Anda di halaman 1dari 24

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Konsep Penilaian Afektif
Menurut Trianto (2011: 276), Penilaian afektif adalah penilaian terhadap
aspek- aspek non intelektual seperti sikap, minat, dan motivasi. Penilaian afektif
di perlukan mengingat afektif berpengaruh terhadap perilaku siswa di masa depan.
Alasan mengapa kita perlu mempromosikan pentingnya sikap positif siswa
terhadap belajar karena siswa yang memiliki sikap positif terhadap belajar akan
menjadi pembelajar di masa depan.
Penilaian sikap sebagai penilaian terhadap perilaku dan keyakinan siswa
terhadap suatu objek, fenomena, atau masalah. Ranah afektif berkenaan dengan
sikap dan nilai. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam dalam berbagai
tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar,
menghargai guru dan teman akelas, kebiasaan, dan hubungan sosial
Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur
tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta didik yang meliputi ranah
menerima (receiving), merespon (responding), menilai (valuing), mengorganisasi
(organization), dan mengkarakterisasi (characterization)” (Yunita, dkk, 2017:
110).
According to Syamsudin, et al (2016: 27), affective evaluation is quite
possible to do on condition that it meets five principles, namely: (1) The objective
of the evaluation is clear; (2) what is to be evaluated is clear; (3) it uses the right
instrument; (4) the quality of the instru-ment used is known; (5) the method of
inter-preting the data presented by the instrument is known. The affective factors
relevant to the teaching and learning process are attitude, interest, values,
tendency of choice, awareness of self-esteem, self-control, and anxiety.
Terjemahan:
Menurut Syamsudin, dkk (2016: 27), penilaian afektif sangat mungkin
dilakukan dengan syarat memenuhi lima prinsip, yaitu: (1) Tujuan evaluasi jelas;
(2) apa yang harus dievaluasi jelas; (3) menggunakan instrumen yang tepat; (4)
kualitas instrumen yang digunakan dikenal; (5) metode menginterpretasikan data
yang disajikan oleh instrumen diketahui. Faktor-faktor afektif yang relevan
dengan proses belajar mengajar adalah sikap, minat, nilai-nilai, kecenderungan
pilihan, kesadaran akan harga diri, kontrol diri, dan kecemasan.
Menurut Saidah dan Damariswara (2017: 85), Penilaian sikap yang hanya
dilakukan oleh guru dengan cara melakukan observasi dan mendeskripsikan
informasi terkait perilaku siswa. Aspek sikap yang dijabarkan dalam dua kategori
yaitu sikap sosial dan sikap spiritual. Sikap sosial dideskripsikan sebagai sebuah
sikap yang menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, percaya
diri dan pedui terhadap sesama. Sikap spiritual dideskripsikan sebagai sebuah
sikap mampu menerima,menjalankan dan menghargai ajaran agama yang
dianutnya. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian
pada ranah sikap dilakukan oleh guru dalam bentuk deskripsi perilaku siswa yang
meliputi dua macam kategori sikap yaitu sikap sosial dan sikap spiritual.
Penilaian sikap merupakan salah satu bentuk penilaian yang menuntut guru
untuk memahami karakteristik dari setiap siswanya. Sikap siswa merupakan
sesuatu yang tidak mudah dinilai secara objektif, hal ini karena sikap yang
dimiliki oleh siswa dapat juga dipengaruhi oleh suasana hati dan perasaan yang
mana dapat berubah ubah setiap harinya. Tipe penilaian sikap tidak menentukan
tingkatan siswa berdasarkan hasil kerjanya, akan tetapi penilaian sikap dapat
menentukan bentuk kegiatan pembelajaran yang perlu kita rancang untuk
membantu siswa mengembangkan karakternya agar memiliki sikap positif yang
dapat menunjang kesuksesan akademisnya. Tujuan penilaian sikap adalah untuk
mendapatkan informasi yang akurat mengenai pencapaian tujuan imstruksional
oleh siswa khususnya pada tingkat penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi
dan internalisasi.
According to Ollatunji (2013: 97), The affective domain is a vague concept
that could relate to at least three different aspects of teaching and learning.
According to them, the affective domain firstly could be about the teacher’s
approach to teaching in terms of Philosophy and what this communicates to the
student. In this case, the affective domain relates to the way in which the teacher
interacts with students to establish a relationship. Secondly, the affective domain
could be about stirring up the affective attributes of students as a deliberate form
of engagement. The essence of such a method could be to show disapproval or
annoyance at an act of injustice and by so doing, some students may be
encouraged to take a greater level of participation. With the first and second
perspective of affective domain, the onus is on the teacher to establish the learning
environment. It is expected that students will respond positively or otherwise.
However, they do not initiate. Thirdly, the affective domain could be about
learners being engaged with the development and understanding of their own
motivations, attitudes, values and feelings with respect to behavior as a citizen and
a professional.
Affective learning characterizes the emotional area of learning reflected by
beliefs, values, interests, and behaviors of learners. Affective learning is
concerned with how learners feel while they are learning, as well as with how
learning experiences are internalized so they can guide the learner’s attitudes,
opinions, and behavior in the future.
Terjemahan :
Menurut Ollatunji (2013: 97), penilaian afektif adalah konsep yang jelas
yang dapat berhubungan dengan tiga aspek pengajaran dan pembelajaran yang
berbeda. Berdasarkan hal tersebut, ranah afektif pertama-tama bisa mengenai
pendekatan guru untuk mengajar dalam hal mendasar dan apa yang
dikomunikasikan kepada siswa. Dalam hal ini, ranah afektif berhubungan dengan
cara di mana guru berinteraksi dengan siswa untuk menjalin hubungan. Kedua,
ranah afektif dapat berupa menggerakkan atribut afektif siswa sebagai bentuk
keterlibatan yang disengaja. Inti dari metode semacam itu adalah menunjukkan
ketidaksetujuan atau gangguan pada tindakan ketidakadilan dan dengan
melakukan hal itu, beberapa siswa mungkin didorong untuk mengambil tingkat
partisipasi yang lebih besar. Dengan perspektif pertama dan kedua dari ranah
afektif, tanggung jawab ada pada guru untuk membangun lingkungan belajar.
