“SINDROM SJOGREN”
Disusun oleh :
Kelompok 1
UNIVERSITAS PRISMA
MANADO
2019
MAKALAH IMUNOLOGI & VIRULOGI
“SINDROM SJOGREN”
Disusun oleh :
Kelompok 1
UNIVERSITAS PRISMA
MANADO
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah tentang SINDROM SJOGREN dapat diselesaikan. Tidak lupa
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu
kami dalam menyusun makalah ini baik itu materi maupun pemikirannya sendiri.
Karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami, maka dari itu kami
menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan dari makalah kami. Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bisa membangun makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Sjogren bisa dijumpai pada semua umur, sering umur 40-60 tahun
terutama perempuan dengan perbandingan perempuan dengan pria 9:1. Sampai
saat ini prevalensinya belum diketahui dengan pasti, diperkirakan prevalensi
Sindrom Sjogren sekitar 0,1 – 0,6 % karena seringnya sindrom ini bertumpang
tindih dengan penyakit rematik lainnya. Selain itu gejala klinik yang muncul
pada awal penyakit sering tak spesifik, di Amerika diperkirakan penderita
Sindrom Sjogren sekitar 2-4 juta orang, hanya lima puluh persen saja yang tidak
tegak diagnosanya dan hampir 60 % ditemukan bersamaan dengan penyakit
autoimun lainnya antara lain Artritis rematoid, SLE dan Sklerosis Sistemik.
Sindrom Sjogren pertama kali dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz
tahun 1880, kemudian Sjogren di Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa
Sindrom Sjogren terkait dengan poliartritis dan penyakit sistemik lainnya. Pada
tahun 1960 baru ditemukan adanya autoantibodi anti–Ro(SS-A) dan anti-La(SS-B).
Sinonim antara lain Mickuliczs Disease, Gougerots Syndrome, Sicca Syndrome dan
autoimmune exocrinopathy.
1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang bagaimana SINDROM SJOGREN ini
2
BAB II
ISI
2.1 DEFINISI
2.2 ETIOLOGI
Etiologi Sindrom Sjogren sampai saat ini masih belum diketahui. Terdapat
peranan faktor genetik dan non genetik pada patogenesis Sindrom Sjogren.
Beberapa factor yang berhubungan dengan etiologi dan pathogenesis sindrom
Sjogren yaitu:
1. Faktor Genetik
3
mengikat reseptor muscarinic M3 yang menyebabkan sel-sel dari kelenjar
saliva tidak berkontraksi sehingga tidak menghasilkan saliva.
2. Faktor lingkungan
Diperkirakan terdapat peranan infeksi virus (Epstein-Barr, Coxsackle, HIV dan HCV
) pada patogenesis Sindrom Sjogren. Hubungan Sindrom Sjogren dengan Hepatitis
Virus C dulu masih diperdebatkan, baru tahun 1922 Haddad di Spanyol
mendapatkan gambaran histologi Sindrom Sjogren pada 16 pasien dari 28 pasien
Hepatitis virus C, sejak saat itu lebih dari 250 kasus Sindrom Sjogren yang
berhubungan dengan Hepatiti virus C dilaporkan.
2.3 PATOFISIOLOGI
4
Ro/SS-A dan La/SS-B. Anti-La bersifat lebih spesifik tapi kurang sensitif untuk SS
dibandingkan anti- Ro sejak munculnya penyakit autoimun SLE. Antibodi
sirkulasi yang terlibat meliputi RF dan Anti- Fodrin. Cryoglobulin tipe II
(monoclonal dengan aktivitas RF) tampak pada 20% pasien. Hipokomplemenemia
terjadi pada pasien SS dengan vaskulitis sistemik, glomerulonefritis, dan limfoma
sel B. Antimitochondrial Antibodies (AMA), sejalan dengan peningkatan
transaminase dan alkalin fosfatase, ditemukan setidaknya pada 7% kasus pasien SS
dengan tampilan histologis sirosis biliaris primer stadium I. Antithyroglobulin (anti-
TG) dan Anti thyroid peroxidase (anti- TPO) muncul pada pasien SS dengan penyakit
dasar Tiroiditis Hashimoto yang ditandai munculnya antibody Anticentromere
Antibodies (ACA) yang berkorelasi dengan rendahnya angka kejadian
pembesaran kelenjar parotis dan antibodi anti-La. Antibodi anti-DNA positif
pada pasien SS yang berkaitan dengan SLE, antiphospholipid (a-PL), dan
antineutrophil cytoplasmic (ANCA) merupakan antibody atipikal yang paling sering
ditemukan.
Gambar 1. Patofi siologi SS. Pada keadaan predisposisi genetik, infeksi virus, pengaruh
hormon dan factor lingkungan menginisiasi aktivasi sel epitel, yang akan memicu aktivasi
sel T dan memperkuat sekresi sitokin pro-infl amasi sehingga memicu aktivasi sel epitel.
