Abstrak
Spina bifida adalah salah satu gangguan penutupan neural tube yang menyebabkan
terjadinya malformasi congenital dan mempengaruhi sistem saraf. Spina bifida
mielomeningokel atau meningokel sangat umum ditemukan di region lumbosakral.
Berdasarkan tingkat keparahan spina bifida dan keterlibatan saraf tepi dansaraf tulang
belakang, dapat terjadi kelemahan ekstremitas bawah, dislokasi panggul, gangguan buang air
kecil dan buang air besar karena gangguan saraf yang menyebabkan retensi pada kandung
kencing dan usus. Permasalahan lanjutan yang dapat muncul adalah infeksi saluran kemih
(ISK) berulang, refluksvesiko ureter dan hidronefrosis. Tindakan bedah penutupan
meningokel dan mielomeningokel sedini mungkin sangat diindikasikan
Abstract
Spina bifida is one of the closing neural tube disorder that causes the occurrence of
congenital malformation and affects the nervous system. Spina bifida mielomeningokel or
meningokel are very commonly found in regiolumbosakral. Based on the severity of spina
bifida and involvement of peripheral nerves and the spinal cord, it can happen to the
weakness of the lower extremities, hip dislocation, disturbance of urination and bowel
movements due to nervous disorders that cause retention on urinary bladder and intestines.
Advanced problems that can appear is urinary tract infection (UTI)--reflux vesikoureter and
hydronephrosis. Surgical closure of meningokel action and mielomeningokel as early as may
be indicated.
1
Pendahuluan
Setiap tipe spina bifida memiliki manifestasi klinis yang berbeda. Oleh karena
perbedaan manifestasi klinisnya, terapi yang dilakukan juga berbeda. Maka dari itu, penulis
akan membahas tentang salah satu tipe spina bifida yaitu meningomielokel. Tujuan dari
penulisan tinjauan pustaka ini adalah agar pembaca dapat memahami anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan diagnosis banding dari spina bifida tipe
meningomielokel, serta memahami etiologi, manifestasi klinis, tatalaksana, prognosis, dan
pencegahan terhadap spina bifida tipe meningomielokel.
Anamnesis
Anamnesis bertujuan untuk menggali semua data dari pasien yang akan membantu
untuk menegakkan diagnosis kerja. Pada pasien bayi dan anak, dilakukan alloanamnesis yang
berisi keluhan utama, riwayat kehamilan, riwayat kelahiran, riwayat makan, riwayat
pertumbuhan dan perkembangan, dan status kesehatan sekarang. Riwayat kehamilan
mencakup antenatal care, penggunaan obat-obatan, penambahan berat badan, dan durasi
kehamilan. Riwayat kelahiran mencakup sifat persalinan, berat badan lahir, dan nilai Apgar
pada menit pertama dan menit ke-5. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan mencakup
berat badan dan tinggi badan segala usia, lingkar kepala saat lahir sampai 2 tahun, usia anak
saat dapat mengangkat kepala, berguling, duduk, berdiri, berjalan, dan berbicara,
perkembangan di sekolah, perilaku, dan hubungan dengan orang lain. Status kesehatan
sekarang mencakup alergi, imunisasi, dan uji skrining.4
2
Dari hasil anamnesis pada kasus, didapatkan riwayat kehamilan yaitu ibu menderita
epilepsi dan mengonsumsi obat anti epilepsi sejak remaja, antenatal care (ANC) jarang
dilakukan oleh ibu, tetapi saat ANC kehamilan bulan ke-5, ditemukan kadar serum alfa-
fetoprotein tinggi dan adanya kemungkinan spina bifida pada pemeriskaan USG. Selain itu,
didapatkan juga riwayat kelahiran yaitu bayi lahir cukup bulan, langsung menangis, berat
badan lahir 2.450 gram, nilai Apgar10, ditemukan tumor di daerah lumbal berdiameter 4 cm,
dan tidak ada kelainan fisik lainnya pada saat lahir.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik pasien serta ada atau
