Anda di halaman 1dari 17

DIAPER RASH

REFERAT

Oleh
Anggita
NIM 122011101076

Pembimbing
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Saraswati Dewi, Sp.A
dr. Lukman Oktadianto, Sp.A
dr. M. Ali Shodikin, M.Kes,Sp.A

SMF/LAB. ILMU KESEHATAN ANAK RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

1
BAB 1. PENDAHULUAN

Diaper rash atau napkin eczema atau ruam popok merupakan gangguan kulit
yang timbul akibat radang di daerah yang tertutup popok, yaitu di alat kelamin,
sekitar dubur, bokong, lipatan paha, dan perut bagian bawah (James et al., 2011).
Diaper rash merupakan kelompok dermatosis spesifik, yang merupakan satu dari
sekian banyak kasus dermatologik yang terjadi pada bayi dan anak-anak (Wolff et
al., 2008). Gangguan kulit tersebut terjadi akibat kurang terjaganya kebersihan
bayi dan rendahnya pengetahuan orang tua mengenai diaper rash. Anak dari
orang tua dengan tingkat pengetahuan sosial ekonomi yang rendah maupun yang
tinggi dapat mengalami gangguan diaper rash ini (Berkowitz, 2012).
Angka kejadian diaper rash berbeda-beda di setiap negara, tergantung
hygiene, pengetahuan orang tua tentang tata cara penggunaan popok, dan
berhubungan dengan cuaca. Menurut Kimberly A. Horii, MD dan John Mersch,
MD, FAAP menyebutkan bahwa 10-20 % diaper rash dijumpai pada praktek
spesialis anak di Amerika. Sedangkan prevalensi pada bayi berkisar antara 7-35%,
dengan angka terbanyak pada usia 9-12 bulan. Berdasarkan laporan Journal of
Pediatrics Dermatology, penelitian di Inggris menemukan 25% dari 12.000 bayi
berusia 4 minggu mengalami diaper rash. Gangguan kulit ini menyerang bagian
tubuh bayi yang tertutup popok. Daerah yang terserang biasanya area genital,
lipatan paha dan bokong. Kulit bayi cenderung terlihat merah dan agak bersisik.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya diaper rash
adalah perawatan perianal (Adam, 2008).
Diaper rash sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, namun seringkali
tidak menjadi masalah karena dianggap ringan. Kelainan tersebut lebih sering
terjadi pada bayi yang sering ngompol dan diare. Namun, sering terjadi salah
diagnosis karena diaper rash, sebenarnya hanya merupakan simptom klinis, dan
mirip dengan berbagai penyakit kulit lain yang sering dijumpai di daerah popok
antara lain dermatitis seboroik, napkin psoriasis, kandidiasis, penyakit Leterrer
Siwe, dan akrodermatitis enteropatika. Kunci keberhasilan pengobatan diaper

2
rash, adalah senantiasa menjaga kulit bayi tetap kering, yaitu dengan mengganti
popok setiap kali ngompol atau mengganti disposable diaper bila daya tampung
popok sudah tercapai (Boediardja, 2001).

3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diaper rash adalah dermatitis di daerah genito-krural sesuai dengan tempat
kontak popok. Umumnya pada bayi pemakai popok dan juga orang dewasa yang
sakit dan memakai popok (PERMENKES, 2014). Diaper rash menggambarkan
terjadinya erupsi inflamasi pada daerah yang tertutupi popok yaitu pada daerah
paha, bokong, dan anal . Penyakit ini merupakan salah satu penyakit kulit
tersering yang timbul pada bayi dan anak-anak yang popoknya selalu basah dan
jarang diganti, dapat pula terjadi pada pasien-pasien inkontinensia yang
memerlukan popok untuk menampung urin ataupun feses (Rooks, 2004; Wolff et
al., 2008).

