Anda di halaman 1dari 9

Orang-orang Yunani kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh

pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan

indera dalam memperoleh pengetahuan, pengalamart mdera diperlukan untuk merangsang akal

dan inemberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk

sampainya manusia pada kebenaran adalah semata-mata dengan akal (Q-Anees, 2003 : 78).

Hubungan Rasionalisme dan Empirisme

Kerjasama empirisme dan rasionalisme atau rasionalisme dan empirisme inilah yang melahirkan

metode sains (science, method), dan dari metode inilah lahirlah pengetahuan sains (scientific

knowledge) yang dalam bahasa Indonesia sering disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu

pengetahuan (Warsito, 2012:152).

Contoh Rasionalisme

1. Seseorang yang melakukan kesalahan tertentu, medapatkan sangsi sesuai kesalahanya

tersebut.

2. Sesorang, mampu menjawab semua pertanyaan saat MID dengan baik, saat proses

perkuliahan pun dia cukup aktif dan disetiap diskusi dia talc pernah ketinggalan untuk

menyampaikan pendapatnya. Dan dia pun mendapat nilai A dan berhak mendapatkan

beasiswa berprestasi dari kampus.

3.5 Aliran Teori Pengetahuan Posivitisme

Pengertian Positivisme

Bagi kalangan awam kata 'positif' lebih mudah dimaknai sebagai 'baik' dan 'berguna' sebagai

antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika membaca,

8
misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan ‘baik’ dan ‘ berguna’ dalam daftar makna

untuk kata positive.

Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang

benar hanya bisa dihasilkan aktual-fisikal. Pengetahuan demikian, hanya bisa dihasilkan melalui

penetapan teori – teori melalui metode saintifik yang ketat yang karenanya spekulasi metafisis

dihindari. Posifivisme, dalam pengertian di atas sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani

Kuno dan juga digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab Manazhir. Sekalipun

demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte pada

abad ke-19.

Ada pun yang menjadi titik tolak dari pemikiran positivis adalah, apa yang telah diketahui adalah

yang faktual dan positif sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan "positif"

adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif.

Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan

semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan (Asmoro, 2010: 132).

Sejarah Munculnya

Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya pengetahuan

yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual fisikal. Pengetahuan demikian, hanya

bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya

metafisis dihindari. Positivisme dalam pengertian di atas dan sebagai pendekatan telah dikenal

sejak Yunani Kuno. Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad ke-19 oleh salah

satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte. Comte percaya bahwa alam pikiran manusia

melewati tiga tahapan historis yaitu teologi, metadistik dan ilmiah. Dalam tahap teologi, fenomena

8
alam dan sosial dapat dijelaskan berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap metafisik manusia

akan mencari penyebab akbir (ultimate causes) dan setiap fenomena yang terjadi. Dalam tahapan

ilmiah usaha untuk menjelaskan fenomena akan ditinggalkan dan ilmuan hanya akan mencari

korelasi antarfenomena.

Pengembangan penting dalam paham positivisme klasik dilakukan oleh ahli ilmi alam Ernst Mach

yang mengusulkan pendekatan teori secara fiksi. Teori ilmiah bermanfaat sebagai alat untuk

menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya terjadi bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan

pernyataan yang mengandung hal yang dapat diobservasi.

Meskipun Comte dan Mach mempunyai pengaruh dalam penulisan ilmu ekonomi (Comte

mempengaruhi pemikiran J.S. Mill dan Pareto, sedangkan pandangan Mach diteruskan oleh

Samuelson dan Machlup). Pengaruh yang paling utama adalah ide dalam pembentukan filosofi

ilmiah pada abad ke-20 yang disebut logika positivisme (logical positivisme) (Hadiwijono, 1980:

221).

Ajaran Pokok Positivisme Logis

Pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan itu tidak dapat diverifikasi secara

empiris dan bukan tautologi yang berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk mentukan

kebenarannya (atau kesalahannya) dengan mengacu pada pengalaman. Tidak ada pengalaman

yang mungkin yang pernah dapat mendukung pertanyaan-pertanyaan metafisik seperti : "Yang

tiada itu sendiri tiada" (The nothing it self nothing-Das Nichts selbst nichest, Martin Heidegger),

"Yang mutlak mengatasi waktu", "Allah adalah sempuma", "Ada murni tidak mempunyai ciri",

pernyataan-pemyataan metafisik adalah semu. Metafisik berisi ucapan-ucapan yang tak bermakna.

8
Auguste Comte ( 1798-1857 ) memiliki peranan yang sangat penting dalam aliran ini. Istilah

"positivisme" ia populerkan. Ia menjelaskan perkembangan pemikiran manusia dalam kerangka

tiga tahap. Pertama, tahap teologis. Di sini, peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan

istilah-istilah kehendak atau tingka dewa – dewi. Kedua tahap metafisik. Di sini, peristiwa –

peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum – hukum umum tentang alam. Dan ketiga, tahap

positif. Di sini, peristiwa – peristiwa tersebut dijelaskan secara ilmiah

Upaya-upaya kaum positivis untuk mentransformasikan positivisme menjadi semacam “agama

baru”,cendrung mendiskreditkan pandangan-pandangannya. Tetapi tekanan pada fakta-fakta,

indentifikasi atas fakta-fakta dengan pengamatan-pengamatan indera,dan upya untuk menjelaskan

hukum-hukum umum dengan induksi berdasarkan fakta,diterima dan dengan cara berbeda-beda

diperluas oleh J.S Mill ( 1806-1873 ).E.Mach (1838-1916 ), K.Pierson ( 1857-1936 ) dan

P.Brdgeman ( 1882-1961 ).

Pengaruh Positivisme

Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad ke – 19. Di

Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memperkenalkan pemikiran Comte,

sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte yang diantaranya G.H.

Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences;

Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte;

John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley,

seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual

terpengaruh oleh Comte.

8
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang

meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi

Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide

Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah

satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya

besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.

Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan

orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di

universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi

dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of sociology”. Dari

sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada

perkembangan filsafat secara umum (Hakim, 2008:176-179)

Kritik atas Positivisme

Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala

sesuatu dengan menyatakan bahwa semua "proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa

fisiologis, fisika, atau kimia" dan bahwa "proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan

antar tindakan-tindakan individu" dan bahwa "organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem

fisika".

Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoretisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas

dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan

positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa

positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai "fakta-fakta

8
sosial" tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran

martusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam

memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan

realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang

yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak

memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif int

membuatnya populer di lingkaran politik tertentu (Hadiwijono, 1980: 232).

Ciri-ciri Positivisme antara lain:

1. objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek

peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-

fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari

realitas (korespondensi)

2. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya

berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang

diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)

3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang

nyata.

4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati

5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang

meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya

sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri

8
6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat

digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta

diibaratkan sebagai giant clock work

Kelebihan Positivisme

 Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh

lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

 Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu

pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara

spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.

 Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak

aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi

juga meramalkan masa depannya.

 Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.

 Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun

keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.

8
Kelemahan Positivisme

 Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar

terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan

manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.

 Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya,

maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya

kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam

ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini

ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang

tidak percaya kepada agama semakin meningkat.

 Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat

merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu

dinafikan.

 Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan

pengetahuan yang valid.

 Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat

dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera.

Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan

tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal

banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.

 Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang

optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu

8
pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang

digambarkan sebagai masyarakat positivistic

Anda mungkin juga menyukai