Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

TEORITIS PADA KLIEN DENGAN CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

OLEH :

KADEK MEIKA WINTARI

15CII508

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) BALI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2018
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
TEORITIS PADA KLIEN DENGAN CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

A. TINJAUAN KASUS
1. Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap
akhir. CKD merupakan ganggguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolism dan keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia
atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan Bare,
2001). CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih,
dan dapa disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai
sebagaimana keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita
sadari bahwa gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea dalam
darah (Sibuea, Panggabean dan Gultom, 2005).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa CKD adalah
penyakit ginjal yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total
seperti sediakala. CKD adalah penyakit ginjal tahap akhir yang dapat
disebabkan oleh berbagai hal. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahakan metabolism dan keseimbangan cairan elektrolit, yang
menyebabkan uremia.
Menurut Suwitra (2006) dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD
dapat ditunjukkan dari laju filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :
a. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat >
90 ml/menit/1,73 m2.
b. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu
60-80 ml/menit/1,73 m2.
c. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu
30-59 ml/menit/1,73 m2.
d. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu
15-29 ml/menit/1,73 m2.
e. Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.

2. Anatomi dan Fisiologi


a. Anatomi
Berikut ini adalah struktur dan anatomi ginjal menurut Pearce dan
Wilson (2006) :
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah
lumbal, disebeblah kanan dan kiritulang belakang, dibungkus lapisan
lemak yang tebal dibelakang pritonium. Kedudukan ginjal dapat
diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian vertebra torakalis
terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati.

Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya6 cm


dan tebalnya antara 1,5 sampai 2,5 cm, pada orang dewasaberat ginjal
antara 140 sampai 150 gram. Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi
dalamnya atau hilus mengahadap ketulang belakang, serta sisi luarnya
berbentuk cembung. Pembuluh darah ginjal seuanya masuk dan keluar
melalui hilus. Diatas setiap ginjal menjulang kelenjar suprarenal.
Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dan jaringan februs yang
membungkusnya, dan membentuk pembungkus yang halus serta
didalamnya terdapat struktur-struktur ginjal. Struktur ginjal warnanya
ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler disebelah luar, dan medulla
disebelah dala,. Bagian medulla tersusun atas 15 sampai 16 bagian yang
berbentuk pyramid, yang disebut sebagai pyramid ginjal. Puncaknya
mengarah ke hilus dan berakhir di kalies, kalies akan menghubungkan
dengan pelvis ginjal.

Strukstur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang


merupakan satuan fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000
nefron dalam setiap ginjal. Setiap nefron mulai membentuk sebagai
berkeas kapiler (badan Malpighi/Glomerulus) yang erat tertanam dalam
ujung atas yang lebar pada unneferus. Tubulus ada yang berkelok dan ada
yang lurus. Bagian ertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan pertama
disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang
disebut simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu
kelokan kedua yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus
penampung yang berjalan melintasi kortek dan medulla, dan berakhir
dipuncak salah satu pyramid ginjal.
Selain tubulus urineferus, struktur ginjal juga berisi pembuluh daraj
yaitu arteri renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke
ginjal dan bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen
(Arteriola aferentes), serta masing-masing membentuk simpul didalam
salah satu glomerulus. Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola
eferen (arteriola Eferentes), yang bercabang-cabang membentuk jarring
kapiler disekelilingi tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini kemudian
bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang membawa darah ke
vena kava inferior. Maka darah yang berdebar dalam ginjal mempunyai
dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama disekeliling
tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.
b. Fisiologi
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi injl dan proses
pembentukan urine menurut syaeifudin (2006).
1) Fungsi Ginjal
Ginjal merupakan organ tubuh yang mempunyai peranan penting
dalam system organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja
organ lain dan system lain dalam tubuh. Ginjal punya 2 peranan penting
yaitu sebagai organ ekresi dan non ekresi. Sebagai system ekresi ginjal
bekerja sebagai filtran senayawa yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh
tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk urin, maka ginjal
juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai system ekresi ginjal juga sebagai system non ekresi dan
bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta
fungsi hormonal. Ginjal mengekresi hormone rennin yang mempunya
peran dalam mengatur tekanan darah (system rennin angiotensis
Aldosteron), pengatur hormone eritropoesis sebagai hormone pengaktif
sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga
menyalurkan ormon dihidroksi kolekalsiferon (vitamin D aktif),yang
dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.
2) Proses pembentukan urin.
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat ayitu sel darah dan bagian
plasma darah, kemudian akan disaring dalam 3 tahap yaitu filtrasi,
reabsorsi dan ekresi (syaefudin, 2006) :
a) Proses filtrasi
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena
proses aferen lebih besar dari permukaan eferen maak terjadi
penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah
bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan
dalam simpay bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium,
klorida, sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
b) Proses reabsorsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dar
glukos, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya
terjadi secara pasif yang dikenal dengan proses obligator.
Reabsorpsi terjadi pada tubulus proksimal. Sedangkan pada tubulus
distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion bikarbonat bila
diperlukan. Penyerapanya terjadi secara aktif, dikenal dengan
reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.
c) Proses ekresi
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan
diteruskan pada piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan
masuk ke fesika urinaria.
3. Etiologi
Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut price, dan Wilson
(2006) diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit
vaskuler hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan congenital dan
herediter, penyakit metabolic, nefropati toksik, nefropati obstruktif. Beberapa
contoh dari golongan penyakit tersebut adalah :
a. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluk
nefropati.
b. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis
c. Penyakit vaskuler seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteria renalis.
d. Gangguan jaringan ikat seperti SLE, poliarteritis nodosa, dan seklerosis
sistemik progresif.
e. Penyakit metabolic seperti diabetes mellitus, gout, dan
hiperparatiroidisme, serta amiloidosis.
f. Nefropati toksik seperti penyalahgunaan analgetik, dan nefropati timah.
g. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari
batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah
yang terdiri dari hipertropi prostat, setriktur uretra, anomaly congenital
leher vesika urinaria dan uretra.

4. Patofisiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat
dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolism protein yang normalnya
dieksresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia
yang mempengaruhi seluruh tubuh. Semakin banayk timbunan produk sampa,
maka setiap gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan
kliren renal. Banayk masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens
substansi darah ayng seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan lajur filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan kliren kreatinin. Menurunnya
LFG atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga
kadar kreatinin serum akan meningkat, selain itu kadar nitrogen urea daraj
(NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator paling
sensitive dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh
tubuh. NUD tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi
juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seeprti
steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus juga berpengaruh pada retensi cairan
dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontrol dikarenakan ginjal
tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal
pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan
sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya oedema,
gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat
aktivasi aksis rennin angiotensis dan kerjasama keduanya meningkatkan
sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan
garam, mencetuskan resiko hipoteni dan hipovolemia. Episode muntah dan
diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik. Asidosis metabolic terjadi akibat ketidakmampuan ginjal
mensekresi muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi ammonia (NH3) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam
organic lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin
menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletihan.
Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah,
defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan karena
status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehinga terjadi anemia
berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah substansi normal yang
diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas terutama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare
(2001) adalha gangguan metabolism kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki
hubungan saling timbale balik, jika salah satunya meningkat yang lain
menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon
secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya
kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
menyebabkan penyakit tulang, selian itu metabolic aktif vitamin D (1,25
dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di dalam ginjal menurun,
seiring dengan berkembangnya CKD terjadinya penyakit tulang uremik dan
sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan
komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan
fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari eksresi protein
dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan
sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekana darah cenderung akan
cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalami kondisi ini.
5. Manifestasi Klinis
Pada CKD setiap tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien
akan menunjukan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal dan kondisi lain yang
mendasari. Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada system
kardio vaskuler, dermatologi, gastrointestinal, neurologis, pulmoner,
musculoskeletal dan psiko-sosial menurut Smeltzer, dan Bare (2001)
diantaranya adalah :
a. Kardiovaskuler
1) Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari
aktivasi system rennin angiotensi aldosteron.
2) Gagal jantung kongestif
3) Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
b. Dermatolgi seperti pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
c. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafs makan, mual
sampai dengan terjadinya muntah.
d. Neuromuskuler seperti adanya sputum kental dan liat, pernafasan dangkal.
Kusmol, sampai terjadinya edema pulmonal.
e. Musculoskeletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormone dihidroksi kolekalsi
feron.
f. Psikosoial seperti terjaidnya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai
pada harga diri (HDR), ansietas pada penyakit dan kematian.
6. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
a. Urin
1) Volume, biasanya kurang dari 400 ml/24 jam atau tak ada (anuria)
2) Warna, secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukan
adanya darah, Hb. Mioglobin, porfirin.
3) Berat jenis kurang dari 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat.
4) Osmoalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal
tubular dan rasio u
5) Urin/serum sering 1:1
6) Klirens kreatinin mungkin agak menurun
7) Natrium lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
8) Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
b. Darah
1) BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap
akhir
2) Ht : menurun pada adanya anemia, Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dL
3) SDM : menurun, defisiensi eritropoitin
4) GDA : Asidosis metabolic, pH kurang dari 7,2
5) Natrium Serum : rendah
6) Kalium : meningkat
7) Magnesium : meningkat
8) Kalsium : Menurun
9) Protein (Albumin) : menurun
c. Osmolalitas serum : lebih dari 285 mOsm/kg
d. Pelogram retrograde : abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasono Ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
f. Endoskopi ginjal : menentukan pelvis gijal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif
g. Arteriogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa
h. EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa|

7. Penatalaksanaan Medis
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusu sesuai
dengan derajat penykit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umu.
Menurut suwitra (2006), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat
dalam tabel berikut :

Derajat LFG Perencanaan penatalaksanaan terapi


(ml/menit/1,873 m2)
1 >90 Dilakukan terapi pada penyakit
dasarnya, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil resiko kardiovaskuler.
2 60-89 Menghambat pemburukan (Progesion)
fungsi ginjal
3 0-59 Mengevaluasi dan melakukan terapi
pada komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk pengganti ginjal
(dialisis)
5 <15 Dialisis dan mempersiapkan terapi
pengganti ginjal (transplantasi ginjal).

Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara


lain adalah sebagai berikut :
a. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal
tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi,
biopsy serta pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun
sampai 20-30% dari normal terapi dari penyakit dasar sudah tidak
bermanfaat.
b. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penuruna LFG
pada pasien penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Factor-faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tak terkontrol infeksi traktur urinarius, obstruksi traktur urinarius, obat-
obat nefrotroksik, bahan radio kontras, atau peningkatan aktifitas penyakit
dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit pada penyakit CKD sangat
diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadintya edema dan
komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara masukan
dan pengeluaran urin serta Insensible Water Loss (IWL). Dengan asumsi
antara 500-800 ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh. Elektrolit yang
harus diawasi dalam asupannya adalah natrium dan kalium. Pembatasan
kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan aritmia jantung
yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan makanan yang
mengandung kalium (Sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5-
5,5 mEg/lt. sedangkan pada natrum dibatasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan dengan tekanan darah
dan adanya edema.
c. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal
adalah hiperventilasi glomerulus yaitu :
1) Batasan asupan protein, mulai dilakukan pad LFG <60 ml/mnt,
sedangkan diatas batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein.
Protein yang dibatasi antara 0,6-0,8/kg bb/hr, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya protein nilai biologis tinggi. Kalori yang diberikan sebesar
30-35 kkal/kg bb/hr dalam pemberian diit. Protein perlu dilakukan
pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan diencerkan
melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi
masukan protein yang mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan
ion anorganik lain yang dieksresikan melalui ginjal. Selain itu
pembatasan protein berasal dari sumber yang sama, agar tidak terjadi
hiperfosfatemia.
2) Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obta ani hipertensi dismaping bermanfaat untuk
memperkecil resiko komplikasi pada kardiovaskuler juga penting
untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan cara
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertropi glomerulus.
Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim
converting angiotensin ( Angiotensin Converting Enzim /ACE
inhibitor) dapat memperlambat perburukan fungsi ginjal. Hal ini
terjadi akibat mekanisme kerjanya sebagai anti hipertensi dan ani
proteinuri.
d. Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler merupakan hal yang
penting, karena 40-45% kematian pada penderita CKD disebabkan oleh
penyakit komplikasinya pada kardiovaskuler. hal-hal yang termasuk
pencegahan dan terapi penyakit vaskuler adalah pengendalian hipertensi,
DM, dislipidemia, anemia, hiperforvatemia, dan terapi pada kelebihan
cairan dan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan erapi
terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.
e. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan LFG. Seperti Anemia dilakukan
penambahan/tranfusi eritropoitin. Pemberian kalsitrol untuk mengatasi
osteodistrasi renal. Namun dalam pemakaiannya harus dipertimbangkan
Karena dapat meningkatkan absorsi fosfat.
f. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat
4-5. Terapi ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.

8. Komplikasi
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah :
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolic, katabolisme, dan
masukan diit berlebih
b. Prikarditis, efusi pericardial, dan tamponad jantung akibat retensi produsk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eriitropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan
h. Malnutrisi Karen anoreksia, mual dan muntah.
i. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.

B. TINJAUAN ASKEP
1. Pengkajian
Pengkajian focus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan Mengacu
pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
a. Demografi
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga
yang mengalami CKD di bawah umu tersebut yang diakibatka oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatab dan
sebagainya.
b. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,
Glomerulonefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi
saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu
kemungkinan terjadinya CKD.
c. Pengkajian Pola Fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini
sedang sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari
larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan
khawair, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seperti ini meski
segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
2) Pola Nutrisi dan metabolic
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam
kurun waktu 6 bulan. Tandanya adala anoreksia, mual, muntah,
asupan nutrisi dan air naik atau turun.
3) Pola Eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidakseimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penuruna BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak sinkronnya antara
tekanan darah dan suhu.
4) Aktifitas dan latihan
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta
pasien tidak dapat menolong diri sendiri, tandanya adalah aktifitas
dibantu.
5) Pola istirahat dan tidur
Gejalanya adalah pasien terlihat mengantuk, letih dan terdaoat
kantung mata. Tandanya adalah pasien terlihat sering menguap.
6) Pola persepsi dan kognitif
Gejalanya penurunan sensori dan ransang. Tandanya adalah
penurunan kesadaran seperti berbicara ngelantur dan tidak dapat
berkomunikasi dengan jelas.
7) Pola hubungan dengan orang lain
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri
sampai terjadinya HDR. Tandanya lebih menyendiri, tertutup,
komunikasi tidak jelas.
8) Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan
kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido,
keletihan saat berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
9) Pola persepsi diri
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi
edema citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik,
perubahan peran, dan percaya diri.
10) Pola mekanisme koping
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengamil
keputsan dengan tepat, mudah terpancing emosi.
11) Pola kepercayan
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien menagtakan merasa bersalah
mennggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat
melakukan kegiatan agama seperti biasanya
d. Pengkajian Fisik
1) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
2) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : beratbadan menurun, lingkar lengan atas
(LILA) menurun.
4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah,
disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
5) Kepala
a) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,
edema periorbital.
b) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
c) Hidung : pernapasan cuping hidung
d) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia,
mual,muntah serta cegukan, peradangan gusi.
e) Leher : pembesaran vena leher.
f) Dada dab toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis,
edema pulmoner, friction rub pericardial.
6) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
7) Genital : atropi testikuler, amenore.
8) Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam
serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot
drop, kekuatan otot.
9) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat
atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar
(purpura), edema.