2.2 Epidemiologi
Diaper rash merupakan salah satu dari sekian banyak masalah kulit yang
terjadi pada bayi dan anak-anak akibat penggunaan popok, yaitu sekitar 7-35%
terjadi pada bayi. Prevalensi tertinggi yaitu pada bayi umur 6-12 bulan, tetapi
dapat pula terjadi diberbagai umur pada pengguna popok akibat inkontinensia urin
atau alvi. Kondisi ini dapat sembuh sendiri ketika anak sudah memasuki masa
toilet-trained, yaitu sekitar umur 2 tahun (James et al., 2011).
Iritant diaper dermatitis dan Candida diaper dermatitis merupakan jenis
diaper rash yang paling banyak terjadi pada setiap umur akibat penggunaan
popok. Prevalensi diaper rash sebanyak 4% dari kasus dermatologi pediatrik dan
lebih sering ditemukan pada bayi dan anak-anak hingga berumur 2 tahun
(Driesch, 2003). Diaper rash biasanya mengenai individu yang daya tahan
tubuhnya terganggu. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan diaper rash
(Weller et al., 2008).

2.3 Etiologi
Etiologi dari diaper rash bersifat multifaktorial. Faktor yang paling utama
akibat peningkatan kelembaban pada daerah kulit yang berlangsung lama. Diaper

4
rash disebabkan oleh infeksi jamur yang disebut Candida dan banyak mengenai
anak-anak. Candida dapat hidup di lingkungan mana saja, dapat berkembang baik
di daerah yang hangat, lembab seperti dibawah popok. Jamur tersebut biasanya
terdapat pada bayi-bayi yang tidak terjaga kebersihan dan kekeringannya, bayi
yang sedang mendapat antibiotik atau melalui ASI dari ibu yang sedang
mendapatkan terapi antibiotik, dan frekuensi buang air besar yang sering (Tallia
and Scherger, 2009).
Faktor yang mendasari terjadinya iritasi pada kulit, meliputi derajat
kelembapan (kulit yang basah lebih mudah mengalami kerusakan), peningkatan
pH (kulit yang alkalis dapat meningkatkan penetrasi mikroorganisme dan aktivitas
fecal enzim), kolonisasi mikroorganisme (staphylococcus aureus atau candida),
dan riwayat keluarga mengenai keadaan dermatologik primer (psoriasis, eksema,
atau dermatitis seboroik) (Berkowitz, 2012).
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi timbulnya diaper rash, antara
lain:
1. Maserasi
Stratum korneum menentukan fungsi pertahanan (barrier) pada
epidermis. Stratum korneum terdiri atas sel yang akan berhenti mengelupas
dan memperbarui diri pada siklus 12-24 hari. Matriks ekstraselular
hidrofobik berperan sebagai barier, mencegah kehilangan cairan dan sebagai
tempat masuknya air dan bahan hidrofilik lainnya. Sel hidrofilik pada
stratum korneum (korneosit) memberikan perlindungan mekanis dari
lingkungan luar dalam bentuk lapisan lilin (Rooks, 2004).
Keadaan basah yang berlebihan akan memberikan dampak berat pada
stratum korneum. Pertama, keadaan ini akan membuat permukaan kulit
menjadi pecah-pecah dan lebih sensitif terhadap gesekan. Kedua, keadaan
ini mengganggu fungsi perlindungan, menambah penyerapan bahan iritan ke
dalam lapisan sensitif pada kulit di bawah stratum korneum dan membuka
lapisan ini sehingga menjadi kering dan menjadi tempat masuknya
mikroorganisme. Oklusi kulit yang berkepanjangan dapat menimbulkan
eritema, terutama jika air kontak dengan permukaan kulit dan akhirnya
dapat terjadi dermatitis (Rooks, 2004).