tidaknya kelainan organ. Pada bayi yang baru lahir, dilakukan pemeriksaan segera saat lahir
dan beberapa jam setelah lahir. Pada bayi dan anak, dilakukan pemeriksaan berat badan dan
tinggi badan, lingkar kepala, tanda-tanda vital, kulit, kepala, mata, telinga, hidung, mulut dan
faring, leher, toraks dan paru, jantung, payudara, abdomen, genitalia, muskuloskeletal, dan
neurologis.4
Pemeriksaan saraf kranial bertujuan untuk mengetahui apakah semua saraf kranial
berfungsi normal atau ada kelainan.Pada bayi, pemeriksaan saraf kranial tidak harus
dilakukan secara berurutan. N. VII dapat diperiksa saat bayi menangis, yang diperhatikan
adalah mata dan sudut mulutnya. N. IX dan XII dapat diperiksa saat bayi membuka
mulutnya, yang diperhatikan adalah lidah dan langit-langit mulut. N. V, VII, dan XII dapat
diperiksa dengan refleks rooting dan refleks isap. Refleks rooting dilakukan dengan cara
menyentuhkan ujung jari di sudut mulut bayi, normalnya bayi akan menengok ke arah
rangsangan dan berusaha memasukkan jari ke dalam mulut. Jika jari dimasukkan dan diisap,
disebut refleks isap. N. IX dan X dapat diperiksa saat bayi menelan. N. III, IV, dan VI dapat
diperiksa saat bayi membuka matanya saat mengisap, yang diperhatikan adalah gerakan bola
3
mata. Dilakukan juga doll’s eye maneuver dengan cara memutar kepala bayi ke salah satu
sisi, normalnya akan terjadi deviasi bola mata ke kontralateral. N. II dapat diperiksa dengan
cahaya atau benda berwarna merah, normalnya bayi akan berkedip atau menutup mata. N.
VIII dapat diperiksa dengan suara keras, normalnya bayi akan berkedip atau menghentikan
pergerakan. Pemeriksaan N. I, II, dan VIII sulit dilakukan secara objektif, dan pemeriksaan
N.XI sulit dilakukan pada bayi.5
Pemeriksaan motorik bertujuan untuk mengetahui fungsi motorik bayi atau anak
dengan menguji kekuatan dan tonus otot serta koordinasi. Pemeriksaan tonus otot dilakukan
pada bayi dan anak, sedangkan pemeriksaan kekuatan otot dan koordinasi dilakukan pada
anak yang sudah bisa mengikuti instruksi dan kooperatif. Pemeriksaan tonus otot pada
bayidan anak yang tidak kooperatif dilakukan dengan cara pronasi dan supinasi pergelangan
tangan, fleksi dan ekstensi siku, serta dorsofleksi dan plantarfleksi pergelangan kaki, atau
dengan memegang otot yang diperiksa.Kelainan tonus otot dapat berupa paresis dan paralisis.
Paresis merupakan kelumpuhan otot yang tidak sempurna, sedangkan paralisis merupakan
kelumpuhan otot yang sempurna. Paresis dan paralisis dapat bersifat flaksid atau spastik.
Pada paresis atau paralisis flaksid, otot tidak dapat mempertahankan tonus dan posisi normal.
Hal ini terjadi pada lesi lower motor neuron. Pada paresis atau paralisis spastik, tonus otot
meningkat, kontraksi berlangsung lama, refleks meningkat, dan terdapat refleks patologis.
Hal ini terjadi pada lesi upper motor neuron. Akan tetapi, lesi upper motor neuron juga
menunjukkan flaksiditas sebelum spastisitas.5
Pemeriksaan sensorik bertujuan untuk mengetahui fungsi sensorik bayi atau anak.
Akan tetapi, pemeriksaan sensorik yang tepat sulit dilakukan pada anak berusia di bawah 6
tahun dan hampir tidak mungkin dilakukan pada bayi. Pada bayi, dapat dilakukan uji
sentuhan, refleks rooting, dan refleks withdrawal.5
4
dengan jarum yang merangsang telapak kaki, maka akan terjadi fleksi pada tungkai yang
dirangsang dan ekstensi pada tungkai kontralateral. Refleks plantar grasp dilakukan dengan
meletakkan jari pemeriksa pada telapak kaki bayi, maka akan terjadi fleksi jari kaki. Refleks
palmar grasp dilakukan dengan meletakkan jari pemeriksa pada telapak tangan bayi, maka
akan terjadi fleksi jari tangan. Refleks rooting dijelaskan pada pemeriksaan saraf kranial.
