Anda di halaman 1dari 9

SIROSIS HATI

Gontar Alamsyah Siregar


Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Imu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan

Definisi

Kata sirosis berasal dari kata kirrhos yang merupakan bahasa Yunani, yang berarti oranye

atau kuning kecoklatan, dan osis, berarti kondisi. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh

Laennec pada tahun 1826.1,2 Definisi sirosis berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

adalah suatu proses difus yang ditandai dengan fibrosis dan perubahan arsitektur hati normal

menjadi struktur nodul abnormal yang tidak memiliki organisasi lobular yang normal.

Sirosis hati adalah penyakit hati yang menahun yang difus yang ditandai dengan adanya

pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan

menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan

jaringan ikat dan nodul tersebut.3 Banyak bentuk kerusakan hati yang ditandai fibrosis. Batasan

fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks ekstraselular (seperti kolagen,

glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

reversibel. Namun pada sebagian besar pasien sirosis, proses fibrosis biasanya tidak reversibel.2

Progresifitas kerusakan hati ini dapat berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai

beberapa tahun.1,2,4

Epidemiologi

Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000 kematian per tahun

di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian utama yang kesembilan di AS, dan

Universitas Sumatera Utara


bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh kematian di AS. Banyak pasien yang meninggal pada

dekade keempat atau kelima kehidupan mereka akibat penyakit ini. 1,2 Setiap tahun, 2.000

kematian tambahan dikaitkan dengan kegagalan hati fulminan (FHF). FHF disebabkan hepatitis

virus (misalnya, hepatitis A dan B), obat-obatan (misalnya asetaminofen), racun (misalnya

Amanita phalloides, yellow death cap mushroom), hepatitis autoimun, penyakit Wilson, atau

berbagai etiologi lainnya. Penyebab kriptogenik bertanggung jawab atas sepertiga dari kasus

fulminan. Pasien dengan sindrom FHF memiliki tingkat kematian 50-80% kecuali mereka

memperoleh transplantasi hati. 2

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), pada tahun 2000 sekitar 170 juta umat

manusia menderita sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh populasi manusia

di dunia dan setiap tahunnya kejadian baru sirosis hepatis bertambah 3 - 4 juta orang.5 Angka

prevalensi penyakit sirosis hepatis di Indonesia, secara pasti belum diketahui. Namun dari

beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia berdasar diagnosis klinis saja

didapati prevalensi sirosis hati yang dirawat di bangsal penyakit dalam umumnya berkisar antara

3,6 – 8,4% di Jawa dan Sumatera, sedangkan di Sulawesi dan Kalimantan di bawah 1%. Secara

keseluruhan rata – rata prevalensi sirosis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal

penyakit dalam, atau rata – rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Kasus ini

lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan

2,1 : 1 dan usia rata – rata 44 tahun (rentang usia 13 – 88 tahun) dengan kelompok terbanyak

antara usia 40 – 50 tahun.6

Etiologi dan Patogenesis

Terdapat banyak penyebab "sirosis hati", beberapa diantaranya jarang terjadi, bahkan

muncul di masa kecil (misalnya air minum dari pipa tembaga). Sirosis merupakan penyakit yang

Universitas Sumatera Utara


diperoleh atau berbasis genetika. Klasifikasi etiologi, terutama dengan diagnosis dini, harus

selalu menjadi prioritas, karena dapat membantu pengobatan dan juga prognosis. Dengan

menggabungkan data klinis biokimia, histologi, dan epidemiologi penyebab sirosis sebagian

besar dapat ditentukan. Pada masa lalu penyakit hati alkohol merupakan penyebab sirosis yang

paling menonjol di Amerika Serikat. Akhir – akhir ini hepatitis C mulai meningkat jumlahnya

sebagai penyebab utama hepatitis kronik maupun sirosis secara nasional. Di Indonesia, banyak

penelitian menunjukkan bahwa hepatitis B dan C merupakan penyebab sirosis yang lebih

menonjol dibanding penyakit hati alkoholik.1,6,7 Banyak kasus sirosis kriptogenik ternyata

disebabkan penyakit perlemakan hati non – alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease ) NAFLD.

Bila kasus – kasus sirosis kriptogenik diteliti, ternyata banyak pasien menunjukkan satu atau

lebih faktor resiko klasik NAFLD seperti : obesitas, diabetes, dan hipertrigliseridemia. Diduga

steatosis berkurang pada beberapa hati penderita, sementara fibrosis hatinya justru berkembang

dengan progresif. Ini yang membuat diagnosis histologi dari NAFLD menjadi sulit. 2,4,7 Sepertiga

orang Amerika mempunyai NAFLD, sekitar 2 – 3% orang Amerika menunjukkan steatosis non –

alkoholik (non – alcoholic steatohepatitis) NASH, yang deposisi lemaknya dalam hepatosit

mengalami komlipkasi berupa peradangan atau inflamasi hati dan fibrosis. Diperkirakan 10%

pasien NASH dikemudian hari berkembang menjadi sirosis. NAFLD dan NASH telah

diperkirakan akan menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat utama pada dekade

mendatang.2,4

Penyebab utama sirosis di Amerika Serikat adalah hepatitis C (26%), penyakit hati

alkoholik (21%), hepatitis C plus penyakit hati alkoholik (15%), kriptogenik (18%), hepatitis B

yang bersamaan hepatitis D (15%), dan penyebab lain (5%).2,8 Penyebab lain penyakit hati

menahun dan sirosis : hepatitis autoimun, sirosis bilier primer, sirosis bilier sekunder

Universitas Sumatera Utara


(berhubungan dengan obstruksi saluran empedu ekstrahepar menahun), kolangitis sklerosing

primer, hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi α-1 antitripsin, penyakit granulomatosa

(contoh : sarkoidosis), penyakit glycogen storage type IV, hepatitis imbas obat (contoh :

metotreksat, α-metildopa, amidaron), obstruksi aliran vena (contoh : sindrom Budd-Chiari,

penyakit veno-oklusif), gagal jantung kanan kronik dan regurgitasi trikuspid.2,7,8

Terjadinya fibrosis hati menggambarkan kondisi ketidakseimbangan antara produksi

matriks ekstraseluler dan proses degradasinya. Sel – sel stelata yang berada dalam ruangan

perisinusoidal merupakan sel penting untuk memproduksi matriks ekstraseluler. Beberapa faktor

dapat dilepas atau diproduksi oleh sel – sel hepatosit, sel – sel Kupfer, dan endotel sinusoid pada

saat terjadi kerusakan hati. Sebagai contoh : peningkatan kadar TGF - 1 dijumpai pada pasien

dengan hepatitis C kronik dan sirosis. TGF - 1 selanjutnya akan merangsang sel – sel stelata

yang aktif untuk memproduksi kolagen tipe I.1,2 Peningkatan deposisi kolagen dalam ruang Disse

( ruang antara hepatosit dan sinusoid) dan pengurangan ukuran fenestra endotel akan

menimbulkan kapilarisasi sinusoid. Sel – sel stelata yang aktif juga mempunyai sifat konstriksi.

Kapilarisasi dan konstriksi sinusoid oleh sel – sel stelata dapat memicu terjadinya hipertensi

portal.1,2,9

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Etiologi Sirosis Hati. 1

Manifestasi klinis

Keluhan subjektif dari pasien sirosis bersifat non karateristik dan ambigu. Kelelahan

dikeluhkan sekitar 60-80% pasien, gangguan tidur (mungkin disebabkan oleh gangguan irama

melatonin), keluhan gangguan saluran cerna (50-60%), dan gangguan mental kadang dikeluhkan

oleh pasien.10

Beberapa keluhan dan gejala yang sering timbul pada sirosis antara lain adalah: kulit

berwarna kuning, rasa mudah lelah, nafsu makan menurun, gatal, mual, penurunan berat badan,

nyeri perut dan mudah berdarah (akibat penurunan produksi faktor-faktor pembeku darah).
1,2,11,12
Hepatic myelopati dengan paraparesis spastic jarang terjadi, terutama pada tahap lanjut

dari sirosis. Gejala dari neuropati perifer juga terjadi. Kadang terjadi meteorismus dan pada

beberapa kasus timbul asites. Takikardia, hipotensi, dan sistolik murmur yang menunjukkan

sirkulasi hiperdinamik juga terjadi. Spider naevi menunjukkan gangguan signifikan pada

Universitas Sumatera Utara


sirkulasi sistemik dan pulmoner. Murmur dapat terdengar pada area umbilical (sindroma

Cruveilhier-Baumgarten). Laki-laki dapat menampakkan gejala feminisasi, sedangkan wanita

menunjukkan gejala hipogonadisme.10

Pasien sirosis juga dapat mengalami keluhan dan gejala akibat komplikasi dari sirosis

hatinya. Pada beberapa pasien, komplikasi ini dapat menjadi gejala pertama yang membawa

pasien pergi ke dokter. Pasien sirosis dapat tetap berjalan kompensata selama bertahun-tahun

sebelum berubah menjadi dekompensata. Sirosis dekompensata dapat dikenal dari timbulnya

bermacam komplikasi, seperti ikterus, perdarahan varises, asites, atau ensefalopati. Ikterus

terjadi karena kegagalan fungsi hati, dan pengobatan terhadap komplikasi ini biasanya

mengecewakan, kecuali pasien mendapat transplantasi.1,2,8,11,12

Sesuai dengan konsensus Baveno IV, sirosis hati dapat diklasifikasikan menjadi empat

stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, asites dan perdarahan varises : stadium 1 (tidak

ada varises, tidak ada asites), stadium 2 (ada varises tanpa asites), stadium 3 (asites dengan atau

tanpa varises), dan stadium 4 (perdarahan dengan atau tanpa asites). Stadium 1 dan 2

dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata, sementara stadium 3 dan 4 dalam kelompok

sirosis dekompensata. 13

Diagnosis

Satu-satunya tes diagnosis sirosis hati yang paling akurat adalah biopsi hati. Namun

biopsi hati dapat menimbulkan komplikasi serius meskipun sangat jarang. Diagnosis

kemungkinan sirosis dapat dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik , pemeriksaan

laboratorium rutin, maupun pemeriksaan imejing. Bila diagnosis sirosis dapat ditegakkan,

pemeriksaan lain dikerjakan untuk menentukan beratnya sirosis serta ada tidaknya komplikasi.

Pemeriksaan lain juga dapat dibuat untuk menentukan penyakit dasar yang menyebabkan sirosis

Universitas Sumatera Utara


seperti : ANA ( Antinuclear antibody), ASMA (Anti – smooth muscle antibody), AMA (Anti –

mitochondrial antibody) yang kadang – kadang dapat ditemukan pada darah pasien hepatitis

autoimun atau sirosis bilier primer (De Franchis, 2005; Cheney et al., 2012; Wolf, 2012; Garcia-

Tsao dan Wongcharatrawee, 2003; Erlingen dan Benhamou, 1999).1,2,10,12,13 Penilaian atau

klasifikasi tingkat keparahan sirosis diukur dengan menggunakan skor Child – Pugh (Garcia-

Tsao et al., 2007).14

Gambar 2. Klasifikasi Child – Pugh.14

Tatalaksana

Penatalaksanaan sirosis hati ditujukan pada penyebab hepatitis kronis. Hal ini ditujukan untuk

mengurangi progresifitas sirosis hati agar tidak semakin lanjut dan menurunkan terjadinya

karsinoma hepatoseluler. Pengobatan sirosis pada prinsipnya berupa simptomatis, supportif serta

pengobatan yang spesifik dari komplikasi sirosis hati. Pada pasien sirosis hati dengan asites,

pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan

Universitas Sumatera Utara


pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat

salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat

mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan

dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila

dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan

furosemid. Pencegahan untuk terjadinya perdarahan varises esofagus adalah dengan pemberian

obat golongan ß bloker (propranolol) maupun ligase varises. Bila sudah terjadi pendarahan

dalam keadaan akut, bisa dilakukan resusitasi, untuk menghentikan perdarahan digunakan

preparat somatostatin atau octreotide. Penderita sirosis hati dapat megalami komplikasi

ensefalopati hepatikum. Pemberian Laktulose, Neomisin cukup efektif mencegah terjadinya

ensefalopati hepatikum.8,10,11

Daftar pustaka

1. Cheney CP, Goldberg EM, Chopra S. Cirrhosis and portal hypertension : an


overview. In : Friedman LS and Keeffe EB, eds.Handbook of Liver Disease. 2nd ed.
China, Pa : Churchill Livingstone; 2004: 125-138
2. Wolf DC. Cirrhosis of the Liver. eMedicine Specialities. 29 Nov 2012.
http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm
3. Suk TK. Revision and update on clinical practice guideline for liver cirrhosis. The
Korean Journal of Hepatology 2012; 18:1-21
4. Bissell D, Maher JJ. Hepatic Fibrosis and Cirrhosis. In : Zakim D and Boyer TD, eds.
Hepatolog. A Textbook of Liver Disease, vol 1, 3rd ed, Tokyo, 1996: 506
5. World Health Organization. Hepatitis C - global prevalence (update). Weekly
Epidemiological Record, 1999, 74:425-427
6. Hernomo K. Pengelolaan perdarahan masif varises esofagus pada sirosis hati. Thesis.
Airlangga University Press, Surabaya. 1983

Universitas Sumatera Utara


7. Benvegnu L, Gios M, Bocato S et.al. Natural history of compensated viral cirrhosis a
prospective study on the incidence and hierarchy of major complications. Gut 2004;
53:744-749
8. Garcia-Tsao D, Wongcharatrawee S. (VA Hepatitis C Resource Center Program).
Treatment of patients with cirrhosis and portal hypertension literature review and
summary of recommended interventions. Version 1 (October 2003).
www.va.gov/hepatitisc
9. Friedman SL: Hepatic Fibrosis. In : Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC, eds.
Schiff’s Diseases of the Liver. 9th ed. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 2003:409-
28
10. Kuntz, Erwin., Kuntz, Han-Dieter. 2008. Hepatology : Textbook And Atlas . Germany
: springer medizin verlag heilderberg
11. Lee D. Cirrhosis of the Liver. MedicineNet.com, Jan 2005.
http://www.medicinenet.com/cirrhosis/article.htm
12. Erlingen S, Benhamou JP. Cirrhosis : clinical aspect. In : Oxford Textbook of Clinical
Hepatology, Vol 1, 2nd ed.Hong Kong, Pa: Oxford Medical Publications; 1999:629-
44
13. de Franchis R. Evolving consensus in portal hypertension. Report of the Baveno IV
consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal hypertension.
J Hepatol 2005; 43:167-176
14. Garcia-Tsao G, Sanyal AJ, Grace ND, Carey W and the Practice Guidelines
Committee of the American Association for the Study of Liver Diseases, the Practice
Parameters Committee of the American College of Gastroenterology. Prevention and
management of gastroesophageal varices and variceal hemorrhage in cirrhosis.
Hepatology 2007; 46:922-938

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai