Anda di halaman 1dari 13

Tindak Pidana Hukum Ketenagakerjaan ~ Penyelesaian perselisihan hubungan industrial

umumnya menjadi pilihan utama bagi pekerja atau serikat pekerja. Namun tak jarang dalam
perselisihan itu mengandung unsur pelanggaran pidana, terutama yang dilakukan pengusaha,
seperti pemberangusan atau menonaktifkan aktifitas serikat pekerja (anti union) dan
penggelapan upah.

I. PENDAHULUAN

Yang dimaksud dengan tindak pidana (delik) atau menurut Prof. Moeljatno, S.H., perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar ketentuan tersebut,
sedangkan menurut Prof. Wirjono Projodikoro, S.H. yang dimaksud dengan tindak pidana
berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Tindak Pidana Hukum Ketenagakerjaan


Adapun yang dimaksud tidak pidana ketenagakerjaan, adalah pelanggaran terhadap aturan-
aturan hukum ketenagakerjaan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Pada umumnya pekerja lebih memilih kasus perselisihan yang bernuansa pelanggaran pidana
lewat ketukan palu di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terlebih dahulu. Setelah itu baru
melaporkan kasus pelanggaran pidananya ke pihak kepolisian. Menurut hemat Penulis hal ini
adalah cara yang terbalik, meski tak sepenuhnya salah, perkara pelanggaran pidana harus lebih
didahulukan ketimbang kasus perselisihan. Sebab itu pekerja harus mampu membedakan
antara perselisihan dan pelanggaran pidana ketenagakerjaan.

Untuk itu, hemat saya sebelum mengadvokasi suatu kasus, seyogyanya perlu melakukan bedah
kasus dengan melibatkan akademisi. Tujuannya selain dapat dipetakan antara perselisihan dan
pelanggaran, hasilnya dapat dijadikan senjata dalam melakukan advokasi, sarannya.

Sekedar mengingatkan, paket hukum ketenagakerjaan memang membedakan


antara pelanggaran dan perselisihan. Pelanggaran terdapat dalam pasal yang sifatnya
memaksa (dwingen recht), contohnya adalah pasal yang melarang pengusaha membayar upah
pekerja di bawah upah minimum. Salah satu ciri khas dari pasal pelanggaran adalah adanya
ancaman sanksi pidana bagi mereka yang melanggar.
Sementara perselisihan diatur dalam pasal-pasal yang sifatnya mengatur (aanvullent recht),
contohnya adalah pasal yang melarang penerapan masa percobaan bagi pekerja kontrak.
Memang tak ada ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya. Namun demikian biasanya pasal
lain sudah mengatur sanksinya, misalnya adalah batal demi hukum masa percobaan bagi
pekerja kontrak.

A. Keuntungan dan Kelemahan

Berperkara di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) ternyata tidak menyelesaikan masalah,


malahan menambah masalah. Buruh bolak-balik ke PHI tidak saja hanya bersidang, tetapi juga
untuk mempertanyakan keberlanjutan kasusnya. Akibatnya buruh selalu dirugikan. Hak-hak
yang dituntutnya tidak pernah dapat diperolehnya. Tidak jarang perkara buruh yang diajukan
melalui proses PHI, akhirnya gantung begitu saja karena proses penyelesaian yang sangat lama.
Bertahun-tahun penyelesaian perkara belum diputuskan final (incraacht van gewisde) tentu
menimbulkan keputus-asaan.

Melihat realitas penyelesaian melalui PHI di atas, maka sesuai dengan UU Ketenagakerjaan
(UUK) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan harapan buruh untuk mendapatkan
keadilan dan kepastian hukum adalah melalui penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan.

UUK menegaskan bahwa institusi yang memiliki kewenangan melakukan penegakan Tindak
Pidana Ketenagakerjaan (penyelidikan dan penyidikan) adalah Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan (PPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sesuai Pasal 176 UUK
PPK/PPNS mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagkerjaan. Untuk menjaga kompetensi dan independesi inilah maka
UUK menetapkan bahwa pengangkatan PPK ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuknya. Dengan demikian PPK dapat independen dari pengaruh-pengaruh kebijakan
politik yang berkembang di daerah-daerah (termasuk kabupaten/kota). Jadi PPK dapat
"menolak" kepentingan-kepentingan yang dipesan oleh siapapun pejabat di daerahnya.

Bagi Penulis, mengedepankan penyelesaian kasus pelanggaran lebih penting ketimbang


perselisihan. Salah satu keuntungannya adalah jika mendahulukan penyelesaian lewat proses
pelanggaran pidana, putusannya bisa dijadikan bukti kuat dalam penyelesaian perkara
perselisihannya lewat jalur PHI.

Hal ini akan bagus, karena kalau pidananya terbukti, itu akan mempermulus gugatan
perselisihannya, tapi kalau gugatan perselisihannya mulus belum tentu pidananya akan mulus.

B. Kriminalisasi Pekerja

Pengusaha menjadi terdakwa di persidangan pidana bisa jadi adalah hal yang uar biasa. Lain
halnya dengan kriminalisasi pekerja yang seolah menjadi sesuatu yang biasa' lantaran
seringnya media memberitakan pekerja yang menjadi terdakwa. Ketika menjadi terdakwa,
biasanya pengusaha sudah mem-PHK pekerja terlebih dulu.

Kita menyayangkan sikap pengusaha yang sudah mem-PHK pekerja dengan tuduhan kesalahan
berat sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan
pekerja bersalah. Kita merujuk pada putusan MK yang menganulir Pasal 158 UU No 13
Tentang Ketenagakerjaan.
Jadi konsekuensinya, kasusnya harus diproses pidana dulu demi menjunjung tinggi asas
praduga tak bersalah.

Hal ini mengakibatkan pengusaha berada dalam posisi terjepit. Sebab, ini prosesnya lama
(polisi, jaksa, pengadilan, pengadilan tinggi, MA, -Red) bisa bertahun-tahun. Akibatnya,
pengusaha harus membayar upah karyawan yang melakukan pidana tadi bertahun-tahun,
sehingga pengusaha akan terbebani.

Meski demikian halnya, SE Menakertrans No. 13/2005 memberi kelonggaran dengan alasan
mendesak jika hubungan kerja tak mungkin dilanjutkan lagi. Alasan tersebut diadopsi dari
Pasal 1603 KUHPerdata. Untuk itu, Penulis menyarankan pengusaha tetap menempuh jalur
penyelesaian lewat PHI. Jadi jika mau mem-PHK terkait kesalahan berat, pakailah proses
penyelesaian hubungan industrial, sarannya.

II. JENIS TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

Tindak pidana di bidang ketenagakerjaan terdiri dari 2 (dua) dua jenis, yaitu, tindak pidana
kejahatan dan tindak pidana pelangggaran.

A. Tindak Pidana Kejahatan

Tindak Pidana Kejahatan, terdiri dari :

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan,


yaitu :

1. Pelanggaran atas Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja asing tanpa ijin dan
perorangan yang mempekerjakan pekerja asing);
2. Pelanggaran Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak);
3. Pelanggaran Pasal 69 ayat (2) (mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya);
4. Pelanggaran atas Pasal 74 UUK (larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan
terburuk) ;
5. Pelanggaran Pasal 80 (jaminan kesempatan beribadah yang cukup);
6. Pelanggaran Pasal 82 (cuti karena melahirkan dan keguguran);
7. Pelanggaran Pasal 90 ayat (1) (pembayaran upah di bawah Upah Minimum)
8. Pelanggaran atas Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk karena pensiun tetapi
pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK;
9. Pelanggaran Pasal 143 (menghalang-halangi kebebasan buruh utk berserikat);
10. Pelanggaran Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah
dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar
uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara
pidana);
11. Pasal 183 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
5 (lima ) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
12. Pasal 184 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 167
ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
13. Pasal 185 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 42
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1),
Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat
ratus juta rupiah);

 Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran hak-hak buruh juga diatur pada UU No. 3
tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, yaitu : Pasal 43 ayat (1) Barang siapa menghalang-halangi
atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Segala perbuatan pengusaha yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas diancam


dengan hukum pidana (penjara) bervariasi sekurangnya satu (1) tahun dan paling lama lima
(lima) tahun. Juga ada ancaman denda sekurang-kurangnya 100 juta rupiah dan 500 juta rupiah.

