Anda di halaman 1dari 13

Sepsis Berat dan Syok Sepsis

Derek C. Angus, M.D., M.P.H., dan Tom van der Poll, M.D., Ph.D

Sepsis merupakan salah satu sindrom tertua dan yang paling sukar dipahami di
kedokteran. Hipokrates mengklaim bahwa sepsis merupakan proses dimana
daging membusuk, rawa menghasilkan udara yang berbau busuk, dan luka
bernanah.1 Galen kemudian menganggap sepsis sebagai suatu kejadian yang baik,
yang diperlukan untuk penyembuhan luka.2 Dengan konfirmasi teori bakteri oleh
Semmelweis, Pasteur, dan lain-lain, sepsis dirombak sebagai sebuah infeksi
sistemik, sering disebutkan sebagai “keracunan darah”, dan dianggap sebagai
hasil dari invasi host oleh organisme patogenik yang kemudian menyebar ke
aliran darah. Namun, dengan kemajuan antibiotik modern, teori bakteri tidak
dapat menjelaskan patogenesis sepsis secara menyeluruh: banyak pasien dengan
sepsis meninggal meskipun telah berhasil mencapai eradikasi patogen penyebab.
Jadi, para peneliti mengira bahwa penyebabnya adalah host, bukan bakteri, yang
mengendalikan patogenesis sepsis.3

Pada 1992, sebuah panel konsensus internasional menetapkan sepsis sebagai


respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, mencatat bahwa sepsis dapat timbul
sebagai respon terhadap berbagai penyabab infeksi dan bahwa septikemia bukan
merupakan kondisi yang diperlukan ataupun bermanfaat.4 Sebaliknya, panel
mengusulkan istilah “sepsis berat” untuk menjelaskan kondisi sepsis yang rumit
dengan disfungsi organ akut, dan menyusun “syok sepsis” sebagai sepsis yang
dikomplikasikan dengan hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi cairan atau
dengan hiperlaktasemia. Pada 2003, panel konsensus kedua merekomendasikan
sebagian besar konsep ini, dengan peringatan bahwa tanda dari respon inflamasi
sistemik, seperti takikardia atau peningkatan jumlah sel darah putih, terjadi pada
banyak kondisi infeksius dan noninfeksius sehingga tidak dapat membantu
membedakan sepsis dari kondisi lainnya.5 Jadi, “sepsis berat” dan “sepsis”
terkadang digunakan bergantian untuk menjelaskan sindrom infeksi yang
dikomplikasi oleh disfungsi organ akut.
INSIDENSI DAN PENYEBAB

Insidensi sepsis berat tergantung pada bagaimana definisi dari disfungsi organ
akut dan apakah disfungsi tersebut berkaitan dengan infeksi yang mendasari.
Disfungsi organ sering ditetapkan oleh perlunya terapi suportif (contohnya,
ventilasi mekanik), dan penelitian epidemiologis yang menghitung “insidensi
yang diobati” dibandingkan insidensi aktual. Di Amerika Serikat, sepsis berat
tercatat dalam 2% pasien yang dibawa ke rumah sakit. Dari pasien tersebut,
separuhnya ditangani di unit perawatan intensif (ICU), mewakili 10% dari seluruh
admisi ICU.6,7 Jumlah kasus di Amerika Serikat melebihi 750.000 pertahun7 dan
akhir-akhir ini dikabarkan meningkat.8 Namun, beberapa faktor—International
Classification of Diseases baru, aturan koding Revisi ke-9 (ICD-9), bingung
membedakan antara septikemia dan sepsis berat, peningkatan kapasitas untuk
menyediakan perawatan sentensif, dan peningkatan kesadaran dan pengawasan—
mengaburkan interpretasi dari kecenderungan temporal.

