Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH IMUNOLOGI & VIRULOGI

“SINDROM SJOGREN”

Disusun oleh :

Kelompok 1

Edwin Poli (20617001)

Virginia Tamon (20617005)

Sasmita Kasumbala (20617007)

Gloria Raranta (20617018)

Kevin Kawulur (20617029)

Virginia Manaroinsong (20617031)

Angelina Kawuwung (20617037)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS PRISMA

MANADO

2019
MAKALAH IMUNOLOGI & VIRULOGI

“SINDROM SJOGREN”

Disusun oleh :

Kelompok 1

Edwin Poli (20617001)

Virginia Tamon (20617005)

Sasmita Kasumbala (20617007)

Gloria Raranta (20617018)

Kevin Kawulur (20617029)

Virginia Manaroinsong (20617031)

Angelina Kawuwung (20617037)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS PRISMA

MANADO

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah tentang SINDROM SJOGREN dapat diselesaikan. Tidak lupa
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu
kami dalam menyusun makalah ini baik itu materi maupun pemikirannya sendiri.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah wawasan atau


pengetahuan tentang bagaimana SINDROM SJOGREN ini. Untuk kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi yang lebih baik.

Karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami, maka dari itu kami
menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan dari makalah kami. Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bisa membangun makalah ini.

Manado, 24 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

MAKALAH IMUNOLOGI & VIRULOGI ..................................................................................... 1


“SINDROM SJOGREN” ................................................................................................................ 1
MAKALAH IMUNOLOGI & VIRULOGI .......................................................................................i
“SINDROM SJOGREN” ..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................................... 3
ISI ........................................................................................................................................................... 3
2.1 DEFINISI .................................................................................................................................... 3
2.2 ETIOLOGI .................................................................................................................................. 3
2.3 PATOFISIOLOGI...................................................................................................................... 4
2.4 GAMBARAN KLINIK ............................................................................................................. 6
2.5 DIAGNOSIS KERATOKONJUNTIVITIS. ....................................................................... 10
2.6 PENATALAKSANAAN SINDROM SJOGREN .............................................................. 12
BAB III................................................................................................................................................. 16
PENUTUP ........................................................................................................................................... 16
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................................. 16
3.2 Saran .......................................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom Sjogren atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah
penyakit autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan
biasanya memberikan gejala kekeringan persisten pada mulut dan mata akibat
gangguan fungsional kelenjer saliva dan lakrimalis. Sindrom Sjogren
diklasifikasikan sebagai Sindrom Sjogren Primer bila tidak berkaitan dengan
penyakit autoimun sistemik dan Sindrom Sjogren Sekunder bila berkaitan
dengan penyakit autoimun sistemik lain dan yang paling sering adalah Artritis
Reumatoid, SLE dan Sklerosis Sistemik. Sindrom Sjogren Primer paling banyak
ditemukan sedangkan Sindrom Sjogren Sekunder hanya 30 % kejadiannya.

Sindrom Sjogren bisa dijumpai pada semua umur, sering umur 40-60 tahun
terutama perempuan dengan perbandingan perempuan dengan pria 9:1. Sampai
saat ini prevalensinya belum diketahui dengan pasti, diperkirakan prevalensi
Sindrom Sjogren sekitar 0,1 – 0,6 % karena seringnya sindrom ini bertumpang
tindih dengan penyakit rematik lainnya. Selain itu gejala klinik yang muncul
pada awal penyakit sering tak spesifik, di Amerika diperkirakan penderita
Sindrom Sjogren sekitar 2-4 juta orang, hanya lima puluh persen saja yang tidak
tegak diagnosanya dan hampir 60 % ditemukan bersamaan dengan penyakit
autoimun lainnya antara lain Artritis rematoid, SLE dan Sklerosis Sistemik.

Sindrom Sjogren pertama kali dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz
tahun 1880, kemudian Sjogren di Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa
Sindrom Sjogren terkait dengan poliartritis dan penyakit sistemik lainnya. Pada
tahun 1960 baru ditemukan adanya autoantibodi anti–Ro(SS-A) dan anti-La(SS-B).
Sinonim antara lain Mickuliczs Disease, Gougerots Syndrome, Sicca Syndrome dan
autoimmune exocrinopathy.