B. Tindak Pidana Pelanggaran

Tindak Pidana Pelanggaran, terdiri dari :

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,


yaitu :

1. Pelanggaran Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja
memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja);
2. Pelanggaran Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas
kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik);
3. Pelanggaran Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin
tertulis dari Menteri/pejabat yg ditunjuk);
4. Pelanggaran Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standart
dan kompetensi yang berlaku);
5. Pelanggaran Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga
kerja asing);
6. Pelanggaran Pasal 67 ayat (1) UUK (pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun);
7. Pelanggaran Pasal 71 ayat (2) UUK (syarat-syarat mempekerjakan anak);
8. Pelanggaran Pasal 76 UUK (perlindungan bagi buruh perempuan);
9. Pelanggaran Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jama kerja jembur);
10. Pelanggaran Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh);
11. Pelanggaran Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayaran upah lembur pada hari libur resmi);
12. Pelanggaran Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yan baru);
13. Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi lembaga pelatihan kerja
swasta);
14. Pelanggaran Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta);
15. Pelanggaran Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat
surat pengangkatan);
16. Pelanggaran atas Pasal 78 ayat (1) UUK (syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar
jam kerja);
17. Pelanggaran Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib membuat peraturan perusahaan dengan 10
orang buruh);
18. Pelanggaran Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib
diperbaharui);
19. Pelanggaran Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan
perubahannya);
20. Pelanggaran Pasal 148 UUK (syarat-syarat lock out ).
21. Pelanggaran Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah karena sakit/karena tugas
negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat
buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat);
22. Pelanggaran Pasal 137 UUK (hak mogok);
23. Pelangaran Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok
kerja);
24. Pasal 186 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 338 ayat (1), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah);
25. Pasal 187 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 37
ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal
76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), fsn Pasal 144,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah);
26. Pasal 188 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 14
ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal
111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148., dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus
ratus juta rupiah).

 Pelanggaran di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
 PelanggaranUU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Segala perbuatan pengusaha yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas diancam dengan
ancaman hukuman kurungan sekurang-kurangnya 1 bulan dan paling lama 4 bulan. Juga
diancam dengan hukuman denda sekurang-kurangnya 10 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya
100 juta rupiah.

III. CARA MENEGAKKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

Berdasarkan ketentuan Pasal 176 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diamanahkan bahwa pengawasan ketenagakerjaan
dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan
independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Untuk itu apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, maka yang harus dilakukan adalah
melaporkan kepada Pegawai Pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.

Adapun Proses penangan perkara di bidang ketenagakerjaan secara garis besar, dapat diuraikan
sebaai berikut :

1. PELAPOR melaporkan adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepada Pegawai


Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas Tenagakerja;
2. Atas dasar laporan PELAPOR tersebut, PEGAWAI PENGAWAS, melakukan
serangkaian kegiatan pengawasan/pemeriksaan terhadap adanya dugaan tindak pidana
ketenagakerjaan;
3. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan adanya tidak pidana
ketenagakerjaan, maka PEGAWAI PENGAWAS memberikan Nota Pembinaan;
4. Apabila setelah diberi Nota pembinaan ternyata tidak dilaksankan, maka PENGAWAI
PENGAWAS menyerahkan perkaranya kepada PENYIDIK PEGAWAI NEGERI
SIPIL untuk dilakukan penyidikan;
5. PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan kepada PENYIDIK POLRI;
6. Setelah PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL telah selesai melakukan penyidikan,
kemudian dibuat Berkas Perkaranya;
7. Setelah selesai pemberkasan PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL melimpahkan
kepada Jaksa Penuntut Umum melalui PENYIDIK POLRI;
8. Setelah Jaksa Penuntut Umum menerima Berkas Perkara dan menyatakan sudah
lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kepada Pengadilan Negeri untuk
disidangkan.