Pre Hemodialisa (HD)


1. Data Subjektif
a. Pasien mengeluh sulit bernafas
b. Pasien mengeluh sering mual dan muntah
c. Pasien mengeluh nafsu makan menurun
d. Pasien mengeluh nyeri dada
e. Pasien mengeluh nyeri/ sakit kepala
f. Pasien mengeluh penglihatan rabun
g. Pasien mengeluh gatal pada kulit dan mengeluh demam
h. Pasien mengatakan aktifitas seksual mulai menurun
2.Data objektif
a. Pasien terlihat lemas
b. Nafas pendek
c. Dispneu
d. Mual, muntah, dan anoreksia
e. Peningkatan BB yang drastic
f. Penurunan kesadaran
g. Perubahan turgor kulit
3. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b/d penumpukan secret, edema sekunder
pada paru akibat GGK.
b. Perubahan pefusi jaringan perifer b/d transportasi oksigen dan
nutrisi ke jaringan menurun.
c. Kelebihan volume cairan b/d retensi cairan dan natrium, penurunan
haluaran urine
d. Resiko penurunan curah jantung b/d ketidakseimbangan cairan
yang mempengaruhi volume sirkulasi.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia, mual,
muntah.
f. Kerusakan integritas kulit b/d penumpukan ureum.
g. Ansietas b/d kurang pengetahuan tentang penyakitnya.

Intra Hemodialisa (HD)


1. Data Subjektif
a. Pasien mengeluh lemas
b. Pasien mengeluh nual, muntah
c. Pasien mengatakan cemas dengan keadaannnya
2. Data objektif
a. Kelemahan otot, kehilangan tonus
b. Pendarahan
c. Pasien tampak lemas
d. Pasien tampak cemas dan gelisah
3. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi syok hipovolemik b/d proses ultrasi yang berlebihan.
b. Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan, kehilangan
darah actual.
c. Nyeri akut b/d proses patologis penyakit.
d. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, terapi pembatasan.
e. Ansietas b/d kurang pengetahuan terhadap penyakitnya, program
pengobatan.

Post Hemodialisa (HD)


1. Data Subjektif:
a. pasien mengeluh lemas
b. kepala pusing
c. gatal- gatal pada tubuhnya
2. Data Objektif
a. Pendarahan
b. Terjadi atau terdapat tanda- tanda infeksi (kolor, dolor, rubor,
tumor dan fungsiolasia)

3. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko pendarahan b/d pemberian heparin yang berlebihan.
b. Resiko tinggi infeksi b/d tindakan invasive.
2. Perencanaan
a. Prioritas masalah
1) Pre Hemodialisa
a) Pola nafas tidak efektif
b) Perubahan perfusi jaringan perifer
c) Kelebihan volume cairan
d) Resiko penurunan curah jantung
e) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
f) Kerusakan integritas kulit
g) Ansietas
2) Intra Hemodialisa
a) Kekurangan volume cairan
b) Resiko syok hipovolemik
c) Nyeri akut
d) Intolerabsi aktivitas
e) Ansietas
3) Post Hemodialisa
a) Resiko terjadinya pendarahan
b) Resiko tinggi infeksi

b. Rencana Perawatan
1) Pre Hemodialisa
a) Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b/d penumpukan secret,
edema, sekunder pada paru akibat GGK.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
pola nafas pasien efektif
Kriteria Hasil :
(1) Frekuensi nafas efektif
(2) RR = 16-20 x/menit
(3) Pasien tidak mengeluh sesak
(4) Pasien tidak mengeluh nyeri dada
Intervensi :
(1) Beri posisi semifowler/posisi yang nyaman
Rasional: meningkatkan ekspansi paru dan memudahkan
pernafasan
(2) Kaji pola nafas, auskultasi kedalaman pernafasan
Rasional: untuk mengetahui kebutuhan
(3) Kolaborasi dalam pemberian oksigen
Rasional: untuk mengetahui kebutuhan oksigen pasien secara
adekuat
(4) Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan sesuai
kebutuhan
Rasional: meningkatkan sediaan oksigen pasien untuk
kebutuhan miocard untuk memperbaiki kontraktilitas,
menurunkan iskemia dan kadar asam laktat
b) Diagnosa : perubahan perfusi jaringan perifer b/d transportasi
oksigen dan nutrisi ke jaringan menurun|
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
perfusi jaringan perifer kembali efektif
Kriteria Hasil :
(1) Tidak ada sianosis
(2) Kulit pasien teraba hangat
(3) Tidak merasa kesemutan lagi
(4) CRT < 3 detik
Intervensi :
(1) Observasi warna dan suhu kulit/membrane mukosa
Rasional: kulit pucat atau sianosis, kuku, membrane
bibir/lidah, atau dingin, kulit burik menunjukkan
vasokontriksi perifer (syok) atau gangguan aliran darah
sistemik
(2) Tingkatkan tirah baring selama fase akut
Rasional: pembatasan aktivitas menurunkan aktivitas oksigen
(3) Tinggikan kaki bila ditempat tidur atau duduk, sesuai indikasi
Rasional: menurunkan pembengkakan jaringan dan
pengosongan cepat vena superficial dan tibial, mencegah
distensi berlebihan dan sehingga meningkatkan aliran balik
vena
(4) Peringatkan pasien untuk menghindari menyilang kaki atau
hiperfleksi lutut.
Rasional: pembatasan fisik terhadap sirkulasi mengganggu
aliran darah dan meningkatkan statis vena pada pelvis,
popliteal, dan pembuluh kaki, jadi meningkatkan
pembengkakan embolisasi dan meningkatkan risiko
komplikasi
(5) Anjurkan pasien untuk menghindari pijatan pada ekstremitas
yang sakit
Rasional: aktivitas ini potensial memecah/menyebar
thrombus, menyebabkan embolisasi dan meningkatkan risiko
komplikasi
(6) Dorong latihan nafas dalam
Rasional: meningkatkan tekanan negatif pada thoraks, yang
membantu pengosongan vena besar.
c) Diagnosa : kelebihan volume cairan b/d retensi cairan dan
natrium, penurunan haluaran urine.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan
diharapkan volume cairan pasien seimbang.
Kriteria Hasil :
(1) BB pasien stabil
(2) Tidak terdapat edema
(3) Kadar Na + dan air didalam darah pada batas normal
(4) TTV dalam batas normal (TD : 110-120/70-80 mmHg, N: 60-
100 x/menit, RR: 16-20 x/menit)
Intervensi :
(1) Kaji kulit wajah area tergantung untuk edema. Evaluasi
derajad edema (+1 sampai +4)
Rasional: edema terjadi terutama pada jaringan yang
tergantung pada tubuh, contoh tangan, kaki, area
lumbosacral. BB pasien dapat meningkat sampai 4,5 kg
cairan sebelum piting edema terdeteksi
(2) Ukur semua sumber pemasukan dan pengeluaran. Timbang
dengan rutin
Rasional: membantu mengevaluasi status cairan khususnya
bila dibandingkan dengan berat badan. Peningkatan berat
badan antara pengobatan harus tidak lebih dari 0,5 kg/hari.
(3) Timbang BB pre HD
Rasional: BB pre HD diperlukan untu menentukan HD yang
dilakukan
(4) Lakukan HD sesuai kebutuhan
Rasional: program HD sesuai kelebihan cairan dalam tubuh
(5) Observasi TTV tiap 2 jam
Rasional: untuk mengetahui KU pasien
(6) Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi: Diuretik,
contoh furosemide (Lasix), Mannitol (Osmitrol)
(7) Rasional: diberikan dini pada fase oliguria pada GGA pada
upaya mengubah ke fase nonoliguria, untuk melebarkan
lumen tubular dari debris, menurunkan hyperkalemia, dan
meningkatkan volume urine yang adekuat.

