Anda di halaman 1dari 9

Ciri2 ratu dan ratu kerajaan holing = sekitar tahun 674-732 : Ratu Shima

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati,
menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi
raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah
dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasena. Sanaha dan Bratasena memiliki anak yang
bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).

Setelah Maharani Shima meninggal pada tahun 732 M, Raja Sanjaya menggantikan buyutnya dan
menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan
Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan
Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga,
Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa
Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada
tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian
jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan
Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.

Ciri2 agama kerajaan holing

Kerajaan Kalingga adalah pusat agama Buddha di Jawa. Agama Buddha yang berkembang di Kalingga
adalah ajaran Buddha Hinayana. Pada tahun 664 seseorang pendeta Buddha dari Cina bernama Hwi-
ning berkunjung ke Kalingga.

Dia dateng untuk menerjemahkan sebuah naskah terkenal agama Buddha Hinayana dari bahasa
Sanskerta dalam bahasa Cina. Usaha Hwing-ning ditolong oleh seorang pendeta Buddha dari Jawa
bernama Jnanabadra.

Dinasti yang memerinah di mataram kuno:

Dinasti Syailendra.

Dinasti Syailendra diduga berasal dari daratanIndocina "Bangsa Chin" dan "Kerajaan Asoka"
(sekarang Thailand dan Kemboja). Dinasti ini bercorak Budha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada
tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Dinasti Syailendra cukup dominan dibanding Dinasti Sanjaya.
Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan
ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi
Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja),
kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahuan. Peninggalan terbesar Dinasti Syailendra
adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
"Maharaja Dewa dari Kerajaan Asoka Memerintahkan anak-anaknya untuk menyebarkan ajaran yang
dianut mereka (Yakni Hindu, sedangkan Bangsa Chin menyebarkan agama budha)... Bangsa Sanjaya cikal
bakalnya dari Kerajaan Asoka sedangkan Bangsa Syailendra cikal bakalnya dari Bangsa Chin ("Bukan
Ching")

Dinasti Sanjaya.

Tak banyak yang diketahui sejarah Dinasti Sanjaya sejak sepeninggal Raja Sanna. Rakai Pikatan, yang
waktu itu menjadi pangeran Dinasti Sanjaya, menikah denganPramodhawardhani (833-856), puteri raja
Dinasti Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di
Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera
Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Dinasti Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya
Balaputradewa ke Sriwijaya.

Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikanCandi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi
Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastraRamayana dalam Bahasa Kawi.
Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari
Sriwijaya.

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Hasil karya sastra pada Zaman Kediri antara lain:

1) Kakawin Bharatayudha yang ditulis oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh.Isinya memperingati
kemenangan Janggala atas Panjalu semasa raja Jayabaya.

2) Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna, isinya menceritakan riwayat Kresna. Ia dikenal sebagai
seorang anak yang nakal, tetapi sangat dikasihani oleh setiap orang karena ia suka menolong. Selain itu,
ia mempunyai kesaktian yang luar biasa. Setelah dewasa ia kawin dengan Dewi Rukmini.

3) Kitab Sumarasantaka karangan Empu Monaguna, isinya menceritakan bidadari Harini yang kena kutuk
kemudian menjelma menjadi seorang putri. Ketika masa kutukannya habis, ia kembali lagi ke kahyangan.

4) Kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya ditulis oleh Empu Panuluh. Kitab Hriwangsa isinya
menceritakan tentang perkawinan antara Kresna dengan Dewi Rukmini.

5) Kitab Smaradhahana, karya Empu Dharmaja. 6) Kitab Lubdaka dan Kitab Wrtasancaya, karya Empu
Tan Akung
menjelaskan kehidupan politik raja di kerajaan singosari :

1. Ken Arok (1222–1227).

Pendiri Kerajaan Singasari ialah Ken Arok yang menjadi Raja Singasari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa
Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu
dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya
memerintah selama lima tahun (1222–1227). Pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan
Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa– Buddha.

2. Anusapati (1227–1248).

Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam
jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-
pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam.

Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan
Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya
Anusapati ke Gedong Jiwa ( tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada
saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan
Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah
Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.

3) Tohjoyo (1248)

Dengan meninggalnya Anusapati maka takhta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun,
Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni
berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya,
Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.

4) Ranggawuni (1248–1268)

Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh
Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya
dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran
rakyat Singasari.

Pada tahun 1254, Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja
(raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun
1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha
Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.

5) Kertanegara (1268–-1292).

Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan
seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara.
Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i
halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti
pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani.
Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja

menjelaskan kehidupan politik agama di kerajaan singosari :

Perang Bubat dan Paregreg (Majapahit)

Perang Bubat

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka
Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena
beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada
masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis
Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan
yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan
Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja
kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3.
Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran.
Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena
nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.

Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam
Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara
pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya
keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang
berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak
pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang
saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di
Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah
ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke
Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Kesalah-pahaman

Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit
prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda,
sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di
Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan
makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan
Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai
dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia
mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda
takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk
sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada
adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Gugurnya rombongan Sunda

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini
diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan
mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena
undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya
(Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas
Majapahit.

Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah
peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar,
melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para
pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya
Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali – yang saat
itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka – untuk
menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi
pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat
dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil
hikmahnya.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan
Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364).
Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti
kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian
lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

Perang Paregreg: Kemunduran Majapahit

Sejarah setidaknya telah mencatat bahwa peperangan yang pada gilirannya meruntuhkan Majapahit
adalah perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg. Sejak kekuatan Bhre Wirabhumi
dihancurkan Wikramawardhana dalam Perang Paregreg, daerah Wirabhumi seperti “terlepas” dari
kontrol Majapahit.

Perang Paregreg merupakan peperangan yang terjadi antara Majapahit istana barat yang dipimpin
Wikramawardhana, melawan istana timur yang dipimpin BhreWirabhumi. Perang ini terjadi pada 1404-
1406 dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit.

Pada 1295, Raden Wijaya pendidiri Majapahit untuk menepati janjinya semasa perjuangan
menyerahkan wilayah sebelah timur Majapahit kepada Arya Wiraraja dengan ibukota di Lumajang. Janji
inilah penyebab terjadinya Perang Paregreg kelak.

Sejak kejayaan Majapahit ditopang oleh keperkasaan sang Mahapatih Gajah Mada, yang pernah
menyelamatkan Prabu Jayanegara, raja kedua, dari rongrongan peberontak, sebenarnya benih
pemberontakan telah tumbuh di kalangan pejabat sekitar istana. Setelah pemberontakan selesai
dipadamkan, Gajah Mada berhasil membangun angkatan perang yang tangguh, termasuk angkatan
lautnya. Oleh karena itu segera Majapahit berkembang menjadi negara yang makmur, karena teknologi
pertanian sawah di kalangan masyarakat Jawa telah berkembang sejak sebelum kedatangan Aji Saka
pada 68 Masehi. Tetapi setelah Hayam Wuruk, Majapahit tidak pernah memiliki raja yang kuat, dan
akhirnya runtuh karena perang saudara tersebut.

Pada 1316 Jayanagara putra Raden Wijaya menumpas pemberontakan Nambi di Lumajang. Setelah
peristiwa tersebut, wilayah timur kembali bersatu dengan wilayah barat. Menurut Pararaton, pada 1376
muncul sebuah gunungbaru. Peristiwa ini dapat ditafsirkan sebagai munculnya kerajaan baru, karena
menurut kronik Cina dari Dinasti Ming, pada 1377 di Jawa ada dua kerajaan merdeka yang sama-sama
mengirim duta ke Cina. Kerajaan Barat dipimpin Wu-lao-po-wu, dan Kerajaan Timur dipimpin Wu-lao-
wang-chieh. Wu-lao-po-wu adalah ejaan Cina untuk Bhre Prabu, nama lain Hayam Wuruk (menurut
Pararaton), sedangkan Wu-lao-wang-chieh adalah Bhre Wengker alias Wijayarajasa, suami Rajadewi.

Wijayarajasa rupanya berambisi menjadi raja. Sepeninggal Gajah Mada, Tribhuwana Tunggadewi, dan
Rajadewi, ia membangun istana timur di Pamotan, sehingga dalam Pararaton, ia juga bergelar Bhatara
Parameswara ring Pamotan.

Perang Paregreg diawali dengan pemberontakan Bhre Wirabumi atau Urubisma, Adipati Blambangan,
yang masih putra Prabu Brawijaya dari selir. Pemberontakan Urubisma ini melahirkan legenda
Damarwulan yang sangat terkenal sebagai salah satu lakon kethoprak yang populer. Urubisma tidak
berhasil menegakkan panji kerajaan di kadipatennya, namun setelah itu meletuslah pemberontakan
oleh adipati yang lain. Karena tentara dan dana kerajaan banyak tersedot untuk memadamkan
pemberontakan-pemberontakan, akhirnya raja-raja di luar Jawa dengan mudah lalu memisahkan dari
ketergantungan terhadap Majapahit. Terjadilah disintegrasi di Jawa.

Perang Paregreg adalah perang yang identik dengan tokoh Bhre Wirabhumi. Nama asli Bhre
Wirabhumi tidak diketahui. Menurut Pararaton, ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir, dan menjadi
anak angkat Bhre Daha istri Wijayarajasa, yaitu Rajadewi. Bhre Wirabhumi kemudian menikah dengan
Bhre Lasemsang Alemu, putri Bhre Pajang (adik Hayam Wuruk). Menurut Nagarakretagama, istri Bhre
Wirabhumi adalah Nagarawardhani, putri Bhre Lasem alias Indudewi. Indudewi adalah putri Rajadewi
dan Wijayarajasa. Berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya daripada Pararaton karena
ditulis pada saat Bhre Wirabhumi masih hidup. Jadi, Bhre Wirabhumi yang lahir dari selir Hayam Wuruk,
menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk), dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani,
cucu Rajadewi.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Wijayarajasa, hubungan antara Majapahit istana barat
dan timur belum menegang, mengingat Wijayarajasa adalah mertua Hayam Wuruk. Wijayarajasa
meninggal pada 1398. Ia digantikan anak angkat sekaligus suami cucunya, yaitu Bhre Wirabhumi,
sebagai raja istana timur. Sementara itu, Hayam Wuruk meninggal pada 1389. Ia digantikan keponakan
sekaligus menantunya, yaitu Wikramawardhana.

Ketika Indudewi meninggal dunia, jabatan Bhre Lasem diserahkan pada putrinya, yaitu
Nagarawardhani. Tapi Wikramawardhana juga mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem. Itulah
sebabnya, dalam Pararaton terdapat dua orang Bhre Lasem, yaitu Bhre Lasem Sang Alemu istri Bhre
Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang Ahayu istri Wikramawardhana.

Sengketa jabatan Bhre Lasem ini menciptakan perang dingin antara istana barat dan timur, sampai
akhirnya Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal pada 1400. Wikramawardhana
segera mengangkat menantunya sebagai bhre Lasem yang baru, yaitu istri Bhre Tumapel.

Perang Paregreg

Setelah pengangkatan Bhre Lasem baru, perang dingin antara istana barat dengan timur berubah
menjadi perselisihan. Menurut Pararaton, Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana bertengkar pada
1401 dan kemudian tidak saling bertegur sapa.

Perselisihan antara kedua raja meletus menjadi Perang Paregreg pada 1404. Paregreg artinya “perang
setahap demi setahap dalam tempo lambat”. Pihak yang menang pun silih berganti. Kadang
pertempuran dimenangkan pihak timur, kadang pihak barat.

Akhirnya, pada 1406 pasukan barat dipimpin Bhre Tumapel putra Wikramawardhana menyerbu pusat
kerajaan timur. Bhre Wirabhumi menderita kekalahan dan melarikan diri menggunakan perahu pada
malam hari. Ia dikejar dan dibunuh oleh Raden Gajah alias Bhra Narapati yang menjabat sebagai ratu
angabhaya istana barat. Raden Gajah membawa kepala Bhre Wirabhumi ke istana barat. Bhre
Wirabhumi kemudian dicandikan di Lung bernama Girisa Pura.

Setelah kekalahan Bhre Wirabhumi, kerajaan timur kembali bersatu dengan kerajaan barat. Akan
tetapi, daerah-daerah bawahan di luar Jawa banyak yang lepas tanpa bisa dicegah. Misalnya, tahun 1405
daerah Kalimantan Barat direbut Kerajaan Cina. Lalu disusul lepasnya Palembang, Melayu, dan Malaka
yang tumbuh sebagai bandar-bandar perdagangan ramai, yang merdeka dari Majapahit. Kemudian lepas
pula daerah Brunei yang terletak di Kalimantan sebelah utara.

Selain itu Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada Dinasti Ming penguasa Cina.
Sebagaimana disebutkan di atas, pihak Cina mengetahui kalau di Jawa ada dua buah kerajaan, barat dan
timur. Laksamana Cheng Ho dikirim sebagai duta besar mengunjungi kedua istana. Pada saat kematian
Bhre Wirabhumi, rombongan Cheng Ho sedang berada di istana timur. Sebanyak 170 orang Cina ikut
menjadi korban. Atas kecelakaan itu, Wikramawardhana didenda ganti rugi 60.000 tahil. Sampai 1408 ia
baru bisa mengangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, Kaisar Yung Lo membebaskan denda tersebut karena
kasihan. Peristiwa ini dicatat Ma Huan (sekretaris Cheng Ho) dalam bukunya, Ying-ya-sheng-lan.

Setelah Perang Paregreg, Wikramawardhana memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai
selir. Dari perkawinan itu lahir Suhita yang naik takhta tahun 1427 menggantikan Wikramawardhana.
Pada pemerintahan Suhita inilah, dilakukan balas dendam dengan cara menghukum mati Raden Gajah
pada 1433.

Perang Paregreg dalam Sastra Jawa

Peristiwa Paregreg tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa dan dikisahkan turun temurun. Pada
zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, kisah Paregreg dimunculkan kembali dalam
Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan.

Dikisahkan dalam Serat Kanda, terjadi perang antara Ratu Kencanawungu penguasa Majapahit di
barat melawan Menak Jingga penguasa Blambangan di timur. Menak Jingga akhirnya mati di tangan
Damarwulan utusan yang dikirim Ratu Kencanawungu. Setelah itu, Damarwulan menikah dengan
Kencanawungu dan menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Mertawijaya. Dari perkawinan tersebut
kemudian lahir Brawijaya yang menjadi raja terakhir Majapahit.

Anda mungkin juga menyukai