Anda di halaman 1dari 12

Inkontinensia Urin pada Pasien Geriatri

Lo Xiao Ling 102016106

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara, No.6 Jakarta Barat 11510

Ling.2016fk106@civitas.ukrida.ac.id
___________________________________________________________________________

Abstrak

Proses penuaan merupakan suatu proses penurunan kemampuan sel maupun jaringan untuk
mengganti atau memperbaiki diri serta mempertahankan struktur dan fungsinya secara
normal seperti beberapa sel dalam tubuh tidak dapat bereplikasi hingga akhirnya tua dan
mati. Proses penuaan juga dapat disebabkan karena faktor dari luar atau lingkungan misalnya
karena adanya radiasi ataupun bahan – bahan kimia yang bersifat karsinogenik atau dapat
juga terjadi karena adanya radikal bebas yang sangat aktif bereaksi dengan DNA, protein,
atau lipid hingga terjadi kerusakan sel. Pada pasien geriatri, proses penuaan menyebabkan
menurunnya kemampuan kerja berbagai organ meliputi jantung, ginjal, gastrointestinal dan
muskuloskeletal yang menurun hingga akhirnya dapat menyebabkan osteophorosis yang
berdampak pada gangguan imobilisasi dan instabilitas. Selain itu, pada pasien geriatri ini juga
sering mengalami gangguan inkontinensia urin atau proses berkemih yang nonvolunter.
Kata Kunci: Proses penuaan, geriatri, inkontinensia urin.

Abstract

The aging process is a process of decreasing the ability of cells and tissues to replace or
repair themselves and maintain the structure and function normally as some cells in the
body can not replicate until finally old and die. The aging process can also be caused by
external or environmental factors such as radiation or chemicals that are carcinogenic or
may occur due to the presence of highly active free radicals reacting with DNA, protein or
lipids until cell damage occurs. In geriatric patients, the aging process leads to decreased
ability of various organs to work including heart, kidney, gastrointestinal and as well as
the decreased of musculoskeletal that may cause osteophorosis that impact on
immobilization and instability disorders. In addition, in these geriatric patients also often
experience urinary incontinence disorders or nonvolunter urination process.

Keywords: The process of aging, geriatrics, urinary incontinence.


Pendahuluan

Latar Belakang

Setiap orang yang hidup tentunya akan terus mengalami penuaan. Proses penuaan ini
merupakan suatu proses atau suatu hal yang sangat alami dan wajar. Dalam proses penuaan
ini tentunya akan disertai dengan berbagai macam kemunduran atau penurunan termasuk
penurunan dalam hal kondisi fisik, psikologis maupun sosial antara satu individu dengan
individu yang lainnya. Keadaan yang demikian akan cenderung berpotensi untuk
menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada
orang – orang lanjut usia.

Masalah – masalah kesehatan jiwa para orang – orang lanjut usia termasuk juga dalam
masalah kesehatan yang dibahas pada pasien – pasien Geriatri dan Psikogeriatri. Dimana
kedua hal tersebut merupakan bagian dari Gerontologi. Gerontologi ini merupakan ilmu yang
mempelajari segala aspek dan masalah lanjut usia. Masalah – masalah lanjut usia yang
dimaksud sendiri meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultur, ekonomi, dan lain –lain.

Menyikapi kondisi tersebut, kita perlu memahami bagaimana proses penuaan itu terjadi.
Kemudian selain itu, kita juga perlu memahami gangguan – gangguan yang dapat terjadi pada
pasien geriatri dan salah satunya adalah inkontinensia urin, kondisi dimana pasien tidak dapat
mengontrol buang air kecilnya dikarenakan pasien kehilangan kontrol pada kandung
kemihnya dan pasien dengan penyakit ini harus menggunakan popok.

Proses Penuaan dan Akibat Klinisnya

Proses penuaan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Menua atau menjadi
tua merupakan proses menghilangnya secara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya.
Sehingga hal tersebut menyebabkan berkurangnya daya tahan terhadap jejas termasuk infeksi
dan semakin sulitnya memperbaiki kerusakan yang dialaminya. Karena adanya kehilangan
daya tahan terhadap infeksi dan semakin menumpuknya distorsi metabolik dan struktural atau
yang disebut dengan penyakit degeneratif, maka seseorang dapat menghadapi akhir hidup
dengan permasalahan – permasalahan karena penyakit degeneratif tersebut.1