Diharapkan siswa akan merespons secara positif atau sebaliknya. Namun, bukan
mereka yang memulai. Ketiga, ranah afektif bisa mengenai peserta didik yang
terlibat dengan pengembangan dan pemahaman motivasi, sikap, nilai-nilai dan
perasaan mereka sendiri sehubungan dengan perilaku sebagai warga negara dan
profesinya
Pembelajaran afektif mencirikan area emosional pembelajaran yang
tercermin dari kepercayaan, nilai, minat, dan perilaku peserta didik. Pembelajaran
afektif berkaitan dengan bagaimana perasaan peserta didik saat mereka belajar,
serta dengan bagaimana pengalaman belajar diinternalisasi sehingga mereka dapat
memandu sikap, pendapat, dan perilaku pelajar di masa depan.
According to Kristiawan, et al (2016: 2), For the target of the affective
includes correctness, and the ability to solve problems logically and
systematically, this domain is a domain that is shown by behavior relate to
emotional such as feelings, values, interests, awareness, motivation, and attitude.
Menurut Kristiawan, dkk (2016: 2), Target dari afektif meliputi kebenaran,
dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara logis dan sistematis, ranah
ini ditunjukkan oleh perilaku yang berhubungan dengan emosi seperti perasaan,
nilai, minat, kesadaran, motivasi, dan sikap.
Menurut Al-tabany (2011: 276), Beberapa hal yang dapat menjadi fokus
salah satunya sikap, antara lain: (a) sikap terhadap mata pelajaran. Siswa
seharusnya memiliki sikap yang lebih baik pada satu mata pelajaran, (misalnya
matematika) pada akhir semester dari pada ketika mata pelajaran tersebut
diberikan pertama kali. Setidaknya siswa tidak memiliki mata pelajaran negatif
terhadap mata pelajaran setelah pelajaran berlangsung. (b) sikap positif terhadap
belajar. Siswa diharapkan memiliki sifat yang baik terhadap belajar cenderung
menjadi pembelajaran pada masa depan. (c) sikap positif terhadap diri sendiri.
Meskipun harga diri siswa dipengaruhi oleh keluarga dan kejadian diluar sekolah,
hal hal yang terjadi di kelas diharapkan dapat meningkatkan harga diri siswa. (d)
sikap positif terhadap perbedaan. Siswa perlu mengembangkan sikap yang lebih
toleran dan keagamaan. Selain itu, penilaian efektif juga dapat melihat fokus nilai
semacam kejujuran, integritas, dan nilai kebebasan.
2.1.2 Tujuan Penilaian Afektif
Menurut Sukanti (2011: 77-78), Sesuai dengan karakteristik afektif dalam
proses pembelajaran adalah minat, sikap, konsep diri dan nilai maka tujuan
penilaian afektif adalah:
1. Untuk memperoleh informasi minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang
selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata
pelajaran jika ternyata minatnya rendah.
2. Untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran. Sikap peserta
didik terhadap mata pelajarandapat positif atau negatif. Hasil pengukuran sikap
berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk peserta
didik.
3. Untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Peserta didik
melakukan evaluasi terhadap potensi yang ada dalam dirinya. Informasi ini
dapat digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh peserta
didik untuk menentukan jenjang karir.
4. Untuk mengungkap nilai individu. Informasi yang diperoleh ini berupa nilai
yang positif dan yang negatif. Hal-hal yang positif diperkuat dan yang negatif
diperlemah dan akhirnya dihilangkan.
Menurut Malawi dan Maruti (2016: 57), Tujuan penilaian afektif pada
prinsipnya untuk:
1. Feedback bagi guru dan siswa, sehingga dapat sebagai dasar perbaikan
pembelajaran.
2. Mengetahui tingkat perubahan perilaku siswa, yang akan bermanfaat bagi:
siswa itu sendiri, orang tua, dan penentuan kelulusan siswa.
3. Penempatan (placement) siswa dalam kegiatan pembelajaran secara tepat,
sesuai dengan tingkat pencapaian dan kemampuan serta karakteristik siswa
itu sendiri.
Oleh karena itu tujuan penilaian kawasan afektif adalah perilaku testee,
bukan pengetahuan. Begitu pula pertanyaan afektif tidak menuntut jawaban benar
atau salah, tetapi lebih ditujukan pada kecenderungan aspek minat, sikap dan
internalisasi nilai.
According to Popham (2001: 144), A few more example of affective targets
observer might want to measure:
1. Positive attitude toward learning.
2. Positive attitude toward volitional reading.
3. Interest in civic affairs.
4. A belief in the safety of a given school's environment.
Menurut Popham (2001: 144), beberapa contoh target afektif yang mungkin
ingin diukur oleh pengamat:
1. Sikap positif terhadap pembelajaran.
2. Sikap positif terhadap kemauan mambaca.
3. Minat dalam urusan sipil.
4. Keyakinan akan keamanan yang dberikan oleh lingkungan sekolah.
According to Kristiawan, et al (2016: 2), The goal of affective in learning as
a means of cognitive goals is to developing interest and motivation. Motivation is
very important to learn and thus is one of the main ways in which the affective
domain is used as a means of cognition. To increase the interest and motivation of
the learnes is very important to giving attention for the situation of place to learn.
Therefore, it can be concluded that the goal of achievement is the affective means
to facilitate cognitive learning. Automatically domain appears in every learning,
but is rarely found in this research of a teacher. A comprehensive assesment is an
essential aspect of any meaningfull education programs. It is aimed to get an
intellectual students in the clasification of cognitive knowledge and cognitive
process, have good performance and can work diligently, thoroughly, and be able
to solve problem systematically.
Terjemahan:
Menurut Kristiawan, dkk (2016: 2), Tujuan afektif dalam pembelajaran
sebagai sarana tujuan kognitif adalah untuk mengembangkan minat dan motivasi.