1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari Sindrom Sjogren?


2. Bagaimana Etiologi dari penyakit Sindrom Sjogren?
3. Bagaimana Patofisiologi dari penyakit Sindrom Sjogren?
4. Bagaimana Gambaran Klinis dari penyakit Sindrom Sjogren?
5. Bagaimana Diagnosis Keratonjuntivitas dari penyakit Sindrom Sjogren?
6. Bagaimana Penatalaksanaan Sindrom Sjogren?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang bagaimana SINDROM SJOGREN ini

2
BAB II

ISI

2.1 DEFINISI

Sindrom Sjogren atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah


penyakit autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan
biasanya memberikan gejala kekeringan persisten dari mulut dan mata akibat
gangguan fungsional kelenjer saliva dan lakrimalis.

2.2 ETIOLOGI

Etiologi Sindrom Sjogren sampai saat ini masih belum diketahui. Terdapat
peranan faktor genetik dan non genetik pada patogenesis Sindrom Sjogren.
Beberapa factor yang berhubungan dengan etiologi dan pathogenesis sindrom
Sjogren yaitu:

1. Faktor Genetik

a. Hiperreaktivitas dari sel B yang melibatkan terjadinya peningkatan jumlah


immunoglobulin yaitu IgG,IgM,IgA serta bermacam antibody antinuclear, yang
termasuk didalamnya adalah anti SS-A/Ro dan anti SS-B/La.

b. Peningkatan HLA (Human Leukocyte Antigen) kelas II . Terpaparnya molekul-


molekul tersebut pada permukaan sel-sel epitel kelenjar saliva yang mungkin dapat
bertindak sebagai autoantigen dan eksogen antigen agar saliva sel-sel T CD4
menginfiltrasi kedalam sel kelenjar. Pada penelitian menunjukkan
kecenderungan genetic yaitu keterlibatan HLA-DR3 pada sindrom sjogren primer,
sedangkan yang sekunder berkaitan dengan Rheumatoid arthritis (RA) dihubungkan
dengan sub group HLA-II yaitu HLA- DR4.

c. Autoantibodi Muscarinic M3 reseptor. Suatu hipotesis yang menjelaskan


bahwa pada penderita sindrom sjogren autoantibody muscarinic memblok dan

3
mengikat reseptor muscarinic M3 yang menyebabkan sel-sel dari kelenjar
saliva tidak berkontraksi sehingga tidak menghasilkan saliva.

2. Faktor lingkungan

Diperkirakan terdapat peranan infeksi virus (Epstein-Barr, Coxsackle, HIV dan HCV
) pada patogenesis Sindrom Sjogren. Hubungan Sindrom Sjogren dengan Hepatitis
Virus C dulu masih diperdebatkan, baru tahun 1922 Haddad di Spanyol
mendapatkan gambaran histologi Sindrom Sjogren pada 16 pasien dari 28 pasien
Hepatitis virus C, sejak saat itu lebih dari 250 kasus Sindrom Sjogren yang
berhubungan dengan Hepatiti virus C dilaporkan.

2.3 PATOFISIOLOGI

Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya SS adalah stimulasi terus-


menerus pada sistem autoimun, baik sel B maupun sel T, walaupun mekanisme
abnormalitas imunitas humoral maupun selular masih belum diketahui pasti. Ada
beberapa faktor yang diyakini bertanggung jawab mencetuskan SS yaitu kerentanan
genetik, stres psikologis, hormonal, dan infeksi dapat memicu aktivasi sel epitel yang
ditandai dengan terstimulusnya Toll-like receptor. Permulaan perjalanan SS adalah
kelainan struktur kelenjar seperti perubahan matriks ekstraselular akibat
infiltrasi sitokin, kemokin, dan limfosit. Adanya stimulus pada Toll-like receptor
memicu aktivasi sel T dan sekresi sitokin pro-inflamasi. Teraktivasinya sel epitel
tidak hanya berfungsi sebagai APC yang memicu aktivasi sel B atau sel T, tetapi juga
mengaktivasi sel dendritik melalui regulasi molekul pro-apoptosis yang menyimpan
bentukan eksosom sehingga dapat membantu aktivasi sel B. Selanjutnya terjadi
peningkatan aktivitas B-cell activating factor (BAFF) yang sekresinya memicu
disproporsi terhadap jumlah sel B yang diaktivasi sehingga memicu jumlah limfosit
tambahan pada jaringan kelenjar yang selanjutnya memperberat proses destruksi
kelenjar.