Penelitian-penelitian dari negara berpenghasilan tinggi menunjukkan angka sepsis


yang serupa di ICU.9 Insidensi sepsis berat diluar ICU modern, terutama di bagian
dunia dimana perawatan ICU masih jarang tersedia, sebagian besar tidak
diketahui. Ekstrapolasi dari angka insidensi yang diobati di Amerika Serikat,
Adhikari et al. Memperkirakan lebih dari 19 juta kasus di seluruh dunia
pertahun.10 Insidensi sesungguhnya diperkirakan jauh lebih tinggi/

Sepsis berat terjadi akibat infeksi yang diperoleh dari komunitas maupun infeksi
terkait perawatan kesehatan. Pneumonia merupakan penyebab tersering, terhitung
untung lebih dari separuh kasus, diikuti dengan infeksi intraabdominal dan infeksi
traktus urinarius.7,8,11,12 Kultur darah biasanya positif hanya pada sepertiga kasus,
dan pada lebih dari sepertiga kasus, kultur dari seluruh tempat negatif. 7,11,13,14
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri gram-
positif yang paling sering diisolasi, sedangkan Escherichia coli, spesis klebsiella,
dan Pseudomonas aeruginosa mendomaniasi isolasi bakteri gram-negatif.11,14
Sebuah penelitian epidemiologis sepsis menunjukkan bahwa selama periode dari
1979 hingga 2000, infeksi gram-positif menyusul infeksi gram-negatif.15 Namun,
dalam sebuah penelitian terbaru yang melibatkan 14.000 pasien ICU di 75 negara,
bakteri gram-negatif terisolasi ada 62% pasien dengan sepsis berat dengan kultur
yang positif, bakteri gram-positif pada 47% dan fungi pada 19%.12

Faktor risiko untuk sepsis berat terkait dengan predisposisi pasien terhadap
indeksi dan kemungkinan disfungsi organ akut jika terjadi infeksi. Terdapat
banyak faktor risiko yang telah diketahui untuk infeksi yang paling sering
mencetuskan sepsis berat dan syok sepsis, termasuk penyakit kronis (contoh,
AIDS, penyakit paru obstruktif kronis, dan kanker).7 Diantara pasien dengan
infeksi tersebut, faktor risiko untuk disfungsi organ masih kurang diteliti namun
kemungkinan melibatkan organisme kausatif dan komposisi genetik pasien, status
kesehatan yang mendasari, dan fungsi organ yang ada, bersamaan dengan
ketepatan waktu intervensi terapeutik.16 Usia, jenis kelamin, dan kelompok ras
atau etnik semua mempengaruhi insidensi sepsis berat, yang lebih tinggi pada bayi
dan orang berusia lanjut dibandingkan kelompok usia lainnya, lebih tinggi pada
laki-laki dibandingkan perempuan, dan lebih tinggi pada orang kulit hitam
dibandingkan pada kulit putih.7,17

Terdapat minat yang cukup besar mengenai kontribusi karakteristik genetik host
terhadap insidensi dan hasil akhir sepsis, sebagian karena adanya bukti yang kuat
dari faktor risiko yang diwariskan.18 Beberapa penelitian telah terfokus pada
polimorfisme gen yang mengodekan protein-protein yang terlibat dalam
patogenesis sepsis, termasuk sitokin dan mediator lainnya yang terlibat dalam
imunitas bawaan, koagulasi dan fibrinolisis. Namun, temuan-temuan yang ada
sering tidak konsisten, setidaknya sebagian disebabkan oleh heterogenitas
populasi pasien yang diteliti.19,20 Meskipun sebuah penelitian hubungan
genomewide terbaru21 menyelidiki responsivitas obat pada sepsis, belum ada
penelitian mengenai kerentanan atau hasil akhir dari sepsis dalam skala besar yang
pernah dilakukan.

