Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEKERINGAN DAN INDEKS KEKERINGAN

(Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu Mata Kuliah

Irigasi dan Drainase)

Disusun Oleh

Yesinta Dewi

134150054

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2016
A. Pendahuluan
Indonesia Sebagai daerah yang beriklim muson tropis memiliki dua
musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan yang datang bergantian secara
alamiah. Keadaan keduanya sangat ditentukan oleh kondisi meteorologis.
Kondisi meteorologis yang tidak seimbang telah menyebabkan berbagai
bencana berupa banjir besar yang ditandai dengan meningkatnya curah hujan
yang sangat ekstrim dan biasanya dikenal sebagai badai La-Nina. Kekeringan
yang berkepanjangan dengan suhu yang cukup tinggi disebabkan oleh
rendahnya suhu udara di Samudera Pasifik dan suhu udara atmosfer bagian
bawah disebut sebagai badai El-Nino. Keduanya merupakan bencana yang
sering terjadi terutama El-Nino yang telah beberapa kali melanda Indonesia.
Kekeringan (drought) merupakan salah satu fenomena terkait iklim
akibat defisitnya ketersediaan air yang kerap terjadi di wilayah Indonesia.
Fenomena ini sering kali dianggap sebagai salah satu ancaman besar bagi
kegiatan manusia seperti usaha pertanian, perikanan, peternakan, dan aktifitas
sehari-hari lainnya. Berkurangnya ketersediaan air dalam tanah yang
dibutuhkan dalam berbagai kegiatan menjadi penyebab utama kekeringan
menjadi suatu ancaman.
Terjadinya kekeringan dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti faktor
minimnya sumber air, kurangnya daerah tangkapan air, serta sedikitnya curah
hujan yang turun. Namun sebagai fenomena iklim, pola curah hujan
merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam terjadinya kekeringan. Oleh
karena itu, untuk menekan ancaman kekeringan perlu dilakukan pemahaman
terhadap karakteristik iklim di suatu lokasi dengan baik. Pemahaman
karakteristik iklim tersebut dapat dimulai dengan analisis sifat fisik yang
mewakili kondisi iklim dan kekeringan.
Kekeringan dapat diketahui dengan menggunakan nilai indeks
kekeringan. Sepanjang sejarah, indeks kekeringan telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat. dengan adanya indeks kekeringan,
pengetahuan dasar dan juga segala bentuk penanggulangan dan pencegahan
kekeringan dapat dilakukan. Oleh sebab itu, mengetahui indeks kekeringan
dapat dikatakan sebagai hal yang penting.

B. Pengertian Kekeringan
Terdapat banyak definisi mengenai kekeringan. Tjasyono dan Harijono
(2006) menyatakan bahwa kekeringan adalah kesenjangan antara air yang
tersedia dan air yang diperlukan. Sementara AMS (1997) menjelaskan bahwa
kekeringan merupakan suatu peristiwa cuaca kering abnormal yang
menyebabkan berkurangnya curah hujan sehingga mengakibatkan
ketidakseimbangan ketersediaan air secara hidrologi. Wilhite dan Glantz
(1985) sendiri mengklasifikasikan kekeringan ke dalam empat kategori, yaitu:
1. Kekeringan meteorologis (meteorological drought), yaitu berkurangnya
presipitasi hingga di bawah normal dalam suatu waktu tertentu. Biasanya
hal ini digambarkan sebagai penyebab utama terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:
a. kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal
(curah hujan di bawah normal)
b. sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi
normal (curah hujan jauh di bawah normal)
c. amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari
kondisi normal (curah hujan amat jauh di bawah normal).
2. Kekeringan hidrologis (hydrological drought), yaitu defisitnya
ketersediaan air di permukaan maupun di dalam tanah. Kekeringan
hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah.
Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya
ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan
hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai
berikut:
a. kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di
bawah periode 5 tahunan
b. sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang
aliran jauh di bawah periode 25 tahunan
c. amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode
ulang aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan
3. Kekeringan pertanian (agricultural drought), kekeringan ini berhubungan
dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah)
sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada
suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya
gejala kekeringan meteorologis. Intensitas kekeringan berdasarkan
definisi pertanian adalah sebagai berikut:
a. kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena
ringan s/d sedang)
b. sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian
ujung daun (terkena berat)
c. amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)
4. Kekeringan sosio-ekonomi (socio-economic drought), menjelaskan
kaitan kekeringan dengan permintaan dan penawaran pasar terhadap
barang-barang bernilai ekonomi. Biasanya hal ini muncul setelah terjadi
kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian. Intensitas kekeringan
sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum atau air bersih
sebagai berikut:
5. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang
disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan
sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola
penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air
sebagai akibat dari perbuatan manusia. Intensitas kekeringan akibat ulah
manusia terjadi apabila:
a. Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
b. Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
c. Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah
20%.
Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara
meninjaunya. Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana
tanah tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan
tanaman khususnya tanaman pangan. Ada tiga faktor yang sangat
mempengaruhi kekeringan ini yaitu tanaman, tanah dan air.

