Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Appendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis. Appendisitis akut

merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk mencegah

komplikasi yang lebih buruk. Appendisitis akut memiliki manifestasi klinis yang beragam,

terkadang menyerupai sindroma klinis lainnya, dan berkaitan dengan morbiditas yang

meningkat dengan penundaan diagnosis. Jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat

terjadi seperti peritonitis umum, abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan

infeksi luka operasi.

Appendisitis akut dapat terjadi pada semua umur. Insidensinya meningkat pada

pubertas dan mencapai puncaknya pada usia remaja dan pada usia 20 tahun. Insiden

terbanyak appendisitis akut berada pada kelompok usia 20-40 tahun. Namun angka kejadian

perforasi dari kasus apendisitis justru lebih sering terjadi pada kelompok usia <12 tahun dan

> 65 tahun. Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya

berdasarkan gambaran klinis. Keadaan ini menghasilkan angka appendektomi negatif

sebesar 20 % dan angka perforasi sebesar 20-30 %.

Tidak ada gejala dan tanda maupun tes diagnostik tunggal yang dapat

mengkonfirmasi diagnosis appendisitis secara akurat pada semua kasus. Telah banyak upaya

yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat, salah satunya adalah dengan skor

Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan

mudah, cepat dan tidak invasif . Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang

didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium.

1
Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan praoperasi dan untuk menilai derajat

keparahan appendisitis. Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak

adalah klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala

klinis dan temuan durante operasi. Semua upaya ini dilakukan untuk meminimalisir angka

kejadian appendektomi negatif tanpa meningkatkan insiden perforasi. Tingkat akurasi

diagnosis appendisitis akut berkisar 76 - 92 %. Pemakaian laparoskopi, ultrasonografi, dan

Computed Tomography Scanning (CT-scan), merupakan upaya untuk meningkatkan akurasi

diagnosis appendisitis akut. Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar masih banyak

digunakan dalam diagnosis penunjang appendisitis akut. C-reactive protein (CRP), jumlah

sel leukosit, dan hitung jenis neutrofil (differential count) adalah penanda yang sensitif bagi

proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah untuk Rumah Sakit di

daerah.

2
1.1. ANATOMI
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan

Bursa Fabricus) yang membentuk produk immunoglobulin. Appendiks adalah suatu

struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari

sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction

terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula

appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit

di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan

bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli

(taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal

appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS

kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.1

Gambar 1. Anatomi Valvula Ileocecalis, Gambar 2. Titik McBurney

Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung

dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a.

Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal.

Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan

terkadang juga memiliki limfonodi kecil.1

3
Gambar 3. Anatomi apendiks

Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,

submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa.

Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan

peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum

dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan jaringan elastik membentuk

jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat

lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong

yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner

circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga

taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai

pegangan untuk mencari appendiks.2

Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu

bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari

sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup

ileosekal.3

Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit

kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada

usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan

apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks

4
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang

sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis

apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.1

Jenis posisi1:

Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium sacri

Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan biasanya

retroperitoneal.

Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.

Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.

Pelvic descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor

Retrocaecal : intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke atas ke

belakang caecum.

Gambar 4. Posisi Apendiks

5
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari

cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri appendikularis,

sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri

viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus.1

Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis , cabang dari a.Ileocecalis, cabang

dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri

ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren.1

1.2. Fisiologi

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam

lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks

tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.4

Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun

dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut

associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks,

ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun

demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah

6
jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna

dan di seluruh tubuh.4

Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.

Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang

mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan

terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.4

1.3.Etiologi

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria

yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe,

fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan

tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah

terjadinya radang apendiks, diantaranya5 :

1. Faktor sumbatan (obstruksi)

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang

diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia

jaringanlymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan

sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang

disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut

diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada

kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut

dengan rupture.5

2. Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.

Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
7
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks,

pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes

fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus,

3. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,

apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang

mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan

dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya

fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

4. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa kulit

putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara

yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa

kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara

berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat,

memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.5

1.4. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia

folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,

atau neoplasma.6

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan

berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi

tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama

mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya

sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60

8
cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat

mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau

terjadi perforasi.6

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,

menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan

pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis

pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal

yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36

jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.6

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa

dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini

merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup

apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa

periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat

mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa

periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.6

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding

apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih

kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi

karena telah ada gangguan pembuluh darah.6

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya

tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale

dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir

proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi

maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum

9
cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu

pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).6

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk

jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini

dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini

dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut .6

1.5. Gejala Klinis

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain6

1. Nyeri abdominal

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar

dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus.

Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc

Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri

somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan

mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.

2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.

3. Nafsu makan menurun.

4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh

belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya

rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena

10
gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis diketahui setelah terjadi

perforasi.6

Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang

terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis

setelah perforasi.6

Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah.

Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi

mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke

kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke

regio lumbal kanan.6

1.6. Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin

sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1 oC.6

1. Inpeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut.

Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.

Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut

kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.6

2. Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal

yaitu 6:

 Nyeri tekan di Mc. Burney

 Nyeri lepas

11
 Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan

peritoneum parietal.

 Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada,

yang ada nyeri pinggang.

 Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

 Nyeri tekan kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)

 Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)

 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan,

batuk, mengedan.

Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan

di perut kanan bawah.2

3. Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada

peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.6

Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12.

Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok

dubur. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis

adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak

dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih

ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m.

psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di

m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk

melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang

merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul

pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri. 6

12
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien

dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada

hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan.6

Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak

dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).6

Gambar 5. Tes Psoas sign


Gambar 6. Otot Psoas

13
14
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien

difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada

tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur

kedalam.6

Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak

dengan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.6

Gambar 7. Tes Obturator sign

Gambar 8. Dasar Anatomi Tes Obturator

1.7. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

15
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus

appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif protein

meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.7

b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam

urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding

seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang

hampir sama dengan appendisitis.7

2. Abdominal X-Ray

Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. Pemeriksaan

ini dilakukan terutama pada anak-anak.8

Gambar 9. Kalsifikasi yang disebabkan oleh fecalith

3. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama

pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk

menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.7,8

4. Barium enema

Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.

Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada

jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram

memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk

menegakkan diagnosis appendisitis khronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan

dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh

fekalit.7

Gambar 10. Appendicogram

5. CT-scan

16
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat menunjukkan

komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.8

6. Laparoscopi

Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam

abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di

bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan

peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan

pengangkatan appendiks.8

7. Sistem skor Alvarado


Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan

gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan

dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal

yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka

appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30%. Salah satu

upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis

yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi

negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah

sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif.

Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala ,

tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra

operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini

menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus,

nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan, Temperatur lebih dari

37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan

lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1,

sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10.9

17
Keterangan Alavarado score :9

Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point

Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:

1 – 4 dipertimbangkan appendicitis akut

5 – 6 possible appendicitis tidak perlu operasi

7 – 9 appendicitis akut perlu pembedahan

Penanganan berdasarkan skor Alvarado :

1–4 : observasi

5–6 : antibiotik

7 – 10 : operasi dini

1.8. Diagnosis Banding

1. Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih

ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan

leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.7

18
2. Limfadenitis mesenterica

Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang

samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual-muntah.7

3. Ileitis akut

Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang anorexia, mual,

muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi insidental diindikasikan utntuk

menghilangkan gejala yang membingungkan.7

4. DHF

Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni, leukopeni, rumple leed

(+), hematokrit meningkat.7

5. Diverticulitis

Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang dapat

juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum

gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.7

6. Batu ureter atau batu ginjal

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan

gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi

intravena dapat memastikan penyakit tersebut.7

1.9. Tata Laksana

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan

merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil

memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks

normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa

komplikasi tidak banyak masalah.7

Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh

omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk

19
tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi

dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak

dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis

umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera

menjadi abses yang jelas batasnya.7

1.10. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas

maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa

yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.6

Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis

generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh

 Suhu tubuh naik tinggi sekali.

 Nadi semakin cepat.

 Defance Muskular yang menyeluruh

 Bising usus berkurang

 Perut distended

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :6

1. Pelvic Abscess

2. Subphrenic absess

3. Intra peritoneal abses lokal.4

1.11. Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas

penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan

20
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak

diangkat.6

BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosa apendisistus akut pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis,

didapatkankeluhan utama berupa nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.

21
Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati menggambarkan gejala akibat distensi apendiks

yang menstimulasi ujung saraf dari afferent stretch fiber. Lalu nyeri berpindah ke

kuadran kanan bawah menggambarkan peradangan yang telah menyebar ke

peritoneum parietalis. Nyeri yang dialami pasien berupa nyeri akibat iritasi

peritoneum sehingga memburuk saat bergerak atau batuk (Dunphy sign) dan

membaik saat diam. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala gastrointestinal,

berupa mual dan muntah setelah gejala nyeri muncul, hal ini sering dijumpai pada,

apendisitis akibat multiplikasi bakteri yang cepat di dalam apendiks. Selain itu

pasien juga mengeluhkan adanya demam yang menggambarkan adanya infeksi

yang terjadi. Untuk menyingkirkan kecurigaan terhadap keganasan karena usia

pasien yang masih anak-anak.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan

hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37oC dan VAS 3/10.

Suhu tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam

Alvarado Score, sedangkan VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut pasien.

Berdasarkan pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada, abdomen

melalui palpasi berupa : nyeri tekan dan nyeri lepas titik McBurney,Rovsing sign,

22
nyeri lepas indirek, dan defans muskular lokal. Penemuan ini mendukung adanya

iritasi peritoneum parietalis lokal yang diduga akibat

peradangan apendiks. Pada pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan

kelainan,termasuk pemeriksaan genitalia sehingga diagnosa banding PID dapat,

disingkirkan. Tanda-tanda ini mendukung diagnosa apendisitis akut.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, didapatkan leukositosis

(14.170/μL) dari pemeriksaan laboratorium. Selain itu, didapatkan, skor 9 pada

Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor

≥7). Alvarado score sangatlah berguna untuk menyingkirkan diagnosa apendisitis

dan memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.

Berdasarkan hal ini, pemeriksaan USG dilakukan untuk memastikan diagnosa

apendisitis. USG dilakukan dengan pertimbangan pemeriksaannya tidak mahal,

dapat dilakukan dengan cepat, tidak membutuhkan kontras

Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien

direncanakan untuk dioperasi open appendectomy cito. Tindakan ini menjadi

pilihan karena apendisitis akut termasuk dalam kegawatdaruratan dalam bidang

23
bedah. Operasi cito menjadi pilihan untuk mencegah progresi penyakit yang

nantinya dapat menyebabkan kerusakan dan komplikasi yang lebih berat. Selain itu,

dengan berkembangnya apendisitis akut dan terjadi perforasi maka peritonitis akan

terjadi dan akan mempersulit penanganan pasien serta meningkatkan

mortalitas. Sebagai tatalaksana awal pasien dipasangkan IV line untuk memudahkan

akses memasukkan obat dan rehidrasi. Pasien diberikan cairan (RL sebanyak 500 mL

/ 8 jam), analgesik (ketorolac 3 x 30 mg IV) dan antibiotik (ceftriaxone 2 x 1 g IV)

selagi mempersiapkan operasi. Lalu open appendectomy dilakukan dalam anastesi

umum. Apendiks yang ditemukan intra-operatif tampak berukuran 6x2x1 cm,

hiperemis, oedem, tidak ada perforasi, tidak ada pus, dan terletak retrocaecal

intraperitoneal. Setelah operasi selesai, sebagai tatalaksana post-operasi terapi yang

diberikan sebelumnya berupa cairan, analgesik dan antibiotik dilanjutkan. Selain itu,

perlu dilakukan observasi tanda vital untuk

mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia atau gangguan

pernafasan.

24
Daftar Pustaka

25
1. 1. Van De Graaff. Human Anatomy 6th Ed.New York: Mc Graw Hill. 2001.
2. Gartner LP, Hiatt JL. Color Textbook of Histology 3rd Ed. Massachusets: Saunders. 2002.
3. Sadler TW. Langman’s Medical Embriology 9th Ed. New York: Mc Graw Hill. 2002.
4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology 11th Ed. Philadelphia: Saunders. 2006.
5. Bashin SK et al.Vermiform Appendix and Acute Appendicitis. JK Science.2007.
6. De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC. 2004.
7. Craig S. Appendicitis di http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview dikunjungi
tanggal 22 Juni 2011.
8. Humes DJ, Simpson J. Acute Appendicitis. BMJ. 2007
9. Khan I. Application of Alvarado Scoring System in Diagnosis of Acute Appendicitis. J Ayub
Medical Collection. 2005.
10. Noor, UA., Putra, DA., Oktaviati, Syaiful, RA., Amaliah, R. 2011, Penatalaksanaan

Appendisitis, Jakarta: Bedah Umum, Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM.

http://generalsurgery-fkui.blogspot.com/2011/05/penatalaksanaan-apendisitis.html.