TAMPILAN KLINIS

Manifestasi klinis sepsis sangat bervariasi, tergantung kepada situs awal infeksi,
organisme penyebab, pola disfungsi organ akut, status kesehatan pasien yang
mendasari, dan interval sebelum dimulainya pengobatan. Tanda indeksi dan
disfungsi organ mungkin kabur, sehingga pedoman konsensus internasional sepsis
terbaru menyediakan sebuah daftar panjang tanda waspada dari sepsis (Tabel 1).5
Disfungsi organ akut paling sering mengenai sistem respirasi dan kardiovaskular.
Kelemahan respirasi secara klasif bermanifestasi menjadi sindrom distress
pernapasan akut (ARDS), yang ditetapkan sebagai hipoksemia dengan infiltrat
bilateral nonkardiak.22 Kelemahan kardiovaskular secara primer bermanifestasi
sebagai hipotensi atau peningkatan kadar laktat serum. Setelah ekspansi volume
yang adekuat, hipotensi sering tetap berlanjut, memerlukan penggunaan
vasopresor, dan dapat terjadi disfungsi myokardial.23

Otak dan ginjal juga sering terkena. Disfungsi sistem saraf pusat biasanya
bermanifestasi sebagao obtundasi atau delirium. Pemeriksaan imaging umumnya
menunjukkan tidak adanya lesi fokal, dan temuan pada elektroensefalografi
biasanya sesuai dengan ensefalopati nonfokal. Polineuropati dan myopati juga
sering terjadi, terutama pada pasien dengan perawatan ICU yang lama.24 Gagal
ginjal akut bermanifestasi sebagai penurunan output urin dan peningkatan kadar
kreatinin serum dan seringkali memerlukan pengobatan dengan terapi penggantian
ginjal. Ileus paralitik, peningkatan kadar aminotransferase, perubahan kontrol
glikemik, trombositopenia, dan koagulasi intravaskular diseminata, disfungsi
adrenal, dan sindroma sakit tiroid sering ditemukan pada pasien dengan sepsis
berat.5

HASIL AKHIR

Sebelum diperkenalkannya perawatan intensif modern dengan kemampuan untuk


penyokong organ vital, sepsis berat dan syok sepsis dahulu bersifat lethal. Bahkan
dengan perawatan intensif, angka kematian di rumah sakit akibat syok sepsis
melebihi 80% dibandingkan 30 tahun yang lalu.25 Namun, dengan peningkatan
pelatihan, pengawasan dan monitoring yang lebih baik, dan inisiasi terapi yang
tepat untuk menangani infeksi yang mendasari dan menyokong kegagalan organ,
mortalitasnya sekarang adalah 20 hingga 30% dalam berbagai rangkaian
penelitian.7,26 Dengan penurunan angka kematian, perhatian sekarang terfokus
pada jalur pemulihan pasien yang selamat. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan pasien yang bertahan hingga dipulangkan dari rumah sakit setelah
sepsis tetap berisiko mengalami kematian dalam beberapa bulan hingga beberapa
tahun setelahnya. Pasien tersebut seringkali mengalami fungsi fisik atau
neurokognitif yang terganggu, gangguan mood, dan kualitas hidup yang rendah.27
Pada sebagian besar penelitian, penentuan peran kausal sepsis terhadap gangguan
tersebut merupakan hal yang sulit. Namun, sebuah analisis terbatu dari Health and
Retirement Study, melibatkan sebuah penelitian kohort longitudinal dari orang
Amerika usia lanjut, menunjukkan bahwa sepsis berat mempercepat penurunan
fungsi fisik dan neurokognitif secara signifikan.28