5
2. Gesekan
Gesekan antara kulit dan popok merupakan faktor penting dalam
beberapa kasus diaper rash. Hal ini didukung oleh predileksi tersering
diaper rash yaitu di tempat yang paling sering terjadi gesekan, misalnya
pada permukaan dalam paha, permukaan genital, bokong dan pinggang
(Rooks, 2004; Berkowitz, 2012).
3. Urin
Bayi yang baru lahir mengeluarkan urine lebih dari 20 kali dalam 24
jam. Frekuensi berkemih ini berkurang seiring pertumbuhan dan mencapai
7 kali dalam 24 jam pada umur 12 bulan (Wilinson, 2004).
Selama beberapa tahun, amonia dipercaya sebagai penyebab utama
terjadinya diaper rash. Namun sekarang telah diketahui bahwa amonia
bukan penyebab utama terjadinya diaper rash. Jumlah mikroorganisme
terkait amonia tidak berbeda antara bayi dengan atau tanpa diaper rash. Hal
ini menunjukkan bahwa hasil degradasi urine lainnya selain amonia
memegang peranan penting pada kejadian diaper rash. Suatu penelitian
membuktikan bahwa urin yang disimpan selama 18 jam pada suhu 37 o C
dapat menginduksi terjadinya dermatitis ketika diberikan pada kulit bayi.
Saat ini jelas bahwa pH urin memegang peranan penting pada penyakit ini.
Urin yang memiliki pH tinggi (alkalis) pada bayi dapat menimbulkan
irritant napkin dermatitis (Rooks, 2004; James et al., 2011).
4. Feses
Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa feses manusia memiliki
efek iritan pada kulit. Pada feses bayi terdapat protease, pankreas, lipase,
dan enzim-enzim lainnya yang dihasilkan oleh bakteri dalam usus. Enzim
ini berperan penting dalam proses terjadinya iritasi kulit. Efek iritan dari
enzim tersebut semakin meningkat dengan adanya kenaikan pH dan
gangguan fungsi barier (Rooks, 2004; Bolognia, 2008). Urea yang
diproduksi oleh berbagai bakteri pada feses dapat meningkatkan pH feses.
Meningkatnya pH dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase dan protease
pada feses. Produksi feses cair yang berlebihan berhubungan dengan
pemendekan waktu transit dan feses ini mengandung sejumlah besar sisa
enzim percernaan yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit (Rooks, 2008).

6
5. Mikroorganisme
Mikroorganisme seperti bakteri (Streptococcus dan Staphylococcus), dan
jamur (Candida) dapat menyebabkan diaper rash (Driesch, 2008).
Meskipun sering dinyatakan bahwa infeksi bakteri berperan penting dalam
terjadinya diaper rash tipe iritasi primer, studi kuantitatif menunjukkan
bahwa flora bakteri yang diisolasi dari daerah yang mengalami erupsi tidak
berbeda dengan bakteri yang diisolasi dibeberapa area kulit yang normal
pada bayi (Kliegman et al., 2016).
6. Antibiotik
Penggunaan antibiotik spektrum luas pada bayi dengan otitis media
dan infeksi traktus respiratorius menunjukkan peningkatan insiden
terjadinya irritant napkin dermatitis. Antibiotik dapat membunuh bakteri,
baik flora normal maupun bakteri patogen. Ketidakseimbangan kedua
bakteri ini, dapat menyebabkan infeksi jamur. Hal ini dapat terjadi ketika
bayi mengkonsumsi antibiotik atau pemberian ASI oleh ibu yang
mengkonsumsi antibiotik. Selain itu, kesalahan dalam penggunaan bahan
topikal untuk melindungi kulit juga dapat meningkatkan resiko terjadinya
diaper rash (Wolff et al., 2008).
7. Kesalahan atau kurangnya perawatan kulit
Penggunaan sabun mandi dan bedak yang salah dapat
meningkatkan resiko terjadinya dermatitis iritan. Cara pembersihan dan
pengeringan di daerah popok yang tidak tepat serta frekuensi penggantian
popok yang jarang juga dapat menjadi faktor pencetus (Weller et al.,
2008).
8. Reaksi alergi
Alergennya biasanya adalah parfum dan bahan dari popok. Kulit
yang mengalami iritasi terlihat berwarna merah, berbatas tegas dengan
permukaannya terdapat vesikel dan erosi. Untuk itu, diperlukan
pemeriksaan berupa patch test untuk mengidentifikasi agen penyebab.
Namun, secara umum reaksi alergi jarang menyebabkan diaper rash
(Kliegman et al., 2016).

