Anda di halaman 1dari 7

ABSES OTAK ( CEREBRI )

Epidemiologi
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering
terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi
oleh penyakit jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi
fallot), meningitis, otitis media kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak
pada wajah ataupun scalp, status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas
ventrikuloperitonial. Patogenesis abses otak tidak begitu dimengerti pada 10-15%
kasus. Yang SY menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah sakit
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi rate kemtian. Jika kondisi pasien buruk,
rate kematian akan tinggi.
Etiologi

Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah,
sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).3,4
Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru
sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut
dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi
pada substansi putih dan abu dari jaringan otak).6 Abses otak yang penyebarannya
secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran darah yang didistribusi
oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau cerebellum dan batang otak.3,6
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti
AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui.
Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas
wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka
tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi
timbulnya abses di lobus otak.

Patomekanisme
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi
di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung
seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran
hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan
substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada
daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak
dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-
kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu
terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga
abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotikan.
Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang
progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan
patologi AO dalam 4 stadium yaitu :
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit,
limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada
hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada
tunika adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis
infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema
di sekita otak dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah
karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati
daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang
terpencar. Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul
kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi
sangat besar
3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan
fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast
membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah
ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya
vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan substansi abu.
Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan
abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek
ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah
anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di
sekitar otak mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis
sebagai berikut:
· Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
· Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
· Kapsul kolagen yang tebal.
· Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
· Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah
ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.7
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi
meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang
berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO
lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara
hematogen.

Gejala Klinis
 Hampir seluruh penderita abses didapati
keluhan sakit kepala (70-90%)
 Muntah-muntah (25-50%)
 Kejang-kejang (30-50%)
 Gejala-gejala pusing, vertigo, ataxia (pada
penderita abses cerebelli)
 Gangguan bicara (19,6%), hemianopsis (31%). Unilateral midriasis (20,5%) yang
merupakan indikasi terjadinya herniasi tentorial. (pada penderita abses temporal)
 Gejala fokal (61%) (pada penderita abses
supratentorial)
Manifestasi Klinis
Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala
infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan
intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses
otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala infeksi,
peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik fokal.2,7
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala
neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai
kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya
terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel.2,5,7
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan
mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan
hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat
terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi
terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala sensorimotorik.7 Abses
serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan menyebabkan gangguan
koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang
sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan laboratorium


disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk melibatkan evaluasi
neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai
riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran,
imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya.2,7
 Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental,
derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga
tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.2
 Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak,
ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.2
 Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju
endap darah.2,7. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan
gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan
sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang. 2,7,12 kecuali
bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.2,7
 Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat pula
menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak
dapat diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk
mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal
yaitu gelombang lambat delta dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses.2,7,13
Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan
arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi
mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT
scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi
abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak
yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain
mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses.2,13
Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan
diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.

Gambar Early cerebritis pada CT-Scan (Sumber: http://emedicine.medscape.com)

Gambaran CT-scan pada abses :

 Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.


 Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari zona
central inflamasi.
 Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi pada
batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat terlihat gambaran ring
enhancement.

 Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral abses)
yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur
diagnostik, dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis
abses serebri. Yang perlu dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal
untuk suatu abses, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk didiagnosis banding
dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis, hematom yang diserap dan
granuloma.2,3,7
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma,
metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk
membedakan keduanya antara lain : umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya
3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada ½ kasus,
kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini menunjukkan
sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa daughter abscess
biasanya berkembang di medial.
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang
tersering dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di
daerah perbatasan massa putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density
tumor, ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal edema yang luas.2

Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk abses melibatkan :
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam
jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi2,3,4,9
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan
pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan
kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat
cedera kepala dan pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari
napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga
metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes
sentivitas telah tersedia. Pada abses terjadi akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau
sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin,
cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengna meropenem
yang terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan
streptokokkus dan menjadi pilihana alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi
akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan metronidazole.
Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan
vancomycin dan ceptazidine. Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang
menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia telah
resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri
utama pada abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara
umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien dengan
immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
dipertimbangkan pula terapi amphoterids.
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak
Drug Dose Frekwensi dan rute
Cefotaxime (Claforan) 50- 2-3 kali per hari,
100 mg/KgBBt/Hari
IV
Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,

50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,

35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,

2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,

15 mg/KgBB/Hari IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat
mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan
kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana
terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai
10 mg dexamethasone setiap 6 jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya
tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas
serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu
di tap-off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada
pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan
secara bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang
diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau
dengan abses yang multipel.
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara
antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses
melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center tertentu
lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and biopsy.
Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses batang otak dan pada
lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti:
small deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi
dalam mengurangi risiko kejang.
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi
mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik
oleh edema maupun abses itu sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses yang
cukup besar, tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal.
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses
berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang
berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan
dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur ini
dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik
aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm,
adanya gas di dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa
posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis,
sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi
kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap
penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya terhadap
korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus per
kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas
pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging). 3
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami
kejang dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan
berdasarkan perkembangan klinis penderita selanjutnya.

Komplikasi

Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:


1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
3. Edema otak
4. Herniasi oleh massa Abses otak

Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan
berkurang, dengan perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotic yang
tepat, serta manajemen pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan
tingginya angka kematian, dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel,
kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-Scan. Angka harapan yang terjadi paling
tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis, kejang, hidrosefalus, abnormalitas
nervus kranialis dan masalah-masalah pembelajaran lainnya.
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:
1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Soliter atau multipel
4) Penanganan yang adekuat.
Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat
didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan
mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat menetap pada 50%
penderita.

Anda mungkin juga menyukai