PATOFISIOLOGI

Respon Host

Dengan munculnya teori host, pertama kali diasumsikan bahwa tampilan klinis
sepsis merupakan hasil dari inflamasi yang sangat berlebihan. Selanjutnya, Bone
et al.29 menambah ide bahwa respon inflamasi awal memberi jalan terhadal
“sindrom respon inflamasi kompensasi” selanjutnya. Namun, sudah jelas bahwa
infeksi mencetuskan respon host yang lebih kompleks, bervariasi dan
berkepanjangan, dimana mekanisme proinflamasi maupun antiinflamasi dapat
berkontribusi terhadap klirens infeksi dan perbaikan jaringan di satu sisi dan
kerusakan organ dan infeksi sekunder pada sisi yang lain.30 Respon spesifik pada
pasien berdasarkan pada patogen kausatif (jumlah dan virulensi) dan host
(karakteristik genetik dan penyakit yang ada sebelumnya), dengan respon yang
berbeda pada tingkat lokal, regional dan sistemik (Gambar 1). Komposisi dan arah
respon host dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan rangkaian klinis.
Secara umum, reaksi proinflamasi (mengarah kepada eliminasi patogen
penginvasi) dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan kolateral
pada sepsis berat, sedangkan respon antiinflamasi (penting untuk membatasi
kerusakan jaringan lokal dan sistemik) terlibat dalam peningkatan kerentanan
akan kejadian infeksi sekunder.

IMUNITAS BAWAAN

Pengetahuan mengenai rekognisi patogen telah meningkat dengan sangat pesat


dalam dekade terakhir. Patogem mengantivasi sel imun melalui interaksi dengan
reseptor rekognisi-pola, yang terdiri dari empat kelas utama—reseptor toll-like,
reseptor lectin tipe E, reseptor retinoic acid inducible gen 1-like, dan reseptor
nucleotide-binding oligomerization domain-like—yang telah teridentifikasi,
dengan kelompok terakhir sebagian berperan dalam kompleks protein yang
disebut inflamasom (Gambar 1).31 Reseptor tersebut mengenali struktur yang
terdapat pada spesies mikroba, yang disebut pathogen-associated mollecular
patterns, menghasilkan peningkatan regulasi transkripsi dan inisiasi gen inflamasi
dari imunitas bawaan. Reseptor yang sama juga merasakan molekul endogen yang
dilepaskan dari sel yang mengalami kerusakan, disebut damage-associated
molecular patterns, atau alarmin, seperti kelompok protein mobilitas tinggi B1,
protein S100, dan RNA ekstraselular, DNA dan histone.32 Alarmin juga
dilepaskan pada cedera steril seperti trauma, menimbulkan konsep bahwa
patogenesis dari kegagalan organ multipel pada sepsis tidak berbeda jauh dari
penyakit kritis noninfeksi.32

ABNORMALITAS KOAGULASI

Sepsis berat hampir selalu berhubungan dengan perubahan koagulasi, seringkali


menimbulkan koagulasi intravaskular diseminata.33 Deposisi fibrin yang
berlebihan disebabkan oleh koagulasi melalui kerja faktor jaringan, sebuah
glikoprotein transmembran yang diekspresikan oleh berbagai tipe sel; dengan
mekanisme antikoagulan yang terganggu, termasuk sistem protein C dan
antirombin, dan terganggunya pembuangan fibrin akibat depresi sistem
fibrinolitik (Gambar 2).33 Reseptor protease-activated (PAR) membentuk jaringan
molekular antara koagulasi dan inflamasi. Diantara keempat subtipe yang telah
teridentifikasi, khususnya PAR1 terlibat dalam sepsis.33 PAR2 menggunakan efek
sitoprotektif ketika distimulasi oleh protein C yang teraktivasi atau trombin dosis
rendah namun menimbulkan efek disruptif pada fungsi barrier sel endotel ketika
teraktivasi oleh trombin dosis-tinggi.34 Efek protektif dari protein C teraktivasi
pada model hewan dengan sepsis tergantung pada kapasitasnya untuk
mengaktivasi PAR1 dan bukan berdasarkan sifat antikoagulannya.34
MEKANISME ANTIINFLAMASI DAN IMUNOSUPRESI

Sistem imun mengandung mekanisme humoral, selular, dan neural yang


melemahkan potensi efek berbahaya dari respon proinflamasi (Gambar 1).30
Fagosit dapat berubah menjadi fenotipe antiinflamasi yang meningkatkan
perbaikan jaringan, dan sel T regulator dan sel supresor derivat myeloid lebih
lanjut akan mengurangi peradangan. Tmbahan, mekanisme neural dapat
menghambat inflamasi.35 Pada refleks neuroinflamasi, input sensoris disampaikan
melalui nervur vagus afferen ke batang otak, dimana nervus vagus efferen
mengaktivasi nervus splenikus di pleksus celiac, menghasilkan pelepasan
norepinefrin di limpa dan sekresi asetilkolin oleh bagian dari sel T CD4+.
Asetilkolin melepaskan reseptor kolinergis α7 target pada makrofag, menekan
pelepasan sitokin proinflamasi.36 Pada hewan model dengan sepsis,35 gangguan
dari sistem berbasis neural oleh vagotomi meningkatkan kerentanan akan kejadian
syok endotoksin, meskipun stimulasi dari nervus vagus efferen atau reseptor
kolinergis α7 melemahkan inflamasi sistemik.

Pasien yang bertahan hidup dari sepsis dini namun tetap bergantung kepada
perawatan intensif terbukti mengalami imunosupresi, sebagian tercermin dengan
menurunnya ekspresi HLA-DR pada sel myeloid.37 Pasien tersebut sering
mengalami fokus infeksius, meskipun telah diberikan terapi antimikroba, atau
reaktivasi dari infeksi viral.38,39 Beberapa penelitian telah mencatat turunnya
responsivitas leukosit darah terhadap patogen pada pasien dengan sepsis,30 temuan
yang baru-baru ini dikuatkan oleh penelitian postmortem menunjukkan adanya
gangguan fungsional yang kuat dari splenosit yang diperoleh dari pasien yang
meninggal akibat sepsis di ICU.37 Selain limpa, paru juga menunjukkan bukti
adanya imunosupresi; kedua organ tersebut meningkatkan ekspresi ligasi untuk
reseptor inhibisi sel T pada sel parenkim.37 Peningkatan apoptosis, terutama sel B,
sel T CD4+, dan dendritik folikular, terlibat dalam imunosupresi terkait sepsis dan
kematian.40,41 Regulasi epigenetik dari ekspresi gen juga dapat berkontribusi
terhadap imunosupresi terkait sepsis.42
DISFUNGSI ORGAN

Meskipun mekanisme yang mendasari gagal organ pada sepsis baru dijelaskan
separuhnya, gangguan oksigenasi jaringan memainkan peranan penting (Gambar
2). Beberapa faktor—termasuk hipotensi, penurunan deformabilitas sel darah
merah, dan trombosis mikrovaskular—berkontribusi terhadap berkurangnya
asupan oksigen pada syok sepsis. Inflamasi dapat menyebabkan disfungsi endotel
vaskular, disertai dengan kematian sel dan hilangnya integritas barrier,
menimbulkan edema subkutan dan rongga tubuh.43 Sebagai tambahan, kerusakan
mitokondria yang diakibatkan oleh stres oksidatif dan mekanisme lain yang
mengganggu penggunaan oksigen selula. Terlebih, mitokondria yang cidera
mengeluarkan alarmin ke area ekstraseluler, meliputi DNA mitokondria dan
peptida formyl, yang akan mengaktivasi neutrofil dan menyebabkan kerusakan
jaringan lebih lanjut.45

TATALAKSANA

The Surviving Sepsis Campaign, sebuah persatuan internasional para


profesional yang terlibat dalam perawatan kritis, pengobatan penyakit infeksius,
dan penatalaksanaan gawat darurat, baru-baru ini mengeluarkan terbitan ketiga
pada pedoman klinis untuk manajemen sepsis berat dan syok septik (Tabel 2) .23
Elemen terpenting dari guideline tersebut disusun menjadi dua "bundel"
perawatan: bundel tatalaksana awal yang harus diselesaikan dalam 6 jam setelah
pasien datang dan bundel tatalaksana yang harus diselesaikan dalam ICU.23
Pelaksanaan bundel dikaitkan dengan peningkatan outcome.46,47