C. Pengelolaan Kekeringan di Indonesia


Pengelolaan kekeringan pada dasarnya adalah mengurangi resiko
parahnya kejadian kekeringan, dan hasilnya adalah mengurangi dampak
kerugian akibat kekeringan. Strategi pengelolaan kekeringan telah
diidentifikasikan oleh Wilhite et al (2006) bahwa ada 4 komponen penting di
dalamnya, yaitu: 1) tersedianya informasi yang tepat waktu dan dapat
diandalkan pada para pengelola dan pengambil kebijakan; 2) kebijakan dan
pengaturan kelembagaan yang mendukung pengkajian, komunikasi dan
penerapan informasi tersebut; 3) tersedianya kumpulan upaya pengelolaan
resiko untuk para pengambil kebijakan; dan 4) tindakan oleh para pengambil
keputusan yang efektif dan konsisten dalam mendukung strategi kekeringan
nasional.
Pengelolaan kekeringan secara tradisional (Bazza, 2002) terdiri atas
tahapan sebagai berikut: 1) Memantau ketersediaan air di sungai, danau dan
waduk, serta air hujan; 2) Menentukan awal terjadinya kekeringan; 3)
Menyiapkan program bantuan dan pendanaan, yang didasarkan atas penilaian
singkat, dengan dana yang diambil dari bantuan, pinjaman, dan anggaran yang
tidak terencana dengan baik; 4) Melaksanakan program bantuan, yang
seringkali dilaksanakan oleh lembaga khusus atau satuan tugas; dan 5) Setelah
kekeringan berlangsung, pihak-pihak terkait melupakan semuanya, dan
kembali ke kehidupan normal.
Adler (2010) mengungkapkan bahwa walaupun telah terjadi pergeseran
pengelolaan kekeringan, yaitu dari reaktif menjadi program preventif dan
mitigasi dampak bencana kekeringan, akan tetapi masih kurang adanya
perhatian terhadap aspek hukum. Hukum dan kelembagaan dapat mendorong
kearah upaya yang lebih pro aktif dan berorientasi pada pencegahan, dengan
adanya peraturan dan lembaga yang memfasilitasi masyarakat dalam mitigasi
bencana kekeringan.
Teknik giliran atau rotasi, yaitu membagi-bagi suatu areal irigasi selama
masa-masa kekurangan air telah menjadi kearifan lokal di Indonesia (Supadi,
2009). Jenis-jenis giliran air irigasi dilakukan apabila faktor k, yaitu rasio
antara kebutuhan air dengan jumlah air yang tersedia kurang dari satu.
Berbagai jenis sistem giliran pemberian air adalah sebagai berikut: 1) Secara
penuh, adalah sistem pemberian air irigasi sesuai kebutuhan secara terus -
menerus tanpa adanya giliran; 2) Giliran tingkat petak tersier, adalah sistem
pemberian air irigasi mengacu berdasarkan blok petak tersier secara berurutan
dalam satu daerah irigasi; dan 3) Giliran secara penuh, adalah sistem
pemberian air berdasarkan pengelompokan petak dan mendapatkan air secara
penuh.
Fagi (2007) menegaskan bahwa teknologi untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan air irigasi, seperti teknik irigasi bergilir teratur (rotational
irrigation) telah tersedia, dan beberapa sistem irigasi telah mempraktekkan,
terutama saat terjadi kekeringan El-Nino, sebagai contoh adalah teknik irigasi
bergilir yang diterapkan di Subang, Jawa Barat, wilayah pengairan Timur,
Perum Jasa Tirta II.