2.4 Patofisiologi

7
Etiologi pasti dari diaper rash belum dapat dijelaskan. Timbulnya ruam ini
merupakan hasil kombinasi dari beberapa faktor yang terdiri dari keadaan lembab,
gesekan, urin, feses dan adanya mikroorganisme. Secara anatomis, bagian kulit
yang menonjol dan daerah lipatan menyulitkan pembersihan dan pengontrolan
terhadap lingkungan. Bahan iritan utama adalah enzim protease dan lipase dari
feses, dimana aktivitasnya akan meningkat seiring dengan kenaikan pH
(Berkowitz, 2012).
Aktivitas enzim lipase dan protease feses akan meningkat akibat
percepatan transit gastrointestinal, oleh karena itu insiden tertinggi diaper rash
terjadi pada bayi yang diare dalam waktu kurang dari 48 jam. Penggunaan popok
menyebabkan peningkatan kelembaban kulit dan pH. Kondisi lembab yang
berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya maserasi pada stratum korneum,
lapisan luar, dan lapisan pelindung kulit yang berhubungan dengan kerusakan
pada lapisan lipid interselular. Kelemahan integritas fisik membuat stratum
korneum lebih mudah terkena kerusakan oleh gesekan permukaan popok dan
iritasi local (James et al., 2011).
Kulit bayi mempunyai barier yang efektif terhadap penyakit dan memiliki
permeabilitas yang sama dengan kulit orang dewasa. Berbagai studi melaporkan
bahwa kehilangan cairan transepidermal pada bayi lebih rendah daripada kulit
orang dewasa. Namun, kondisi yang lembab, kekurangan paparan udara,
keasaman, paparan bahan iritan, dan meningkatnya gesekan pada kulit dapat
menyebabkan kerusakan barier kulit (Driesch, 2003).
Pada kulit normal, pH berkisar antara 4,5-5,5. Ketika zat urea dari urin dan
feses bercampur, enzim urease akan menguraikan urine dan menurunkan
konsentrasi ion hidrogen (meningkatkan pH). Peningkatan pH juga menyebabkan
peningkatan hidrogen pada kulit dan membuat permeabilitas kulit meningkat
(Kuswadji, 2007).

2.5 Gambaran Klinik


Sejauh ini, tipe diaper rash yang paling banyak adalah irritant diaper
dermatitis. Dermatitis ini ditemukan pada siapa saja yang memakai popok, tanpa
pengaruh umur. Predileksi yang paling sering adalah pada gluteal, genital, bagian

8
bawah abdomen, pubis dan paha atas. Irritant diaper dermatitis menampakkan
efloresensi berupa daerah makula eritematosa, lembab dan kadang timbul sisik
pada genital dan gluteal, yang awalnya timbul pada daerah yang lebih sering
kontak dengan popok (Habif, 2004). Bisa juga berupa papul, vesikel, erosi,
ekskoriasi, infiltran, dan ulkus bila parah (PERMENKES, 2014).

Gambar 2.1 diaper rash (sumber: PERMENKES, 2014)

2.6 Diagnosa Banding


1. Dermatitis seboroik Infantil
Terjadi pada beberapa minggu pertama kelahiran. Predileksi pada
daerah lipatan kulit misalnya pada aksila, paha dan leher dan bahkan bisa
pada wajah dan kulit kepala. Daerah flexural tampak lembab, dan dapat pula
berupa eritema, berbatas tegas, terang, dan kadang ditemukan krusta
kekuningan (Berkowitz, 2012).