Prinsip-prinsip penatalaksanaan awal bundel adalah untuk memberikan


resusitasi jantung paru dan mengurangi ancaman langsung dari infeksi yang tidak
terkontrol. Resusitasi membutuhkan penggunaan cairan intravena dan
vasopressor, dengan terapi oksigen dan ventilasi mekanis jika diperlukan.
Komponen yang tepat diperlukan untuk mengoptimalkan resusitasi, seperti pilihan
dan jumlah cairan, tipe yang sesuai dan intensitas pemantauan hemodinamik,
serta peran agen vasoaktif tambahan, sisa subyek lainnya masih diperdebatkan
atau dalam tahap uji klinis; beberapa masalah ini akan dibahas dalam seri ini.23
Meskipun demikian, beberapa bentuk resusitasi dianggap penting, dan pendekatan
terstandarisasi telah dianjurkan untuk memastikan kecepatan, efektif
penatalaksanaan.23 Penatalaksanaan awal infeksi butuh menegakkan kemungkinan
diagnosis , mendapatkan kultur, dan memulai terapi antimikroba yang sesuai dan
empiris serta kontrol sumber (yaitu, pengeringan nanah, jika perlu).

Pilihan terapi empiris tergantung pada tempat terduga infeksi, keadaan di dimana
infeksi berkembang (yaitu, rumah, rumah perawatan, atau rumah sakit), riwayat
medis, dan pola kerentanan-mikroba lokal. Pemberian yang tidak sesuai atau
penundaan pengobatan antibiotik dikaitkan dengan peningkatan mortalitas.48,49
Jadi, terapi antibiotik intravena harus dimulai sedini mungkin dan harus
mencakup semua kemungkinan patogen. Belum diketahui apakah kombinasi
terapi antimikroba mengberikan hasil yang lebih baik dari terapi antibiotik agen
tunggal yang memadai pada pasien dengan sepsis berat. Pedoman saat ini
merekomendasikan kombinasi antimikroba terapi hanya untuk sepsis neutropenik
dan sepsis disebabkan oleh spesies pseudomonas. Antijamur empiris hanya
digunakan pada pasien berisiko tinggi untuk kandidiasis invasif.50

Pasien juga harus dipindahkan ke tempat yang sesuai, seperti ICU, untuk
perawatan selanjutnya. Setelah 6 jam pertama, perhatian terfokus pada
pemantauan dan menyokong disfungsi organ, menghindari komplikasi, dan de-
eskalasi secara berhati-hati bila memungkinkan. De-eskalasi dari terapi
broadspectrum dapat mencegah munculnya organisme resisten, meminimalkan
risiko toksisitas obat, dan mengurangi biaya, dan bukti dari studi observasional
menunjukkan bahwa pendekatan semacam itu aman.54 Satu-satunya
imunomodulator terapi yang saat ini dianjurkan adalah pendek perjalanan
hidrokortison (200 hingga 300 mg per hari hingga 7 hari atau sampai dukungan
vasopressor tidak lagi diperlukan) untuk pasien dengan refrakter septik refrakter.23
Rekomendasi ini didukung oleh meta-analisis,55 tetapi dua studi terbesar memiliki
hasil yang bertentangan,56,57 dan klinis lainnya uji coba sedang berlangsung.58,59
Pencarian Terapi Baru