Hiperaktivitas sel B merupakan kejadian peningkatan kadar imunoglobulin


dan autoantibodi di sirkulasi untuk melawan autoantigen ribonukleoprotein.

4
Ro/SS-A dan La/SS-B. Anti-La bersifat lebih spesifik tapi kurang sensitif untuk SS
dibandingkan anti- Ro sejak munculnya penyakit autoimun SLE. Antibodi
sirkulasi yang terlibat meliputi RF dan Anti- Fodrin. Cryoglobulin tipe II
(monoclonal dengan aktivitas RF) tampak pada 20% pasien. Hipokomplemenemia
terjadi pada pasien SS dengan vaskulitis sistemik, glomerulonefritis, dan limfoma
sel B. Antimitochondrial Antibodies (AMA), sejalan dengan peningkatan
transaminase dan alkalin fosfatase, ditemukan setidaknya pada 7% kasus pasien SS
dengan tampilan histologis sirosis biliaris primer stadium I. Antithyroglobulin (anti-
TG) dan Anti thyroid peroxidase (anti- TPO) muncul pada pasien SS dengan penyakit
dasar Tiroiditis Hashimoto yang ditandai munculnya antibody Anticentromere
Antibodies (ACA) yang berkorelasi dengan rendahnya angka kejadian
pembesaran kelenjar parotis dan antibodi anti-La. Antibodi anti-DNA positif
pada pasien SS yang berkaitan dengan SLE, antiphospholipid (a-PL), dan
antineutrophil cytoplasmic (ANCA) merupakan antibody atipikal yang paling sering
ditemukan.

Gambar 1. Patofi siologi SS. Pada keadaan predisposisi genetik, infeksi virus, pengaruh
hormon dan factor lingkungan menginisiasi aktivasi sel epitel, yang akan memicu aktivasi
sel T dan memperkuat sekresi sitokin pro-infl amasi sehingga memicu aktivasi sel epitel.
Hal ini menghasilkan formasi eksosome, aktivasi sel dendritik dan sekresi Interferon tipe 1
(IFN-1), dan BAFF memicu stimulasi dan proliferasi sel B sehingga menyebabkan disposisi
limfosit. Sel T sitotoksik, apoptosis, dan formasi autoantibodi dan destruksi jaringan
kelenjar lebih lanjut.

5
2.4 GAMBARAN KLINIK

Gambaran klinik SS sangat luas berupa suatu eksokrinopati disertai gejala


sistemik dan ekstraglandular. Xerostomia dan xerotrakea merupakan
gambaran eksokrinopati mulut. Gambaran eksokrinopati pada mata berupa
mata kering atau keratokonjungtivitis sicca akibat mata kering. Manifestasi
ekstraglandular dapat mengenai paru, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala
sistemik pada SS sama seperti penyakit autoimun lain dapat berupa kelelahan,
demam, nyeri otot, artritis. Poliartiritis nonerosif merupakan bentuk artiritis yang
khas pada SS. Raynauds phenomena merupakan gangguan vaskular yang sering
ditemukan, biasanya tanpa telangiektasis maupun ulserasi jari. Manifestasi
ekstraglandular lain tergantung penyakit sistemik yang terkait misalnya RA, SLE,
dan Sklerosis Sistemik. Meskipun SS tergolong penyakit autoimun yang jinak, bisa
berkembang menjadi malignan, diduga karena transformasi sel B ke arah ganas.