IV. KEWENANGAN PPK/PPNS

Kewenangan PPK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) secara khusus adalah
melakukan penyidikan di bidang ketenagakerjaan (sama dengan kewenangan dari Penyidik
Pejabat POLRI) sebagaimana diatur pada pasal 182 (2) UUK, yaitu :

1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana
di bidang ketenagakerjaan;
2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
4. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
5. Melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan: dan
7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Menjalankan kewenangan tersebut tentulah tidak mudah, karena yang diawasi adalah
pengusaha yang memiliki kekayaan (uang). Sehingga dengan kekayaan yang dimiliki
pengusaha dapat mempengaruhi berbagai pihak demi kepentingannya. Sudah menjadi rahasia
umum, bahwa selama ini pengusaha mengeluarkan biaya siluman demi kelancaran usahanya
baik secara terpaksa maupun dengan sukarela.

Oleh karena itu dalam menjalankan peran dan fungsinya PPK/PPNS harus memiliki komitment
yang kuat dan konsistensi melakukan tugas-tugas pengawasannya. Kekecewaan terhadap
praktek PHI akhir-akhir ini akan memaksa buruh mencari alternatif untuk menemukan keadilan
dan kepastian hukum khususnya mengenai pelanggaran hak-hak buruh sebagaimana diatur
oleh UU.

Paran PPK/PPNS tak perlu kuatir atas hal ini, karena serikat-serikat buruh pastilah mendukung
kerja PPK/PPNS untuk menegakkan pelaksanaan hak-hak buruh yang diabaikan oleh
pengusaha selama ini. Begitu banyak pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi selama ini,
misalnya : upah dibawah UMP/UMK, buruh tidak didaftarkan menjadi peserta Jamsostek,
penggelapan dana jamsostek, dll, tetapi sampai sekarang sangat jarang (bisa dikatakan tak
pernah ada) pengusaha yang diperiksa dan diadili di pengadilan. Tumpuan harapan ini tentulah
tidak berlebihan jika ditujukan kepada PPK/PPNS.

V. PERLU KOORDINASI PPK/PPNS DENGAN SERIKAT BURUH

Pengaturan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di bidang ketenagakerjaan
tersebut adalah merupakan suatu peluang bagi kalangan buruh untuk memperjuangkan hak-
hak dari kaum buruh. Oleh karena itu aktivis buruh jangan terfokus pada penyelesaian ala
PPHI, tetapi setiap pelanggaran hak-hak buruh harus didorong melalui jalur pidana yaitu
PPK/PPNS ataupun langsung kepada Polri selaku penyidik tindak pidana sesuai dengan
KUHAP (UU No. 8 tahun 1981).

Memang pengaturan tindak pidana dalam UU tersebut belum mengatur semua kejahatan -
kejahatan yang terjadi terhadap buruh, seperti : penerapan outsourcing, kontrak, borongan dan
harian lepas secara berlebihan (tidak sesuai dengan UU).

Tetapi apa yang menjadi kewenangan dari PPK/PPNS tersebut, jika dimaksimalkan akan dapat
memberikan shock therapy bagi pengusaha untuk menghargai hukum dan buruh sebagai tulang
punggung perekonomian suatu bangsa.

Pada prakteknya pelaksanaan tugas PPK/PPNS tidak mudah. Banyak situasi internal
pemerintahan yang mengakibatkan tugas PPK tidak dapat berjalan. Misalnya : lemahnya
dukungan pemerintah mengenai fasilitas dan rendahnya tingkat profesionalisme dan militansi
PPK dalam berhadapan dengan pengusaha (sumber : notulensi pendidikan dan pelatihan bagi
PPNS se Sumut kerja sama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 -
31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung dan membenahi kinerja
PPK/PPNS .

Di samping itu dalam melaksanakan tugasnya, PPK diharapkan mau bekerja sama atau
meminta informasi dan data-data secara rutin (reguler) kepada pengurus-pengurus serikat
buruh tingkat kabupaten/kota termasuk serikat buruh pada tingkat perusahaan. Informasi dan
data-data dari serikat-serikat buruh tentu akan menjadi informasi yang sangat penting tentang
ada atau tidak adanya pelanggaran hak-hak buruh di perusahaan-perusahaan.