Kegagalan Sebelumnya

Salah satu kekecewaan besar dalam 30 tahun terakhir adalah kegagalan untuk
mengubah kemajuan dalam pemahaman kita mengenai sifat biologi yang
mendasari pada sepsis menjadi terapi baru yang efektif.60 Para peneliti telah
menguji baik agen yang sangat spesifik maupun agen yang memiliki lebih banyak
efek pleiotropik. Agen spesifik dapat dibagi menjadi agen yang dirancang untuk
menghentikan kaskade awal sitokin (mis., antilipopolysaccharide atau strategi
anti-proinflamasi sitokin) dan yang dirancang untuk menghentikan disregulasi
koagulasi (mis., antitrombin atau activated protein C) .61 Hanya activated reactive
protein yang memperoleh persetujuan penggunaan.62 Namun, terdapat
kekhawatiran setelah persetujuan mengenai keamanan dan efikasi activated
protein C mendorong untuk diteliti ulang, dimana tidak menunjukkan adanya
manfaat dan menyebabkan produsennya, Eli Lilly, untuk menarik obat dari
pasaran.11 Semua strategi lainnya sejauh ini belum menunjukkan efikasinya.
Dengan adanya keputusan baru untuk menghentikan pengembangan klinis lebih
lanjut pada CytoFab, antibodi poliklonal anti-tumor necrosis factor (nomor
ClinicalTrials.gov, NCT01145560), tidak ada uji coba skala besar saat ini pada
strategi antisitokin dalam pengobatan dari sepsis.

Di antara agen dengan efek imunomodulator yang lebih luas, glukokortikoid telah
mendapatkan kebanyakan perhatian. Imunoglobulin intravena juga berkaitan
dengan potensi kentungan,63 tetapi masih ada pertanyaan penting, dan
penggunaannya bukan bagian dari pengobatan rutin.23 Meskipun jumlahnya
banyak, studi observasional menunjukkan bahwa penggunaan statin mengurangi
kejadian atau meningkatkan outcome pada sepsis dan infeksi berat,64 temuan
tersebut belum dikonfirmasi secara uji acak, uji coba terkontrol, jadi penggunaan
statin bukan bagian dari perawatan sepsis rutin.23

Masalah Pada Pengembangan Terapi

Mengahadapi hasil yang mengecewakan ini, banyak pengamat mempertanyakan


pendekatan saat ini untuk pengembangan obat sepsis. Studi praklinis umumnya
menguji obat-obatan pada tikus muda, yang sehat atau tikus yang terkena septic
challenge (misalnya, bakteri atau toksin bakteri) dengan pengobatan terbatas atau
tanpa pengobatan tambahan. Sebaliknya, pasien dengan sepsis sering terjadi pada
pasien yang tua atau memiliki penyakit serius yang sebelumnya ada, yang dapat
mempengaruhi respons pasien dan meningkatkan risiko disfungsi organ akut.
Selanjutnya, kematian di rumah sakit sering terjadi meskipun penggunaan
antibiotik, resusitasi, dan intensive life support, dan mekanisme penyakit dalam
kasus seperti itu mungkin sangat berbeda dari kondisi awal yang biasanya terjadi
pada model hewan tanpa adanya perawatan yang mendukung. Juga terdapat
perbedaan genetis antar spesies yang besar dalam respon inflamasi host.65

Dalam studi klinis, kriteria penerimaan biasanya sangat luas, agen yang diberikan
berdasarkan dari formula standar hanya untuk periode singkat, hanya sedikit
informasi mengenai bagaimana agen tersebut mengubah respon host dan interaksi
host-pathogen, dan titik akhir primer adalah kematian dari penyebab apa pun.
Strategi riset semacam itu mungkin terlalu sederhana karena tidak menyeleksi
pasien yang paling mungkin untuk mendapat keuntungan, tidak bisa
menyesuaikan terapi berdasarkan respon host yang berkembang dan pengobatan
yang diberikan, dan tidak mencatat potensi efek penting pada outcome nonfatal.