A. Manifestasi Glandular
1. Xerostomia

Lebih dari 90% pasien dengan keluhan gejala SS adalah gangguan


fungsional kelenjar saliva. Pasien sering mengeluhkan rasa tidak enak, sulit
memproses makanan kering, dan membutuhkan minum lebih banyak air. Pada
tahap awal SS, mulut tampak pucat dan lembap; dengan berjalannya penyakit,
tidak tampak saliva pada dasar mulut. Seiring progresifi tas penyakit, terutama
pada stadium lanjut, mukosa cavum oris akan menjadi sangat kering. Permukaan
lidah menjadi merah dan berlobulasi disertai depapilasi parsial maupun komplit.
Xerostomia menjadi sangat nyeri disertai sensasi terbakar, disertai pembentukan fi
sura lidah, disfagia, disertai keilitis angularis. Keadaan di atas dapat memicu
infeksi Staphylococcus aureus atau Pneumococcus yang bermanifestasi sebagai
sialadenitis akut. Lebih jauh penyakit ini dapat menyebabkan karies dentis, infeksi
periodontal, peningkatan kejadian kandidiasis.

6
Gambar 2. Xerostomia

2. Keratoconjungtivitis Sicca (KCS)

Mata kering pada SS disebut KCS yang lebih sering tampak dibanding
xerostomia. Anamnesis yang cermat dibutuhkan untuk mendeteksi gejala mata
kering. Keluhan utama KCS adalah rasa mengganjal bias disertai rasa tebal,
fotosensitif, dan sensasi terbakar. Mata kering disebabkan infiltrasi limfosit pada
kelenjar lakrimal sehingga mengganggu produksi dan komposisi air mata
menyebabkan gangguan epitel kornea dan konjungtiva yang diketahui merupakan
penanda KCS. Pada kasus berat, dapat terjadi gangguan visus. Komplikasi
ulkus kornea dapat memicu perforasi dan iridosiklitis.

Gambar 3. Keratoconjungtivitis Sicca

3. Pembesaran Kelenjar Paratiroid

Sekitar 20-30% pasien SS Primer mengalami pembesaran kelenjar parotis


atau submandibula yang tidak nyeri. Pembesaran kelenjar ini bisa berubah menjadi
limfoma. Suatu penelitian mendapatkan 98 orang dari 2311 pasien SS (4%)

7
berkembang menjadi limfoma, sementara Ioannidis mendapatkan 38 dari 4384
pasien SS berkembang menjadi limfoma.

Gambar 4. Pembesaran Kel.Parotis

B. Manifestasi Ekstraglandular

Banyak manifestasi ekstraglandular pada SS yaitu artralgia (25-85%), fenomena


Raynoud (13-62%), tiroiditis autoimun Hashimoto (10- 24%), renal tubular asidosis
(5-33%), sirosis bilier primer dan hepatitis autoimun (2-4%), penyakit paru (7-
35%), vaskulitis (9-32%). Risiko limfoma meningkat pada pasien SS.

1. Manifestasi Kulit

Merupakan gejala ekstraglandular yang paling sering dijumpai, dengan


gambaran klinis yang luas. Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan
keluhan yang sering dijumpai. Manifestasi vaskulitis pada kulit bisa mengenai
pembuluh darah sedang maupun kecil. Vaskulitis pembuluh darah sedang
biasanya terkait dengan krioglobulin dan vaskulitis pada pembuluh darah kecil
berupa purpura. Vaskulitis di kulit dikatakan merupakan petanda prognosis
buruk.

2. Manifestasi Paru

Manifestasi penyakit paru yang sering dijumpai adalah Penyakit Paru


Interstisial atau fibrosis berat. Adanya pembesaran kelenjar limfe parahiler sering
menyerupai limfoma (pseudolimfoma). Manifestasi paru pada SS primer dan

8
sekunder berbeda, manifestasi SS sekunder disebabkan oleh penyakit primer yang
mendasari.

3. Manifestasi Pembuluh Darah

Vaskulitis ditemukan sekitar 5%, dapat mengenai pembuluh darah sedang


maupun kecil dengan manifestasi klinik berbentuk purpura, urtikaria berulang,
ulkus kulit, dan mononeuritis multipel. Vaskulitis pada organ internal jarang
ditemukan. Fenomena Raynaud dijumpai pada

35% kasus dan biasanya muncul setelah bertahun-tahun, tanpa disertai


telangiektasis dan ulserasi.

4. Manifestasi Ginjal

Keterlibatan ginjal hanya sekitar 10%. Manifestasi tersering berupa kelainan


tubulus dengan gejala subklinis. Gambaran kilnis dapat berupa
hipofosfaturia, hipokalemia, hiperkalemia, asidosis tubular renal tipe distal.
Manifestasi sering tidak jelas, dapat menimbulkan komplikasi batu kalsium dan
gangguan fungsi ginjal. Gejala hipokalemia sering dijumpai dengan klinis
kelemahan otot. Pada biopsy ginjal didapatkan infi ltrasi limfosit pada
jaringan interstisial.

5. Manifestasi Neuromuskular

Manifestasi neurologi akibat vaskulitis system saraf dengan manifestasi klinik


neuropati perifer. Neuropati kranial juga dapat dijumpai pada SS, biasanya tunggal,
misalnya neuropati trigeminal, neuropati optik. Neuropati sensorik merupakan
komplikasi neurologi yang sering dijumpai. Kelainan muskular hanya berupa
mialgia dengan enzim otot dalam batas normal.

6. Manifestasi Gastrointestinal

Keluhan yang sering dijumpai adalah disfagia karena kekeringan daerah


mulut dan esophagus, disamping itu dismotilitas esophagus akan menambah
kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut daerah epigastrium juga sering

9
dijumpai. Biopsi mukosa lambung menunjukkan gastritis kronik atrofi yang secara
histopatologi didapatkan infi ltrasi limfosit.

7. Artritis

Lima puluh persen gejala artritis pada SS mungkin muncul lebih awal
sebelum gejala sindrom sicca muncul. Artritis pada SS tidak erosif. Artralgia, kaku
sendi, sinovitis, poliartritis kronis merupakan gejala lain yang mungkin dijumpai.

2.5 DIAGNOSIS KERATOKONJUNTIVITIS.

A. TES SCHIMERS

Tes ini digunaka untuk mengevaluasi produksi kelenjer air mata. Tes
dilakukan dengan menggunakan kertas filter dengan panjang 30 mm, caranya
kertas ditaruh dikelopak mata bagian bawah dibiarkan selama 5 menit. Setelah
5 menit kemudian dilihat berapa panjang pembasahan air mata pada kertas
filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit maka tes positif.

Suatu penelitian di Spanyol yang menggunakan Pilokarpin 5 mg sublingual


pada 60 pasien Sindrom sjogren primer, 46 pasien yang rendah produksi salivanya,
22 orang diantaranya terdapat peningkatan produksi saliva setelah
menggunakan 5 mg Pilokarpin.

10
Gambar 5. TES SCHIMERS PADA PASIEN SINDROM SJOGREN

B. ROSE BENGAL STAINING

Keratokonjungtivitis merupakan sequele pada kornea dan konjungtiva


karena menurunnya air mata. Dengan pengecatan Rose bengal yang menggunakan
anilin, yang dapat mewarnai epitel kornea maupun konjungtiva. Dengan
pengecatan ini keratokonjungtivitis sicca tampak sebagai keratitis puntata, bila
dilihat dengan slit lamp. Tear film break up : tes ini dilakukan untuk melihat
kecepatan pengisian flouresin pada kertas film.

C. SIALOMETRI

Sialometri adalah pengukuran kecepatan produksi kelenjer liur tanpa adanya


rangsangan, baik untuk mengukur kelenjer parotis, submandibula, sublingual
ataupun total produksi kelenjer liur. Pada Sindrom Sjogren menunjukan
penurunan kecepatan sekresi. Suatu penelitian di Spanyol untuk memeriksa
fungsi kelenjer ludah pasien Sindrom Sjogren dengan menggunakan pilokarpin 5
mg sublingual apakah terjadi peningkatan produksi kelenjer saliva setelah
pemberian pilokarpin 5 mg, dari 60 pasien pSS diukur Basal Saliva Flow (BSF) pada
semua pasien dimana BSF < 1,5 ml/15 menit berarti abnormal. Dari 60 pasien
terdapat 46 pasien dengan BSF < 1,5 ml , kemudian diberi pilokarpin 5 mg (SSF =
Stimulated salivary Flow ). Hasil didapatkan setelah pemberian pilokarpin
terdapat peningkatan produksi saliva.