Gambar 2.2 Dermatitis seboroik pada bayi (Sumber: Berkowitz, 2012)

2. Defisiensi zink (acrodermatitis enterohepatica)

9
Acrodermatitis enteropathica merupakan penyakit autosomal resesif
akibat defisiensi zink. Penyakit ini perlu dipikirkan pada beberapa bayi
dengan dermatitis popok yang mengalami kegagalan terhadap terapi.
Karakter lesi pada dermatitis akibat defisiensi zink ini berupa ruam
merah, berbatas, seringkali melebar, di daerah kemaluan, anus atau
wajah, serta alopesia yang meluas. Bayi dengan erupsi popok yang
disebabkan oleh defisiensi zink biasanya muncul bersamaan dengan
dermatitis fasial yang merupakan perluasan dari daerah perioral,
paronikia erosif dan lesi erosi pada lipatan palmar telapak tangan (Habif,
2004; Berkowitz 2012).

Gambar 2.3 Defisiensi zink (Sumber: Weller et al., 2008)

3. Napkin Psoriasis
Diaper rash tipe psoriasis terjadi selama 2 bulan dan berakhir 2-4
bulan. Ruam terdiri dari plak bentuk psoriasis pada area popok disertai
papul satelit. plak merah terang berbatas tegas, tidak bersisik, dan

10
berbatas tegas, baik terlokalisir maupun berkelompok di daerah
intertriginosa/lipatan seperti ketiak juga merupakan ciri dari penyakit ini.
Terkadang lesi pada punggung dan ekstremitas memiliki morfologi yang
sama dengan lesi di area popok (Berkowitz, 2012).

Gambar 2.4 Napkin psoriasis (Sumber: James et al., 2011)

4. Histiositosis sel Langerhans


Penyakit ini memiliki ciri bintik-bintik ruam merah kecokelatan di
daerah selangkangan, kemaluan, dan anus, seringkali mengiritasi kulit,
dan sukar diobati. Berbentuk bulat besar, bersisik, dan menonjol pada
kulit kepala atau leher. Terdapat tanda-tanda lain berupa demam, diare,
atau pembesaran hati dan limpa (Rooks, 2004).

11
Gambar 2.5 Histiositosis sel Langerhans (Sumber: Rooks, 2004)

2.7 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan laboratorium
- Darah lengkap : Pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan,
terutama jika muncul gejala sistemik seperti demam dan jika
dicurigai adanya infeksi sekunder. Jika ditemukan anemia bersama
dengan hepatosplenomegali dan timbul ruam dapat dicurigai
sebagai histiositosis sel Langerhans atau sifilis kongenital (Driesch,
2003).
- Pemeriksaan serologi untuk sifilis dilakukan pada pasien yang
dicurigai menderita sifilis congenital (Driesch, 2003).
- Kadar serum zink kurang dari 50 mcg/dl dapat ditemukan pada
pasien dengan acrodermatitis enterohepatika (Driesch, 2003).
 Pemeriksaan kerokan kulit. Pada pasien yang diduga candidiasis,
pengikisan lesi papul atau pustul menunjukkan adanya pseudohifa, hifa
dan blastospora dengan diameter 2-4 µm dengan menggunakan larutan
KOH 10%, larutan lugol atau air suling (Kuswadji, 2007).
 Pemeriksaan histopatologi : biopsi kulit dilakukan untuk melihat
struktur histologinya. Gambaran histologi diaper rash umumnya
seperti dermatitis iritan primer dengan spongiosis epidermal dan
inflamasi ringan pada lapisan dermis (Weller et al, 2008).

2.8 Penatalaksanaan
Untuk mengurangi gejala dan mencegah bertambah beratnya lesi, perlu
dilakukan hal berikut:
1. Ganti popok bayi lebih sering, gunakan pelembab sebelum memakaikan popok
bayi.
2. Dianjurkan pemakaian popok sekali pakai jenis highly absorbent.
Prinsip pemberian farmakoterapi yaitu untuk menekan inflamasi dan
mengatasi infeksi kandida (PERMENKES, 2014).
1. Bila ringan: krim/ salep bersifat protektif (zinc oxide/pantenol) dipakai 2 kali
sehari selama 1 minggu atau kortikosteroid potensi lemah (salep hidrokortison
1-2.5%) dipakai 2 kali sehari selama 3-7 hari.