Motivasi sangat penting untuk dipelajari dan dengan demikian merupakan salah
satu cara utama di mana ranah afektif digunakan sebagai sarana kognitif. Untuk
meningkatkan minat dan motivasi belajar, maka sangat penting untuk memberikan
perhatian pada situasi tempat belajar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
tujuan pencapaian sarana afektif adalah untuk memfasilitasi pembelajaran
kognitif. Secara otomatis hal ini muncul di setiap pembelajaran, tetapi jarang
ditemukan dalam penelitian guru ini. Penilaian komprehensif adalah aspek
penting dari setiap program pendidikan yang bermakna. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan siswa yang cerdas dalam klasifikasi pengetahuan kognitif dan
proses kognitif, memiliki kinerja yang baik dan dapat bekerja dengan tekun,
tuntas, dan mampu menyelesaikan masalah secara sistematis.
2.1.3 Tingkatan Ranah Afektif
Domain afektif berkenaan dengan sikap,nilai-nilai,dan apersiasi. Domain ini
merupakan bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari domain kognitif. Artinya,
seseorang hanya akan memiliki sikap tertentu terhadap sesuatu objekmanakalah
telah memiliki kemampuan kognitif tingkat tinggi. Dengan kata lain, kompetensi
ini mensyaratkan penguasaan kompetensi kognitif tinggi .maksudnya , kompetensi
pengetahuan ( kognitif) menjadi dasar dan pondasi bagi kepemilikan kompetensi
sikap. Tanpa siswa mengusai kompetensi pengetahuan (pada level tinggi), maka
sulit bagi siswa menguasai dan memiliki kompetensi sikap dengan baik (Sanjaya
dalam Prastowo, 2017: 139).
Menurut Darmadji (2014: 17), Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi
Krathwohl (1964) setidaknya mencakup lima tingkat, yaitu: receiving
(pengenalan), responding (pemberian respon), valuing (penghargaan),
organization (pengorganisasian), dan characterization (pengamalan). Kelimanya
merupakan hal yang hirarkis.
1. Tingkat Pengenalan (Receiving)
Pada tingkat receiving, peserta didik memiliki persepsi terhadap suatu
fenomena khusus atau stimulus, yang menarik perhatiannya.Tugas pendidik
menjaga perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran
afektif.Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku,
senang bekerjasama, dan sebagainya. Kata kerja operasional yang dapat
digunakan pada perumusan tujuan adalah menghadiri, melihat, memperhatikan
(Amri, 2016: 56).
2. Tingkat Pemberian Respon (Responding)
Kemampuan merespon adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk
mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat
reaksi terhadapnya dengan salah satu cara jenjang ini setingkat lebih tinggi dari
jenjang kemampuan menerima. Kemampuan merespon juga dapat diartikan
kemampuan menunjukan perhatian yang aktif, kemampuan melakukan sesuatu,
dan kemampuan menanggapi. Responding merupakan partisipasi aktif siswa, yaitu
sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini siswa tidak saja memperhatikan
fenomena khusus, tetapi ia juga bereaksi. Responding biasanya diawali dengan
diam-diam, kemudian dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kesadaran setelah
itu baru respon dilakukan dengan penuh kegembiraan dan kepuasan. Hasil
pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respon, berkeinginan
memberi respon, atau kepuasan dalam memberi respon. Tingkat yang tinggi pada
kategori ini adalah minta, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil
dan kesenangan pada aktivitas khusus (Prastowo, 2017: 140).
3. Tingkat Penghargaan (Valuing)
Tingkat valuing berhubungan dengan tingkah laku yang mengindikasikan
ketertarikan (preference) siswa terhadap sains.Prilaku yang menandai pencapaian
valuing adalah keinginannya sendiri untuk patuh dan memiliki komitmen untuk
menjaga nilai yang ia patuhi. Uno dan Koni menambahkan bahwa pada level
valuing siswa mau menerima sistem nilai tertentu pada diri individu, seperti
menunjukkan kepercayaan terhadap sesuatu, mengapresiasi sesuatu dan
kesungguhan untuk melakukan suatu kehidupan sosial (Noviyanti, dkk, 2017:
110).
4. Tingkat Pengorganisasian (Organization)
Tingkat organization berkaitan dengan memadukan nilai-nilai yang berbeda,
menyelesaikan konflik, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten.
Contohnya mengakui adanya kebutuhan keseimbangan antara kebebasan dan
tanggung jawab, menyelaraskan antara kebutuhan organisasi, keluarga dan diri
sendiri. Indikatornya adalah peserta didik: mengubah, mengatur, menggabungkan,
membandingkan, melengkapi, mempertahankan, menerangkan, merumuskan,
menggeneralisasikan, mengidentifikasikan, mengintegrasikan, memodifikasikan,
mengorganisir, menyiapkan, menghubungkan, mengsintesiskan (Sukanti, 2011:
75).
5. Tingkat Pengalaman (Characterizing)
Tingkat pengalaman berarti, sebagai akibat, individu telah menbangun gaya
hidup berdasarkan sistem nilai sains yang lebih disukai. Perilaku individu
konsisten dan dapat diprediksi berkaitan dengan nilai sains.Hasil pembelajaran
yang berhubungan dengan pola general prilaku yang selaras dengan level ini.
Level characterization merupakan level tertinggi dari ranah afektif, pada level ini
siswa sudah memiliki sistem nilai dan selalu menyelaraskan prilakunya sesuai
dengan sistem nilai yang dipegang, seperti bersikap objektif terhadap segala hal
(Noviyanti, dkk, 2017: 110).
According to Gaberson and Oermann (2014: 19), The second dimension of
affective evaluation focuses on whether or not student have accepted these values,
attitudes, and beliefs and are internalizing them for their own decision making and
behavior. Assessment at these higher levels of the affective domain is more
difficult because it requires observation of student behavior over time to
determine whether there is commitment to act according to professional values.
Test items are not appropriate for these levels as the teacher is concerned with the
use of values in practice and the motivation to carry them out consistently in
patient care.
A description and sampel objective for each of the five levels of learning in
the affective taxonomy follow:
1. Receiving
Awareness of values, attitudes, and beliefs important in nursing practice.
Sensitivity to a patient, clinical situation, and problem. Expresses an awareness
of the need for maintaining confidentiality of patient information.
2. Responding
Learner’s reaction to a situation. Responding voluntarily to a given
phenomenon reflecting a choice made by the learner. Shares willingly feelings
about caring for adying patient
3. Valuing
Internalization of a value. Acceptance of a value and the commitment to using
that value as a basis for behavior. Supports the rights of patients to make their
own decisions about care.
