Disusun Oleh
Yesinta Dewi
134150054
FAKULTAS PERTANIAN
YOGYAKARTA
2016
A. Pendahuluan
Indonesia Sebagai daerah yang beriklim muson tropis memiliki dua
musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan yang datang bergantian secara
alamiah. Keadaan keduanya sangat ditentukan oleh kondisi meteorologis.
Kondisi meteorologis yang tidak seimbang telah menyebabkan berbagai
bencana berupa banjir besar yang ditandai dengan meningkatnya curah hujan
yang sangat ekstrim dan biasanya dikenal sebagai badai La-Nina. Kekeringan
yang berkepanjangan dengan suhu yang cukup tinggi disebabkan oleh
rendahnya suhu udara di Samudera Pasifik dan suhu udara atmosfer bagian
bawah disebut sebagai badai El-Nino. Keduanya merupakan bencana yang
sering terjadi terutama El-Nino yang telah beberapa kali melanda Indonesia.
Kekeringan (drought) merupakan salah satu fenomena terkait iklim
akibat defisitnya ketersediaan air yang kerap terjadi di wilayah Indonesia.
Fenomena ini sering kali dianggap sebagai salah satu ancaman besar bagi
kegiatan manusia seperti usaha pertanian, perikanan, peternakan, dan aktifitas
sehari-hari lainnya. Berkurangnya ketersediaan air dalam tanah yang
dibutuhkan dalam berbagai kegiatan menjadi penyebab utama kekeringan
menjadi suatu ancaman.
Terjadinya kekeringan dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti faktor
minimnya sumber air, kurangnya daerah tangkapan air, serta sedikitnya curah
hujan yang turun. Namun sebagai fenomena iklim, pola curah hujan
merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam terjadinya kekeringan. Oleh
karena itu, untuk menekan ancaman kekeringan perlu dilakukan pemahaman
terhadap karakteristik iklim di suatu lokasi dengan baik. Pemahaman
karakteristik iklim tersebut dapat dimulai dengan analisis sifat fisik yang
mewakili kondisi iklim dan kekeringan.
Kekeringan dapat diketahui dengan menggunakan nilai indeks
kekeringan. Sepanjang sejarah, indeks kekeringan telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat. dengan adanya indeks kekeringan,
pengetahuan dasar dan juga segala bentuk penanggulangan dan pencegahan
kekeringan dapat dilakukan. Oleh sebab itu, mengetahui indeks kekeringan
dapat dikatakan sebagai hal yang penting.
B. Pengertian Kekeringan
Terdapat banyak definisi mengenai kekeringan. Tjasyono dan Harijono
(2006) menyatakan bahwa kekeringan adalah kesenjangan antara air yang
tersedia dan air yang diperlukan. Sementara AMS (1997) menjelaskan bahwa
kekeringan merupakan suatu peristiwa cuaca kering abnormal yang
menyebabkan berkurangnya curah hujan sehingga mengakibatkan
ketidakseimbangan ketersediaan air secara hidrologi. Wilhite dan Glantz
(1985) sendiri mengklasifikasikan kekeringan ke dalam empat kategori, yaitu:
1. Kekeringan meteorologis (meteorological drought), yaitu berkurangnya
presipitasi hingga di bawah normal dalam suatu waktu tertentu. Biasanya
hal ini digambarkan sebagai penyebab utama terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:
a. kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal
(curah hujan di bawah normal)
b. sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi
normal (curah hujan jauh di bawah normal)
c. amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari
kondisi normal (curah hujan amat jauh di bawah normal).
2. Kekeringan hidrologis (hydrological drought), yaitu defisitnya
ketersediaan air di permukaan maupun di dalam tanah. Kekeringan
hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah.
Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya
ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan
hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai
berikut:
a. kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di
bawah periode 5 tahunan
b. sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang
aliran jauh di bawah periode 25 tahunan
c. amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode
ulang aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan
3. Kekeringan pertanian (agricultural drought), kekeringan ini berhubungan
dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah)
sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada
suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya
gejala kekeringan meteorologis. Intensitas kekeringan berdasarkan
definisi pertanian adalah sebagai berikut:
a. kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena
ringan s/d sedang)
b. sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian
ujung daun (terkena berat)
c. amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)
4. Kekeringan sosio-ekonomi (socio-economic drought), menjelaskan
kaitan kekeringan dengan permintaan dan penawaran pasar terhadap
barang-barang bernilai ekonomi. Biasanya hal ini muncul setelah terjadi
kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian. Intensitas kekeringan
sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum atau air bersih
sebagai berikut:
5. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang
disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan
sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola
penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air
sebagai akibat dari perbuatan manusia. Intensitas kekeringan akibat ulah
manusia terjadi apabila:
a. Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
b. Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
c. Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah
20%.
Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara
meninjaunya. Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana
tanah tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan
tanaman khususnya tanaman pangan. Ada tiga faktor yang sangat
mempengaruhi kekeringan ini yaitu tanaman, tanah dan air.
D. Indeks Kekeringan
Indeks kekeringan merupakan salah satu cara dalam menginterpretasikan
fenomena kekeringan di suatu lokasi. World Meteorological Organization
(1992) mendefinisikan indeks kekeringan sebagai “sebuah indeks yang
menghubungkan beberapa efek secara kumulatif dari minimnya kelengasan
yang abnormal dan berkepanjangan”. Dalam penentuan indeks kekeringan,
Hayes (2006) berpendapat bahwa nilai indeks kekeringan berciri angka/indeks
tunggal dapat lebih berarti daripada data mentah.
Dalam suatu indeks kekeringan, Friedman (1957) mengidentifikasikan
empat kriteria yang harus dimiliki, yaitu:
1. Dapat dianalisa dengan skala waktu.
2. Kuantitatif serta mampu dianalisa secara spasial, temporal, dan kontinu.
3. Aplikatif terhadap kasus yang berkembang.
4. Terdapat rekaman secara historis.
Selain 4 kriteria di atas, Heim (2002) menambahkan satu kriteria lagi
yang harus dimiliki oleh suatu indeks kekeringan, yaitu indeks dapat dianalisa
secara real-time dalam waktu yang dekat. Tujuan penentuan kekeringan
melalui indeks kekeringan sendiri sangat beragam. Namun Hounam et al.
(1975) merangkumnya dalam 4 tujuan, yaitu:
1. Menganalisa tingkat kekeringan wilayah.
2. Mengatur irigasi yang dibutuhkan.
3. Memonitor kekeringan secara spesifik.
4. Melaporkan kekeringan secara berkala.
Indeks-indeks kekeringan diperoleh dari ribuan data curah hujan, salju,
aliran sungai dan indikator sumber lainnya. Dalam pengambilan keputusan,
nilai indeks kekeringan berciri angka tunggal jauh lebih berarti dibandingkan
data mentah (Hayes, 2006). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ogallo dan
Gbeckor-kove (1989) dalam Turyanti (1995) bahwa curah hujan merupakan
indeks tunggal yang paling penting dalam menduga kekeringan tetapi jika
kekeringan hanya dilihat dari batasan jumlah curah hujan, batasannya sangat
beragam bergantung kepada waktu dan tempat penelitian.
Menurut Hounam et. al (1975) penentuan tingkat kekeringan bertujuan
untuk:
1. mengevaluasi kecenderungan klimatologis menuju keadaan
kering/tingkat kekeringan dari suatu wilayah
2. memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu luasan tertentu
3. mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara lokal
4. melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional
Ada beberapa indeks yang diukur dari banyaknya presipitasi pada suatu
periode waktu yang menyimpang dari data historis. Walaupun tidak ada
indeks-indeks penting yang menjadi dominan pada semua kondisi, beberapa
indeks lebih baik digabungkan untuk penggunaan tertentu. Agar dapat
dibandingkan indeks yang satu dengan indeks yang lain.
Indeks kekeringan banyak macamnya. Macam-macam indeks tersebut
antara lain, Standardized precipitation index (SPI), Palmer Drought Severity
Index(PDSI), Crop Moisture Index (CMI), Surface Water Supply Index
(SWSI), Reclamation Drought Indeks (RDI), dan masih banyak lagi. Indeks-
indeks ini diciptakan tergantung dari gambaran umum yang melatar belakangi
daerah tersebut, pengguna, proses, input dan hasil outputnya atau masing-
masing klasifikasi.
Pemetaan wilayah kekeringan telah dilakukan dengan berbagai metode
yang berbeda. Salah satu diantaranya yang sering digunakan adalah metode
Palmer, SPI, SPEI,
1. Standardized Precipitation Index (SPI)
Indeks kekeringan Standardized Precipitation Index (SPI)
dikenalkan pertama kali oleh McKee tahun 1993 di Colorado, AS.
Tujuan awal dari diluncurkannya SPI ini adalah untuk meningkatkan
kemampuan dalam memonitor dan mendeteksi kekeringan di AS.
Kesederhanaan dan fleksibilitas secara temporal menjadi perbedaan SPI
dibandingkan indeks-indeks kekeringan sebelumnya. Selain itu SPI juga
mampu menganalisis kekeringan hanya dengan parameter input berupa
presipitasi (Hayes et al. 1998).
SPI dikembangkan berdasarkan kuantifikasi defisit air pada
berbagai skala waktu. Pada dasarnya SPI menstandarisasi dan
mentransformasikan data presipitasi hasil observasi ke dalam skala
indeks kekeringan. Analisis kekeringan menggunakan SPI ini dapat
dilakukan dengan berbagai periode, mulai dari 3 bulanan, 6 bulanan, 12
bulanan, hingga seterusnya tergantung dengan kebutuhan analisis
(Guttman 1998).
Secara prinsip, SPI dibangun berdasarkan fungsi kepadatan peluang
(FKP) dari distribusi gamma guna mencocokkan distribusi frekuensi dari
jumlah curah hujan untuk tiap stasiun.
k
H(𝑥) =
n+1
1
𝑡 = √𝐼𝑛 ; untuk 0 < H(x) ≤ 0.5
(𝐻(𝑥))2
1
𝑡 = √𝐼𝑛 (1−𝐻(𝑥))2 ; untuk 0.5 < H(x) ≤ 1
SPI Kategori
≥ 2.00 Sangat basah
1.50 - 1.99 Basah
1.00 - 1.49 Agak basah
(-0.99) - 0.99 Normal
(- 1.00) - (-1.49) Agak kering
(- 1.50) - (-1.99) Kering
≤ -2.00 Sangat kering
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa analisis kekeringan melalui SPI
dihasilkan 7 kelas/tingkat kekeringan suatu wilayah. Melalui kelas ini
ditentukan karakteristik kekeringan di suatu wilayah. McKee et al. (1993)
membagi kelas-kelas tersebut berdasarkan proporsi standarisasi sebaran
normal, yaitu 66% untuk kategori normal, 20% untuk kategori agak
kering/basah, 10% untuk kategori kering/basah, serta sisa 4% untuk
kategori sangat kering/basah. Berdasarkan proporsi ini juga ditentukan
besarnya peluang periode ulang yang terjadi.
10T m
ETp = 16( )
I
Dengan I (indeks bahang) yang merupakan akumulasi 12 bulanan dari
nilai persamaan i, yaitu:
T
i = ( )1.514
5
Dan m merupakan koefisien yang bervariabel terikat dengan I, dengan
persamaan sebagai berikut.
Marcovitch's Jumlah
Jumlahhari
harididisaat - Secara matematis Pengaruh variabel suhu
Index (1930) suhu
saatudara
suhu >udara > sederhana
-- Secara dengan
Secara matematis - -(T > 32.2matematis
Pengaruh
Secara
Pengaruh oC) dirasa - Pengaruh variabel
variabel
32.3
32.3
oC,
oC,
curah
curahhujan mengambil
sederhana konsep
matematisdengan terlalu(Tbesar
variabel
sederhana
suhu suhu
> 32.2dan
dengan
(T >secarasuhu (T > 32.2oC)
oC)
dihujan
bulan-bulan
di bulan- batas kondisi
mengambil
sederhana iklim
dengan
konsep skala
32.2 oC)temporal
mengambil
dirasa terlalu
dirasa kurang dirasa terlalu besar
konsep
besar
musim
bulanpanas.
musim terhadap
batas
mengambil
kondisi iklim cocok
terlalu
batas
dan untuk
secara
kondisi
besar drought
skala
daniklim dan secara skala
Marcovitch's
panas. Index pertumbuhan
konsep batas bean
terhadap monitoring
secara
terhadap
temporalskala secara
kurang temporal kurang
= Marcovitch's
1/2 (N/R)2 beetle.
pertumbuhan
kondisi iklim bean kontinu.
temporal
pertumbuhan
cocok untuk
kurang bean cocok untuk
Index = 1/2 beetle.
terhadap cocok
beetle.
drought untuk
monitoring drought monitoring
(N/R)2 pertumbuhan bean drought
secara kontinu. secara kontinu.
beetle. monitoring secara
kontinu.
Blumenstock's Panjang
Panjang
harihari - Secara konsep - Kurang akurat dalam
Index (1942) kering.
kering.
Kekeringan mudah dipahami,
- Secara konsep -mengukur kekeringan
Kurang akurat
diasumsikan
Kekeringan direkomendasikan
mudah dipahami, jangkamengukur
dalam panjang. Asumsi
berakhir
diasumsikan
pada saat dalam mengukur
direkomendasikan batas CH >jangka
kekeringan 2.54 mm
terjadi
berakhir
hujanpada
> 2.54
saat kekeringan jangka
dalam mengukur dalam 48 jam
panjang. Asumsi dirasa
mmterjadi
dalamhujan
48 jam > pendek.
kekeringan jangka dapatCH
batas menimbulkan
> 2.54 bias
terakhir.
2.54 mm dalam 48 pendek. yangdalam
mm tidak 48
sesuai
jam
jam terakhir. dengandapat
dirasa kondisi
kekeringan bias
menimbulkan
sesungguhnya.
yang tidak sesuai
dengan kondisi
kekeringan
sesungguhnya.
Nugraha, Reza Putra. 2015. “Aplikasi SPEI dan SPI Sebagai Indeks Kekeringan
Meteorologis”. Skripsi. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.