12
2. Bila terinfeksi kandida: berikan antifungal nistatin sistemik 1 kali sehari selama
7 hari atau derivat azol topikal dikombinasi dengan zinc oxide diberikan 2 kali
sehari selama 7 hari.
3. Konseling dan Edukasi
 Memberitahu keluarga mengenai penyebab dan menjaga higiene.
 Mengajarkan cara penggunaan popok dan mengganti secepatnya bila
popok basah.
 Mengganti popok sekali pakai bila kapasitas telah penuh
(PERMENKES, 2014)
Pemeriksaan penunjang lanjutan biasanya tidak perlu dilakukan, hanya
dilakukan untuk mengekslusi diagnosis banding. Setelah 1 minggu dari
pemakaian terapi standar. Bila gejala tidak menghilang setelah pemakaian terapi
standar selama 1 minggu, dilakukan:
1. Pengobatan dapat diulang 7 hari lagi.
2. Pertimbangkan untuk pemeriksaan ulang KOH atau Gram.
3. Bila keluhan tidak membaik setelah pengobatan standar selama 2 minggu bisa
dirujuk (PERMENKES, 2014).

2.9 Komplikasi
Komplikasi dari diaper rash yaitu ulkus punch-out atau erosi dengan tepi
meninggi (Jacquet erosive dieper dermatitis), papul dan nodul pseudoverucous
dan plak dan nodul violaceous (granuloma gluteale infantum). Jacquet erosive
diaper rash memberikan gambaran eritema, skuama berlapis-lapis, terdapat fisura
dan area erosi pada kulit yang kontak dengan popok (Weller et al., 2008).

Gambar 2.6 Jacquet erosive dieper dermatitis (Sumber: Weller et al. 2008)

Granuloma gluteal infantum merupakan penyakit yang tidak biasa dengan


ciri nodul merah keunguan dengan ukuran yang berbeda-beda (0.5-0.3 cm) timbul

13
pada area popok pada bayi umur 2-9 bulan. Pada pemeriksaan biopsi didapatkan
infiltrat limfosit, sel plasma, netrofil, dan eosinofil (Weller et al.,2008).

Gambar 2.7 Granuloma Gluteale Infantum (Sumber: Sumber: Weller et al. 2008)

2.9 Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan yang paling baik. Tujuannya adalah
untuk mengurangi kontak antara kulit dengan bahan iritan. Semakin sering popok
diganti semakin kecil kemungkinan terkena diaper rash. Popok harus diganti
segera setelah BAK/BAB untuk membatasi jumlah bahan iritan ini dan mencegah
tercampurnya feses dan urin. Penggunaan popok dengan daya serap kuat
mengurangi kelembaban pada daerah popok (Wolff et al., 2008).
Pencucian dan penggosokan yang berlebihan pada daerah popok akan
menimbulkan iritasi kulit. Setelah BAK/BAB, pencucian dapat dilakukan dengan
air hangat dan pembersih ringan (Berkowitz, 2012).
Preparat protektif yang digunakan terdiri dari losion, krim atau ointment,
yang mengandung emolien dapat ditambah dengan kaolin, talk atau zinc oxide.
Penggunaan preparat ini akan mengurangi gesekan dan absorbsi bahan iritan. pH
kulit sedikit lebih bersifat asam dan mendekati pH normal kulit dan berfungsi
sebagai buffer terhadap pH yang lebih tinggi yang disebabkan oleh adanya
amonia. Emolien digunakan 2-3 kali sehari (Wolff et al., 2008).

2.10 Prognosis
Diaper rash hampir selalu menunjukkan respon yang baik terhadap terapi
dan sebagian besar kasus dapat membaik jika tidak memakai popok dalam jangka

14
waktu beberapa minggu. Jika tetap persisten kemungkinan didiagnosis dengan
atopic eczema, psoriasis, zinc defisiensi, histiosit sel langerhans atau
imunodefisiensi (James et al., 2006).