4. Organization
Development of a complex system of values. Creation of a value system Forms
a position about issues relating to the cost effectiveness of interventions.
5. Chacarterization by a value
Internalization of a value system providing a philosophy for practice. Acts
consistently to involve patiens and families in decision making about care.
Terjemahan :
Menurut Gaberson dan Oermann (2014: 19), Dimensi kedua evaluasi afektif
berfokus pada apakah siswa telah menerima nilai-nilai, sikap, dan keyakinan ini
dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut untuk pengambilan keputusan dan
perilaku mereka sendiri. Penilaian pada tingkat yang lebih tinggi dari domain
afektif ini lebih sulit karena memerlukan pengamatan perilaku siswa dari waktu
ke waktu untuk menentukan apakah ada komitmen untuk bertindak sesuai dengan
nilai-nilai profesional. Item tes tidak sesuai untuk level ini karena guru peduli
dengan penggunaan nilai dalam praktik dan motivasi untuk melaksanakannya
secara konsisten dalam perawatan siswa.
Deskripsi dan sasaran sampel untuk masing-masing dari lima tingkat
pembelajaran dalam taksonomi afektif mengikuti :
1. Menerima
Kesadaran akan nilai, sikap, dan keyakinan yang penting dalam praktik
keperawatan. Kepekaan terhadap siswa, situasi klinis, dan masalah.
Mengungkapkan kesadaran akan perlunya menjaga kerahasiaan informasi
siswa
2. Menanggapi
Reaksi pelajar terhadap suatu situasi. Menanggapi secara sukarela terhadap
fenomena yang diberikan mencerminkan pilihan yang dibuat oleh pelajar.
Membagikan perasaan rela tentang menanggapi siswa
3. Menilai
Internalisasi suatu nilai. Penerimaan nilai dan komitmen untuk menggunakan
nilai itu sebagai dasar perilaku. Mendukung hak-hak siswa untuk membuat
keputusan sendiri tentang perawatan.
4. Pengembangan
Organisasi sistem nilai yang kompleks. Penciptaan sistem nilai Membentuk
posisi tentang masalah yang berkaitan dengan efektivitas biaya intervensi.
5. Pengalaman oleh nilai
Internalisasi sistem nilai memberikan filosofi untuk praktik. Bertindak
konsisten untuk melibatkan siswa dan keluarga dalam pengambilan keputusan
tentang perawatan
2.1.4 Karakteristik Ranah Afektif
Penilaian dan evaluasi pada ranah afektif, setidaknya terkait dengan lima (5)
tipe afektif. Kelima tipe afektif yang penting antara lain adalah sikap, minat,
konsep diri, nilai, dan moral. Kelima tipe ini yang biasanya dilakukan penilaian
dan/atau pengukuran dikaitkan dengan materi tertentu. Berikut penjelasan singkat
kelima tipe afektif tersebut dan instrument yang digunakan (Darmadji, 2014: 18).
1. Sikap
Sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara
positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep atau orang. Misalnya
objeknya adalah sikap peserta didik terhadap mata pelajaran Akuntansi.
Seharusnya sikap peserta didik terhadap mata kuliah Akuntansi lebih positif
dibanding sebelum mengikuti proses pembelajaran tersebut. Perubahan sikap ini
merupakan indikator keberhasilan pendidik dalam proses pembelajaran. Oleh
karena itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman
pembelajaran yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi
lebih positif. Dengan sikap positif dalam diri peserta didik akan lebih mudah
diberi motivasi dan akan lebih mudah menyerap materi pelajaran yang diajarkan.
Penilaian sikap pada sekolah menengah kejuruan ada dua yaitu sikap
mengikuti pembelajaran sehari-hari dan sikap dalam melaksanakan suatu
pekerjaan produktif.Sikap mengikuti pembelajaran bersumber dari catatan harian
peserta didik berdasarkan pengamatan guru mata pelajaran, hasil penilaian
berdasarkan pertanyaan langsung dan laporan pribadi.Penilaian sikap dalam
melaksanakan pekerjaan idealnya dilakukan oleh dua penilai yaitu unsur eksternal
(dari industri) dan internal (guru), yang mengacu pada pencapaian kriteria pada
setiap kompetensi. Sikap yang dinilai adalah sikap yang dipersyaratkan untuk
melakukan suatu pekerjaan (Sukanti, 2011: 76).
2. Interests
Preferences for pasticipating in particular activities characterize interests.
They differ fromattitudes because the target of interests are activities (as opposed
to attitudes toward social situations,objects,or institutions). Theacher who possess
knowledge of their students interestcan help them selves in two ways. First
,teacherscan select supplemental instructional materials or design examples or
applications that are of interest to the majority of students in a class. Second,
teachers can use this information to select or develop classroom activites that may
be used toreinforce positive student behaviors (Mertler, 2017: 18).
Terjemahan :
2. Minat
Preferensi untuk berpartisipasi dalam kegiatan tertentu mencirikan minat.
Mereka berbeda dari sikap karena target kepentingan adalah kegiatan (sebagai
lawan dari sikap terhadap situasi sosial, objek, atau lembaga). Sang guru yang
memiliki pengetahuan tentang minat siswanya dapat membantu mereka dengan
dua cara. Pertama, guru dapat memilih bahan pengajaran tambahan atau
merancang contoh atau aplikasi yang menarik bagi sebagian besar siswa di
kelas.Kedua, guru dapat menggunakan informasi ini untuk memilih atau
mengembangkan kegiatan kelas yang dapat digunakan untuk memperkuat
perilaku siswa yang positif (Mertler, 2017: 18).
3. Konsep diri
Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan
dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada
dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Arah konsep diri bisa positif atau negatif,
dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari
rendah sampai tinggi.Konsep diri ini penting untuk mengembangkan karakter dan
kepribadian peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
sendiri. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan sikap introspeksi (muhasabatu al-
nafs) pada peserta didik, optimism (tafâ‘ul) dengan kelebihan yang dimilikinya
namun juga tetap sadar dengan kekurangan atau kelemahannya (Darmadji, 2014:
20).
4. Nilai
Nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku
yang dianggap baik dan yang dianggap jelek. Beberapa ranah afektif yang
tergolong penting adalah (a) Kejujuran: peserta didik harus belajar untuk
menghargai kejujuran dalam beriteraksi dengan orang lain; (b) Integritas: peserta
didik harus dapat dipercaya oleh orang lain, mengikat pada kode nilai; (c) Adil:
peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang memperoleh perlakuan
hukum yang sama; (d) Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara
demokratis harus memberi kebebasan secara maksimum kepada semua orang.
Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan
kelemahan yang dimilikinya. Konsep diri ini penting bagi peserta didik untuk
menentukan jenjang karir mereka yaitu dengan mengetahui kekuatan dan
kelemahan diri sendiri maka bisa dipilih alternatif karir yang tepat bagi dirinya.
Informasi tentang konsep diri peserta didik ini penting bagi pendidik untuk
memotivasi belajar peserta didik dengan tepat (Sukanti,2011: 76-77).
5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak disebut-sebut teorinya tentang perkembangan
moral. Bahkan tidak jarang teorinya menjadi landasan dasar dalam proses
pendidikan moral Namun teori tersebut bukannya tanpa kritik. Antara lain karena
Kohlberg dianggap mengabaikan hubungan antara judgement moral dan tindakan
moral. Ia dianggap lebih cenderung pada prinsip moral seseorang melalui
penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikalnya, bukan pada bagaimana
sesungguhnya seseorang bertindak atau tindakan moralnya. Seringkali moral
berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap orang lain atau perasaan
terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain,
membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral
juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, seperti keyakinan akan
perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai,
dan keyakinan seseorang (Darmadji, 2014: 21).
According to Rabiudin, et al (2018: 2), Affective domain is one of the
taxonomic instructional goals related to a person's psychological condition or
feelings. There are five important affective characteristics: "attitudes, interests,
selfconcept, values and morals." According to Krathwohl the affective sphere in
taxonomy is detailed in five levels: receiving/attending, responding, valuing,
organization, and characterization by a value or value complex.
Terjemahan:
Menurut Rabiudin, dkk (2018: 2), Ranah afektif adalah salah satu dari
taksonomi tujuan pembelajaran yang terkait dengan kondisi atau perasaan
psikologis seseorang. Ada lima karakteristik afektif penting: "sikap, minat,
konsepsi diri, nilai-nilai dan moral." Bidang afektif dalam taksonomi dirinci
dalam lima tingkatan: menerima/menghadiri, merespons, menilai,
mengorganisasi, dan mengkarakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
Affective characteristics can be important both a meas and ends of
education. Therefore, the assessment of these characteristics is equally important.
A researcher/teacher may need to understand student affective characteristics in
order to provide proper instructional conditions and to evaluate an affective
aducation program. In short, if the affective characteruatics are viewed as means,
those chosen for assessment must relate one or more of the available classroom
settings or teaching styles to the cognitive objectives of the course or curiculum,
or both. If they are viewed as ends in themselvels, the characteristics selected for
assessment must conform to the goals and objectives of the course or curriculum
(Kahveci, 2015: 46-47).
Terjemahan :
Karakteristik afektif dapat menjadi penting baik sebagai sarana dan tujuan
pendidikan. Oleh karena itu, penilaian karakteristik ini sama pentingnya. Seorang
peneliti/guru mungkin perlu memahami karakteristik afektif siswa untuk
memberikan kondisi pengajaran yang tepat dan untuk mengevaluasi program
pendidikan afektif. Singkatnya, jika karakterisasi afektif dipandang sebagai
sarana, mereka yang dipilih untuk penilaian harus menghubungkan satu atau lebih
pengaturan ruang kelas yang tersedia atau gaya mengajar dengan tujuan kognitif
dari mata pelajaran atau kurikulum, atau keduanya. Jika mereka dipandang
sebagai tujuan dalam tingkatnya, karakteristik yang dipilih untuk penilaian harus
sesuai dengan tujuan dan sasaran mata pelajaran atau kurikulum (Kahveci, 2015:
46-47).
2.1.5 Skala yang digunakan dalam Melakukan Penilaian Afektif
Menurut Malawi dan Maruti (2016: 56-59), Mengukur ranah afektif tidaklah
semudah mengukur ranah kognitif, karena pengukuran ranah afektif tidak dapat
dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran formal) mengingat perilaku siswa
tidak bisa berubah sewaktu-waktu. Pengubahan sikap seseorang membutuhkan
waktu yang relatif lama. Demikian pula dengan pengembangan minat dan
penghargaan serta nilai-nilai.
Sehubungan dengan pengukuran sikap, terdapat enam bentuk skala antara
lain skala Likert, skala pilihan ganda, skala Thurstone, skala Guttman, Semantic
Defferential, dan pengukuran minat.
1. Skala Likert, disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh lima
respons yang menunjukkan kecenderungan sikap siswa, yaitu: Sangat Setuju
(SS), Setuju (S), Tidak berpendapat (TB), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
Setuju (STS).
2. Skala pilihan ganda, bentuknya seperti bentuk multiple choice yaitu suatu
pernyataan yang diikuti oleh sejumlah alternatif pendapat. Skala pilihan ganda
ini dikembangkan oleh Inkels, seorang ahli penilaian di Stanford University.
3. Skala Thurstone, suatu skala mirip skala buatan Likert karena merupakan suatu
instrumen yang jawabannya menunjukkan tingkatan.
4. Skala Guttman, skala ini mirip dengan skala Bogardus, yaitu berupa tiga atau
empat butir pernyataan yang masing-masing harus dijawab “ya” atau “tidak”.
Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan tingkatan yang berurutan
sehingga bila responden setuju dengan pernyataan nomor 2, diasumsikan setuju
nomor 1. Selanjutnya jika responden setuju dengan pernyataan nomor 3, berarti
setuju dengan pernyataan nomor 1 dan 2.
5. Semantic Differential, disusun oleh Osgood dan kawan-kawan, mengukur
konsep-konsep untuk tiga dimensi dalam kategori: baik-tidak-baik; kuat-lemah;
cepat-lambat; dan aktif-pasif, atau dapat berguna-tidak berguna. Dalam buku
Osgood dikemukakan adanya tiga faktor untuk menganalisis skalanya: (a)
evaluation: baik-buruk; (b) potency: kuat-lemah; (c) activity: cepat-lambat; (d)
familiarity.
6. Pengukuran minat, dapat menggunakan “Kuder Preference Record” (1939),
yang mengidentifikasi sepuluh kelompok minat sebagai berikut:
a. Outdoor, minat terhadap alam sekitar.
b. Mechanichal, minat yang berhubungan dengan mesin atau alat-alat teknik.
c. Computational, minat yang berhubungan dengan pekerjaan hitung-
menghitung.
d. Scientific, minat terhadap ilmu pengetahuan.
e. Persuasive, minat yang berhubungan dengan pekerjaan mempengaruhi
orang lain.
f. Artistic, minat yang berhubungan dengan pekerjaan kesenian kerajinan dan
kreasi tangan.
g. Library, minat yang berhubungan dengan pekerjaan literatur, membaca, dan
menulis berbagai karangan.
h. Musical, minat yang berhubungan dengan masalah musik.
i. Social service, minat yang berhubungan dengan pekerjaan melayani atau
menbantu orang lain.
j. Klerical, minat yang berhubungan dengan pekerjaan administratif.
2.1.6 Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif
Menurut Sukanti (2011: 78-81), Terdapat sepuluh langkah yang harus
diikuti dalam pengembangan instrument penilaian afektif:
1. Menentukan Spesifikasi Instrumen
Spesifikasi instrumen terdiri dari tujuan dan kisi-kisi instrumen. Instrumen
minat bertujuan untuk memperoleh informasi terhadap minat peserta didik
terhadap mata pelajaran yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat
peserta didik tersebut terhadap mata pelajaran. Instrumen sikap bertujuan untuk
mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik
terhadap mata pelajaran dapat positif atau negatif. Hasil pengukuran sikap
berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk peserta didik.
Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi terhadap potensi yang ada dalam
dirinya. Informasi ini dapat digunakan untuk menentukan program yang
sebaiknya ditempuh peserta didik untuk menentukan jenjang karir. Instrumen nilai
bertujuan untuk mengungkap nilai individu. Informasi yang diperoleh ini berupa
nilai yang positif dan yang negatif. Hal-hal yang positif diperkuat dan yang
negatif diperlemah dan akhirnya dihilangkan.
Kisi-kisi merupakan tabel yang berisi spesifikasi instrumen yang akan ditulis.
Kisi-kisi pada dasarnya berisi tentang definisi konseptual yang ingin diukur,
kemudian ditentukan definisi operasional dan selanjutnya diuraikan menjadi
sejumlah indikator. Indikator ini merupakan acuan untuk menulis instrumen.
Pertanyaan yang ditulis ini berdasar indikator. Tiap indikator dapat ditulis dua
atau lebih pertanyaan.
2. Menulis Instrumen
Terdapat empat aspek penting dari ranah afektif dalam proses pembelajaran
yaitu sikap, minat, konsep diri dan nilai. Cara yang mudah untuk mengetahui
sikap peserta didik terhadap mata pelajaran adalah dengan angket. Pertanyaan
tentang sikap meminta peserta didik menunjukkan perasaan positif atau negatif
terhadap mata pelajaran. Kata-kata yang dapat digunakan pada pertanyaan sikap
menyatakan pada arah perasaan seseorang, misalnya: menerima-menolak,
menyenangi-tidak menyenangi, baik-buruk, diinginkan-tidak diinginkan. Indikator
sikap terhadap mata pelajaran misalnya: membaca buku pelajaran, belajar mata
pelajaran tersebut, interaksi dengan dosen, mengerjakan tugas, diskusi tentang
mata pelajaran tersebut, memiliki buku mata pelajaran tersebut.
Instrumen penilaian minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang
minat peserta didik terhadap suatu mata pelajaran yang selanjutnya dapat
digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik pada mata pelajaran tersebut.
Minat adalah keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek.
Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
diri sendiri. Informasi kekuatan dan kelemahan diri sendiri digunakan untuk
menentukan program yang sebaiknya ditempuh oleh peserta didik. Konsep diri
adalah pernyataan tentang kemampuan diri sendiri yang menyangkut mata
pelajaran.
Nilai seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagaimana ia berbuat atau
keinginan berbuat. Nilai adalah keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek
atau kegiatan, misal keyakinan akan kemampuan peserta didik, keyakinan tentang
kinerja pendidik. Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan
keyakinan individu.
Selain menggunakan angket, informasi tentang afektif dapat digali dengan
pengamatan. Pengamatan ranah afektif dapat dilakukan di tempat proses
pembelajaran. Untuk mengetahui keadaan ranah afektif peserta didik, pendidik
harus menyiapkan diri untuk mencatat setiap tindakan yang muncul dari peserta
didik yang berkaitan dengan indikator ranah afektif peserta didik tersebut. Oleh
karena itu perlu ditentukan indikator substansi yang akan diukur.
3. Menentukan Skala Instrumen
Secara garis besar skala instrumen yang sering digunakan dalam penilaian
adalah skala Thurstone, skala Likert, dan skala Beda Semantik. Panjang instrumen
berhubungan dengan masalah kebosanan, yaitu tingkat kejemuan dalam mengisi
instrumen. Lama pengisian instrumen sebaiknya tidak lebih dari 30 menit.
4. Menentukan Sistem Penskoran
Sistem perskoran yang digunakan tergantung pada skala pengukuran yang
digunakan. Apabila menggunakan skala Thurstone maka skor tertinggi untuk tiap
butir 7 dan skor terendah 1. Demikian pula untuk instrumen dengan skala beda
semantik tertinggi 7 dan terendah 1. Untuk skala Likert skor tertinggi 4 dan skor
terendah 1. Dalam pengukuran sering terjadi kecenderungan responden memilih
jawaban pada kategori 3 untuk skala Likert, untuk mengatasi hal ini skala Likert
hanya menggunakan 4 pilihan agar jelas sikap atau minat peserta didik yaitu
sangat setuju:4, setuju: 3, tidak setuju: 2, dan sangat tidak setuju :1.