D. Indeks Kekeringan
Indeks kekeringan merupakan salah satu cara dalam menginterpretasikan
fenomena kekeringan di suatu lokasi. World Meteorological Organization
(1992) mendefinisikan indeks kekeringan sebagai “sebuah indeks yang
menghubungkan beberapa efek secara kumulatif dari minimnya kelengasan
yang abnormal dan berkepanjangan”. Dalam penentuan indeks kekeringan,
Hayes (2006) berpendapat bahwa nilai indeks kekeringan berciri angka/indeks
tunggal dapat lebih berarti daripada data mentah.
Dalam suatu indeks kekeringan, Friedman (1957) mengidentifikasikan
empat kriteria yang harus dimiliki, yaitu:
1. Dapat dianalisa dengan skala waktu.
2. Kuantitatif serta mampu dianalisa secara spasial, temporal, dan kontinu.
3. Aplikatif terhadap kasus yang berkembang.
4. Terdapat rekaman secara historis.
Selain 4 kriteria di atas, Heim (2002) menambahkan satu kriteria lagi
yang harus dimiliki oleh suatu indeks kekeringan, yaitu indeks dapat dianalisa
secara real-time dalam waktu yang dekat. Tujuan penentuan kekeringan
melalui indeks kekeringan sendiri sangat beragam. Namun Hounam et al.
(1975) merangkumnya dalam 4 tujuan, yaitu:
1. Menganalisa tingkat kekeringan wilayah.
2. Mengatur irigasi yang dibutuhkan.
3. Memonitor kekeringan secara spesifik.
4. Melaporkan kekeringan secara berkala.
Indeks-indeks kekeringan diperoleh dari ribuan data curah hujan, salju,
aliran sungai dan indikator sumber lainnya. Dalam pengambilan keputusan,
nilai indeks kekeringan berciri angka tunggal jauh lebih berarti dibandingkan
data mentah (Hayes, 2006). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ogallo dan
Gbeckor-kove (1989) dalam Turyanti (1995) bahwa curah hujan merupakan
indeks tunggal yang paling penting dalam menduga kekeringan tetapi jika
kekeringan hanya dilihat dari batasan jumlah curah hujan, batasannya sangat
beragam bergantung kepada waktu dan tempat penelitian.
Menurut Hounam et. al (1975) penentuan tingkat kekeringan bertujuan
untuk:
1. mengevaluasi kecenderungan klimatologis menuju keadaan
kering/tingkat kekeringan dari suatu wilayah
2. memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu luasan tertentu
3. mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara lokal
4. melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional
Ada beberapa indeks yang diukur dari banyaknya presipitasi pada suatu
periode waktu yang menyimpang dari data historis. Walaupun tidak ada
indeks-indeks penting yang menjadi dominan pada semua kondisi, beberapa
indeks lebih baik digabungkan untuk penggunaan tertentu. Agar dapat
dibandingkan indeks yang satu dengan indeks yang lain.
Indeks kekeringan banyak macamnya. Macam-macam indeks tersebut
antara lain, Standardized precipitation index (SPI), Palmer Drought Severity
Index(PDSI), Crop Moisture Index (CMI), Surface Water Supply Index
(SWSI), Reclamation Drought Indeks (RDI), dan masih banyak lagi. Indeks-
indeks ini diciptakan tergantung dari gambaran umum yang melatar belakangi
daerah tersebut, pengguna, proses, input dan hasil outputnya atau masing-
masing klasifikasi.
Pemetaan wilayah kekeringan telah dilakukan dengan berbagai metode
yang berbeda. Salah satu diantaranya yang sering digunakan adalah metode
Palmer, SPI, SPEI,
1. Standardized Precipitation Index (SPI)
Indeks kekeringan Standardized Precipitation Index (SPI)
dikenalkan pertama kali oleh McKee tahun 1993 di Colorado, AS.
Tujuan awal dari diluncurkannya SPI ini adalah untuk meningkatkan
kemampuan dalam memonitor dan mendeteksi kekeringan di AS.
Kesederhanaan dan fleksibilitas secara temporal menjadi perbedaan SPI
dibandingkan indeks-indeks kekeringan sebelumnya. Selain itu SPI juga
mampu menganalisis kekeringan hanya dengan parameter input berupa
presipitasi (Hayes et al. 1998).
SPI dikembangkan berdasarkan kuantifikasi defisit air pada
berbagai skala waktu. Pada dasarnya SPI menstandarisasi dan
mentransformasikan data presipitasi hasil observasi ke dalam skala
indeks kekeringan. Analisis kekeringan menggunakan SPI ini dapat
dilakukan dengan berbagai periode, mulai dari 3 bulanan, 6 bulanan, 12
bulanan, hingga seterusnya tergantung dengan kebutuhan analisis
(Guttman 1998).
Secara prinsip, SPI dibangun berdasarkan fungsi kepadatan peluang
(FKP) dari distribusi gamma guna mencocokkan distribusi frekuensi dari
jumlah curah hujan untuk tiap stasiun.