d) Diagnosa : resiko penurunan curah jantung b/d


ketidakseimbangan cairan yang mempengaruhi volume sirkulasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah
jantung dapat dipertahankan.
Kriteria Hasil :
(1) Tanda-tanda vital dalam batas normal: tekanan darah: 90/60-
130/90 mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur.
(2) Akral hangat
(3) Capillary refill kurang dari 3 detik
(4) Nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1
mmol/L, urea 15-39 mg/dl)
Intervensi :
(1) Observasi TD dan frekuensi jantung
Rasional: kelebihan volume cairan disertai hipertensi dapat
menimbulkan gagal jantung
(2) Auskultasi bunyi jantung
Rasional: apabila terbentuk suara jantung S3 dan S4
menunjukkan gagal jantung
(3) Kaji warna kulit, membrane mukosa, dan dasar kuku.
Perhatikan waktu pengisian kapiler
Rasional: pucat dapat menunjukan vasokontriksi. Sianosis
mungkin berhubungan dengan kongesti paru atau gagal
ginjal.
(4) Pertahankan tirah baring
Rasional: menurunkan konsumsi oksigen
(5) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.
Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.
e) Diagnosa : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d
anoreksia, mual, muntah.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan
diharpkan nutrisi pasien adekuat
Kriteria Hasil :
(1) BB pasien stabil
(2) Terjadi peningkatan nafsu makan
Intervensi :
(1) Beri makan sedikit tapi sering
Rasional: meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan
dengan status uremik/menurunnya peristaltik dan
memberikan sedikit energi
(2) Batasi kalium, natrium, dan pemasukan fosfat sesuai
indikasi
Rasional: pembatasan elektrolit ini diperlukan untuk
mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut, khususnya bila
dialysis tidak menjadi bagian pengobatan, dan/atau selama
fase penyembuhan GGA
(3) Timbang BB tiap dilakukan HD
Rasional: untuk mengetahui siklus nutrisi
(4) Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian asupan nutrisi
Rasional: memberi asupan nutrisi yang tepat bagi pasien
f) Diagnosa : kerusakan integritas kulit b/d penumpukan
ureum
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan
diharapkan kerusakan integritas kulit dapat diatasi
Kriteria Hasil :
(1) Mempertahankan kulit utuh
(2) Menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan
atau cedera kulit.
Intervensi :
(1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vascular.
Perhatikan kemerahan, ekskoriasi. Observasi terhadap
ekimosis, purpura
Rasional : menandakan area sirkulasi buruk/kerusakan
yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus/infeksi
(2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran
mukosa
Rasional: mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi
berlebihan yang memengaruhi sirkulasi dan integritas
jaringan pada tingkat seluler
(3) Ubah posisi dengan sering, gerakan pasien dengan perlahan,
beri bantalan pada tonjolan tulang dengan kulit domba,
pelindung, siku, atau tumit
Rasional: menurunkan tekanan pada oedema, jaringan
dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia.
Peninggian meningkatkan aliran balik status vena terbatas
atau pembentukan oedema.
(4) Berikan perawatan kulit. Batasi penggunaan sabun. Berikan
salep atau krim (mis lanolin, aquaphor)
Rasional: Lotion dan salep mungkin diinginkan untuk
menghilangkan kering, robekan kulit.
(5) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin
untuk memberikan tekanan (daripada garukan) pada area
pruritus. Pertahankan kuku pendek, berikan sarung tangan
selama tidur bila diperlukan.
Rasional: menghilangkan ketidak-nyamanan dan
menurunkan resiko cidera dermal
(6) Anjurkan menggunakan katun longgar
Rasional: mencegah iritasi dermal langsung dan
meningkatkan evaporasi lembab pada kulit.
g) Diagnosa : ansietas b/d kurang pengetahuan tentang
penyakitnya.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan
diharapkan pasien tidak cemas.
Kriteria Hasil :
(1) Pasien tampak tenang dan nyaman
(2) Kecemasan pasien berkurang
Intervensi :
(1) Kaji tingkat ansietas
Rasional: untuk menentukan intervensi yang diberikan
(2) Beri informasi tentang HD
Rasional: untuk mengetahui prosedur HD
(3) Komunikasi Terapeutik
Rasional: sesuatu yang disampaikan pada pasien agar
menjadi efektif.