Tugas pengawasan dan penyidikan atas pelanggaran hak-hak dari buruh di perusahaan-
perusahaan yang dilakukan oleh PPK tentu akan semakin efektif jika PPK mampu membangun
koordinasi dan kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan.

Harapan buruh kepada PPK saat ini sangat besar untuk berani bertindak tegas kepada
pengusaha-pengusaha nakal yang selalu melanggar / melawan ketentuan UU. UU mengatakan
pengusaha dapat dipenjara karena melanggar UU, bukan hanya buruh yang dapat dipenjara.
Semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum.

VI. PROSES PERSIDANGAN

A. Proses Persidangan

Proses persidangan dalam perkara pidana, secara garis besar adalah sebagai berikut :

1. Sidang Pertama (Pembacaan Dakwaan). Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat


Dakwaannya.
2. Sidang Kedua (Eksepsi Atas Dakwaan). Terdakwa / Penasehat Hukum Terdakwa
membacakan eksepsi/nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
3. Sidang Ketiga (Tanggapan Atas Eksepsi).
4. Jaksa Penuntut Umum membacakan tanggapan atas eksepsi terdakwa/penasehat hukum
terdakwa.
5. Putusan Sela. Majelis Hakim membacakan Putusan Sela atas eksepsi terdakwa/
penasehat hukum terdakwa.
6. Pemeriksaan Saksi/Ahli. Dalam persidangan ini diperiksa baik saksi/ahli Verbalisem
yang diajukan Jaksa Penuntut Umum maupun saksi adecharge yang diajukan oleh
Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
7. Tuntutan. Jaksa Penuntut Umum membacakan tututan pidana.
8. Pembelaan. Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan pledooi/ pembelaan
atas tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum.
9. Repliek. Jaksa Penuntut Umum membacakan repliek atas pledooi/ pembelaan
Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
10. Dupliek. Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan dupliek atas repliek
Jaksa Penuntut Umum.
11. Putusan. Majelis Hakim membacakan putusan hakim.

B. Upaya Hukum

 Upaya Hukum biasa :

1. Pemeriksaan Tingkat Banding Pengadilan Tinggi; dan


2. Kasasi Tingkat Kasasi Mahkamah Agung.

 Upaya hukum luar biasa :

1. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum; dan


2. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum
Tetap.

Dasar Hukum :

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.


2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP).
6. Surat Edara (SE) Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI Nomor : SE-13/MEN/SJ-
H/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Uji Materil UU No. 13 Tentang
Ketenagakerjaan.

Referensi :

1. Cole, Roland A. Industrial Safrty Techniques. Sydney : West Publishing Corporation


PTY Ltd,1975’
2. Hammer, Willie. Product Safely Management and Engineering. Englewood Cilffs, N.J.
: Prentice-Hall Inc. 1980
3. Iman Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta.
4. G. Karta Sapoetra, dan R.G. Widianingsih, 1992, Pokok-pokok Hukum Perburuhan,
Armico, Bandung.
5. Lalu Husni, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
dan Di Luar Pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
6. Zainal Asikin, Agusfian Wahab, Lalu Husni, Zaeni Asyhedie, 2004, Dasar-Dasar
HukumPerburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
7. Notulensi pendidikan dan pelatihan bagi PPNS se Sumut kerja sama KOMNAS HAM
dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 - 31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah
perlu serius mendukung dan membenahi kinerja PPK/PPNS
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
OLEH PAPA BOIM · MARET 1, 2017
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Repubik
Indonesia No 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Produk hukum
ini berisi VII Bab dan 47 Pasal, ditetapkan tanggal 18 Oktober 2002 dan diundangkan
tanggal 18Oktober 2002 di Jakarta. Produk hukum ini tercatat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 No 106. Penjelasannya tercatat dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4232.

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka Negara Republik Indonesia
adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan tanggung jawab
untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut serta secara aktif
memelihara perdamaian dunia.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas pemerintah wajib memelihara dan menegakkan
kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman atau tindakan
destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah
satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan
kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan,
perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan
pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak
dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah
diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme
merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga
seluruh anggota Perserikatan Bangsa-bangsa termasuk Indonesia wajib mendukung dan
melaksanakan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengutuk dan
menyerukan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mencegah dan memberantas
terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya.
Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah
antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka
panjang karena :
1. Pertama, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi-etnik dengan beragam dan
mendiami ratusan ribu pulau-pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada
yang letaknya berbatasan dengan negara lain.
2. Kedua, dengan karakteristik masyarakat Indonesia tersebut seluruh komponen bangsa
Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala
bentuk kegiatan yang merupakan tindak pidana terorisme yang bersifat internasional.
3. Ketiga, konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini sangat merugikan kehidupan
berbangsa dan bernegara serta merupakan kemunduran peradaban dan dapat dijadikan
tempat yang subur berkembangnya tindak pidana terorisme yang bersifat internasional
baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh orang
asing.
Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga
pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberantasan tindak pidana
terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum
melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan
masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan
pemberantasannyapun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban
melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi
tersangka/terdakwa.
Pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan di atas menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi peradaban umat manusia dan
memiliki cita perdamaian dan mendambakan kesejahteraan serta memiliki komitmen yang
kuat untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdaulat di tengah-tengah gelombang pasang surut perdamaian dan keamanan dunia.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat ketentuan-ketentuan
baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dan menyimpang
dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini secara spesifik juga memuat ketentuan
tentang lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta memuat
ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme yang terkait dengan kegiatan terorisme
internasional. Ketentuan khusus ini bukan merupakan wujud perlakuan yang diskriminatif
melainkan merupakan komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Pasal 3
Convention Against Terrorist Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of
Financing Terrorism(1999).
Kekhususan lain dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini antara lain sebagai
berikut:
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan ketentuan payung
terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana terorisme.
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan ketentuan khusus yang
diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat
ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan khusus tentang
perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut “safe guarding rules”.
Ketentuan tersebut antara lain memperkenalkan lembaga hukum baru dalam hukum
acara pidana yang disebut dengan “hearing” dan berfungsi sebagai lembaga yang
melakukan “legal audit” terhadap seluruh dokumen atau laporan intelijen yang
disampaikan oleh penyelidik untuk menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu
penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme.
4. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini ditegaskan bahwa tindak
pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang
bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya
dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
5. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dimuat ketentuan yang
memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror. Eksistensi satuan tersebut
dilandaskan kepada prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle)
dan/atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle) sehingga dapat segera
dihindarkan kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh satuan
dimaksud.
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan tentang
yurisdiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas nasional
aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak
pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini yang melampaui batas-batas teritorial Negara Republik Indonesia.
Untuk memperkuat yurisdiksi tersebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang
ini memuat juga ketentuan mengenai kerjasama internasional.
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan tentang
pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus
juga memperkuat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
8. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tidak berlaku bagi
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes,
maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Apabila dalam kemerdekaan
menyampaikan pendapat tersebut terjadi tindakan yang mengandung unsur pidana, maka
diberlakukan Kitab Undangundang Hukum Pidana dan ketentuan peraturan perundang-
undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana
9. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tetap dipertahankan
ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan
terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.
Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk mengatur Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai
tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan
ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undangundang guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi
pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum.
Unduh Produk Hukum dan Lampirannya
Sumber : http://www.setneg.go.id

Oleh : Edi Susanto


Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai
untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk
membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan
menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002,
yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal
ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus,
dapat tercipta karena:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena
pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu
yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan
norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-
undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan
perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-
undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus
untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam
pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur
secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara
umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex specialis derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex
specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. Bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh
peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. Bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut,
sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan
bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana
Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui
banyak cara, seperti:
1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk
kekhususan hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan
terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap
keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas
semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu
kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan
dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi.
Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan
suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain. UU Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme (UU No.15 Tahun 2003) maka sudah di wajibkan peran mahsiswa
masyrakat dan lembagga pemerintahan pihak berwajib ,mencegak tindak pidana teroris
dengan mengembangkan penyuluhan hukum terhadap masyrakat dan kalanggan mudah
karena generasi bangsa Indonesia .
#DamaiDalamSumpahPemuda

Anda mungkin juga menyukai