Pemeriksaan refleks tendon dalam dilakukan pada tendon biceps, triceps, patella, dan
Achilles. Pada bayi, pemeriksaan in dilakukan dengan jari tangan. Hiperrefleksi terjadi pada
penderita lesi upper motor neuron, hipertiroidisme, hipokalsemia, dan tumor batang otak.
Hiporefleksi terjadi pada penderita lesi lower motor neuron, sindrom Down, malnutrisi, dan
kelainan metabolik.5
Dari hasil pemeriksaan fisik pada kasus, didapatkan kesadaran bayi compos mentis,
nervus cranialis dalam keadaan normal, adanya paraparesis inferior tipe flaksid, sensibilitas
terganggu pada kedua tungkai, refleks fisiologis tungkai menurun, dan refleks patologis
negatif.
Pemeriksaan Penunjang
5
Elektroensefalografi (EEG) penting dilakukan pada penderita kelainan susunan saraf
pusat. Pada hasil EEG, dapat terlihat kelainan fokal yang menunjukkan kemungkinan lesi
struktural di otak. Selain itu, dapat terlihat kelainan umum pada hasil EEG yang
menunjukkan kelainan genetik atau metabolik. Walaupun demikian, tidak semua kelainan
otak dapat terlihat pada hasil EEG. EEG dilakukan untuk melihat adanya lesi otak yang
menyertai spina bifida tipe meningomielokel.5
Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk melihat struktur organ tanpa
radiasi. MRI otak dan kolumna vertebra berguna untuk melakukan penilaian neurologis
karena dapat memberikan informasi terperinci tentang otak dan medulla spinalis serta
malformasinya. Pada spina bifida tipe meningomielokel, dilakukan MRI otak (lihat gambar
1) dan MRI sesuai lokasi anatomis lesi meningomielokel, biasanya pada regio lumbal (lihat
gambar 2). Selain itu, dapat juga dilakukan MRI pada ibu hamil (lihat gambar 3).5,6
6
Gambar 2. MRI Lumbal dengan Spina Bifida Tipe Meningomielokel.8
Adanya herniasi kantung berisi cairan serebrospinal (panah putih) yang mengandung
serabut saraf (panah hitam).8
7
ibu hamil untuk melihat kondisi janin. Pada gambaran USG, spina bifida dapat terlihat
sebagai lemon sign(lihat gambar 4).5
Gambar 4. Gambaran USG pada Janin dengan Spina Bifida Tipe Meningomielokel.7
Ultrasonogram antenatal yang menunjukkan lemon sign (panah putih).7
Diagnosis Kerja
Diagnosis Banding
8
Etiologi
Penyebab spina bifida tipe meningomielokel belum diketahui. Akan tetapi, terdapat
beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya spina bifida tipe meningomielokel.
Faktor risiko tersebut adalah genetik, nutrisi, penggunaan obat, diabetes maternal, dan
obesitas maternal.Faktor genetik yang mempengaruhi adalah risiko rekurensi
meningomielokelpada anak selanjutnya. Risiko rekurensi setelah 1 anak menderita
meningomielokel adalah 3-4%, dan meningkat menjadi 10% setelah 2 anak menderita
meningomielokel. Faktor nutrisi yang mempengaruhi adalah defisiensiasam folat. Asam folat
diketahui dapat menurunkan risiko meningomielokel menjadi 50%. Penggunaan obat yang
mempengaruhi adalah obat anti epilepsi seperti asam valproat dan carbamazepine, serta obat
yang merangsang ovulasi. Ibu dengan diabetes pre-gestasi memiliki risiko 2-10 kali lipat
lebih tinggi dari populasi normal untuk melahirkan bayi dengan meningomielokel. Ibu
dengan diabetes saat gestasi memiliki risiko yang lebih rendah dari ibu dengan diabetes pre-
gestasi, tetapi tidak lebih rendah dari populasi normal.1,6
Manifestasi Klinis
Penderita spina bifida tipe meningomielokel memiliki defek neurologis yang salah
satunya adalah hidrosefalus. Spina bifida tipe meningomielokel terjadi karena kegagalan
penutupan pada kaudal tabung neural. Selain itu, meningomielokel juga berkaitan dengan
perkembangan abnormal dari tabung neural kranial. Perkembangan abnormal tersebut
menghasilkan kelainan sistem saraf pusat yang khas seperti malformasi tipe Chiari II.
Malformasi tipe Chiari II ditandai dengan hipoplasia serebelar dan perpindahan batang otak
bagian bawah ke kanal serviks atas. Kelainan ini menghambat aliran dan penyerapan cairan
serebrospinal sehingga menyebabkan hidrosefalus.1,6
Defek yang timbul pada penderita spina bifida tipe meningomielokel bergantung pada
lokasi anatomis lesi. Pada lesi di tingkat lumbal, defek neurologisnya terdiri dari inervasi
yang tidak simetris pada ekstremitas bawah, kelainan ekstremitas bawah, refleks tendon
dalam negatif, penurunan sensibilitas, penurunan massa tulang, kejang, dan gangguan
koordinasi halus. Inervasi antara otot-otot fleksor dan ekstensor pada ekstremitas bawah tidak
simetris. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan otot pada penderita, yang sering
menyebabkan kelainan ekstremitas bawah seperti clubfeet, kontraktur sendi lutut atau
pergelangan kaki, dislokasi panggul, dan kelainan kolumna vertebralis. Ketidakseimbangan
otot juga membuat penderita mengurangi aktivitasnya, sehingga terjadi penurunan massa
9
tulang. Oleh karena itu, penderita berisiko tinggi terhadap fraktur ekstremitas bawah.
Gangguan koordinasi halus dapat dikaitkan dengan malformasi Arnold-Chiari yang
menyebabkan defisiensi serebelar. Pada malformasi Arnold-Chiari, serebelum ditarik ke
ventrikel 4 dan tonsil serebelar memanjang.6
Sensitisasi lateks juga sering dijumpai pada penderita spina bifida tipe
meningomielokel. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor genetik dan tingginya paparan lateks.
Paparan lateks berkaitan dengan frekuensi tindakan operatif yang dilakukan dan kadar serum
IgE penderita.6
Tatalaksana
10
Setelah operasi, dilakukan pemeriksaan dan penindakan terhadap sistem urogenital
penderita. Untuk mengatasi inkontinensia urin, penderita dianjurkan untuk melakukan
kateterisasi kandung kemih. Kateterisasi kandung kemih dilakukan menggunakan kateter dan
sarung tangan bebas lateks untuk mencegah sensitisasi lateks. Selain itu, dilakukan juga
kuktur urin berkala dan pemeriksaan fungsi ginjal seperti kadar elektrolit dan kreatinin, USG
ginjal, vesiculourethrograms, renalscan, dan cystometograms. Penderita dapat memiliki
kontinensia dengan prosedur implantasi menggunakan sfingter urin artifisial. Dengan adanya
pemeriksaan dan penindakan terhadap sistem urogenital, tingkat mortalitas penderita
menurun. Untuk inkontinensia alvi yang jarang menimbulkan kerusakan organ, dapat
dilakukan terapi yaitu pelatihan dengan suppositoria atau enema 1 sampai 2 hari sekali.1
Ambulasi pada penderita bergantung pada lokasi anatomis lesi meningomielokel dan
fungai otot iliopsoas. Penderita dengan lesi lumbosakral memiliki ambulasi fungsional. 50%
penderita dengan lokasi anatomis lesi lebih tinggi melakukan ambulasi menggunakan alat
orthotik. Ambulasi menjadi semakin sulit ketika menginjak dewasa dan massa tubuh
meningkat. Jika terdapat penurunan ambulasi di awal, harus dilakukan evaluasi dan dikaitkan
dengan masalah bedah neurologi.1
Prognosis
Pencegahan
Spina bifida tipe meningomielokel dapat dicegah dengan cara konsumsi asam folat
0,4 mg setiap hari oleh ibu hamil. Asam folat dikonsumsi sebelum konsepsi sampai minimal
12 minggu kehamilan. Selain ibu hamil, semua wanita usia subur disarankan untuk
mengonsumsi asam folat setiap hari karena defek yang terjadi sangat dini saat masa
kehamilan.1,9
11
Kesimpulan
12
Daftar Pustaka
1. Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, editor. Nelson textbook
of pediatrics. 19th ed. USA: Elsevier; 2011.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Spina bifida [Internet]. 13 Sep 2018 [diakses
pada 4 Jan 2019]. Tersedia dari: https://www.cdc.gov/ncbddd/spinabifida/facts.html.
3. Cortazar AZ, Martinez CM, Feliubadalo CD, Cueto MRB, Serra L. Magnetic resonance
imaging in the prenatal diagnosis of neural tube defects. Insights Imaging 2013;4:229-33.
4. Bariid B, Angelina B. Bates: buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan.
Diterjemahkan dari Bickley LS, Szilagy PG. Bates’ pocket guide to physical examination
and history taking. 7th ed. Jakarta: EGC; 2015.
5. Soetomenggolo TS, Ismael S, editors. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI; 1999.
6. Medscape. Spina bifida [Internet]. 21 Sep 2018 [diakses pada 4 Jan 2019]. Tersedia dari:
https://emedicine.medscape.com/article/311113-overview.
7. Medscape. Imaging in spinal dysraphism and myelomeningocele [Internet]. 21 Sep 2016
[diakses pada 8 Jan 2019]. Tersedia dari: https://emedicine.medscape.com/article/413899-
overview.
8. Kumar J, Afsal M, Garg A. imaging spectrum of spinal dysraphism on magnetic
resonance: a pictorial view. World J Radiol 28 Apr 2017;9(4):181.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Diterjemahkan dari
Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, editors. Nelson essentials of
pediatrics. 6th ed. Indonesia: Elsevier; 2011.
13
TUGAS
- Apakah hubungan peningkatan kadar serum alfa-fetoprotein dengan terjadinya spina bifida?
Serum alfa-fetoprotein (AFP) merupakan serum protein utama pada awal kehidupan
fetus dan 90% dari total serum globulin fetus. AFP dapat mencegah rejeksi dari sistem imun
fetus. AFP diproduksi oleh traktus gastrointestinalis dan hepar fetus, masuk ke dalam
sirkulasi darah, kemudian disekresikan ke dalam cairan amnion melalui traktus urinarius.
Selain itu, AFP juga dapat bocor ke dalam cairan amnion melalui neural tube defect (NTD)
yang terbuka seperti meningomielokel. Pada NTD yang terbuka, sirkulasi darah fetus
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Maka dari itu, kadar serum AFP yang tinggi
pada ibu hamil menunjukkan adanya NTD yang terbuka pada janin.1
14
- Apakah hubungan obat anti epilepsi (asam valproat dan carbamazepine) dengan terjadinya
spina bifida?
Penggunaan asam valproat memiliki efek samping yang salah satunya adalah
menghambat pertumbuhan tulang. Asam valproat menekan pertumbuhan tulang longitudinal
dengan menghambat pembentukan tulang rawan dan mempercepat pemgerasan lempeng
epifisis. Asam valproat juga mempengaruhi pertumbuhan tulang setelah morfogenesis
kerangka selesai. Hal ini dibuktikan dengan anak-anak yang mengkonsumsi asam valproat
biasanya berperawakan pendek. Selain itu, asam valproat memiliki efek teratogenik pada
sistem rangka.4
Penggunaan asam valproat dan carbamazepine rentan pada masa organogenesis,
karena akan menyebabkan timbulnya beberapa kelainan. kelainan yang mungkin timbul
karena asam valproat adalah brakisefali, mikrosefali, kelainan ekstremitas bawah, spina
bifida, anomali traktur genitourinarius dan respiratorius, kraniosinostosis, dan autisme.
Kelainan yang mungkin timbul karena carbamazepine adalah facial dysmorphism, spina
bifida, hipoplasia phalanx distal, serta keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan.4,5
Daftar Pustaka
1. Medscape. Neural tube defects in the neonatal period [Internet]. 2 Jan 2015 [diakses pada
14 Jan 2019]. Tersedia dari: https://emedicine.medscape.com/article/1825866-overview.
2. Analia. Perbandingan efek pemberian asam folat selama kehamilan terhadap kejadian
neural tube defects (NTD) pada fetus tikus putih (rattus novergicus) galur sprague
dawley. Skripsi. Fakultas Kedokteran Uninversitas Lampung, Bandar Lampung, 2017.
3. Tangkilisan HA, Rumbajan D. Defisiensi asam folat. Sari Pediatri Juni 2002;4(1):21-3.
4. Catur MMSP, Perdani RRW. Asam valproat dapat menghambat pertumbuhan pada pasien
epilepsi anak. JIMKI 2018;6(1):1-2.
5. Sukiandra R. Epilepsi dan kehamilan. JIK Sept 2014;8(2):61.
15