Indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI). Angka Kematian Bayi adalah jumlah penduduk yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Usia bayi merupakan kondisi yang rentan baik terhadap kesakitan maupun kematian. AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup. World Health Organization (WHO) memperkirakan kematian maternal terjadi lebih dari 500.000 kasus per tahun di seluruh dunia, yang terjadi akibat proses reproduksi. Sebagian besar kasus kematian ibu di dunia terjadi di negara- negara berkembang, termasuk di Indonesia. Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, rata- rata AKI di Indonesia tercatat mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup. Rata- rata kematian ibu ini jauh melonjak dibandingkan hasil SDKI tahun 2007 yang mencapai 228 per 100.000. Menurut WHO, kematian maternal berjumlah 25% disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan dan 16-17% disebabkan oleh retensio plasenta (Harmia, 2010). Data WHO 2008 juga menjelaskan dua pertiga kematian ibu akibat perdarahan tersebut adalah dari jenis retensio plasenta, dilaporkan bahwa 15-20% kematian ibu karena retensio plasenta. Menurut laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang antara 5% sampai 15%.Dari angka tersebut di peroleh gambaran retensio plasenta menduduki peringkat ketiga (16-17%) setelah urutan pertama atonia uteri (50-60%) dan yang kedua sisa plasenta 23-24% (Nugroho, 2012) Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan. Retensio plasenta merupakan etiologi tersering kedua dari perdarahan postpartum (20% - 30% kasus), kejadian ini harus didiagnosis secara dini karena retensio plasenta sering dikaitkan dengan atonia uteri untuk diagnosis utama sehingga dapat membuat kesalahan diagnosis. Retensio plasenta secara potensial dapat mengancam jiwa, bukan hanya retensionya tersebut tetapi karena berkaitan dengan perdarahan dan infeksi yang merupakan komplikasi retensio plasenta. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejadian retensio plasenta adalah : 1) Faktor Demografi: a) Pendidikan b) Kondisi Lingkungan 2) Faktor Biologi : a) Usia Ibu b) Paritas c) Interval Kehamilan 3) Faktor Riwayat medis: a) Riwayat persalinan sebelumnya b) Riwayat penyakit sebelumnya. Berdasarkan hasil studi kasus diperoleh data bahwa pada kurangnya antenatal care pada ibu hamil tidak selalu menjadi faktor utama yang menyebabkan retensio plasenta dibuktikan dengan teori bahwa faktor penyebab retensio plasenta meliputi hidramnion, pre eklamsi, eklampsia. Retensio plasenta disebabkan oleh multifaktor, yaitu faktor maternal, faktor uterus (Oxorn, 2010) dan faktor fungsional (Winkjosastro, 2007). Faktor maternal terdiri atas usia, paritas dan anemia. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Owolabi, dkk. (2008) di Barat Daya Nigeria bahwa factor usia ibu > 35 tahun meningkatkan risiko 7 kali untuk mengalami kejadian retensio plasenta. Hasil penelitian Notikaratu, dkk (2010) di RSUD Raden Mattaher Jambi menunjukkan bahwa faktor ibu bersalin dengan paritas multipara mempunyai risiko 11 kali mengalami kejadian retensio plasenta. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Hastuti (2013)12 di RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro memperoleh hasil terdapat hubungan faktor anemia pada ibu bersalin beresiko 5 kali mengalami kejadian retensio plasenta. Menurut Sosa CG dan koleganya (2009) menyebutkan bahwa di populasi Amerika Latin insidensi retensio plasenta mencapai 33,3%, dengan karakteristik pasien dilihat dari usia ibu yang berisiko pada usia < 19 tahun dan ≥ 35 tahun. Dilihat dari paritas yang paling berisiko pada paritas 1-3, kehamilan ganda, episiotomi dan manajemen kelahiran kala tiga. Asupan nutrisi ibu selama kehamilan, terutama asupan besi untuk ibu dan bayi berperan penting selama kehamilan dan setelah kelahiran (postpartum). Anemia defisiensi besi selama kehamilan saat ini merupakan kejadian yang lazim terutama pada wanita di usia reproduktif. WHO (2000) melaporkan bahwa terdapat 35% – 75% wanita hamil di negara berkembang dan 18% wanita hamil di negara maju mengalami anemia selama kehamilan. Anemia selama kehamilan merupakan risiko yang sangat besar untuk terjadinya mortalitas dan morbiditas perinatal. Berdasarkan latar belakang diatas, maka mahasiswa tertarik untuk melakukan studi kasus mengenai asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan retensio plasenta.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana Asuhan Kebidanan pada ibu bersalin dengan Retensio Plasenta?”. 1.3 Tujuan Penulis mampu memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif pada ibu bersalin dengan retensio sisa plasenta dengan 7 langkah varney dan data perkembangan SOAP.