2) Intra Hemodialisa
a) Diagnosa : resiko tinggi syok hipovolemik b/d proses
ultrafiltrasi berlebihan.
Tujuan : setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan klien tidak mengalami syok
hipovolemik.
Kriteria Hasil :
(1) Volume darah dalam tubuh kembali normal
(2) Keadaan pasien compos mentis
(3) Keadaan umum pasien baik
(4) TTV dalam batas normal (S= 36-37,40C, TD= 120/80
mmHg, RR=16-20 x/mnt, nadi=60-100 x/mnt)
Intervensi :
(1) Observasi KU pasien
Rasional: Pasien syok tidak menunjukkan KU yang lemah
(2) Observasi TTV pasien
Rasional: Penurunan TD dan nadi menunjukkan adanya
syok
(3) Kolaborasi pemberian cairan intravena (IVFD)
Rasional: mengganti kekurangan cairan dan
meneimbangkan cairan vaskuler
b) Diagnosa : kekurangan volume cairan b/d pembatasan
cairan, kehilangan darah actual.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan
diharapkan kebutuhan cairan klien terpenuhi.
Kriteria Hasil :
(1) Volume cairan tubuh kembali normal
Intervensi :
(1) Kaji ulang KU dan tanda-tanda vital pasien
Rasional: Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui
penyimpangan dari keadaan normal
(2) Observasi tanda-tanda syok
Rasional: Dapat segera dilakukan tindakan untuk
menangani terjadinya syok
(3) Catat intake dan output cairan
Rasional: Untuk mengetahui keseimbangan cairan
(4) Kolaborasi pemberian cairan intravena dengan dokter
Rasional: pemberian cairan intravena sangat penting bagi
pasien yang mengalami kekuranmgan cairan tubuh. Karena
cairan yang diberikan langsung masuk kedalam pembuluh
darah.
c) Diagnosa : nyeri akut b/d proses patologis penyakit
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan
diharapkan nyeri klien berkurang
Kriteria Hasil :
(1) Nyeri pasien berkurang/hilang
(2) KU klien baik, klien tidak meringis
(3) Skala nyeri (0-3) dari skala yang diberikan
Intervensi :
(1) Monitor TTV
Rasional: Mengetahui KU pasien dan sebagai data dasar
untuk tindakan lebih lanjut
(2) Observasi nyeri pasien dengan teknik PQRST
Rasional: Mengetahui penyebab, kualitas, lokasi, skala dan
waktu terjadinya nyeri
(3) Beri posisi nyaman, usahakan situasi ruangan tenang
Rasional: Mengurangi rasa nyeri
(4) Kolaborasi dalam pemberian analgetik
Rasional: Analgetik dapat menekan rasa nyeri
d) Diagnosa : intoleransi aktivitas b/d kelemahan, terapi,
pembatasan
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan
diharapkan aktivitas pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
(1) Klien mampu beraktifitas mandiri
(2) Klien tidak merasa lemas lagi
Intervensi :
(1) Kaji faktor yang mempengaruhi kelemahan
Rasional: Untuk mengetahui penyebab terjadinya
kelemahan
(2) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
Rasional: Melatih pasien untuk beraktivitas secara bertahap
(3) Kaji ulang hal-hal yang mampu dan tidak mampu dilakukan
pasien
Rasional: Mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam
memenuhi kebutuhannya
(4) Bantu pasien memenuhi ADL yang tidak dapat dilakukan
sendiri
Rasional: Menumbuhkan rasa percaya diri pasien dalam
melakukan ADL
e) Diagnosa : ansietas b/d kurangnya pengetahuan
terhadap penyakitnya dan program pengobatan.
f) Tujuan :setelah dilakukan asuhan keperawatan
diharapkan pasien tidak cemas lagi
Kriteria Hasil :
(1) Pasien tampak nyaman dan tenang
(2) Kecemasan pasien berkuran/pasien tidak cemas lagi
Intervensi :
(1) Kaji tingkat ansietas
Rasional: Penentuan tindak lanjut intervensi keperawatan
yang akan diberikan
(2) Berikan informasi mengenai tindakan HD yang dilakukan
Rasional: Untuk mengetahui prosedur tindakan HD dan
menurunkan ansietas
(3) Gunakan komunikasi terapeutik
Rasional: Segala sesuatu yang disampaikan, diajarkan pada
pasien agar memberikan hasil yang efektif
(4) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya
Rasional: Mengetahui sejauh mana klien tahu tentang
penyakitnya
(5) Berikan dukungan pada pasien dan libatkan orang terdekat
/keluarga untuk mendampingi pasien
Rasional: dukungan yang diberikan dapat menurunkan
ansietas pasien