Hal ini menghasilkan formasi eksosome, aktivasi sel dendritik dan sekresi Interferon tipe 1
(IFN-1), dan BAFF memicu stimulasi dan proliferasi sel B sehingga menyebabkan disposisi
limfosit. Sel T sitotoksik, apoptosis, dan formasi autoantibodi dan destruksi jaringan
kelenjar lebih lanjut.
5
2.4 GAMBARAN KLINIK
A. Manifestasi Glandular
1. Xerostomia
6
Gambar 2. Xerostomia
Mata kering pada SS disebut KCS yang lebih sering tampak dibanding
xerostomia. Anamnesis yang cermat dibutuhkan untuk mendeteksi gejala mata
kering. Keluhan utama KCS adalah rasa mengganjal bias disertai rasa tebal,
fotosensitif, dan sensasi terbakar. Mata kering disebabkan infiltrasi limfosit pada
kelenjar lakrimal sehingga mengganggu produksi dan komposisi air mata
menyebabkan gangguan epitel kornea dan konjungtiva yang diketahui merupakan
penanda KCS. Pada kasus berat, dapat terjadi gangguan visus. Komplikasi
ulkus kornea dapat memicu perforasi dan iridosiklitis.
7
berkembang menjadi limfoma, sementara Ioannidis mendapatkan 38 dari 4384
pasien SS berkembang menjadi limfoma.
B. Manifestasi Ekstraglandular
1. Manifestasi Kulit
2. Manifestasi Paru
8
sekunder berbeda, manifestasi SS sekunder disebabkan oleh penyakit primer yang
mendasari.
4. Manifestasi Ginjal
5. Manifestasi Neuromuskular
6. Manifestasi Gastrointestinal
9
dijumpai. Biopsi mukosa lambung menunjukkan gastritis kronik atrofi yang secara
histopatologi didapatkan infi ltrasi limfosit.
7. Artritis
Lima puluh persen gejala artritis pada SS mungkin muncul lebih awal
sebelum gejala sindrom sicca muncul. Artritis pada SS tidak erosif. Artralgia, kaku
sendi, sinovitis, poliartritis kronis merupakan gejala lain yang mungkin dijumpai.
A. TES SCHIMERS
Tes ini digunaka untuk mengevaluasi produksi kelenjer air mata. Tes
dilakukan dengan menggunakan kertas filter dengan panjang 30 mm, caranya
kertas ditaruh dikelopak mata bagian bawah dibiarkan selama 5 menit. Setelah
5 menit kemudian dilihat berapa panjang pembasahan air mata pada kertas
filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit maka tes positif.
10
Gambar 5. TES SCHIMERS PADA PASIEN SINDROM SJOGREN
C. SIALOMETRI
D. SIALOGRAFI
E. SKINTIGAFI
11
F. BIOPSI
MATA
MULUT
12
gigi, kebersihan mulut, merangsang kelenjer liur, memberi sintetik air liur. Pada
kasus ringan digunakan sugar-free lozenges, cevimeline atau pilokarpin.
Pengobatan kandidiasis mulut pada kasus yang masih ada produksi saliva dapat
digunakan anti jamur sistemik seperti flukonazol, sedang pada kasus yang
tidak ada produksi saliva digunakan anti jamur topikal.
EKTRAGLANDULAR
13
Sindrom Sjogren yang diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg selama 12 minggu
terdapat perbaikan keluhan. Sementara itu penelitian lain menggunakan
Cevimelin dengan dosis 3 x 15 mg/30 mg selama 6 minggu juga dapat
memperbaiki keluhan.
Suatu penelitian pada 373 pasien Sindrom Sjogren primer dan sekunder yang
diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg/hari (20 mg) selama 12 minggu terdapat
Pilokarpin dapat meningkatkan produksi kelenjer saliva dan mata. Efek samping
pilokarpin berupa keringat yang berlebih, diare, rasa panas dikulit terutama
disekitar wajah dan leher, nyeri otot, ingusan dan gangguan penglihatan.
2. Agen Biologik
3.Terapi lain
14
Sedangkan penelitian lain yang mengunakan Hidroksiklorokuin dengan dosis 400
mg /hari selama 12 bulan pada 19 pasien Sindrom Sjogren tidak terdapat
perbaikan keluhan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Sindrom Sjogren adalah penyakit autoimun yang menyebabkan disfungsi
produksi kelenjer saliva dan lakrimalis yang selanjutnya mengakibatkan
gejala dan komplikasi akibat disfungsi kelenjer tersebut
2. Diagnosis Sindrom Sjogren sebenarnya tidak terlalu sulit, tetapi perlu ketelitian
dan perhatian terhadap kemungkinan SS pada pasien dengan gejala
akibat disfungsi kelenjer lakrimalis dan saliva seperti mulut kering, mata
kering dan rasa seperti ada benda asing (seperti ada pasir ), serta
memperhatikan adanya gejala tersebut pada pasien yang beresiko SS seperti
pada pasien artritis rematoid
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17