Dikunjungi 20 Juli 2011.

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
NAMA : An. M. F.
UMUR : 11 tahun
AGAMA : Islam
BB : 42 kg

26
ALAMAT : kampung makasaar
PEKERJAAN :-
TANGGAL MRS : 12-9-2018
TANGGAL KELUAR : 3/10/2016
II. ANAMNESA
 Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah dirasakan 12 jam SMRS
 Riwayat penyakit sekarang
Nyeri perut kanan bawah dirasakan satu hari ( sejak malam) yang
dirasakan berawal dari uluh hati yang kemudian dirasakan berpindah ke
perut kanan bawah, nyeri timbul tiba-tiba, demam 1 hari, mual, muntah 1
kali, isi muntahan makanan bercampur lendir, BAB cair tiga kali, warna
kunig dan berampas,malas makan, batuk, lemas.
 Riwayat penyakit dahulu
 Asma (-)
 Kejang (-)
 Alergi obat (-)
 Alergi makanan (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
VAS : 7-8
Tanda-tanda Vital : N : 90x/m, SB 380 C, RR : 20x/m
Kepala : Wajah simetris, edema (-), mata : konjungtiva anemis : -/-, sklera
ikterik : -/-, pupil isokor +/+ 3mm, refleks cahaya +/+, telinga :
otoroe -/-, discharge -/- hidung : deviasi septum nasi -/-
Leher : Pembesaran KGB -/-
Dada : Simetris, Retraksi -/-
Paru
Inspeksi : Ikut gerak nafas +/+
Palpasi : Krepitasi -/-
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

27
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Thrill -
Perkusi : Batas jantung atas setinggi ICS II, batas bawah setinggi ICS V,
batas kanan setinggi parasternal dekstra, batas kiri setinggi mid
clavikula line sinistra
Auskultasi : suara jantung I dan II reguler
Abdomen
Inspeksi : Datar, supel, distended (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan regio iliaca kanan, nyeri tekan titik mac-
burney (+), nyeri tekan lepas(+),Uji Psoas (+),Uji Obturator
hepar : ttb, lien : ttb
Perkusi : thympani +
Auskultasi : bising usus + normal
Ekstremitas superior : anemis -/-, hangat, udema -/-
Ekstremitas inferior : anemis -/-, hangat, udema -/-
Genetalia : dbn

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan Darah Rutin 12 september 2018
- Hb : 13,5 g/dl
- Leukosit :16.400/mm3
- Trombosit : 371.000/mm3
- Hematokrit : 40,8
- Colding time : 3’30”
- Bleeding time :8’30’’
- DDR : Negatif
- Golda : AB+

2. USG

Kesan
Kesan pembesaran struktur appendiks

V. DIAGNOSA BANDING
VI. DIAGNOSA KERJA

28
- Apendisitis Acute

VII. TERAPI
- IVFD RL 14 tpm
- Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj Gentamicin 80 mg/12 jam
- Inj ketorolac 1 amp/8 jam
- Puasa
- Rencana Aendectomi

29
BAB IV
PEMBAHASAN
Stricture urethra (striktur uretra) adalah peyempitan lumen uretra karena
fibrosis pada dindingnya akibat infeksi, trauma uretra atau kelainan kongenital.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien pernah mengalami
kecelakaan dan merupakan penderita positif HIV karena belum ditemukan adanya
infeksi oportunistik pada pasien ini, riwayat pernah menderita penyakit menular
seksual pada pasien. trauma merupakan penyebab terbesar striktura (fraktur pelvis,
trauma uretra anterior, tindakan sitoskopi,prostatektomi, katerisasi).
Pasien masuk dengan keluahn utama tidak bisa kencing. Keluhan ini diawali
dengan kencing yang menetes hinggan tidak keluar yang dialami sudah satu minggu,
nyeri pada perut bagian bawah, sehingga pada pasien dilakukan tindakan sistostomi .
Berdasarkan terjadinya striktur uretra pada pasien ini dapat diakibatkan oleh
kecelakaan yang dilami pasien pada 4 bulan yang lalu dimana dicurigai pasien
mengalami trauma uretra anterior, karena straddle injury, perineal terkena benda
keras sehingga menimbulkan trauma uretra pars bulbaris, antara prostat dan os pubis
dihubungkan oleh ligamentum puboprostatikum. Sehingga kalau ada trauma disini,
ligamnetum tertarik, uretra posterior bisa sobek. Jadi memang sebagian striktura uretra
terjadi di bagian-bagian yang terfiksir seperti bulbus dan prostat. Di pars Pendulan
jarang terjadi cedera karena sifatnya yang mobile. Kateteterisasi juga bisa
menyebabkan striktura uretra bila diameter kateter dan diameter lumen uretra tidak
proposional.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara
epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat)
yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini meyebabkan hilangnya elastisitas
dan memeperkecil lumen uretra, sehingga terjadi striktur uretra.
Striktu uretra dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu;
1. Ringan, jika oklusi terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2. Sedang, jika terdapat oklusi1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra

30
3. Striktur berat, jika terdapat oklusi lebih besar dari 1/2 diameter lumen uretra.
Berdasarkan uretroskopi, Pasien mengalami striktur uretra berat sehingga dilakukan
tindakan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan
menggunakan pisau sache dan uretrimi eksterna tindakan operasi terbuka berupa
pemotongan jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis diantara jaringan uretra
yang masih baik.
Terapi medika mentosa analgetik non narkotik untuk meredakan nyeri, medikasi
antimikrobial untuk mencegah infeksi.
Komplikasi yang dapat dialami pasien yaitu infeksi saluran kemih (prostatitis,sistitits,
abses periuretra,batu ureter) degenerasi maligna menjadi karsinoma uretra yang dapat
diperburuk dengan HIV, dimana terjadi penurunan imunitas pasien apabila tidak
mendapatkan pengobatan ARV.

31
BAB IV
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut
dan kontraksi. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita
karena adanya perbedaan panjang uretra.Trauma yang dapat menyebabkan
striktur uretra adalah trauma tumpul pada selangkangannya (straddle injury),
fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca bedah. Pemeriksaan penunjang
:Uroflowmetri, pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram dikombinasikan
dengan Voiding Cystouretrogram tetap dijadikan standar pemeriksaan untuk
menegakan diagnosis. Radiografi ini dapat menentukan panjang dan lokasi
dari striktur. Penggunaan ultrasonografi (USG) dalam mengevaluasi striktur
pada pars bulbosa.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien pernah mengalami
kecelakaan dan merupakan penderita positif HIV, Berdasarkan terjadinya
striktur uretra pada pasien ini dapat diakibatkan oleh kecelakaan yang dilami
pasien pada 4 bulan yang lalu dimana dicurigai pasien mengalami trauma
uretra anterior, karena straddle injury. Berdasarkan uretroskopi, Pasien
mengalami striktur uretra berat sehingga dilakukan tindakan uretrotomi
interna. Penaganan pada striktur urtra adalah dengan pembedahan.
2.2 Saran
1. Striktur uretra akibat trauma kecelakaan dapat dicurigai bila terdapat
jejas pada daerah genital,dengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang
baik striktur uretra dapat terdeteksi lebih dini.
2. Pada trauma akibat pemasangan kateter dapat dihindari dengan
menggunakan peralatan dan bekerja dengan steril untuk mencegah

32
terjadinya infeksi, dan pemasangan kateter dilakukan dengan teliti dan
tatacara yang benar untuk mencegah terjadinya trauma.
3. Pada penderita dengan HIV dapat dicurigai terjadinya striktur uretra
Gonokokus,dan infeksi lain yang terjadi akibat pola hidup yang kurang
baik.

33
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Striktur Uretra,dalam: buku ajar ilmu bedah
Ed Revisi.Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta , halaman 1018-1019
2. Agung Wistara,dkk.2010. Diagnosa dan penaganan striktu uretra. Bali:
universitas Udayana.
3. Purnomo basuki B. Striktura uretra,dalam: dasar-dasar Urologi ed 2.CV.
Sagung.Jakarta,2003. Hal153-156.
4. Price.2000.Anatomi Ginjal dan saluran kemih.Jakarta:EGC
5. Reksoprojo S.Kumpulan ilmu bedah, Tanggerang .Binarupa Akasara.

34
LAPORAN KASUS

STRIKTUR URETRA PARS MEMBRANOBULBARIS DAN HIV

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Madya


Di SMF Bedah Rumah Sakit Umum Daerah jayapura

Oleh :
MARIA LIDIA SIMAT,S.Ked
0080840012

Penguji /Pembimbing :
dr. Bacilius A. Priyosantoso,Sp.U

BAGIAN SMF BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
PAPUA
2016

35
36

Anda mungkin juga menyukai