3) Post Hemodialisa
a) Diagnosa : resiko pendarahan b/d pemberian heparin yang
berlebih
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
pendarahan tindak lanjut
Kriteria Hasil :
(1) Tidak ada tanda-tanda perdarahan
Intervensi :
(1) Observasi daerah luka penusukan
Rasional: Untuk mengetahui terjadinya pendarahan secara
dini
(2) Lakukan fiksasi/penekanan pada tempat penusukan dengan
gaas berisi betadine
Rasional: Mencegah pengeluaran darah
b) Diagnosa : resiko tinggi infeksi b/d tindakan
invasive
Tujuan : setelah diberikan askep diharapkan
tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil :
(1) Tidak terdapat tanda-tanda infeksi (pembengkakan,
kemerahan, nyeri, panas dan perubahan fungsi
Intervensi :
(1) Observasi TTV
Rasional: Sebagai data dasar untuk tindakan selanjutnya
(2) Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan
pemasangan alat HD/perawatan luka
Rasional: Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif
terhadap kemungkinan terjadinya infeksi
(3) Observasi daerah pemasangan/daerah penusukan
Rasional: Mengetahui tanda-tanda infeksi pada daerah
pemasangan alat HD/bekas luka tusukan
(4) Segera cabut jarum bila tampak adanya
pembengkakan/flebitis
Rasional: Menghindari kondisi yang lebih buruk

3. Implementasi
Implementasi adalah tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencana
asuhan keperawatan yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tindakan
yang telah dibuat, dimana tindakan yang dilakukan mencakup tindakan
mandiri dan kolaborasi (Tarwoto dan Wartonah, 2003).

4. Evaluasi
a. Pre Hemodialisa
1) Pola napas efektif
2) Perfusi jaringan perifer kembali efektif
3) Volume cairan klien seimbang
4) Tidak terjadi penurunan curah jantung
5) Nutrisi klien adekuat
6) Kerusakan integritas kulit dapat diatasi
7) Ansietas tidak terjadi
b. Intra Hemodialisa
1) Syok hipovolemik tidak terjadi
2) Keseimbangan cairan tetap tejaga
3) Rasa nyeri pasien berkurang
4) Aktivitas sehari-hari dapat terpenuhi
5) Ansietas tidak terjadi
c. Post Hemodialisa
1) Pendarahan tidak terjadi
2) Infeksi tidak terjadi
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC
Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Kasuari. 2002. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler
Dengan Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK
Magelang
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Nanda. 2005. Nursing Diagnoses Definition dan Classification. Philadelpia
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT
Alumni
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II.
Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika


LEMBAR PENGESAHAN

Mengetahui, Denpasar, 25 Juni 2018

Pembimbing Ruangan Hemodialisa Mahasiswa

(Ns. Luh Gede Suwartini, S.Kep) (Kadek Meika Wintari)


Nim. 15C11508

Pembimbing Akademik

(Ns. Ni Pt. Ayu J Sastamidhyani, S.Kep.,M.Kep)


NIR. 16129
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BALI
Jln. Tukad Balian No. 180, Denpasar-Bali

1. Mata Ajaran : KDM I


2. Kompetensi : Mengukur dan mencatat tanda-tanda vital (suhu, nadi,
pernafasan/tekanan darah)
3. Pengertian :Mengukur tanda-tanda kehidupan (vital) yang
menyelemuti suhu, denyut nadi, pernafasan dan tekanan
darah dengan menggunakan alat termometer (suhu), jam
tangan dengan detik atau layar digital
(nadi dan pernafasan) serta tensimeter (tekanan darah)
4. Tujuan : Mengetahui keadaan suhu, denyut nadi, pernafasan dan
tekanan
darah sebagi parameter untuk perawatan selanjutnya
5. Penilaian :

Kemampuan ke -
No Komponen Penilaian / Keterampilan Ket
I II III IV
1 2 3 4 5 6 7
I Tahap Persiapan (30%)
A. Persiapan Pasien
1. Perkenalan diri
2. Meminta pengunjung/keluarga meninggalkan
ruangan
3. Menjelaskan tujuan
4. Menjelaskan langkah/prosedur yang akan
dilakukan

B. Persiapan Lingkungan
1. Kalau perlu memasang sampiran

C. Persiapan Alat
1. Termometer lokal (oral, rektal dan axilla) dalam
tempatnya
2. Kertas tisu
3. Jam tangan dengan detik atau layar digital
4. Sarung tangan (rektal)
5. Pelumas (rektal)
Kemampuan ke -
No Komponen Penilaian / Keterampilan Ket
I II III IV
6. Tensimeter (sfimomanometer + manset)
7. Stetoskop
8. Bengkok
9. Buku catatan dan alat tulis

II Tahap Pelaksanaan (60%)


A. Pengetahuan (20%)
1. Penguasaan prosedur
2. Ketepatan data
3. Rasional tindakan

B. Sikap (20%)
1. Disiplin
2. Motivasi
3. Kerjasama
4. Tanggung Jawab
5. Komunikasi
6. Kejujuran
7. Penampilan fisik
8. Kreativitas