Proses menua bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu masa atau tahapan hidup
manusia yakni mulai dari bayi, anak – anak, remaja, dewasa, orang tua, dan lanjut usia.
Orang mati sendiri bukan karena lanjut usia tetapi karena suatu penyakit atau juga suatu
kecacatan. Proses menua itu sendiri pada dasarnya sudah mulai terjadi atau berlangsung sejak
seseorang yang telah mencapai dewasa. Misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada
otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Dan pada
dasarnya, tidak ada batas yang tegas, pada usia berapa penampilan seseorang akan mulai
menurun. Hal tersebut disebabkan karena pada setiap orang, fungsi fisiologis ala tubuhnya
sangat berbeda – beda. Baik dalam hal pencapaian puncak atau keadaan maksimal maupun
pada keadaan penurunannya. Berikut adalah beberapa akibat klinis dari proses penuaan:2,3,5

Kulit kering, karena menurunnya fungsi/aktifitas kelenjar minyak, kelenjar keringat dan
hormon estrogen serta terjadinya penguapan air yang berlebihan.

Permukaan kulit kasar dan bersisik, karena lapisan tanduk mudah lepas dan ada
kecenderungan sel sel mati untuk saling melekat di permukaan. Selain itu terjadi kelainan
proses keratinisasi dan perubahan ukuran serta bentuk sel lapisan tanduk, sebagian
berkelompok dan mudah lepas sehingga terlihat sebagai sisik yang kasar.

Timbulnya keriput, awalnya tampak guratan halus dibawah mata, kemudian menjadi
guratan yang tidak menghilang sewaktu kulit diregangkan. Kulit menjadi kendor,
menggelantung disertai kerutan dan garis-garis kulit lebih jelas. Keadaan ini disebabkan
perubahan-perubahan faktor penunjang kulit, antara lain sel pembentuk serat kologen
berkurang, yang menyebabkan pembentukan serat kolagen baru/ penggantian kolagen yang
tua menjadi lambat, serat elastin lebih mengeras dan menebal sehinggga daya kenyalnya
berkurang serta kulit menjadi kurang lentur, tak dapat tegang. Selain itu terjadi proses menua
pada tulang dan otot menjadi kecil (atrofi) serta jaringan lemak bawah kulit menipis,
kehilangan daya kenyalnya. Faktor lain adalah pengaruh kontraksi otot mimik yang tidak
diikuti kontraksi kulit yang sesuai sehingga terlihat alur alur keriput didaerah wajah.

Bercak pigmentasi, yang tidak merata di permukaan kulit karena perubahan distribusi
melanin dan menurunnya fungsi serta prolifrasi melanosit, sehingga pengumpulan pigmen
melanin tidak teratur. Pigmentasi yang dicetuskan sinar matahari antara lain sebagai freckles,
melasma dan lentigo, terutama muncul pada orang yang rentan. Freckles adalah bercak coklat
dengan batas tegas dan tepi tak teratur. Lentigo merupakan bercak coklat kehitaman yang
tepinya rata, biasanya pada kondisi photodamage yang berat.
Pembentukan tumor baik jinak maupun ganas, disebabkan karena efek kronis sinar
matahari pada kulit yaitu kerusakan pada DNA sel kulit. Kerusakan DNA mungkin dapat
dilakukan perbaikan namun bila tidak, terjadi mutasi gen sehingga terjadi proliferasi sel
berlebihan dan terbentuk tumor kulit jinak seperti keratosis seboroik, skin tag, kerato
akantoma atau tumor ganas seperti karsinoma sel basal.

Anamnesis

Pada anamnesa, pasien mengeluhkan jalan tidak bisa cepat, harus pelan-pelan nyeri sendi
lututnya untuk berjalan dan takut jatuh dikarekana pasien pernah jatuh. Terkadang saat
tertawa, pasien batuk sampai “mengompol”. Karena tidak dapat menahan kencing, pasien
merasakan hal yang tidak nyaman, malu sehingga tidak mau keluar rumah, padahal
sebelumnya pasien merupakan orang yang sangat aktif dalam pergaulan. Saat di tanyakan
mengenai riwayat penyakit dahulu, pasien mengatakan bahwa ia tidak mempunyai riwayat
penyakit jantung, darah tinggi maupun kencing manis.

Pemeriksaan Fisik

Pada kasus didapati seorang wanita 70 tahun datang dengan keluhan sering tidak dapat
menahan keinginan berkemih sehingga sering miksi di celana terutama saat tertawa hingga
kemudian miksi tanpa sadar. Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum tampak sakit
ringan, kesadaran compos mentis dengan berat badan 60 kg dan tinggi badan 150 cm. Denyut
nadi 85 kali/menit dengan tekanan darah 130/80 mmHg serta suhu 37oC dan respiratory rate
20 kali/menit.

Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, pelvis, rectum, dan evaluasi
persyaratan lumbosakral. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung
kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi.
Inspekulo bisa tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina
terutama pasca histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.

Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan ialah palpasi dan perkusi. Pada kebanyakan
pasien, kandung kemih yang terdistensi dapat dipalpasi. Perkusi untuk mendeteksi kandung
kemih yang terdistensi dapat membantu pada pasien yang kurus tetapi mempunyai sedikit
atau tidak mempunyai manfaat pada pasien yang gemuk. Pemeriksaan pelvis pada perempuan
juga penting untuk menemukan beberapa kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan.
Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet akan
membantu penanganan pasien yang holistic. Pencatatan aktivitas berkemih baik untuk pasien
rawat jalan maupun rawat inap dapat membantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia
urin serta evaluasi respon terapi.

Pemeriksaan Penunjang

1. Urinalysis

Urinalysis dapat berguna untuk menghapuskan diagnosis banding seperti urinary tract
infection yang merupakan suatu reaksi inflamasi lokal yang dapat menyebabkan tidak
terhambatnya kontraksi kandung kemih akibat endotoksin yang diproduksi oleh bakteri yang
memiliki alpha-blocking effect pada sphincter uretra sehingga menurunkan tekanan
intrauretra yang kemudian berujung pada inkontinensia urin.4

2. Pemeriksaan Cystometry

Pemeriksaan yang biasanya dilakukan untuk mengevaluasi pengisian dan penyimpanan urin
pada kandung kemih. Cystometogram merupakan suatu hasil dari cystometry yang
merupakan kurva dari tekanan atau volume intravesikal dengan cara pengisian kandung
kemih dengan air steril atau karbon dioksida pada laju infusi konstan sambil memonitor
perubahan tekanan intravesikal. Pasien harus menahan setiap rasa ingin berkemihnya selama
pemeriksaan berlangsung. Kontraksi muskulus detrusor yang melebihi 15 cm H2O dianggap
kondisi abnormal. Data yang didapat pada grafik terdiri dari lima fase yakni sensasi
propriosepsi, sensasi merasa kandung kemih penuh, sensasi ingin berkemih, munculnya
kontraksi muskulus detrusor volunter dan kemampuan untuk menghentikan kontraksi
muskulus detrusor. Kondisi negatif dapat merupakan salah satu indikasi adanya inkontinensia
urin.3,5

3. Tes Diagnostik Lanjutan

Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium
glukosa sitologi perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan
tersebut adalah:8

 Tes urodinamik: untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah.
 Tes tekanan urethra: mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat
dinamis.
 Imaging: tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
Working Diagnosis

1. Osteoarthritis

Osteoarthritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik,
berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan
abrasirawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendiaan.
Etiologi Osteoartritis masih belum dapat diketahui secara jelas. Beberapa faktor yang
dianggap sebagai pemicu timbulnya osteoartritis diantaranya faktor umur, jenis kelamin, suku
bangsa, genetik, kegemukan, dan penyakit metabolik, cedera sendi, dan jenis pekerjaan.
Gangguan penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, terutama
wanita berusialebih dari 45 tahun. Penyakit ini pernah dianggap sebagai suatu proses penuaan
normal, sebabinsidens bertambah dengan meningkatnya usia. Sendi yang paling sering
terserang adalahsendi-sendi yang harus memikul beban tubuh, antara lain lutut, panggul,
vertebra lumbal danservikal, dan sendi-sendi pada jari.1,3

2. Instabilitas

Instabilitas didasarkan pada ketidakmampuan posisi tubuh yang benar pada ruang dan
pergerakan. Hal ini dapat menyebabkan seseorang gagal keseimbangan sehingga
menyebabkan jatuh. Jatuh terjadi ketika sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi
pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang pada waktu yang
tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Jatuh adalah penyebab dari penyakit-
penyakit seperti fraktur, gangguan kesadaran, dan perdarahan di CNS. 30-50% orang tua
umur 60 tahun memiliki masalah instabilitas ini dan rata-rata 50% dengan jatuh 2x atau lebih
pertahun pada lansia yang dirawat dirumah.2