Namun dalam menentukan hasil SPI, sebaran gamma


ditransformasikan ke dalam distribusi normal dengan menggunakan fungsi
frekuensi kumulatif sebagai distribusi frekuensi curah hujan sebagai
berikut.

k
H(𝑥) =
n+1

1
𝑡 = √𝐼𝑛 ; untuk 0 < H(x) ≤ 0.5
(𝐻(𝑥))2

1
𝑡 = √𝐼𝑛 (1−𝐻(𝑥))2 ; untuk 0.5 < H(x) ≤ 1

Sehingga diperoleh indeks SPI (Z) melalui persamaan berikut.


Tabel 1 Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPI (Hayes et al. 1998)

SPI Kategori
≥ 2.00 Sangat basah
1.50 - 1.99 Basah
1.00 - 1.49 Agak basah
(-0.99) - 0.99 Normal
(- 1.00) - (-1.49) Agak kering
(- 1.50) - (-1.99) Kering
≤ -2.00 Sangat kering
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa analisis kekeringan melalui SPI
dihasilkan 7 kelas/tingkat kekeringan suatu wilayah. Melalui kelas ini
ditentukan karakteristik kekeringan di suatu wilayah. McKee et al. (1993)
membagi kelas-kelas tersebut berdasarkan proporsi standarisasi sebaran
normal, yaitu 66% untuk kategori normal, 20% untuk kategori agak
kering/basah, 10% untuk kategori kering/basah, serta sisa 4% untuk
kategori sangat kering/basah. Berdasarkan proporsi ini juga ditentukan
besarnya peluang periode ulang yang terjadi.

2. Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI)


Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI)
merupakan indeks kekeringan berbasis data curah hujan dan suhu udara.
SPEI diperkenalkan pertama kali oleh Vicente-Serrano et al. (2010)
dengan mengembangkan indeks kekeringan SPI yang berbasis data
curah hujan saja. Dengan mengambil kelebihan-kelebihan yang terdapat
dalam SPI, SPEI juga melengkapinya dengan menambahkan pengaruh
suhu udara untuk dikombinasikan dengan curah hujan dalam
menganalisa tingkat kekeringan. Hal ini dilatarbelakangi oleh tren
meningkatnya suhu udara pada beberapa periode belakangan akibat
pemanasan global.
Secara matematik, SPEI memiliki prosedur yang tidak jauh
berbeda dengan SPI dalam mengkalkulasi variabel masukan untuk
dianalisa menjadi suatu indeks kekeringan. Namun dengan adanya
parameter suhu udara, SPEI dapat menganalisa kekeringan melalui
faktor water balance dimana suhu udara digunakan sebagai penduga
evapotranspirasi potensial (ETp). Hal ini mirip dengan indeks
kekeringan Palmer (Palmer Drought Severity Index/PDSI) yang
menganggap besarnya tingkat kekeringan berhubungan dengan
kebutuhan air (water demand) sebagai hasil dari evapotranspirasi
(Vicente-Serrano et al. 2010).

Tabel 2. Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPEI (Vicente-Serrano et


al. 2010).
SPI Kategori
≥ 2.00 Sangat basah
1.50 - 1.99 Basah
1.00 - 1.49 Agak basah
S (-0.99) - 0.99 Normal
(- 1.00) - (-1.49) Agak kering
(- 1.50) - (-1.99) Kering
≤ -2.00 Sangat kering

Sama halnya dengan SPI, SPEI juga distandarisasi berdasarkan fungsi


kepadatan peluang (FKP) sebaran log-logistik yang diekspresikan dalam
persamaan berikut.
𝛽 𝑥 − 𝑦 𝛽−1 𝑥−𝑦 𝛽
𝑓(𝑥) = ( ) [1 + ]
𝛼 𝛼 𝛼
Namun sebelum menstandarisasi, dalam analisa kekeringan SPEI
perlu dilakukan pendugaan nilai evapotranspirasi potensial (ETp) melalui
pendekatan Thornweith.

10T m
ETp = 16( )
I
Dengan I (indeks bahang) yang merupakan akumulasi 12 bulanan dari
nilai persamaan i, yaitu:

T
i = ( )1.514
5
Dan m merupakan koefisien yang bervariabel terikat dengan I, dengan
persamaan sebagai berikut.