C. Ketrampilan (20%)
1. Mengukur suhu
a. Oral
1) Cuci tangan
2) Pegang termometer pada ujung
batang dan usap dengan tisu
3) Periksa untuk meyakinkan bahwa
termometer dalam keadaan utuh. Baca
kolon air raksa, harus di bawah 35,60 C
kalu perlu goncangkan termometer
4) Minta pasien untuk membuka mulutnya.
Masukkan bulb termometer di bawah
lidah, menghadap sisi mulut
5) Beritahu pasien untuk menahan
termometer dengan bibir tertutup selama
2-3 menit
6) Ambil termometer (pegang bagian
Kemampuan ke -
No Komponen Penilaian / Keterampilan Ket
I II III IV
tangkainya) dan bersihkan dari ujung
batang ke ujung bulb termometer
7) Buang tisu dan bengkok
8) Baca termometer dan catat hasilnya
9) Bersihkan termometer dan keringkan serta
kembalikan ke tempatnya
10) Perawat mancuci tangan
11) Mencatat hasil

b. Rektal
1) Laksanakan prosedur di atas
2) Pegang termometer pada ujung
batangnya, usap dengan tisu
3) Periksa untuk meyakinkan bahwa
termometer dalam keadaan utuh. Baca
kolon air raksa, harus di bawah 35,60 C
kalsu perlu goncangkan termometer
4) Bantu pasien melakukan posisi sinis
(anak-anak tengkurap)
5) Gunakan sarung tangan
6) Oleskan pelumas pada bulb dengan tisu
7) Masukkan bulb 2,5 - 3,5 cm (dewasa), 1,2
- 2,5 cm (bayi dan anak-anak) dan
anjurkan pasien menahan selama 2,5
menit
8) Laksakan prosedur (6-9 oral)
9) Lepaskan sarung tangan
10) Cuci tangan
11) Mencatat hasil

c. Axilla
1) Laksankan prosedur di atas
2) Bersihkan area pengukuran sampai kering
dan letakkan termometer menempel pada
kulit
3) Menyilangkan tangan pasien di atasnya
4) Mengangkat termometer setelah 10 menit
5) Laksakan prosedur (6-10 oral)
Kemampuan ke -
No Komponen Penilaian / Keterampilan Ket
I II III IV

2. Menghitung denyut nadi


a. Siapkan pasien pada posisi nyaman
(terlentang/duduk)
b. Cari nadi pada sisi ibu jari pergelangan
tangan dengan ujung tiga jari tengah tangan
anda
c. Ketika nadi teraba dengan teratur, gunakan
sedikit tekanan di atas radius
d. Bila nadi teratur, hitung selama 15/30 detik
kemudian hasilnya dikalikan 4 atau 2
e. Bila nadi tida teratur hitung selama 1 menit
penuh
f. Kaji volume (keras/lemah), irama dan
frekuensi adanya disritmia
g. Catat karakteristik nadi (frekuensi, volume
dan irama)
h. Cuci tangan

3. Menghitung pernafasan
a. Cuci tangan
b. Letakkan tangan seperti menghitung denyut
nadi
c. Hitung pernafasan waktu inpirasi pada dada
atau perut selama 1 menit (pada orang dewasa
hitung pernafasan dalam 30 detik dan kalikan
2, dan bila tidak teratur hitung 1 menit penuh,
untuk bayi dan anak kecil hitung dalam 1
menit penuh)
d. Kaji kedalaman, irama dan bunyi pernafasan
e. Catat karakteristik pernafasan (frekuensi,
kedalam irama dan bunyi)
f. Cuci tangan

4. Mengukur tekanan darah


a. Cuci tangan
b. Letakkan lengan pasien dengan telapak
tangan menghadap ke atas di atas tempat tidur
Kemampuan ke -
No Komponen Penilaian / Keterampilan Ket
I II III IV
atau meja
c. Singsikan lengan baju pasien ± 12,5 cm di
atas siku (di atas fossa cubiti). Bagian tengah
kantong karet manset, harus berada langsung
di atas arteri brakialis (manset tidak terlalu
ketat dan longgar)
d. Menghubungkan pipa tensi meter dengan
pipa manset
e. Menutup skrup balon kuret
f. Membuka kunci reservoir
g. Letak tensimeter harus datar
h. Meraba A. Brachialis dengan 3 jari tengah
i. Meletakkan bagian diagfragma stetoskop
tepat di atasnya (bagian corong tertutup)
j. Memompa balon sehingga udara masuk ke
dalam manset sampai detik arteri tidak
terdengar lagi atau 2-3 mmHg diatas nilai
sistolik
k. Mebuka skrup balon perlahan-lahan dengan
kecepatan 2-3 mmHg perdetik sambil melihat
bunyi detik pertama (sistole) dan detik
terakhir (diastole)
l. Pada waktu melihat skala mata setinggi skala
tersebut
m. Bila hasilnya meragukan perlu diulang
kembali (tunggu 30”)
n. Menurunkan air raksa sampai dengan 0 (nol)
dan mengunci reservoir
o. Membuka pipa penghubung
p. Melepaskan manset dan mengeluarkan udara
yang masih tertinggal di manset
q. Menggulung manset dan memnasukkan ke
dalam tensi meter
r. Merapikan pasien
s. Mengembalikan alat pada tempatnya
t. Mencuci tangan
u. Mencatat pada lembar catatan yang ada
v. Membuat grafik/kurve pada lembaran status
Kemampuan ke -
No Komponen Penilaian / Keterampilan Ket
I II III IV
pasien dengan tepat dan benar
w. Menggunakan waktu dengan efektif dan
hemat energi

III Tahap Akhir (10%)


A. Evaluasi perasaan pasien (merasa aman dan
nyaman)
B. Kontrak waktu untuk kegiatan selanjutnya
C. Dukomentasikan prosedur dan hasil observasi

TOTAL AKHIR

Anda mungkin juga menyukai