5. Menelaah Instrumen
Kegiatan menelaah instrumen adalah meneliti tentang: 1) apakah butir
pertanyaan atau pernyataan sesuai dengan indikator, 2) apakah bahasa yang
digunakan sudah komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, 3)
apakah butir pertanyaan atau pernyataan tidak bias, 4) apakah format instrumen
menarik untuk dibaca, 5) apakah jumlah butir sudah tepat sehingga tidak
menjemukan menjawabnya. Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang
diukur. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman sejawat bila yang diinginkan
adalah masukan tentang bahasa dan format instrumen. Bahasa yang digunakan
sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik. Hasil telaah ini selanjutnya
digunakan untuk memperbaiki instrumen.
6. Melakukan Uji Coba
Instrumen yang telah ditelaah kemudian diperbaiki untuk uji coba. Uji coba
bertujuan untuk mengetahui karakteristik instrumen. Karakteristik yang penting
adalah keandalannya. Selanjutnya dihitung keandalannya dengan formula
Cronbach alpha, bila besarnya indeks sama atau lebih besar dari 0,7 maka
instrumen itu tergolong baik.
7. Menganalisis Instrumen
Berdasarkan hasil uji coba dapat diketahui kualitas instrumen tersebut. Dengan
demikian dapat dilakukan perbaikan-perbaikan jika masih ada pertanyaan atau
pernyataan yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Ada kemungkinan
pertanyaan sudah baik sehingga tidak perlu diperbaiki, dan ada beberapa butir
yang mungkin perlu diperbaiki dan mungkin ada sebagian yang harus dibuang
karena tidak baik.
8. Merakit Instrumen
Setelah instrumen dianalisis dan diperbaiki, langkah berikutnya adalah merakit
instrumen menjadi satu keseluruhan.
9. Melaksanakan Pengukuran.
Instrumen yang telah disusun diberikan kepada peserta didik untuk diisi.
Dalam pelaksanaan ini perlu dipantau agar instrumen itu betul-betul diisi oleh
peserta didik yang bersangkutan dengan jujur dan sesuai dengan ketentuan.
Pelaksanaan pengukuran ini perlu dilaksanakan secara hati-hati agar tujuan
pengukuran dapat tercapai.
10. Menafsirkan Hasil Pengukuran
Setelah dilakukan pengukuran, selanjutnya dilakukan analisis untuk tingkat
individu dan tingkat kelas dan ditafsirkan hasilnya untuk mengetahui misalnya
minat individu dan minat kelas terhadap mata pelajaran Akuntansi. Untuk
menafsirkan hasil pengukuran diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan
tergantung dari skala dan jumlah butir yang digunakan. Misalkan digunakan skala
Likert dengan 4 pilihan untuk mengukur sikap peserta didik yaitu: sangat setuju:
4, setuju: 3, tidak setuju: 2, dan sangat tidak setuju: 1. Instrumen yang telah diisi
dicari skor keseluruhannya sehingga tiap peserta didik memiliki skor.
2.1.7 Cara atau Teknik yang digunakan dalam Melakukan Penilaian Afektif
Penilaian kompetensi peserta didik pada ranah afektif menyangkut sikap dan
minat peserta didik dalam belajar. Secara teknis, penilaian ranah afektif dilakukan
melalui dua hal yaitu: a) laporan diri oleh peserta didik yang biasanya dilakukan
dengan pengisian angket anonim, dan b) pengamatan sistematis oleh guru
terhadap afektif peserta didik dan perlu lembar pengamatan (Fatmawati, dkk,
2015: 46).
Menurut Salamah (2018: 280), Penilaian sikap merupakan penilaian terhadap
perilaku dan keyakinan siswa terhadap suatu obyek, fenomena/masalah. Secara
umum, penilaian sikap dalam berbagai mata pelajaran dapat dilakukan berkaitan
dengan berbagai obyek sikap sebagai berikut : a) Sikap terhadap mata pelajaran;
b) Sikap guru terhadap mata pelajaran; c) Sikap terhadap proses pembelajaran,
dan lain-lain.
Penilaian ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1. Observasi perilaku, misalnya tentang kerja sama, inisiatif, perhatian.
2. Pertanyaan langsung, misalnya tanggapan terhadap tata tertib sekolah yang
baru
3. Laporan pribadi
Menurut Salamah (2018: 287-288), Penilaian sikap dilakukan melalui
kegiatan observasi, penilaian diri, penilaian antarteman, dan jurnal.
1. Observasi
Bentuk instrumen yang digunakan untuk observasi adalah pedoman observasi
yang berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik.
Daftar cek digunakan untuk mengamati ada tidaknya suatu sikap atau perilaku.
Sedangkan skala penilaian menentukan posisi sikap atau perilaku peserta didik
dalam suatu rentangan sikap. Pedoman observasi secara umum memuat
pernyataan sikap atau perilaku yang diamati dan hasil pengamatan sikap atau
perilaku sesuai kenyataan. Pernyataan memuat sikap atau perilaku yang positif
atau negatif sesuai indikator penjabaran sikap dalam kompetensi inti dan
kompetensi dasar. Rentang skala hasil pengamatan antara lain berupa:
a. Selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah
b. Sangat baik, baik, cukup, perlu bimbingan
c. Sangat baik, baik, cukup, perlu bimbingan
Pedoman observasi dilengkapi juga dengan rubrik dan petunjuk penskoran.
Rubrik memuat petunjuk/uraian dalam penilaian skala atau daftar cek. Sedangkan
petunjuk penskoran memuat cara memberikan skor dan mengolah skor menjadi
nilai akhir.
2. Penilaian Diri
Merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk
mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian
kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri.
3. Penilaian Antarteman
Merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk saling
menilai terhadap sikap dan perilaku keseharian antarteman. Instrumen yang
digunakan berupa lembar penilaian antarpeserta didik. Penilaian antarteman
paling baik dilakukan pada saat peserta didik melakukan kegiatan berkelompok.
4. Jurnal Guru
Merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi informasi
hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan
dengan sikap dan perilaku. Jurnal bisa dikatakan sebagai catatan yang
berkesinambungan dari hasil observasi.
Menurut Al-tabany (2011: 277), Banyak teknik dikembangkan untuk
menilai efektif, namun yang sering digunakan adalah dengan memanfaatkan skala
Likert. Langkah langkah dalam menyusun Likert antara lain adalah:
1. Memilih variabel afektif yang akan diukur
2. Membuat beberapa penyataan tetang variabel efektif yang dimaksudkan
3. Mengklasifikasikan pernyataan positif atau negatif
4. Menentukan frasa atau angka yang dapat menjadi alternatif pilihan. Misalnya
SS = sangat setuju, S = setuju, TS = tidak setuju, STS = sangat tidak setuju.
5. Menyusun pernyataan dan pilihan jawaban menjadi sebuah alat penilaian
6. Melakukan uji coba
7. Mengidentifikasikan dan membuang butir butir pernyataan yang kurang baik
8. Melaksanakan penilaian efektif.
According to Qadar, et al(2018: 27-28), The affective aspect instrument is
an observation sheet used by the observer. Each observer observed 7-8 students.
The affective aspect of the instrument consists of five affective stages: receiving,
responding, appreciating, managing, and characterizing. Receiving is done to
actively receive a new information and the ability to selectively respond to
stimulation. Responding is done to actively take a clear action role for learning
purposes. Appreciate is done to display behaviors consistent with clear beliefs or
attitudes. Managing is done to assimilate new values and make them consistent
and compatible with previous learning. Having characters are performed to have a
value system that has been controlled through consistent behavior and it is a
character.
The five affective stages each use four verbs that are expected to appear
during the lesson. Receiving has verbs: attend, watch, listen, and see. Responding
has verbs: discuss, ask, answer, and participate. Respecting has verbs: define,
argue, explain, and show. Managing has verbs: organize, merge, compare, and
equip. Character has verbs: change, reveal, display, and use. Each verb in the
observation sheet is scored one for each occurrence.
Terjemahan:
Menurut Qadar, dkk (2018: 27-28), Instrumen aspek afektif adalah lembar
observasi yang digunakan oleh pengamat. Setiap pengamat mengamati 7-8 siswa.
Instrumen aspek afektif terdiri dari lima tahap afektif: menerima, merespons,
menghargai, mengelola, dan mengkarakterisasi. Penerimaan dilakukan untuk
secara aktif menerima informasi baru dan kemampuan untuk merespons stimulasi
secara selektif. Respon dilakukan untuk secara aktif mengambil peran tindakan
yang jelas untuk tujuan pembelajaran. Menghargai dilakukan untuk menampilkan
perilaku yang konsisten dengan keyakinan atau sikap yang jelas. Mengelola
dilakukan untuk mengasimilasi nilai-nilai baru serta membuatnya konsisten dan
kompatibel dengan pembelajaran sebelumnya. Memiliki karakter dilakukan untuk
memiliki sistem nilai yang telah dikendalikan melalui perilaku yang konsisten dan
inilah yang disebut karakter.
Lima tahap afektif masing-masing menggunakan empat kata kerja yang
diharapkan muncul selama pelajaran. Menerima memiliki kata kerja: menghadiri,
menonton, mendengarkan, dan melihat. Menanggapi memiliki kata kerja:
mendiskusikan, bertanya, menjawab, dan berpartisipasi. Menghargai memiliki
kata kerja: define, argumentasi, jelaskan, dan tunjukkan. Mengelola memiliki kata
kerja: organisasikan, gabungkan, bandingkan, dan lengkapi. Karakter memiliki
kata kerja: ubah, ungkapkan, tampilkan, dan gunakan. Setiap kata kerja dalam
lembar observasi diberi skor satu untuk setiap kejadian.
According to Whiston (2013: 14), Affective instruments asses interest,
attitudes, values, motives, temperament, and the noncognitive aspects of
personality. Both informal and formal techniques have a dominant role in
affective assessment. In the area of formal instruments, practitioners most
frequently use one of two types of personality test: structured instrument and
projective techniques. Structured personality instruments include the Minnesota
Multiphasic Personality Inventory 2 (MMPI-2) in wich individuals respond to a
set of established questions and select answer from the provided alternatives. With
projective techniques, individuals respond to relatively ambigous stimuli, such as
unfished sentences, or pictures.
Terjemahan:
Menurut Whiston (2013: 14), Instrumen afektif menilai minat, sikap, nilai,
motif, temperamen, dan aspek kepribadian nonkognitif. Baik teknik informal dan
formal memiliki peran dominan dalam penilaian afektif. Dalam bidang instrumen
formal, praktisi paling sering menggunakan salah satu dari dua jenis tes
kepribadian: instrumen terstruktur dan teknik proyektif. Instrumen kepribadian
terstruktur termasuk Minnesota Multiphasic Personality Inventory 2 (MMPI-2) di
mana individu merespons serangkaian pertanyaan yang sudah ada dan memilih
jawaban dari alternatif yang disediakan. Dengan teknik proyektif, individu
merespons rangsangan yang relatif ambigu, seperti kalimat yang belum selesai,
atau gambar.
Menurut Saidah dan Damariswara (2017: 86), Beberapa teknik yang dapat
digunakan untuk menilai sikap siswa yaitu dengan teknik observasi, wawancara
maupun angket. Observasi perilaku dapat dilakukan dengan menggunakan buku
catatan khusus mengenai kejadian-kejadian di sekolah yang dapat digunakan
untuk menilai sikap siswa. Observasi dapat juga dilakukan dengan menggunakan
daftar cek yang memuat perilaku yang di harapkan muncul dari peserta didik.
Teknik kedua adalah teknik wawancara. Wawancara adalah interaksi personal
antara guru dan siswa ketika pertanyaan verbal di ajukan secara langsung,
wawancara dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Teknik ketiga
yaitu kuisioner. Kuesioner dapat berupa pertanyaan dengan jawaban terbuka
maupun tertututup.
Penilaian sikap merupakan hak guru yang dianggap paling mampu
mendeskripsikan sikap siswa. Hal tersebut, dikarenakan guru memiliki kedekatan
emosional, terlibat dan berinteraksi secara langsung dengan siswa.
2.2 Kajian Kritis

Anda mungkin juga menyukai