Dimana, ETp = evapotranspirasi potensial (mm)

T = suhu udara rata-rata bulanan (oC)


Dari hasil pendugaan ETp, ditentukan nilai D untuk bulan ke-i yang
merupakan selisih dari ETp dengan curah hujan bulanan.

Setelah itu, nilai Di distandarisasi dengan sebaran log-logistik untuk


kemudian ditransformasikan ke dalam sebaran normal menggunakan fungsi
frekuensi kumulatif (FK). Hal ini dilakukan untuk mengetahui sebaran nilai
Di tersebut.

3. Palmer Drought Severity Index (PDSI)


Analisis neraca air untuk meneliti kekeringan salah satunya
dikembangkan oleh Palmer. Palmer menggunakan model dua lapis tanah
yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Evapotranspirasi potensial diduga
dari suhu rata-rata dengan metode yang telah dikembangkan oleh
Thornthwaite. Hasil dari metode ini selain nilai index juga koefisien
parameter iklim, yaitu koefisien limpasan (run off), koefisien imbuhan
(recharge), koefisien evapotranspirasi, dan koefisien kehilangan lengas
(loss). Dari koefisien tersebut dilakukan perhitungan curah hujan yang
telah terjadi selama bulan tertentu untuk mendukung evapotranspirasi,
limpasan, dan cadangan lengas yang dipertimbangkan sebagai kondisi
normal (Hounam et al., 1975).
Tabel 3. Kelas Indeks kekeringan Palmer dan Sifat Cuaca
(Hounam et al.,1975).

Indeks Kekeringan Sifat Cuaca


≥ 4.00 Ekstrim basah
3.00 - 3.99 Sangat basah
2.00 - 2.99 Agak basah
1.00 - 1.99 Sedikit basah
0.50 - 0.99 Awal selang basah
0.49 – (-0.49) Normal
-0.50 – (-0.99) Awal selang kering
-1.00 – (-1.99) Sedikit kering
-2.00 – (-2.99) Agak kering
-3.00 – (-3.99) Sangat kering
≤ -4.00 Ekstrim kering

Metode Indeks kekeringan Palmer berguna untuk mengevaluasi


kekeringan yang telah terjadi terutama di daerah-daerah semiarid dan
yang beriklim sub-humid kering (Guttman et al., dalam Turyati 1995).
Available Water Capacity (AWC) atau kapasitas air tersedia juga
diperlukan dalam pengolahan data Palmer dan koordinat lintang juga
diperlukan dalam perhitungan Palmer agar dapat mengetahui panjang
hari didaerah tersebut. Menurut National Drought Mitigation Center,
(2006) Palmer lebih baik digunakan pada area yang luas dan topografi
yang seragam.
4. Keetch-Bryam Drought Indext (KDBI)
Indeks kekeringan ini merupakan nilai yang menggambarkan
pengaruh bersih (netto) evaporasi dan pretisipasi dalam menghasilkan
defisiensi kelembapan kumulatif pada serasah tebal atau lapisan tanah
bagian atas (Deeming 1995 dalam Satriani 2001). Di Indonesia metode
ini telah diterapkan di sepanjang pantai Samarinda dan Balikpapan oleh
John E. Deeming pada tahun 1995. Metode ini telah terbukti sebagai alat
yang baik dalam memprediksi kebakaran. (Affan, 2002)
Asumsi yang dipakai dalam metode KDBI adalah (Satriani, 2001):
a. Kecepatan penurunan kelembapan di daerah kawasan hutan
tergantung pada tinggi penguapan vegetasi. Besarnya penguapan
vegetasi sesuai dengan nilai rata-rata curah hujan tahunan.
b. Kecepatan penurunan kelembapan tanah ditentukan oleh
evapotranspirasi dan kandungan kelembapan tanah.
c. Kedalaman lapisan tanah yang mengalami kekeringan adalah saat
di mana tanah memiliki kapasitas lapang 8 inchi (203 mm).
Asumsi dia atas juga sesuai untuk diterapkan di Indonesia dan
telah dibuktikan oleh John E Deeming (Adrianita 2002).
Ketersediaan data curah hujan harian, suhu maksimum harian da
curah hujan tahunan > 2000 mm merupakan syarat yang harus dipenuhi
dalam metode ini. Keetch-Bryam (1988 dalam Affan 2002)
mengembangkan formulasi yang digunakan untuk menghitung nilai
KBDI, yaitu:

𝐾𝐵𝐷𝐼𝑡 = (∑ KBDIy − 10 CHnet ) + FK 𝑡

(2000 − 𝐾𝐵𝐷𝐼𝑡 ) × (0,9676 × exp(0,875 𝑇 + 1,5552) − 8.30


𝐹𝐾𝑡 = ⌊ ⌋
1 + 10,86 𝑒𝑥𝑝(−0,007136 𝐶𝐻𝑡)
Keterangan:
KBDIt : indeks kekeringan hari ini
KBDIy : indeks kekeringan kemarin
CHnet : curah hujan netto
FKt : faktor kekeringan hari ini
Tmax : suhu maksimum harian
CHt : curah hujan hari ini
Keetch- Byram menyatakan bahwa untuk menghitung KBDI pada
daerah tertentu harus diambil pada saat satu hari setelah musim hujan
sebanyak 150-200 mm dalam seminggu. Dari perhitungan KBDI,
menggambarkan tingkatan kekeringan yang terjadi.
Tabel 4 Kelas Indeks kekeringan KBDI
Nilai KBDI Skala Sifat
0 – 999 Rendah
1000 – 1499 Sedang
1500 – 1749 Tinggi
1750 – 2000 Sangat tinggi

Selain keempat indeks di atas, masih terdapat berbagai indeks


kekeringan lainnya yang digolongkan berdasarkan tahun kemunculan indeks
Palmer. Berikut ini adalah tabel macam-macam indeks yang disertai dengan
kelebihan dan kekurangan masing-masing indeks beserta dengan variabel
iklimnya.
Tabel 5 Macam-macam indeks kekeringan sebelum Palmer’s Index
(Heim 2002).
Indeks Variabel Iklim Kelebihan Kekurangan
Kekeringan Masukan
Munger's Index Panjang hari kering -Secara matematis - Asumsi tentang
(1916) CH < 1.27 mm (L). sangat sederhana dan panjang hari kering
Munger's Index = mudah diaplikasikan. meningkatkan resiko
1/2 L2 -Direkomendasikan kekeringan/kebakaran
dalam mengukur hutan secara kuadratik
kekeringan jangka masih lemah, akibat
pendek. variabel input yang
sangat minim.

Kincer's Index Panjang hari kering - Secara konsep - Definisi kekeringan


(1919) 30 hari berurutan mudah dipahami dan sama dengan 30 hari
dengan total CH < sederhana. kering berurutan dapat
6.25 mm. menimbulkan banyak
bias terutama pada
daerah dengan CH tidak
menentu.

Marcovitch's Jumlah
Jumlahhari
harididisaat - Secara matematis Pengaruh variabel suhu
Index (1930) suhu
saatudara
suhu >udara > sederhana
-- Secara dengan
Secara matematis - -(T > 32.2matematis
Pengaruh
Secara
Pengaruh oC) dirasa - Pengaruh variabel
variabel
32.3
32.3
oC,
oC,
curah
curahhujan mengambil
sederhana konsep
matematisdengan terlalu(Tbesar
variabel
sederhana
suhu suhu
> 32.2dan
dengan
(T >secarasuhu (T > 32.2oC)
oC)
dihujan
bulan-bulan
di bulan- batas kondisi
mengambil
sederhana iklim
dengan
konsep skala
32.2 oC)temporal
mengambil
dirasa terlalu
dirasa kurang dirasa terlalu besar
konsep
besar
musim
bulanpanas.
musim terhadap
batas
mengambil
kondisi iklim cocok
terlalu
batas
dan untuk
secara
kondisi
besar drought
skala
daniklim dan secara skala
Marcovitch's
panas. Index pertumbuhan
konsep batas bean
terhadap monitoring
secara
terhadap
temporalskala secara
kurang temporal kurang
= Marcovitch's
1/2 (N/R)2 beetle.
pertumbuhan
kondisi iklim bean kontinu.
temporal
pertumbuhan
cocok untuk
kurang bean cocok untuk
Index = 1/2 beetle.
terhadap cocok
beetle.
drought untuk
monitoring drought monitoring
(N/R)2 pertumbuhan bean drought
secara kontinu. secara kontinu.
beetle. monitoring secara
kontinu.
Blumenstock's Panjang
Panjang
harihari - Secara konsep - Kurang akurat dalam
Index (1942) kering.
kering.
Kekeringan mudah dipahami,
- Secara konsep -mengukur kekeringan
Kurang akurat
diasumsikan
Kekeringan direkomendasikan
mudah dipahami, jangkamengukur
dalam panjang. Asumsi
berakhir
diasumsikan
pada saat dalam mengukur
direkomendasikan batas CH >jangka
kekeringan 2.54 mm
terjadi
berakhir
hujanpada
> 2.54
saat kekeringan jangka
dalam mengukur dalam 48 jam
panjang. Asumsi dirasa
mmterjadi
dalamhujan
48 jam > pendek.
kekeringan jangka dapatCH
batas menimbulkan
> 2.54 bias
terakhir.
2.54 mm dalam 48 pendek. yangdalam
mm tidak 48
sesuai
jam
jam terakhir. dengandapat
dirasa kondisi
kekeringan bias
menimbulkan
sesungguhnya.
yang tidak sesuai
dengan kondisi
kekeringan
sesungguhnya.

Antecedent Curah hujan. -Konsep sederhana - Bila tanpa asumsi


Precipitation Menganalisis dan mudah dalam KAT awal, aplikasi API
Index (API) kekeringan melalui analisis secara cukup sulit mengingat
(1954) ketersediaan kadar matematis. Biasa perlu dilakukan
air tanah (KAT) digunakan dalam pengukuran sampel
dengan asumsi memprediksi banjir KAT.
pengurangan secara (saat KAT sudah
tetap dari selisih jenuh).
CH dan KAT
sebelumnya.

Tabel 6. Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan Indeks Palmer dan


pengembangannya (Heim 2002).

Indeks Variabel Iklim Kelebihan Kekurangan


Kekeringan Masukan
Palmer's Curah hujan dan - Paling sesuai dalam - Secara khusus dibuat
Index suhu udara, mengkombinasikan untuk menganalisa
(PDSI dianalisa menjadi CH dan suhu guna kekeringan di wilayah
dan suatu bentuk neraca mengidentifikasi kering sehingga
PHDI) air yang kekeringan dengan diasumsikan curah hujan
(1965) diasumsikan terbagi cakupan spasial dan lokal menjadi satu-
ke dalam dua temporal yang luas satunya sumber air
lapisan tanah. (Julian dan Fritts (tidak memasukkan
1968). faktor irigasi dan masa
pencairan salju).

Crop Moisture Curah hujan dan -Sangat baik - Variabel masukan


Index (CMI) suhu udara terutama dalam berupa data mingguan
(1968) mingguan. Pada mengindikasikan dapat menyulitkan
CMI dilakukan kekeringan pada apabila pengukuran
analisa per minggu masa-masa awal variabel iklim tidak
dengan tujuan tanam (grow season). kontinu, oleh karena itu
mengetahui tingkat dibutuhkan perhatian
kebutuhan air pada khusus (kontinuitas data
tanaman pertanian. mutlak

Keetch-Byram Curah hujan dan - Secara umum, - Kurang fleksibel bila


Drought Index suhu udara. Keetch- indeks ini telah ingin digunakan sebagai
(1968) Byram digunakan sebagai alat untuk memprediksi
mengasumsikan alat untuk memonitor tipe kekeringan lain,
kekeringan dengan dan memprediksi seperti pertanian
menipisnya KAT kebakaran di (agricultural drought).
berdasarkan daily wilayah-wilayah
water bugdet rawan.
model.

Surface Curah hujan, - Memasukkan faktor - Doesken dan Garen


Water snowpack, limpasan serta (1991) menilai terdapat
Supply simpanan air, dan simpanan air pada bias yang terjadi akibat
Index limpasan area tangkapan variasi lahan
(1981) permukaan. (catchment area), (morfologi) dan
Disusun untuk sehingga dianggap menimbulkan sifat-sifat
melengkapi cocok diterapkan di statistik yang berbeda
variabel-variabel wilayah-wilayah dalam hasil analisanya.
yang tidak terdapat DAS dan sekitarnya.
dalam Palmer's
Index.

Tabel 7. Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan SPI (Heim


2002).

Indeks Variabel Iklim Kelebihan Kekurangan


Kekeringan Masukan
Standardized Curah hujan -Mampu mewakili - Akibat terjadinya tren
Precipitation bulanan. Dalam kekeringan baik itu perubahan iklim yang
Index (SPI) SPI, data CH secara meteorologi, berakibat pada
(1993) dinormalisasikan pertanian, maupun menurunnya intensitas
melalui sebaran hidrologi. CH, analisa SPI yang
Gaussian dan -Mampu mengukur hanya menggunakan
menganalisa tingkat kekeringan variabel CH berisiko bias
kekeringan melalui secara durasi, (Vicente-Serrano et al.
pengelompokkan ukuran, serta 2010)
kejadian (normal, intensitas.
defisit, dan exceed). -Variabel input
sederhana (hanya
berupa curah hujan).
Vegetation Data
Data citra
citra satelit
satelit - Dapat dianalisa -Karena dibuat
Condition Index AVHRR
AVHRR dengandengan secara real-time.
- Dapat dianalisa -berdasarkan
Karena dibuatkepentingan
(VCI) (1995) gelombang
gelombang visible
visible - secara
Pengukuran
real-time. di untuk pertanian, pada
berdasarkan
dan
dannear
near infrared
infrared lapang
- Pengukuran ditidak masa-masa untuk vegetasi
kepentingan
(NIR)
(NIR) dari jenis
jenis diperlukan
lapang tidak (tidak dorman pada
pertanian, (saat musim
tutupan
tutupan
lahan.
lahan. wajib) sehingga
diperlukan lebih
(tidak dingin atau bera), VCI
masa-masa
praktis.
wajib) sehingga menjadidorman
vegetasi terbatas.
lebih praktis. (saat musim dingin
atau bera), VCI
menjadi terbatas.

Drought Monitor Merupakan


Merupakan - Dianggap paling - Sulit apabila tidak
(DM) (1999) kombinasi
kombinasi lengkap guna
- Dianggap paling -difasilitasi
Sulit apabilaoleh sistem
parameter
parameter dan dan mengidentifikasi
lengkap guna tidak difasilitasidata dan
manajemen
indikator
indikator indeks
indeks kekeringan dalam
mengidentifikasi observasi
oleh sistem serta prasarana
kekeringan
kekeringan berbagai skala
kekeringan dalam yang lengkap.
manajemen data
sebelumnya.
sebelumnya. Hal
Hal
ini spasial maupun
berbagai skala dan observasi serta
disebabkan
ini disebabkan
adanya temporal.
spasial maupun prasarana yang
perbedaan
adanya perbedaan
definisi - temporal.
Pembaharuan lengkap.
dan
definisi parameter
dan informasi
- Pembaharuan tiap
dalam
parameter indeks-
dalam minggu
informasi tiap oleh
indeks
indeks-indeks
sebelumnya National
minggu olehDrought
(Svoboda
sebelumnya
2000). Mitigation Center
National Drought
(Svoboda 2000). Mitigation Center
(NDMC).

Standardized Curah hujan dan - Pengembangan dari - Dibandingkan dengan


Precipitation suhu udara. SPEI SPI. sistem DM, SPEI hanya
Evapotranspiratio disusun dengan - Dianggap lebih sebagian dari keseluruhan
n Index (SPEI) konsep yang tidak detil dalam sistem analisa kekeringan
(2010) jauh berbeda menangkap indikasi yang dianggap paling
dengan SPI, yaitu kekeringan dalam lengkap dan mutakhir.
berupa normalisasi tren perubahan iklim
data melalui saat ini.
sebaran statistika.

Dengan begitu bervariasinya metode dalam penentuan kekeringan,


bervariasi pula hasil yang diperoleh meski dalam suatu wilayah kajian yang
sama. Suryanti (2008) juga telah menjelaskan dalam penggunaan berbagai
macam indeks kekeringan, dapat mempertimbangkan latar belakang dan
kondisi, mulai dari topografi hingga karakteristik wilayah kajian, serta
ketersediaan data serta tujuan analisa kekeringan. Namun meski memperoleh
hasil yang bervariasi, secara keseluruhan hasil dari setiap indeks kekeringan
tidak berbeda jauh.
DAFTAR PUSTAKA

Ikhwanusaufa, Gentry Chandra. 2002. “Penilaian Bahaya Kebakaran Hutan di KPH


Madiun Dengan Menggunakan Indeks Angstrom dan Indeks Kekeringan
Keetch-Byram”. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.

Nugraha, Reza Putra. 2015. “Aplikasi SPEI dan SPI Sebagai Indeks Kekeringan
Meteorologis”. Skripsi. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.

Suryanti, Ika. 2008. “Analisa Hubungan Antara Sebaran Kekeringan Menggunakan


Indeks Palmer Dengan Karakteristik Kekeringan.” Skripsi. Bogor:
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor

Wardhana, Ali. 2003. “Penyusunan Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan Berdasarkan


Indeks Kekeringan Keetch-Byram (Keetch-Byram Drought
Indext/KBDI) dan Kode Kekeringan (Drought Code) di Provinsi Riau”.
Skripsi. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai