat.
g) Kejang otot mungkin terjadi pada kaki, wajah, dan tangan.
h) Ketegangan otot meningkat.

3. Tahap Orgasme
Orgasme adalah klimaks dari siklus respon seksual. Ini adalah tahap yang
paling singkat dari siklus respon seksual, yang berlangsung hanya beberapa detik.
Ciri-ciri umum tahap orgasme antara lain:
a) Kontraksi otot meningkat.

13
b) Tekanan darah, denyut jantung, dan pernapasan berada pada tingkat
tertinggi, dengan asupan oksigen yang cepat.
c) Otot pada kaki kejang.
d) Ketegangan pada organ seksual meningkat.
e) Pada wanita, otot-otot vaginanya kontraksi. Rahim juga mengalami
kontraksi berirama.
f) Pada pria, kontraksi ritmis dari otot-otot di pangkal penis mengakibatkan
ejakulasi air mani.
g) Ruam atau "Gejolak seks" dapat muncul di seluruh tubuh.

4. Tahap Resolusi
Selama resolusi, tubuh secara perlahan kembali berfungsi secara normal.
Tahap ini ditandai dengan perasaan puas, lega, nyaman, merasa semakin intim
dengan pasangan, dan juga kelelahan. Berbeda dengan wanita yang bisa langsung
kembali mengalami tahap 1 setelah resolusi, pria membutuhkan waktu lebih lama
untuk kembali bergairah. Waktu yang dibutuhkan pria untuk kembali
mendapatkan gairah seksual setelah orgasme disebut periode refrakter. Lamanya
periode refrakter bervariasi antara pria satu dengan yang lain. Biasanya, semakin
tua usia pria, semakin lama pula periode refrakter yang dialaminya.

5. Faktor yang mempengaruhi perilaku seksual


a. Fisik (kelelahan, medikasi, citra tubuh, kehamilan, dll)
b. Hubungan dengan parter (kedekatan, kemesraan)
c. Gaya hidup (penggunaan alkohol, pekerjaan, pembagian waktu)
d. Harga diri (dipengaruhi oleh perkosaan, inses, penganiayaan
fisik/emosi, ketidakadekuatan pendidikan seks, pengaharapan pribadi atau
kultural yang tidak realistik.
2.2.2 Orientasi Seksual
Orientasi Seksual Orientasi seksual adalah dengan jenis kelamin mana
seseorang lebih tertarik secara seksual. Orientasi seksual dikategorikan menjadi
dua yaitu heteroseks (orang yang secara seksual tertarik dengan lawan jenis) dan
homoseks (orang yang secara seksual lebih tertarik dengan orang lain yang sejenis

14
kelamin). Di antara kedua orientasi seksual tersebut, masih ada perilaku - perilaku
seksual yang sulit dimasukkan dalam satu kategori tertentu karena banyak sekali
keragaman di dalamnya (BKKBN, 2006). Homoseksualitas adalah ketertarikan
secara seksual dan aktivitas seksual pada jenis kelamin yang sama. Laki-laki yang
tertarik kepada lakilaki disebut gay, sedangkan perempuan yang tertarik pada
perempuan disebut lesbian. Terjadinya homoseksualitas sampai saat ini masih
diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa hal ini terjadi sejak lahir
(dipengaruhi oleh gen) dan ada pula yang mengatakan dari pengaruh lingkungan
(BKKBN, 2006). Terdapat berbagai jenis orientasi seksual iaitu:
1. Heteroseksual
Tarikan romantik dan seksual terhadap pasangan yang berlainan seks
2. Biseksual
Tarikan romantik dan seksual terhadap kedua-dua jantina
3. Homoseksualiti
Tarikan romantik dan seksual terhadap jantina yang sama
4. Gay
Suatu label yang diberikan kepada lelaki yang mempunyai tarikan
seksualkepada lelaki lain
5. Lesbian
Suatu label yang diberikan kepada kaum wanita yang mempunyai
tarikan seksual kepada wanita yang lain
6. Transsestisme
Lelaki yang suka memakai pakaian wanita dan mempamerkan diri dikenali
sebagai pondan atau maknyah

7. Transeksual
Perempuan atau lelaki yang merasai diri mereka sepatutnya tergolong pada
seks yang berlainan. Mereka merasakan bahawa mereka mempunyai organ
seksual yang salah. Justru itu mereka menjalani pembedahan pertukaran seks.

15
A. Bentuk Abnormalitas Seksual Akibat Dorongan Seksual Abnormal
1. Prostitusi
a. Pola dorongan seks tidak wajar
b. Tidak terintegrasi dlm kepribadian
c. Relasi bersifat impersonal tanpa ada afeksi
d. Emosi berlangsung cepat
e. Tidak ada orgasme pada wanita
f. Dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita
g. Pada laki-laki disebabkan karena keinginan mencari variasi dalam
seks, iseng dan ingin menyalurkan kebutuhan seks, ekonomi.
h. Pada wanita dapat disebabkan karena faktor ekonomi, disorganisasi
kehidupan keluarga, nafsu seks abnormal
2. Perzinahan
a. Relasi seks laki-laki dan wanita yang bukan pasangan suami-istri
b. Pada wanita terjadi bila relasi afeksional atau emosional yang sangat
kuat
c. Pada pria biasanya karena rasa iseng atau dorongan untuk memuaskan
nafsu sesaat
3. Frigiditas
a. Ketidakmampuan wanita mengalami hasrat seksual atau orgasme
selama senggama
b. Ditandai berkurang atau tidak adanya ketertarikan pada hubungan
seks atau tidak mampu menghayati orgasme dlm koitus
c. Disebabkan karena kelainan dalam rahim atua vagina, hubugan yg
tidak baik dengan suami, cemas, bersalah, atau takut
4. Impotensi
a. Ketidakmampuan pria untuk melakukan relasi seks atau senggama
atau ketidakmampuan untuk mencapai dan mempertahankan ereksi
b. Banyak disebabkan karena faktor psikologis, kecemasan, ketekutan,
pengalaman buruk masa lalu, persepsi seks yang salah
5. Vaginismus

16
a. Kejang berupa penegangan atau pengerasan yang sangat menyakitkan
pada vagina atau kontraksi yang sangat kuat sehingga penis terjepit
b. Dapat terjadi karena kelainan organ dan psikologis (rasa takut)
6. Dispareunia
a. Timbulnya kesulitan dalam melakukan senggama atau rasa sakit saat
koitus
b. Dapat terjadi saat sperma keluar, atau kurang cairan vagina
7. Anorgasme
a. Kegagalan mencapai klimaks selama bersenggama
b. Bersifat psikis
c. Ditandai dengan pengeluaran sperma, tanpa ada puncak kepuasan
d. Karena faktor psikis atau organik seperti ketidakmampuan penetrasi
untuk memberi rangsang atau vagina longgar
8. Kesukaran koitus pertama
a. Terjadi kesulitan dalam melakukan koitus pertama
b. Dapat karena kurang pengetahuan diantara pasangan, ada ketakutan,
rasa cemas dlm berhubungan seks, dan lain lain.
B. Karakteristik kesehatan seksual
1. Mengekspresikan perubahan tubuh secara positif
2. Mempunyai pengertian tentang seksualitas
3. Keserasian pengertian antara biologic sex, gender identity dan gender
behaviour
4. Perilaku sesuai dengan konsep diri
5. Menyadari perasaan dan seksualnya
6. Berespon secara fisik dan mental bagi diri dan partner
7. Merasa mampu untuk tetap bahagia dan menghasilkan keturunan

C. Kehamilan Dan Seksualitas


Perubahan kehidupan seksual dapat terjadi karena perubahan-perubahan
yang terjadi secara fisik dan mental, khususnya pada istri dan pasangan itu
umumnya. Kondisi yang lemah dari istri seperti karena mual-mual atau muntah,
nafsu makan yang menurun akan membuatnya lemah dan keinginan seksualnya

17
menurun. Kadang-kadang walau suami mengajak, istri sering menolak. Hanya
bila suami merasa senang dengan kehamilan itu, dia dapat mengatasinya dengan
baik.
Pada wanita yang tidak mengalami muntah atau mual yang serius, maka
aktivitas seksual tidak akan terganggu. Bahkan cukup banyak dari mereka yang
justru meningkat keinginan seksual serta frekuensi hubungan seksnya karena
merasa bahagia telah hamil. Suami-istri senang bersama-sama dan ingin
menikmatinya dalam kontak seksual yang sering. Pada 3 bulan kedua, sekitar 80
persen wanita akan meningkat dorongan seksnya. Selain itu,mual atau muntah
sudah hilang. Kesehatan umumnya akan meningkat. Perasaan senang karena
hamil. Pada sebagian faktor lain ialah terjadinya pembesaran payudara yang
membuat daya tariknya meningkat. Suami akan merasa lebih bergairah melihat
istrinya yang payudaranya bertambah besar serta bahagia karena istri telah hamil.
Kedua faktor itu membuat suami juga meningkat keinginan seksnya, sehingga
pada sebagian besar pasangank ontak seksual akan jauh lebih sering pada periode ini.
Pada 3 bulan ketiga, beban kehamilan itu sudah memberati si Ibu. Banyak wanitayang
jadi susah makan. Juga banyak keringat yang membuatnya tidak bersih, sehingga
daya tariknya pun menurun. Selain itu pada kehamilan yang mulai tua, akan
timbul peningkatan cairan tubuh. Hampir semua badan letih atau bengkak. Air
ditahan dalam badan. Akibatnya,cairan vagina juga bertambah. Ada terasa licin
yang mengganggu sehingga kontak seksual menjadi kurang memuaskan.
Pada pasangan-pasangan yang saling mencintai akan senang akan
kehamilan itu, pertambahan cairan vagina tak akan mengganggu. Tetapi pada
orang-orang yang sangat mendambakan kenikmatan seksual, apalagi bila ada
konflik suami istri, maka kondisi itu dapat menjadi biang keladi kekurangpuasan
sampai pada hubungan seks luar nikah. Bila percekcokan atau hubungan diluar
nikah sampai terjadi, maka perlu dicari penyebabnya. Apakah pribadi suami yang
mengakibatkan pertambahan cairan vagina sebagai gara-gara atauada konflik
diantara mereka.
Pada sebagian wanita hamil berat, maka kontak seksual dirasakan
ancaman terhadap kehamilan. Bila rahim dengan bayi telah mulai menurun kearah
vagina, maka penis suami dapat membentur daerah rahim. Stimulasi yang berat ke

18
leher rahim akan membuat seluruh rahim bergerak seolah-seolah mau melahirkan.
Bahkan ada yang bisa gugur. Timbul kontraksi rahim yang kuat. Kadang ada
darah, ancaman keguguran menjadi kekhawatiran.Karenanya sebagaian wanita
menolak melakukan hubungan seksual pada akhir-akhir kehamilan.
Pada kondisi dimana keguguran sering terjadi, maka sepantasnyalah
hubungan seksdilakukan dengan berhati-hati. Bila keguguran telah sering terjadi
dan kehamilan belum pernah berlangsung selamat, maka sebaiknya 3 bulan
pertama dilarang atau berhentimelakukan hubungan seks.
Sesudah 3 bulan pertama lewat, hubungan seks dapat dicoba kembali
dengan sangathati-hati sehingga penis diharapkan tidak membentur daerah rahim.
Namun bila terasa sakitatau keluar darah, maka sebaiknya senggama dihentikan. Demikian
juga pada akhir-akhir kehamilan. Benturan yang terlalu keras dari penis terutama ke
daerah rahim, akan membuatkontraksi rahim sangat kuat seperti akan melahirkan.
Ini membuat si Ibu ketakutan dankesakitan. Dalam keadaan demikian hubungan
seks harus dilakukan hati-hati dan jangansampai didorong kuat-kuat. Dengan
demikian penis tidak terlalu jauh masuk ke dalam namundiharapkan keduanya masih
bisa mencapai kepuasan.
Tetapi sering justru cara dan sifat suami yang sulit. Ada suami yang sudah
terbiasakuat-kuat dengan harapan istri akan lebih puas padahal justru bahaya jadi
mengancam. Kemungkinan juga karena keduanya sudah terangsang tinggi, maka
secara otomatisdan tanpa sadar mendorong sekuat-kuatnya. Akibatnya timbul
benturan penis dengan leher rahim. Inipun akan mengancam keguguran.

D. Masalah Yang Berhubungan dengan Seksualitas


Adapun penyebab dari masalah seksualitas adalah antara lain:
1. Ketidaktahuan mengenai Seks
Lebih dari 70% wanita di Indonesia tidak mengetahui dimana letak
klitorisnya sendiri.Sebuah hal yang sebenarnya sangat penting tetapi tidak
diketahui oleh banyak orang.Masalah ketidaktahuan terhadap seks sudah betul-

19
betul merakyat. Ini berpangkal darikurangnya pendidikan seks yang sebagian
besar dari antara masyarakat tidak memperolehnya pada waktu remaja. Tidak
jarang, pengetahuan seks itu hanyalah sebatas informasi, bukan pendidikan. Itu
terjadi karena mereka tidak mendapatkan pendidikan seks di sekolah ataulembaga
formal lainnya.
Akibatnya, keingintahuan soal seks didapatkannya dari berbagai media.
Untuk ituorang tua hendaknya memberikan pendidikan soal sekskepada anak-
anaknya sejak dini. Salahsatunya dengan memisahkan anakanaknya tidur dalam
satu kamar setelah berusia sepuluhtahun, sekalipun sama-sama perempuan atau
laki-laki. Demikian halnya denganmenghindarkan anak-anaknya mandi bersama
keluarga atau juga temantemannya.
Orang tua harus menjawab jujur ketika anaknya bertanya soal seks.
Jawaban-jawaban yangdiberikan hendaknya mudah dimengerti dan sesuai dengan
usia si anak. Karena itulah, orangtua dituntut membekali dirinya dengan
pengetahuan-pengetahuan tentang seks. Terlebih lagi, perubahan fisik dan emosi
anak akan terjadi pada usia 13 ± 15 tahun pada pria dan 12 ± 14tahun pada wanita.
Saat itulah yang dinamakan masa pubertas yaitu masa peralihan dari masaanak-
anak menjadi remaja. Pada saat itu pula, mereka mulai tertarik kepada lawan
jenisnya.
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak serta penuh
keingintahuan dan petualangan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi
kehidupan mereka kelak.Sayangnya, banyak di antara mereka tidak menyadari
beberapa pengalaman yang tampaknyamenyenangkan justru dapat
menjerumuskan. Rasa ingin tahu para remaja kadang-kadangkurang disertai
pertimbangan rasional akan akibat lanjut dari suatu perbuatan. Itu pun
terjadiakibat kurangnya kontrol orang tua dan minimnya pendidikan seks dari
sekolah atau lembagaformal lainnya.
2. Kelelahan
Rasa lelah adalah momok yang paling menghantui pasangan pada jaman
ini dalammelakukan hubungan seks. Apalagi dengan meningkatnya tuntutan
hidup, sang wanita harusikut bekerja di luar rumah demi mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Pada waktu suami istri pulang dari kerja, mereka akan merasa lelah.
Dan pasangan yang sedang lelah jarangmerasakan bahwa hubungan seks menarik
minat. Akhirnya mereka memilih untuk tidur.Kelelahan bisa menyebabkan

20
bertambahnya usaha yang diperlukan untuk memuaskankebutuhan lawan jenis
dan merupakan beban yang membuat kesal yang akhirnya bisamemadamkan
gairah seks.
3. Konflik
Sebagian pasangan memainkan pola konflik merusak yang berwujud
sebagai perangterbuka atau tidak mau berbicara sama sekali satu sama lain.
Konflik menjadi kendalahubungan emosional mereka. Bahkan ini bisa menggeser
proses foreplay.
Pasangan dapatmempertajam perselisihan mereka dengan menghindari
seks atau mengeluarkan ungkapan negatif atau membandingkan dengan orang
lain, yang sangat melukai perasaan pasangannya. Kemarahan dan kecemasan yang
tidak terpecahkan bisa menyebabkan sejumlah masalahseksual antara lain masalah
ereksi, hilang gairah atau sengaja menahan diri untuk tidak bercinta. Perbedaan
antara satu orang dan lainnya biasanya tidak baik dan tidak juga buruk.Jadi
haruslah dipandang hanya sebagai perbedaan. Kemarahan, ketegangan atau
perasaankesal akan selalu menghambat gairah seks.
4. Kebosanan
Seperti halnya menggosok gigi atau menyetel alarm jam, seks bisa
dianggap seperti “kerja malam”. Hubungan seks yang rutin sebelum tidur sering
menjadi berlebihan sampai kesuatu titik yang membosankan. Yang mendasari rasa
bosan itu adalah kemarahan yangdisadari atau tidak disadari karena harapan anda
tidak terpenuhi. Masalah ini diderita olehkebanyakan pasangan yang sudah hidup
bersama bertahun-tahun. Sebagian pasangan yangsudah hidup bersama untuk
jangka waktu yang lama merasa kehilangan getaran kenikmatanyang datang
ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan yang baru. Orang
demikianmelihat rayuan penguat ego, dibandingkan bila bersenggama dengan
mitra baru.

2.3 Disfungsi Seksual


1. Definisi
Istilah disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada salah satu
atau lebih aspek fungsi seksual (Pangkahila, 2006). Bila didefinisikan secara luas,
disfungsi seksual adalah ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh
hubungan seks. Secara khusus, disfungsi seksual adalah gangguan yang terjadi
pada salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal

21
(Elvira, 2006). Disfungsi seksual adalah gangguan di mana klien mengalami
kesulitan untuk berfungsi secara adequate ketika melakukan hubungan seksual.
Sehingga disfungsi seksual dapat terjadi apabila ada gangguan dari salah satu saja
siklus respon seksual.
Disfungsi seksual, juga disebut Disfungsi Psikoseksual, ketidakmampuan
seseorang untuk mengalami gairah seksual atau untuk mencapai kepuasan seksual
di bawah kondisi yang tepat, sebagai hasil dari baik gangguan fisik atau, lebih
umum, masalah psikologis. Bentuk yang paling umum dari disfungsi seksual
secara tradisional telah diklasifikasikan sebagai impotensi (ketidakmampuan
seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis ) dan frigiditas
(ketidakmampuan wanita untuk mencapai gairah atau orgasme selama hubungan
seksual ). Karena istilah-istilah impotensi dan frigiditas telah mengembangkan
konotasi merendahkan dan menyesatkan, mereka tidak lagi digunakan sebagai
klasifikasi ilmiah, yang telah digantikan oleh hal yang lebih spesifik, namun,
kedua istilah tetap dalam pemakaian umum, dengan berbagai arti dan asosiasi.
Disfungsi seksual diakui oleh terapis profesional meliputi hyposexuality
(atau menghambat gairah seksual), di mana gairah seksual dapat dicapai hanya
dengan kesulitan besar; anorgasmia, di mana seorang wanita memiliki
ketidakmampuan berulang dan gigih untuk mencapai orgasme meskipun
rangsangan seksual yang normal; vaginismus, di mana vagina wanita kontrak otot
kuat selama hubungan seksual, senggama membuat sulit atau tidak mungkin;
dispareunia, di mana seorang perempuan mengalami rasa sakit yang signifikan
selama upaya hubungan seksual, ereksi impotensi , di mana seorang pria tidak
dapat mempertahankan ereksi; impotensi ejakulasi (atau dihambat laki-laki
orgasme), di mana seorang pria tidak dapat mencapai orgasme pada wanita
vaginanya, meskipun ia dapat mempertahankan ereksi dan dapat mencapai
orgasme dengan metode lain, dan ejakulasi dini, di mana pria berejakulasi
sebelum atau segera setelah memasuki vagina.
Dalam kebanyakan kasus, masing-masing mencerminkan disfungsi
individu kecemasan atau perasaan negatif lainnya tentang seks tindakan atau
pasangan, meskipun konflik emosional di luar hubungan seksual itu sendiri juga
dapat menghasilkan kegagalan fungsi seksual. Yang sesuai seks terapi, yang
dirancang untuk membantu individu bersantai di perannya seksual, sering dapat

22
mengatasi kecemasan dan menghilangkan disfungsi, meskipun keberhasilan terapi
tersebut sangat bervariasi di antara berbagai disfungsi dan di antara pasien
individu. Saat kondisi fisik tertentu predisposisi disfungsi, harus ditangani secara
medis, alkohol dan endokrin atau gangguan neurologis adalah salah satu penyebab
fisik umum dari disfungsi seksual. Disfungsi seksual yang sekunder terhadap
psikologis atau lebih parah gangguan kepribadian tertentu mungkin memerlukan
psikoterapi.
2. Macam-macam Disfungsi Seksual
Menurut (Efendi, 2009) macam – macam disfungsi seksual di bagi
menjadi beberapa :
a. Parafilia
Parafilia adalah gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan
seksual yang khusus dan desakan serta praktek seksual yang kuat yang
biasanya berulang kali dan menakutkan.
Jenis-jenisnya:
a. Ekhibisionisme
Adanya khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan
seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat untuk memamerkan
alat kelaminnya kepada orang yang tidak dikenal atau tidak
menduga. Sekurangnya 6 bulan.
b. Fetihisme
Adanya khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan
seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa pemakaian
benda-benda mati (mis. Pakaian dalam wanita). Sekurangnya 6
bulan.
Objeknya bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan
pada “cross dressing” (berpakaian lawab jenis).
c. Frotteurisme
Adanya khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan
seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat untuk menyentuh
atau bersenggolan dengan orang yang tidak menyetujuinya.
Sekurangnya 6 bulan

23
d. Pedofilia
Adanya khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan
seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa aktivitas
seksual dengan anak prapuberitas atau anak-anak (biasanya berusia
13 tahun atau kurang). Sekurangnya 6 bulan
b. Masokisme Seksual
1) Mendapat kesenangan seksual karena disiksa atau didominasi
2) Adanya khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan
seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa tindakan
(nyata atau distimulasi) sedang dihina, dipukuli, diikat, atau hal
lain yang membuat menderita
c. Sadisme Seksual
- Adanya khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan
seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa tindakan
(nyata atau distimulasi) di mana penderitaan korban secara fisik
atau psikologis (termasuk penghinaan) adalah mengembirakan
pelaku secara seksual. Sekurangnya 6 bulan

d. Veyourisme
- Adanya khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan
seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa mengamati
orang yang telanjang yang tidak menaruh curiga, sedang membuka
pakaian, atau melakukan hubungan seksual. Sekurangnya 6 bulan
e. Fetihisme Transvestik
- Adanya khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan
seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa “cross
dressing”. Sekurangnya 6 bulan
Fungsi seksual dapat dirugikan oleh stres dalam tiap bentuknya oleh
gangguan emosional, oleh ketidaktahuan fungsi dan fisiologis seksual. Disfungsi
mungkin seumur hidup atau didapat yaitu berkembang setelah periode normal.
Disfungsi mungkin umum atau situasional yaitu terbatas pada pasangan tertentu
atau situasi tertentu.

24
3. Klasifikasi
Subtipe disfungsi seksual
a. Karena faktor psikologis atau karena kombinasi faktor psikologis
dan kondisi medis umum.
b. Seumur hidup atau didapat.
c. Menyeluruh atau situasional
Tujuh kategori disfungsi seksual dituliskan dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat ( DSM-IV ) :
1. Gangguan hasrat seksual
Gangguan hasrat seksual dibagi menjadi dua kelas yaitu :
a. Gangguan hasrat seksual hipoaktif
Ditandai oleh defisiensi atau tidak adanya fantasi seksual dan
hasrat untuk aktivitas seksual. Gangguan ini lebih sering
ditemukan. Diperkirakan 20 persen populasi total menderita
gangguan hasrat seksual hipoaktif. Keluhan dapat lebih sering
ditemukan pada wanita dibandingkan laki-laki.
Pasien dengan gangguan hasrat seringkali menggunakan
inhibisi hasratnya dalam cara defentif untuk melindungi terhadap
ketakutan bawah sadar terhadap seks. Kriteria diagnostik untuk
gangguan dorongan seksual hipoaktif :
1. Kekurangan khayalan seksual dan keinginan untuk aktivitas
seksual yang persisten atau rekuren. Pertimbangan kekurangan
atau tudak adanya hal tersebut dilakukan oleh klinisi dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi
seksual seperti usia dan konteks kehidupan pasien.
2. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan
interpersonal.
3. Disfungsi seksual tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
aksis I lainnya dan semata-mata bukan efek fisiologis
langsung dari suatu zat atau suatu kondisi medis umum.
2. Gangguan keengganan seksual

25
Ditandai oleh oleh suatu keengganan terhadap atau menghindari
kontak seksual genital dengan pasangan seksual. Kriteria diagnostik untuk
gangguan keengganan seksual :
a. Keengganan ekstrim yang persisten atau rekuran dan menghindari
semua kontak seksual dengan pasangan seksual.
b. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan
interpersonal.
c. Disfungsi seksual tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis I
lainnya.
3. Gangguan rangsangan seksual
Gangguan rangsangan seksual dibagi oleh DSM-IV menjadi:
a. Gangguan rangsangan seksual wanita
Ditandai oleh kegagalan parsial atau komplit yang persisten atau
rekuren untuk mencapai atau mempertahankan respon lubrikasi-pembengkakan
dari perangsangan seksual sampai selesainya tindakan seksual. Prevalensi
gangguan rangsangan seksual wanita biasanya diperkirakan lebih rendah. Wanita
yang menderita disfungsi fase perangsangan seringkali memiliki masalah
orgasme. Kriteria diagnostik untuk gangguan rangsangan seksual wanita :
1. Ketidakmampuan rekuren atau menetap untuk mencapai atau
mempertahankan respon lubrikasi-pembengkakan yang adekuat
dari rangsangan seksual sampai selesainya aktivitas seksual.
2. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan
interpersonal.
3. Disfungsi seksual tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis
I lainnya dan semata-mata bukan efek fisiologis langsung dari
suatu zat atau suatu kondisi medis umum.
Banyak faktor psikologis seperti cemas, rasa bersalah dan
ketakutan adalah berhubungan dengan gangguan rangsangan
seksual wanita. Pada beberapa wanita, gangguan fase perangsangan
adalah disertai dengan dispareunia dan dengan tidak adanya hasrat
seksual. Penelitian psikologis terhadap disfungsi seksual
menyatakan bahwa suatu pola hormonal yang normal mungkin

26
berperan terhadap responsivitas pada wanita yang mengalami
disfungsi fase perangsangan.
b. Gangguan erektil laki - laki
Gangguan ereksi ini ditandai oleh kegagalan parsial atau komplit
yang rekuren dan persisten untuk mencapai atau mempertahankan ereksi
sampai selesainya tindakan seksual. Kriteria diagnostik untuk gangguan
erektil laki-laki :
1) Ketidakmampuan rekuren atau menetap untuk mencapai, atau
untuk mempertahankan ereksi yang adekuat, sampai selesainya
aktivitas seksual.
2) Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan
interpersonal.
3) Disfungsi seksual tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
aksis I lainnya dan semata-mata bukan efek fisiologis langsung
dari suatu zat atau suatu kondisi medis umum.
Seorang laki-laki dengan gangguan erektil laki-laki yang dialami seumur
hidup tidak mampu mendapatkan ereksi yang cukup untuk insersi vagina. Pada
gangguan erektil laki-laki didapat laki-laki pernah berhasil mencapai penetrasi
vagina pada suatu waktu dalam kehidupan seksualnya tetapi selanjutnya tidak
mampu untuk melakukan hal tersebut. Pada gangguan erektil laki-laki situasional
laki-laki mampu untuk melakukan koitus dalam situasi tertentu tetapi tidak dalam
situasi lainnya.
4) Gangguan orgasme
a. Gangguan orgasmik wanita
Gangguan orgasmik wanita disebut orgasme wanita terinhibisi dalam
DSM edisi ke tiga yang direvisi disebut anorgasmia adalah didenifisikan sebagai
inhibisi orgasme wanita rekuren atau persisten, dan dimanifestasikan oleh
keterlambatan orgasme yang rekuren atau tidak adanya orgasme setelah fase
perangsangan seksual yang normal yang dianggap klinisi adekuat dalam fokus,
intensitas, dan durasinya. Gangguan ini adalah ketidakmampuan wanita untuk
mencapai orgasme melalui masturbasi atau koitus. Kriteria diagnostik untuk
gangguan orgasmik wanita :

27
a) Keterlambatan atau tidak adanya orgasme yang menetap atau
rekuren setelah fase rangsangan seksual yang normal.
b) Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan
interpersonal.
c) Disfungsi seksual tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
aksis I lainnya dan semata-mata bukan efek fisiologis langsung
dari suatu zat atau suatu kondisi medis umum.
b. Gangguan orgasmik laki-laki
Pada gangguan orgasmik laki-laki, mencapai ejakulasi selama koitus
sangat sukar atau tidak sama sekali. Seorang laki-laki menderita gangguan
orgasmik seumur hidup jika ia tidak pernah mampu mengalami ejakulasi selama
koitus. Beberapa laki-laki mengalami ejakulasi tetapi mengeluh adanya penurunan
atau tidak ada rasa kenikmatan subjektif selam amelakukan orgasmik ( anhedonia
orgasmik ). Kriteria diagnostik untuk gangguan orgasmik laki-laki :
1. Keterlambatan atau tidak adanya orgasme yang menetap atau
rekuren setelah fase rangsangan seksual yang normal.
2. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan
interpersonal.
3. Disfungsi seksual tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
aksis I lainnya dan semata-mata bukan efek fisiologis langsung
dari suatu zat atau suatu kondisi medis umum.
Gangguan orgasmik laki-laki seumur hidup adalah menunjukkan adanya
psikopatologi yang parah. Laki-laki biasanya berasal dari latar belakang yang
kaku dan puritan, ia mungkin memandang seks sebagai dosa dan genital sebagai
hal yang kotor dan mungkin ia secara sadar atau tidak disadari memiliki harapan
dan rasa bersalah terhadap incest. Ia biasanya mengalami kesulitan dengan
keakraban yang melebihi daerah hubungan seksual.
f. Gangguan orgasme lainnya
Kasus orgasme spontan multipel tanpa stimulasi seksual telah ditemukan
pada wanita yang disebabkan oleh fokus epileptogenik di lobus temporalis
(Ahmawalily, 2010).
a) Gangguan nyeri seksual

28
1) Dispareunia
Merupakan nyeri genital yang rekuren atau persisten yang terjadi
sebelum, selama atau setelah hubungan seks baik pada laki-laki atau
perempuan. Jauh lebih sering pada wanita dan berhubungan atau lebih
sering bersamaan dengan vaginismus. Episode vaginismus dapat
menyebabkan dispareunia atau sebaliknya. Diagnostik dispareunia tidak
dapat ditegakkan jika ditemukan suatu dasar organik untuk nyerinya atau
jika pada wanita keadaan ini disebabkan oleh vaginismus atau tidak adnya
lubrikasi.
Nyeri pelvis kronis adalah keluhan yang kronis pada wanita dengan
riwayat perkosaan atau penyiksaan seksual pada masa anak-anak. Koitus
yang nyeri mungkin disebabkan dari ketegangan dan kecemasan terhadap
tindakan seksual yang menyebabkan wanita secara involunter
mengkontraksikan otot-otot vaginanya. Rasa sakit tersebut adalah
nyatadan menyebbkan hibungan seksual tidak menyenangkan atau tidak
dapat dilakukan. Memperkirakan terjadinya sakit dapat menyebabkan
wanita menghindari koitus sama sekali. Jika pasangan melakukan
hubungan seksual terlepas kesiapan wanita, ini lebih memperberat.
Kriteria diagnostik untuk dispareunia :
1. Nyeri genital yang menetap atau rekuren yang berhubungan
dengan hubungan seksual baik pada laki-laki maupun wanita.
2. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan
interpersonal.
3. Gangguan tidak semata-mata disebabkan oleh vaginismus atau
tidak adanya lubrikasi, tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan aksis I lainnya dan semata-mata bukan efek fisiologis
langsung dari suatu zat atau suatu kondisi medis umum.
a. Vaginismus
Kontraksi otot pada sepertiga bagian luar vagina yang terjadi
secara involunter yang menghalangi insersi penis dan hubungan seks.
Respon dapat terajadi selama pemeriksaan ginekologi saat konstriksi
vagina involunter menghalangimasuknya spekulum kedalam vagina.

29
Keadaan ini paling sering mengenai wanita yang berpendidikan tinggi dan
kelompok sosioekonomi tinggi.
Wanita yang menderita vaginismus mungkin secara tidak sadar
berharap melakukan koitus tetapi secara tidak disadari berharap untuk
menghalangi penis memasuki tubuhnya. Suatu trauma pemerkosaan dapat
menyebabkan vaginismus. Wanita dengan konflik psikoseksual dapat
menganggap penis sebagai senjata. Pada beberapa wanita, nyeri atau
memperkirakan datangnya nyeri pada pengalaman koitus pertama
menyebabkan vaginismus.
Kriteria diagnostik untuk vaginismus :
1. Spasme involunter yang menetap atau rekuren pada otot-otot
sepertiga bagian bawah vagina yang menggangu hubungan seksual.
2. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan
interpersonal.
3. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis I lainnya
dan semata-mata bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat atau
suatu kondisi medis umum.

b. Disfungsi seksual karena zat


Diagnosis ini digunakan jika terdapat bukti-bukti riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium adanya
intoksikasi atau putus zat. Zat yang disebutkan adalah alkohol,
amfetamin, atau zat yang berhubungan seperti kokain, opioid,
sedatif, hipnotik, atau ansiolitik.
Dalam dosis kecil, banyak zat yang meningkatkan kinerja
seksual dengan menurunkan inhibisi atau kecemasan atau dengan
menyebabkan elevasi mood sementara. Tetapi dengan pemakaian
lanjut, kapasitas ereksi, orgasme atau ejakulasi menjadi terganggu.
Penyalahgunaan sedatif, ansiolitik, hipnotik dan khususnya opiat
dan opioid hampir selalu menekan hasrat seksual. Alkohol dapat
meningkatkan awal aktivitas seksualdengan menghilangkan inhibisi,

30
tetapi alkohol mengganggu kinerja seksual. Kriteria diagnostik
untuk disfungsi seksual akibat zat :
a. Disfungsi seksual yang bermakna klinis yang menyebabkan
penderitaan yang jelas atau kesulitan interpersonal yang
menonjol dalam gambaran klinis.
b. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau
temuan laboratorium bahwa disfungsi seksual adalah
sepenuhnya dijelaskan oleh pemakaian zat seperti yang
dimanifestasikan oleh salah satu (1) atau (2) :
1. Gejala dalam kriteria A timbul selama atau dalam satu
bulan, intoksikasi zat.
2. Pemakaian medikasi secara etiologis berhubungan dengan
gangguan.
c. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh disfungsi
seksual yang bukan diakibatkan zat.

g. Terapi
Sebelum tahun 1970 pengobatan yang sering untuk disfungsi seksual adalah
psikoterapi individual. Teori psikodinamika klasik menyatakan bahwa
ketidakberdayaan seksual memiliki akar pada konflik perkembangan awal dan
gangguan seksual diobati sebagai bagian gangguan emosional pervasif.
Pengobatan dipusatkan pada penggalian konflik, motivasi, fantasi dan berbagai
kesulitan interpersonal yang tidak disadari.
Macam-macam terapi yang dilakukan adalah :
a. Terapi seks berdua
Dasar teori adalah konsep unit atau kesatuan perkawinan sebagai
objek terapi. Dalam terapi seks berdua tidak ada penerimaan gagasan
setengah dari pasangan pasien adalah sakit. Kedua pasangan adalah

31
terlibat dalam hubungan yang menyakitkan secara seksual, keduanya
harus berperan dalam program terapi.
Teknik dan latihan fisik :
Pada kasus vaginismus, wanita dianjurkan untuk mendilatasikan
vagina dengan membukanya dengan jari atau dilator lainnya. Pada
kasus ejakulasi prematur, suatu latihan yang dikenal sebagai teknik
penekanan digunakan untuk meningkatkan ambang eksitabilitas penis.
Dalam latihan tersebut laki-laki atau wanita menstimulasi penis yang
terereksi sampai dirasakan sensasi terawal akan mengalami ejakulasi.
Pada saat itu wanita dengan kuat menekan sulkus korona dari glans
penis, ereksi menurun, dan ejakulasi dihambat. Program latihan
akhirnya meningkatkan ambang sensasi untuk ejakulasi yang tidak
dapt dihindari dan memungkinkan laki-laki menjadi menyadari sensasi
seksualnya dan yakinterhadap kinerja seksualnya.
b. Hipnoterapi
Keberhasilan penggunaan hipnoterapi memungkinkan pasien
mendapatkan kontrol terhadap gejala yang telah menurunkan harga
dirinya dan mengganggu homeostasis psikologis. Pusat dari terapi
adalah menghilangkan gejala dan perubahan sikap. Pasien
diinstruksikan untuk mengembangkan cara alternatif untuk
menghadapi situasi yang menyebabkan kecemasan, pertemuan seksual.
Dengan metode tersebut yang menghilangkan kecemasan,
respon fisiologis yang terhadap stimulasi seksual dapat segera
menyebabkan rangsangan yang menyenangkan dan pelepasan.
Halangan psikologis terhadap lubrikasi vagina, ereksi dan orgasme
dihilangkan dan fungsi seksual dapt kembali normal.
c. Terapi tingkah laku
terapi perilaku memungkinkan pasien untuk mengatasi
kecemasannya melalui program standar desensitisasi sistemik.
Program tersebut dirancang untuk menghambat respon kecemasan
yang dipelajari dengan mendorong perilaku antitetik terhadap
kecemasan. Latihan ketegasan adalah membantu dalam mengajari

32
pasien untuk mengekspresikan kebutuhan seksualnya secara terbuka
dan tanpa rasa takut. Diberikan secara bersama-sama dengan terapi
seks. Pasien didorong untuk membuat permintaan seksual dan menolak
permintaan seksual yang dirasakan tidak beralasan. Satu variasi
pengobatan adalah melibatkan peran serta pasangan seksual pasien
dalam program desensitisasi.
d. Terapi kelompok
Digunakan untuk memeriksa masalah intrapsikis dan
interpersonal pada pasien dengan gangguan seksual. Terapi kelompok
memberikan sistem dukungan yang kuat bagi pasien yang malu,
cemas, atau bersalah terhadap masalah seksual tertentu. Ini adalah
tempat pertemuan yang berguna untuk mengatasi mitos seksual,
memperbaiki pandangan yang salah, dan memberikan informasi yang
akurat tentang anatomi, fisiologi, dan berbagai perilaku seksual.
e. Terapi seks berorientasi analitik
Salah satu pengobatan yang paling efektif adalah pemakaian
terapi seks digabungkan dengan psikoterapi berorientasi
psikodinamika atau psikoanalitik. Terapi seks dilakukan selama
periode waktu yang lebih lama dari biasanya dan jadwal pengobatan
yang lebih luas memungkinkan untuk mempelajari kembali kepuasan
seksual.
f. Terapi biologis
Methohexital sodium intra vena telah digunakan dalam terapi
desensitisasi. Obat antianxietas telah digunakan pada pasien yang
mengalami ketegangan, walaupun obat-obatan dapat mempengaruhi
respon seksual. Kadang-kadang efek samping obat tertentu seperti
thioridazine dan obat trisiklik digunakan untuk memperpanjang respon
seksual pada keadaan tertentu seperti ejakulasi prematur. Pemakaian
trisiklik telah dianjurkan dalam pengobatan pasien yang memiliki fobia
terhadap seks.

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Kebutuhan
seksualitas merupakan kebutuhan dasar manusia berupa ekspresi perasaan 2
individu secara pribadi yg saling menghargai, memperhatikan, dan menyayangi
sehingga terjadi sebuah hubungan timbal balik antara kedua individu tersebut.
Adapun factor-faktor yang mempengaruhi masalah seksualitas seseorang adalah 1.
Pertimbangan Perkembangan, 2. Kebiasaan Hidup Sehat dan Kondisi Kesehatan,
3. Peran dan Hubungan, 4. Konsep Diri, 5. Budaya, Nilai, dan Keyakinan, 6.
Agama, dan 7. Etik. Selain itu, menurut Purnawan, Faktor yang mempengaruhi

34
perilaku seksual dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu factor internal dan factor
eksternal.
Siklus respon seksual adalah tahapan yang terjadi saat kita melakukan
kegiatan seksual. Secara ilmiah siklus respon seksual diartikan sebagai perubahan
fisik dan emosional yang terjadi saat seseorang terangsang dan merangsang secara
seksual melalui kegiatan seksual. Siklus respon seksual dapat Anda rasakan saat
berhubungan seksual dan masturbasi. Mengetahui bagaimana tubuh Anda
merespon setiap tahap selama siklus dapat meningkatkan hubungan Anda dan
membantu Anda menentukan penyebab masalah seksual yang mungkin Anda
alami. Siklus respon seksual memiliki empat tahap, yaitu tahap gairah, plateau,
orgasme, dan resolusi. Baik pria maupun wanita akan mengalami tahap ini saat
melakukan kegiatan seksual.
Orientasi Seksual Orientasi seksual adalah dengan jenis kelamin mana
seseorang lebih tertarik secara seksual. Orientasi seksual dikategorikan menjadi
dua yaitu heteroseks (orang yang secara seksual tertarik dengan lawan jenis) dan
homoseks (orang yang secara seksual lebih tertarik dengan orang lain yang sejenis
kelamin).
Selain itu, dalam masalah seksual, terdapat pula istilah disfungsi. Istilah
ini menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek fungsi seksual
(Pangkahila, 2006). Bila didefinisikan secara luas, disfungsi seksual adalah
ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh hubungan seks. Secara khusus,
disfungsi seksual adalah gangguan yang terjadi pada salah satu atau lebih dari
keseluruhan siklus respons seksual yang normal (Elvira, 2006). Disfungsi seksual
adalah gangguan di mana klien mengalami kesulitan untuk berfungsi secara
adequate ketika melakukan hubungan seksual. Sehingga disfungsi seksual dapat
terjadi apabila ada gangguan dari salah satu saja siklus respon seksual.
Disfungsi seksual, juga disebut Disfungsi Psikoseksual, ketidakmampuan
seseorang untuk mengalami gairah seksual atau untuk mencapai kepuasan seksual
di bawah kondisi yang tepat, sebagai hasil dari baik gangguan fisik atau, lebih
umum, masalah psikologis. Bentuk yang paling umum dari disfungsi seksual
secara tradisional telah diklasifikasikan sebagai impotensi (ketidakmampuan
seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis ) dan frigiditas

35
(ketidakmampuan wanita untuk mencapai gairah atau orgasme selama hubungan
seksual ).

3.2 Saran
Melalui penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada mahasiswa
keperawatan sebagai tonggak awal pemberi layanan kesehatan yang profesional,
agar dapat menguasai konsep kebutuhan seksualitas ini dengan baik. Sebagaimana
ini akan sangat membantu dalam menjalankan peran dan fungsi keperawatan
nantinya pada klien. Khususnya dalam mengemban peran sebagai konselor dan
edukator, konsep ini bisa dijadikan acuan dalam memberikan layanan, dan juga
asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami gangguan seksualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmawalily. (2010). Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Perhatian Besar


Bagi Islam Edisi 30.
Efendi, N. d. (2009). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Haditono. (2006). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Kartono. (2007). Psikologi Anak. Jakarta: Salemba.
Rahardjo, Z. d. (2006). Kesehatan Reproduksi Panduan Bagi Perempuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarwono. (2009). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Gravindo.
Kaplan, Harold dkk. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid II Edisi Ketujuh. Binarupa
Aksara. Jakarta.

36
37

Anda mungkin juga menyukai