Strategi Baru

Sebagai konsekuensi, harapan disematkan pada strategi pengobatan yang lebih


baru dengan model praklinis yang lebih baik, pengembangan obat yang lebih
terarah, dan uji klinis yang melakukan seleksipasien yang lebih baik, pemberian
obat, dan pengukuran outcome. Misalnya, opsi untuk meningkatkan portofolio
praklinis meliputi studi pada binatang yang lebih beragam secara genetis, lebih
tua, atau memiliki penyakit yang sudah ada sebelumnya. Eksperimen yang lebih
panjang dengan perawatan suportif lanjutan akan memungkinkan mimikri yang
lebih baik dari tahap akhir sepsis dan kegagalan multiorgan, memungkinkan
pengujian obat-obatan dalam keadaan yang lebih realistis dan dapat memfasilitasi
pengukuran outcome seperti fungsi kognitif dan fisik. Sebagai tambahan, studi
praklinis dapat digunakan untuk skrining biomarker potensial dari respons
terapeutik yang homolog dengan manusia.
Activated Protein C mutan yang tidak mengandung antikoagulan adalah contoh
pengembangan obat yang lebih terarah dan ditampilkan untuk menyediakan
proteksi dari kematian terinduksi-sepsis pada hewan, tanpa peningkatan risiko
pendarahan.66 Biomarker seperti pola ekspresi genom utuh dalam leukosit darah
perifer dapat membantu stratifikasi pasien menjadi subkelompok yang lebih
homogen atau dalam mengembangkan terapi intervensi yang lebih terarah.67
Wawasan mengenai sepsis berat dapat menyebabkan imunosupresi meningkatkan
kemungkinan penggunaan terapi stimulasi-imun (misalnya, interleukin-7,
granulosit-makrofag kolonimulasi faktor,68 atau interferon-γ69), tetapi idealnya,
terapi seperti itu hanya dapat digunakan pada pasien yang imunosupresinya
teridentifikasi atau terprediksi. Dengan demikian, terapi semacam itu bisa
digunakan atas dasar pengukuran laboratorium, seperti ekspresi monocyte HLA-
DR. Selain itu, masalah tentang percepatan penurunan neurokognitif pada
survivor dari sepsis membuka jalan untuk mengeksplorasi agen yang sedang diuji
saat ini pada pasien dengan demensia dan kondisi terkait.

Desain uji coba dapat dimodifikasi menjadi lebih mudah menggabungkan ide-ide
ini. Sebagai contoh, ketidakpastian yang cukup di awal penelitian mengenai
kesuaian pemilihan pasien dan strategi pemberian obat dan kemungkinan interaksi
pengobatan mungkin lebih baik ditangani dengan penggunaan desain Bayesian.
Pengujian dapat dimulai dengan beberapa kelompok studi yang mencerminkan
berbagai ketidakpastian untuk diuji tetapi kemudian secara otomatis
mempersempit tugas menjadi kelompok terbaik untuk dikerjakan atas dasar
respon adaptif peraturan randomisasi. Desain semacam itu bisa sangat membantu
ketika menguji terapi kombinasi atau menggabungkan biomarker berpotensi pada
obat responsif.

KESIMPULAN

Sepsis berat dan syok septik merupakan salah satunya masalah tertua dan
paling mendesak dalam dunia kedokteran. Dengan kemajuan dalam perawatan
intensif, peningkatan kesadaran, dan penyebaran guideline berbasis bukti, para
dokter telah mengambil langkah besar dalam mengurangi risiko kematian terkait
sepsis. Namun, karena semakin banyak pasien bertahan hidup dari sepsis,
kekhawatiran meningkat pada gejala sisa dari kejadian lethal sebelumnya. Strategi
juga diperlukan untuk menjangkau jutaan orang pasien dengan sepsis yang berada
jauh dari perawatan intensif modern. Pada saat yang sama,kemajuan dalam
biologi molekuler telah memberikan wawasan yang tajam mengenai kompleksitas
patogen dan alarm pengenalan pada host manusia dan petunjuk penting pada
respon host yang sudah memburuk. Namun, memanfaatkan informasi tersebut
untuk membuat terapi baru yang efektif telah terbukti menjadi hal yang sulit.
Untuk lebih meningkatkan outcome pasien dengan sepsis melalui pengembangan
agen terapi, yang lebih baru, dengan pendekatan yang lebih cerdas pada desain uji
klinis dan eksekusinya sangatlah penting.

Anda mungkin juga menyukai