Anda di halaman 1dari 4

Panic!

at The Disco, band barat yang pertama kali gue idolakan semasa SMP dan secara
nggak langsung mereferensikan band-band legendaris seperti The Beatles dan Queen.
Disaat teman-teman sekelas rata-rata ngidolain Westlife dan Celine Dion, gue malah
jatuh hati sama band ini. Band yang digawangi Brendon Urie, (Brent Wilson), Jon Walker,
Spencer Smith, dan abang gue, Ryan Ross sang gitaris.

Debut dengan album A Fever You Can’t Sweat Out yang diawali dengan musik punk
dance dengan liriknya yang dark lalu diganti dengan musik rock gothic dengan lirik absurd,
plus nuansa teatrikal yang diperkaya dengan instrument seperti glockenspiel, piano, organ,
accordion serta cello.
Musik yang super kaya bagi seorang anak smp kelas 8 yang selalu disuguhi musik-
musik pop melayu yang menjamur di tv seperti ST 12, Wali, Kangen Band, dll.
Diledakkan oleh video klip I Write Sins, Not Tragedies yang bertema sirkus dan
diwakili kharismanya Brendon Urie dengan gayanya yang flamboyant sebagai ringmaster.
Meskipun Brendon Urie yang paling menonjol karena kharisma dan vokalnya yang
energik, Ryan Ross lah yang paling gue respect, terutama dalam penulisan lirik setiap
lagunya.
Secara keseluruhan, lagu-lagunya gue suka semua, dan lagu yang paling gue
rekomendasikan untuk gambaran keseluruhan album adalah Camisado dan Build God Then
We’ll Talk.
Gue memang agak telat tahu band ini. karena masa itu, Global TV tidak sepenuhnya
nampilin acara-acara MTV International. Ditambah lagi internet yang masih langka. Itupun
tahu tentang Panic gara-gara iklan konsernya di Jakarta. Yang bertepatan dengan tahun
dimana Panic ngeluarin album kedua bertajuk Pretty. Odd.

Album yang betul-betul beda dari album pertama. Bedanya apa? Tanda seru di nama
bandnya dihilangin. Jadinya, Panic at The Disco.
Nuansa emo sama punk-nya juga ikut2an hilang. Mungkin karena Panic jenuh sama
musik emo yang juga menjamur. Ditambah lagi dengan press yang selalu melekatkan Panic!
at The Disco dengan Emo.
Buktinya, dalam satu album, dari track ke track, genrenya beda-beda. Tapi genre yang
paling dominan di album ini adalah Baroque Pop. Musik pop yang dipercantik dengan suara-
suara instrumen-instrumen bernuansa baroque seperti horn, string, harpa, dan sejenisnya.
Walaupun ada beberapa fans yang kecewa dengan perubahan musiknya, gue malah
kagum. Alasan gue kagum dikarenakan album ini terasa ambisius, dan aura fairytalenya
terasa banget. Waktu gue pertama kali denger She Had The World dan When The Day Met
The Night dengan cerita fabelnya tentang kisah cinta matahari dan bulan, secara personal
membuat gue mengimajinasikan kartun-kartun klasik 50-an. Membuat gue nostalgia ke masa
kecil yang indah dan imajinatif.
Bagian terindah di album kedua ini adalah transisi dari akhir lagu I Have Friends in
Holy Spaces yang rasanya sedih dan indah, sekaligus menjadi jembatan ke lagu yang gue
putar berkali-kali sampai bosan dan terharu saking indahnya. Apalagi kalau bukan Northern
Downpour.
Diawali dengan genjrengan ritme gitar Ryan Ross yang terdiri dari pergantian chord F
lalu ke Bb, dan menjadi ritme chord yang paling sakral bagi gue.
Dan gilanya lagi, suara Brendon Urie yang pas banget sama suara gitar. Membuat lagu
ini tiba-tiba menjadi emosional. Walaupun gue nggak terlalu tahu bahasa inggris saat itu, gue
otomatis bisa ngerasain rasa sedih dan rindu diliriknya.
Lagu ini semakin hidup waktu Ryan Ross, John Walker ikutan nyanyi dan saling sahut
menyahut dengan line “Hey Moon…” di penghujung lagu.
Pretty. Odd. adalah album studio terbaik yang pernah dipersembahkan Panic at The
Disco. Sayangnya personilnya pecah lalu buat kubu masing-masing. Ryan & Jon buat The
Young Veins (Cuma satu album. Kabarnya pun sekarang ga jelas) sedangkan Brendon &
Spencer tetap lanjut di P!ATD (Walaupun akhirnya yang tersisa cuma Brendon seorang).
Kalau ditanya sama album ketiga Vices & Virtues, ekpektasi gue cukup tinggi. Masih
enak memang, tapi dari track ke track, nggak terlalu meninggalkan kesan. Lagu yang gue
suka cuma ada Always dan Trade Mistakes.
Lalu keluarlah album keempat dimana Brendon Urie mulai kelihatan seperti One-Man-
Band di cover albumnya.
Bertajuk “Too Weird to Live, Too Rare to Die”. Karena efek album ketiga, gue jadinya
nggak terlalu berharap banyak di album ini. Rasa-rasanya seperti terinfluence sama FOB
yang “Save Rock & Roll”.
Terdiri dari lagu-lagu yang berisikan ritme chord yang repetitif, dan tidak sedinamis
dua album pertama. Tapi usaha Brendon Urie dalam berkreasi dan bereksperimen dengan
musik tetap gue respect. Overall, sama halnya dengan album ketiga, gue nggak terlalu suka.
Di awal tahun 2016, keluarlah album baru “Death of a Bachelor”. Brendon Urie murni
solo di album ini, mengeskplor kemampuan vokalnya yang makin gila dan bebas
mengekspresikan visinya di album ini.
Upaya menghilangkan segala kesan Ryan Ross yang masih diharapkan fans di band
P!ATD, masih terasa. Musik yang diusung pun serasa seperti musik computer daripada musik
yang dimainkan secara organik. Dari track ke track pergantian chordnya masih repetitif,
begitu juga dengan riffnya, meskipun sudah mencapai bagian chorus. Line untuk chorus pun
mulai kebanyakan teriakan daripada lirik. Seolah-olah Brendon Urie malas menulis lirik di
melodi chorusnya. Album ini lumayan keren sih sebenarnya, tapi… asudahlah.
Walaupun gitu, gue sebagai penikmat musik, selalu salut dengan totalitas Panic! At The
Disco. Walaupun sekarang cuma Brendon Urie bersama tour membernya, mereka masih
konsisten dan mampu mempertanggung jawabkan musik-musiknya di hadapan penggemar
ketika di bawakan secara live.
Finally, band Panic at The Disco tetaplah band yang berpengaruh dalam hidup gue.
Walaupun gue masih berharap original membernya reuni, gue masih percaya dengan Brendon
Urie dan karya-karyanya yang akan datang dalam band ini.

Anda mungkin juga menyukai