D. SIALOGRAFI

Pemeriksaan secara radiologi untuk menetapkan kelainan anatomi pada


saluran kelenjer eksokrin. Pada pemeriksaan ini tampak gambaran teleektasis.

E. SKINTIGAFI

Untuk mengevaluasi kelenjer dengan mengunakan 99m Tc, dengan


pemeriksaan ini dilihat ambilan 99m Tc dimulut selama 60 menit setelah injeksi
intravena.

11
F. BIOPSI

Biopsi kelenjer eksokrin minor memberikan gambaran yang sangat spesifik


yaitu tampak gambaran infiltrasi limfosit yang dominan. Biopsi kelenjer saliva
minor merupakan gold standar untuk diagnosis Sindrom Sjogren.

2.6 PENATALAKSANAAN SINDROM SJOGREN


Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi
sekresi kelenjer dimata dan mulut dan manifestasi ektraglandular. Prinsipnya
hanyalah simtomatis mengantikan fungsi kelenjer eksokrin dengan
memberikan lubrikasi.

MATA

Pengobatan untuk mata meliputi penggunaan air mata buatan bebas


pengawet untuk siang hari dan salep mata untuk malam hari. Lubrikasi pada
mata kering dengan tetes mata buatan membantu mengurangi gejala akibat
sindrom mata kering. Untuk mengurangi efek samping sumbatan drainase air
mata pengganti bisa diberikan lensa kontak, tetapi resiko infeksi sangat besar.
Tetes mata yang mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena merangsang
infeksi.

Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu


stimulat muskarinik reseptor. Ada dua jenis sekretagogum yang beredar di
pasaran yaitu golongan pilokarpin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4
kali sehari selama 12 minggu sedangkan cevimelin 3 x 30 mg diberikan 3 kali
sehari.

MULUT

Pengobatan kelainan dimulut akibat Sindrom Sjogren meliputi


pengobatan dan pencegahan karies, mengurangi gejala dimulut, memperbaiki
fungsi mulut. Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat
yang dapat untuk mengatasinya. Pada umumnya terapi ditujukan pada perawatan

12
gigi, kebersihan mulut, merangsang kelenjer liur, memberi sintetik air liur. Pada
kasus ringan digunakan sugar-free lozenges, cevimeline atau pilokarpin.
Pengobatan kandidiasis mulut pada kasus yang masih ada produksi saliva dapat
digunakan anti jamur sistemik seperti flukonazol, sedang pada kasus yang
tidak ada produksi saliva digunakan anti jamur topikal.

EKTRAGLANDULAR

OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskeletal, hidroksi klorokuin


digunakan untuk atralgia, mialgia hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik
0,5-1 mg/kgBB/hari dan imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan
untuk mengontrol gejala ekstraglandular misalnya difus intersisial lung disease,
glomerulonefritis, vaskulitis.

OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK TERAPI SINDROM SJOGREN

1. Muskarinik agonis (Pilokarpin dan Cevimelin)

Digunakan untuk terapi sicca symptoms karena merangsang reseptor M1 dan M3


pada kelenjer ludah sehingga meningkatkan fungsi sekresi.Suatu penelitian pasien

13
Sindrom Sjogren yang diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg selama 12 minggu
terdapat perbaikan keluhan. Sementara itu penelitian lain menggunakan
Cevimelin dengan dosis 3 x 15 mg/30 mg selama 6 minggu juga dapat
memperbaiki keluhan.

Sedangkan penelitian di Loannina.Greece pada 29 pasie SS yang mendapat


Pilokarpin 2 x 5 mg selama 12 minggu juga terdapat perbaikan keluhan.

Suatu penelitian pada 373 pasien Sindrom Sjogren primer dan sekunder yang
diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg/hari (20 mg) selama 12 minggu terdapat

perbaikan keluhan mata dan mulut kering.15

Pilokarpin dapat meningkatkan produksi kelenjer saliva dan mata. Efek samping
pilokarpin berupa keringat yang berlebih, diare, rasa panas dikulit terutama
disekitar wajah dan leher, nyeri otot, ingusan dan gangguan penglihatan.

2. Agen Biologik

Suatu penelitian oleh steinfeld pada 16 pasien sindrom sjogren primer


yang diterapi dengan infus Infliximab 3mg/kg pada minggu 0, minggu2, minggu6
terdapat perbaikan keluhan

Penggunaan Rituximab infus 375 mg/m2 dengan prednison 25 mg i.v


pada 8 pasien sindrom sjogren primer selama 12 minggu dapat mengurangi
keluhan mata dan mulut kering.

3.Terapi lain

Penelitian Miyawaki 20 pasien Sindrom Sjogren diterapi dengan


prednisolon secara siknifikan menurunkan serum IgG, anti-Ro/SS

Hidroksiklorokuin yang digunakan untuk terapi malaria juga digunakan untuk


penyakit autoimun dan dari penelitian pada 14 pasien Sindrom sjogren primer
dapat meningkatkan produksi kelenjer ludah setelah diterapi selama 6 bulan.

14
Sedangkan penelitian lain yang mengunakan Hidroksiklorokuin dengan dosis 400
mg /hari selama 12 bulan pada 19 pasien Sindrom Sjogren tidak terdapat
perbaikan keluhan.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Sindrom Sjogren adalah penyakit autoimun yang menyebabkan disfungsi
produksi kelenjer saliva dan lakrimalis yang selanjutnya mengakibatkan
gejala dan komplikasi akibat disfungsi kelenjer tersebut

2. Diagnosis Sindrom Sjogren sebenarnya tidak terlalu sulit, tetapi perlu ketelitian
dan perhatian terhadap kemungkinan SS pada pasien dengan gejala
akibat disfungsi kelenjer lakrimalis dan saliva seperti mulut kering, mata
kering dan rasa seperti ada benda asing (seperti ada pasir ), serta
memperhatikan adanya gejala tersebut pada pasien yang beresiko SS seperti
pada pasien artritis rematoid

3. Tatalaksana SS terdiri dari tatalaksana akibat disfungsi kelenjer lakrimalis


dimata dan disfungsi kelenjer saliva di mulut, tatalaksana sekuele dan
tatalaksana manifestasi ektraglandular.

3.2 Saran

Perlu anamnesa dan pemeriksaan fisik serta laboratorium untuk dapat


menegakkan diagnosis Sindrom Sjogren karena sering penyakit ini tumpang tindih
dengan penyakit lain.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumariyono.Diagnosis dan tatalaksana Sindrom sjogren. Kumpulan


makalah temu ilmiah Reumatologi.2008:134-136.
2. Yuliasih. Sindrom sjogren. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.jilid II edisi IV.
Pusat Penerbitan IPD FKUI.2006:1193-1196.
3. Casals MR.Font J. Primary Sjogren Syndrome: Current and emergent
aetiopathogenic concepts.Rheumatology.2005;44:1354-1367
4. Delaleu N, Jonsson MV, Appel S. New concepts in the pathogenesis of
Sjogren’s syndrome. Rheum. Dis. Clin. North America, 2008.34(4);833-45.
5. Kassan SS, Thomas TL, Moutsopoulos HM, Hoover R, Kimberly RP, Budman
DR, et al. Increased risk of lymphoma in sicca syndrome. Ann. Intern. Med.
2004;89(6):888-92.
6. Soliotis FC, Moutsopoluos HM. Sjogren’s syndrome. Autoimmunity.
2004;37:305-7.
7. Ramos-Casals M, Brito-Zeron P, Font J. The overlap of Sjogren’s syndrome
with other systemic autoimmune diseases. Semin Arthritis Rheum
2007;36:246-55.
8. Theander E.Lennart.Jacobsson TH. Relationship of Sjogren Syndrome to
otherconnective tissue and autoimmune disorders. Rheum. Dis Clin N Am.
2008;34:935-947.
9. Frederick B. Vivino MD.Pilocarpine tablets for the treatment of dry mouth
and dryeye symptoms in patient with Sjogren Syndrome.Arch Intern
Med.2000;159:174-181.
10. Ramos-Casals M.Loustaud-Ratti V.De Vita S, et al. Sjogren syndrome
associated with hepatitis C virus. A multicenter analysis of 137 cases.
Medicine.2005;84:81-89.

17

Anda mungkin juga menyukai