BAB 3. PENUTUP

Diaper rash adalah dermatitis di daerah genito-krural sesuai dengan


tempat kontak popok. Umumnya pada bayi pemakai popok dan juga orang dewasa
yang sakit dan memakai popok (PERMENKES, 2014). Diaper rash merupakan
salah satu dari sekian banyak masalah kulit yang terjadi pada bayi dan anak-anak
akibat penggunaan popok, yaitu sekitar 7-35% terjadi pada bayi. Prevalensi
tertinggi yaitu pada bayi umur 6-12 bulan, tetapi dapat pula terjadi diberbagai
umur pada pengguna popok akibat inkontinensia urin atau alvi. Kondisi ini dapat
sembuh sendiri ketika anak sudah memasuki masa toilet-trained, yaitu sekitar
umur 2 tahun (James et al., 2011).
Etiologi dari diaper rash bersifat multifaktorial. Faktor yang paling utama
akibat peningkatan kelembaban pada daerah kulit yang berlangsung lama. Etiologi
pasti dari diaper rash belum dapat dijelaskan. Timbulnya ruam ini merupakan
hasil kombinasi dari beberapa faktor yang terdiri dari keadaan lembab, gesekan,
urin, feses dan adanya mikroorganisme. Secara anatomis, bagian kulit yang
menonjol dan daerah lipatan menyulitkan pembersihan dan pengontrolan
terhadap lingkungan. Bahan iritan utama adalah enzim protease dan lipase dari
feses, dimana aktivitasnya akan meningkat seiring dengan kenaikan pH
(Berkowitz, 2012).
Penatalaksanaan untuk mengurangi gejala dan mencegah bertambah
beratnya lesi, perlu dilakukan hal sepert mengganti popok bayi lebih sering,
gunakan pelembab sebelum memakaikan popok bayi. Dianjurkan pemakaian

15
popok sekali pakai jenis highly absorbent. Prinsip pemberian farmakoterapi yaitu
untuk menekan inflamasi dan mengatasi infeksi kandida (PERMENKES, 2014).

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Ralf. 2008. Skin Care of the Diaper Area. Pediatric Dermatology,
25(4): 427-433.

Berkowitz, Carol. 2012. Pediatrics: A Primary Care Approach 4th


Edition. USA: American Academy of Pediatrics.

Boediardja, Siti. 2001. Diaper Rash dan Teknologi Derma Cream. Sari
Pediatri, 3(1): 1-15.

Bolognia, J. 2008.Classification of Irritant Chemicals. In: Schaffer J,


editor. Dermatology. 2 ed. USA: Mosby.

Driesch, P. Candidiasis.2003. In: Herxheimer A, editor. Evidence-based


Drmatology London. BMJ, 490-494.

Habif, T. 2004. Diaper Candidiasis. In: Hodgson S, Cook L, editors.


Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4 ed.
USA: Mosby.

James, W., Berger, T., Elston, D. 2011. Atopic Dermatitis, Eczema, and
Noninfectious Immunodeficiency Disorders. In: Andrews' disease of the
skin : CLINICAL DERMATOLOGY, 80-81.

Kuswadji. 2007. Kandidosis. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit


Dan Kelamin. 5 ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5/MENKES/PER/2014 tentang
Panduan Praktiki Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta: Departemen Kesehatan.

Rook's, Wilkinson. 2004. Eczematou eruptions in the newborn. In: Burns


T, Breathnach S, editors. Rooks' TEXBOOK OF
DERMATOLOGY. 7 ed. USA: Blackwell Science Ltd.

Weller, R., Hunter, J., Savin, J., Mark, D. 2008. Eczema and Dermatitis.
In: Clinical Dermatology. 4 ed. Australia: Balckwell.

16
Wolff, K., Lowell, A., Katz, S., Paller, A., Leffell, D. 2008. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. United States: The McGraw-Hill
Companies.

17

Anda mungkin juga menyukai