3. Depresi

Depresi merupakan salah satu gangguan kesehatan mental yang terjadi sedikitnya selama dua
minggu atau lebih yang mempengaruhi pola pikir, perasaan, suasana hati dan cara
menghadapi aktivitas sehari-hari. Depresi merupakan salah satu penyakit yang paling sering
pada pasien berusia di atas 60 tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang
berlanjut usia rentan terhadap depresi yaitu faktor biologis, fisik dan sosial. Faktor biologik
berupa perubahan pada sistem syaraf pusat, seperti meningkatnya aktivitas monamin oksidase
dan berkurangnya konsentrasi katekolaminergik. Faktor sosial seperti kehilangan orang-orang
yang dicintai, kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan dan kurangnya dukungan sosial
menjadi faktor predisposisi seorang lanjut untuk menderita depresi.1

Differential Diagnosis

Inkontinensia urin merupakan proses berkemih nonvolunter. Hal ini terjadi ketika tekanan di
dalam kandung kemih lebih besar dari resistans uretra. Inkontinensia urin dapat dikatakan
sebagai kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau menetap. Hal tersebut
disebabkan karena seseorang tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Sehingga
terjadi merembesnya urine yang dapat terjadi terus menerus atau sedikit demi sedikit.
Inkontinensia urin dapat dikatakan sebagai suatu gejala, tanda ataupun suatu kondisi yang
sering terjadi pada orang lanjut usia. Secara umum, penyebab inkontinensia urin dapat
disebabkan karena proses penuaan, pembesaran prostat, penurunan kesadaran, ataupun karena
penggunaan obat narkotik atau sedatif. Inkontinensia urine sendiri terdapat beberapa macam
seperti inkontinensia urine luapan, fungsional, urgensi, dan stres.6

Inkontinensia urine stres ini yang merupakan inkontinensia dimana penderita mengluarkan
air kencing baik sedikit atau banyak ketika tertawa ataupun batuk. Hal tersebut disebabkan
oleh adanya pelemahan otot pada bagian dasar panggul. Inkontinensia urine stres ini biasanya
terjadi pada lansia yang sudah berusia 70 an tahun dan lebih sering diderita oleh wanita.8

Inkontinensia urine urgensi dikatakan dengan sensasi ingin berkemih dan biasanya
dikatakan dengan kontraksi detrusor yang tidak terkendali atau disebabkan karena masalah
neurologis seperti stroke, parkinson, demensia, dan cedera pada medula spinalis. Pasien
dengan inkontinensia urine ini mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah
timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia
urine tipe urgensi ini biasanya menderita lansia 70 an tahun.7

Inkontinensia urin luapan dikatakan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal
tersebut bisa disebabkan karena obstruksi anatomis seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes militus atau sclerosis multiple yang menyebabkan berkurang atau
tidak berkontraksinya kandung kemih. Biasanya pasien akan mengeluh keluarnya sedikit urin
tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.8

Inkontinensia urin fungsional disebabkan karena penurunan fungsi organ tubuh sehingga
pasien geriatri mengompol atau kencing sebelum sampai di toilet. Pada pasien yang
menderita inkontinensia jenis ini biasanya dibarengi dengan kemunculan berbagai macam
gejala dan juga terjadinya gambaran urodinamik yang lebih dari satu jenis inkontinensia
urin.3

Etiologi

Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Pada pria, dengan semakin
bertambahnya usia, kelenjar prostat akan tumbuh membesar dan bila pertumbuhannya tidak
normal dapat menekan dan meremas uretra. Hal tersebut tentunya akan menyebabkan
inkontinensia urin. Selain itu, pada pengangkatan prostat dan radiasi untuk kasus kanker
prostat yang menyebabkan kerusakan kerusakan saraf dari otot sfingter kantung kencing juga
dapat menyebabkan inkontinensia. Sedangkan pada perempuan, inkontinensia dapat
disebabkan karena terlalu sering hamil atau melahirkan, hal tersebut disebabkan karena ketika
hamil, seluruh organ di dalam perut akan terdesak dan tertekan termasuk kantung kemih.
Selain itu, proses melahirkan yang terlalu sering itu juga sering membuat otot panggul
menjadi kendor, hal tersebut menyebabkan sulitnya otot sfingter kontraksi. Selain itu,
kenaikan berat badan juga ikut mempengaruhi terjadinya inkontinasi, hal tersebut disebabkan
karena otot panggul menjadi melemah, kantung kemih menekan vagina, dan akhirnya sfingter
sulit untuk kontraksi. Adanya kebiasaan menahan kencing juga dapat menyebabkan
inkontinasi urine karena otot dinding kantung kemih akan menjadi sangat meregang sampai
tidak dapat meregang lagi dan menekan urin untuk keluar hingga akhirnya walau kantung
kemih tidak terisi penuh, urin akan mudah terdorong keluar karena adanya kerusakan pada
otot kantung kemih tadi.4,7,8

Epidemiologi

Inkontinensia urin biasany tidak sempat di diagnosis dan juga tidak dilaporkan. Perkiraannya
adalah 50-70% wanita dengan inkontinensia urin gagal untuk mencaripertolongan medis
akibat stigma sosial. Sekitar 10-13 juta orang diperkirakan mengalami inkontinensia urin di
USA dan sekitar 200 juta di dunia dengan perawatan inkontinensia urin di USA memakan
biaya 16.3 miliar dollar per tahun. Inkontinensia urin lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria dengan perbandingan dua banding satu. 7% pada anak diatas 5 tahun,
10-35% pada orang dewasa dan 50-84% pada pasien geriatri. Survei inkontinensia urin yang
dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta
pada tahun 2002 mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stress sebesar 32,2%.
Sedangkan pada tahun 2003 di tempat yang sama pada 179 pasien geriatri didapatkan angka
kejadian inkontinensia urin sebesar 20,5% pada laki-laki dan 32.5% pada perempuan.
Sedangkan penelitian lain yang melakukan penelitian pada 1150 orang yang diambil secara
random dan diatas 60 tahun, 434 orang diantaranya mengalami inkontinensia urin. Dari
mereka yang mengalami inkontinensia urin 55,5% merupakan inkontinensia urin tipe
campuran, 26,7% dengan inkontinensia urin tipe stress saja, 9% dengan inkontinensia urin
tipe urgensi dan 8,8% dengan diagnosis lain. Dibandingkan dengan ras dan suku, wanita kulit
putih memiliki prevalensi terkena inkontinensia urin yang lebih besar dibandingkan dengan
wanita kulit hitam. Sekitar 46% wanita kulit putih menderita inkontinensia urin sedangkan
hanya 30% wanita kulit hitam yang menderita inkontinensia urin.4-6

Patofisiologi

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi
proses fisiologik yakni fase penyimpanan dan fase pengosongan. Ketika pengisian kandung
kemih terjadi, otot dalam kandung kemih yang dinamakan muskulus detrusor berelaksasi,
sebaliknya saat pengosongan. Kontraksi kandung kemih disebabkan karena aktivitas
parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sphincter uretra internal
akan tertutup karena akvitas saraf simpatis yang dipicu oleh nor-adrenalin.9

Inervasi sphincter uretra interna dan eksterna terjadi oleh persarafan nervus pudendal somatik
setinggi sakral 4. Pada inkontinensia urin, inervasi tidak terjadi dengan baik menyebabkan
uretra tidak dapat menutup dengan baik sehingga urin dapat keluar, yang dapat menyebkan
inkontinensia urin tipe urgensi akibat tidak dapat menahan keinginan berkemih dan dengan
melemasnya sphincter uretra eksterna (dipersarafi oleh saraf motorik). Sebaliknya, dengan
pemberian adrenergik-alfa dapat menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Atau apabila
adanya tekanan intra abdomen dan kandung kemih yang penuh serta dengan otot serat dasar
pelvis yang tidak suportif lagi menyebabkan urin dapat keluar menyebabkan inkontinensia
stress (akibat adanya tekanan intra abdominal yang naik).8,9

Tatalaksana

Penatalaksanaan inkontinensia urin dapat menggunakan cara operasi. Terapi dengan operasi
atau pembedahan dilakukan untuk menghilangkan retensi pada urin. Namun jika dalam tahap
ringan, maka bisa dicoba dengan melakukan terapi konservatif. Penggunaan obat – obatan,
stimulasi, dan juga penggunaan alat mekanis adalah cara yang cukup populer yang dapat
dilakukan untuk mengobati inkontinensia urin tanpa operasi. Terapi non-farmakologi untuk
kasus inkontinensia urin dapat dilakukan dengan melatih otot panggul untuk menahan kemih
dengan teknik distraksi dan relaksasi. Selain itu, terapi non farmakologi dapat juga dengan
pengaturan diet dan menghindari makanan/minuman yang mempengaruhi pola berkemih.
Dalam sehari diusahakan untuk berkemih 6 sampai 7 kali saja. Dan para lansia dilatih juga
untuk menahan keinginan berkemihnya sendiri yang tadinya tidak terkontrol menjadi
terkontrol dalam waktu – waktu tertentu saja. Hal tersebut dapat diawali atau mulai
dibiasakan tiap 1 jam dan nantinya diperpanjang intervalnya menjadi 2 sampai 3 jam.
Sedangkan terapi farmakologi pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
oxybutinin, dicylomine, flavoxate, propanteine, dan imipramine. Pada inkontinensia stres
dapat juga diberikan alfa adrenergic agonis yakni pesudoephedrine untuk meningkatkan
retensi uretra. Sedangkan untuk sfingter yang relaks dapat diberikan kolinergik agonis seperti
bethanechol atau alfa androgenik seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi.1,2,4

Pencegahan

Pencegahan inkontinensia urin dapat dilakukan dengan menjaga diri untuk tidak
mengkonsumsi alkohol maupun rokok, serta menjauhi asam rokok orang lain. Selain itu juga
sebaiknya untuk makan tinggi serat agar terhindari dari sembelit dan kurangi konsumsi
caffein dan minuman bersoda. Selain itu, lebih mengontrol berat badan agar tidak menjadi
kegemukan dan menjadi pribadi yang aktif secara fisik dan rutin berolahraga. Dan yang
cukup penting adalah jangan menahan – nahan keinginan untuk buang air kecil. Untuk wanita
disarankan untuk jangan terlalu sering hamil dan melahirkan.6

Komplikasi

Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area
bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat
terpeleset oleh urin yang tercecer.

Morbiditas yang berhubungan dengan inkontinensia urin termasuk jatuh (dan attendant
fracture), infeksi kulit dan pressure ulcers. Yang paling penting adalah dampak masalah
inkontinensia urin ini pada domain kualitas hidup, termasuk tekanan psikologis (penurunan
harga diri, khawatir tentang keberkesanan strategi mengatasi masalah inkontinensia urin),
gangguan interaksi sosial (di tempat kerja, waktu luang) dan keterbatasan aktifitas.5
Prognosis

Baik dengan perawatan yang baik pula dari tim medis. Pada Inkontinensi tipe stress dengan
terapi alpha-agonist keadaan dapat membaik sekitar 19-74%, dengan terapi dan operasi dapat
membaik sekitar 88%. Sedangkan pada inkontinensi tipe urgensi, keadaan dapat membaik
sekitar 75% dengan pelatihan kandung kemih dan 44% dengan obat golongan antikolinergik.
Tindakan pembedahan memiliki angka morbiditas yang tinggi pada inkontinensia tipe
urgensi.2

Pada inkontinensia campuran, pelatihan kandung kemih dan lantai pelvis dinilai lebih
meningkatkan angka keadaan baik daripada penggunaan obat-obatan antikolinergik. Tanpa
pengobatan, inkontinensia dapat berujung pada dehidrasi dan hal lainnya yang tidak
diinginkan. Morbiditas yang dapat ditemukan pada inkontinensia adalah infeksi bakteri
candida sp. pada perineum, selulitis, iritasi kulit, sepsis, jatuh karena terpeleset urinnya
sendiri, dan kurang tidur akibat nokturia.1

Kesimpulan

Penutup

Proses menua merupakan suatu proses yang sangat alami dan wajar. Pada pasien geriatri yang
mengalami proses menua, dapat menimbulkan berbagai permasalahan atau penurunan fungsi
anggota tubuh. Salah satunya adalah gangguan muskuloskeletal tersebut tentunya akan
menyebabkan gangguan dalam berjalan termasuk imobilisasi dan instabilitas dan pada pasien
geriatri juga kerap kali ditemuakan adanya gangguan dalam miksi atau berkemih yang
disebut inkontinensia urin. Hal tersebut tentunya akan menyebabkan pasien geriatri tampak
sering ngompol dsn akan berdampak pada masalah psikisnya yang menyebabkan dia malu
dan sering kali depresi.
Daftar Pustaka

1. Dewi SR. Buku ajar keperawatan gerontik. Yogyakarta: Deepublish; 2014.


2. Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal usia lanjut
dan perawatannya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2008.
3. Martono HH, Pranaka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-4. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L, Simadribata M, Setiati S, penyunting.
Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simandibrata M, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.
5. Darmojo B. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2009.
6. Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. Jakarta: MKI; 2008.
7. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC; 2008.
8. Macfarlane MT. Urology. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
9. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012.

Anda mungkin juga menyukai