umumnya menjadi pilihan utama bagi pekerja atau serikat pekerja. Namun tak jarang dalam
perselisihan itu mengandung unsur pelanggaran pidana, terutama yang dilakukan pengusaha,
seperti pemberangusan atau menonaktifkan aktifitas serikat pekerja (anti union) dan
penggelapan upah.
I. PENDAHULUAN
Yang dimaksud dengan tindak pidana (delik) atau menurut Prof. Moeljatno, S.H., perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar ketentuan tersebut,
sedangkan menurut Prof. Wirjono Projodikoro, S.H. yang dimaksud dengan tindak pidana
berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Pada umumnya pekerja lebih memilih kasus perselisihan yang bernuansa pelanggaran pidana
lewat ketukan palu di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terlebih dahulu. Setelah itu baru
melaporkan kasus pelanggaran pidananya ke pihak kepolisian. Menurut hemat Penulis hal ini
adalah cara yang terbalik, meski tak sepenuhnya salah, perkara pelanggaran pidana harus lebih
didahulukan ketimbang kasus perselisihan. Sebab itu pekerja harus mampu membedakan
antara perselisihan dan pelanggaran pidana ketenagakerjaan.
Untuk itu, hemat saya sebelum mengadvokasi suatu kasus, seyogyanya perlu melakukan bedah
kasus dengan melibatkan akademisi. Tujuannya selain dapat dipetakan antara perselisihan dan
pelanggaran, hasilnya dapat dijadikan senjata dalam melakukan advokasi, sarannya.
Melihat realitas penyelesaian melalui PHI di atas, maka sesuai dengan UU Ketenagakerjaan
(UUK) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan harapan buruh untuk mendapatkan
keadilan dan kepastian hukum adalah melalui penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan.
UUK menegaskan bahwa institusi yang memiliki kewenangan melakukan penegakan Tindak
Pidana Ketenagakerjaan (penyelidikan dan penyidikan) adalah Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan (PPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sesuai Pasal 176 UUK
PPK/PPNS mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagkerjaan. Untuk menjaga kompetensi dan independesi inilah maka
UUK menetapkan bahwa pengangkatan PPK ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuknya. Dengan demikian PPK dapat independen dari pengaruh-pengaruh kebijakan
politik yang berkembang di daerah-daerah (termasuk kabupaten/kota). Jadi PPK dapat
"menolak" kepentingan-kepentingan yang dipesan oleh siapapun pejabat di daerahnya.
Hal ini akan bagus, karena kalau pidananya terbukti, itu akan mempermulus gugatan
perselisihannya, tapi kalau gugatan perselisihannya mulus belum tentu pidananya akan mulus.
B. Kriminalisasi Pekerja
Pengusaha menjadi terdakwa di persidangan pidana bisa jadi adalah hal yang uar biasa. Lain
halnya dengan kriminalisasi pekerja yang seolah menjadi sesuatu yang biasa' lantaran
seringnya media memberitakan pekerja yang menjadi terdakwa. Ketika menjadi terdakwa,
biasanya pengusaha sudah mem-PHK pekerja terlebih dulu.
Kita menyayangkan sikap pengusaha yang sudah mem-PHK pekerja dengan tuduhan kesalahan
berat sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan
pekerja bersalah. Kita merujuk pada putusan MK yang menganulir Pasal 158 UU No 13
Tentang Ketenagakerjaan.
Jadi konsekuensinya, kasusnya harus diproses pidana dulu demi menjunjung tinggi asas
praduga tak bersalah.
Hal ini mengakibatkan pengusaha berada dalam posisi terjepit. Sebab, ini prosesnya lama
(polisi, jaksa, pengadilan, pengadilan tinggi, MA, -Red) bisa bertahun-tahun. Akibatnya,
pengusaha harus membayar upah karyawan yang melakukan pidana tadi bertahun-tahun,
sehingga pengusaha akan terbebani.
Meski demikian halnya, SE Menakertrans No. 13/2005 memberi kelonggaran dengan alasan
mendesak jika hubungan kerja tak mungkin dilanjutkan lagi. Alasan tersebut diadopsi dari
Pasal 1603 KUHPerdata. Untuk itu, Penulis menyarankan pengusaha tetap menempuh jalur
penyelesaian lewat PHI. Jadi jika mau mem-PHK terkait kesalahan berat, pakailah proses
penyelesaian hubungan industrial, sarannya.
Tindak pidana di bidang ketenagakerjaan terdiri dari 2 (dua) dua jenis, yaitu, tindak pidana
kejahatan dan tindak pidana pelangggaran.
1. Pelanggaran atas Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja asing tanpa ijin dan
perorangan yang mempekerjakan pekerja asing);
2. Pelanggaran Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak);
3. Pelanggaran Pasal 69 ayat (2) (mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya);
4. Pelanggaran atas Pasal 74 UUK (larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan
terburuk) ;
5. Pelanggaran Pasal 80 (jaminan kesempatan beribadah yang cukup);
6. Pelanggaran Pasal 82 (cuti karena melahirkan dan keguguran);
7. Pelanggaran Pasal 90 ayat (1) (pembayaran upah di bawah Upah Minimum)
8. Pelanggaran atas Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk karena pensiun tetapi
pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK;
9. Pelanggaran Pasal 143 (menghalang-halangi kebebasan buruh utk berserikat);
10. Pelanggaran Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah
dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar
uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara
pidana);
11. Pasal 183 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
5 (lima ) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
12. Pasal 184 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 167
ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
13. Pasal 185 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 42
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1),
Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat
ratus juta rupiah);
Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran hak-hak buruh juga diatur pada UU No. 3
tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, yaitu : Pasal 43 ayat (1) Barang siapa menghalang-halangi
atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
1. Pelanggaran Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja
memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja);
2. Pelanggaran Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas
kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik);
3. Pelanggaran Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin
tertulis dari Menteri/pejabat yg ditunjuk);
4. Pelanggaran Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standart
dan kompetensi yang berlaku);
5. Pelanggaran Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga
kerja asing);
6. Pelanggaran Pasal 67 ayat (1) UUK (pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun);
7. Pelanggaran Pasal 71 ayat (2) UUK (syarat-syarat mempekerjakan anak);
8. Pelanggaran Pasal 76 UUK (perlindungan bagi buruh perempuan);
9. Pelanggaran Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jama kerja jembur);
10. Pelanggaran Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh);
11. Pelanggaran Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayaran upah lembur pada hari libur resmi);
12. Pelanggaran Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yan baru);
13. Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi lembaga pelatihan kerja
swasta);
14. Pelanggaran Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta);
15. Pelanggaran Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat
surat pengangkatan);
16. Pelanggaran atas Pasal 78 ayat (1) UUK (syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar
jam kerja);
17. Pelanggaran Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib membuat peraturan perusahaan dengan 10
orang buruh);
18. Pelanggaran Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib
diperbaharui);
19. Pelanggaran Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan
perubahannya);
20. Pelanggaran Pasal 148 UUK (syarat-syarat lock out ).
21. Pelanggaran Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah karena sakit/karena tugas
negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat
buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat);
22. Pelanggaran Pasal 137 UUK (hak mogok);
23. Pelangaran Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok
kerja);
24. Pasal 186 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 338 ayat (1), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah);
25. Pasal 187 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 37
ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal
76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), fsn Pasal 144,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah);
26. Pasal 188 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 14
ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal
111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148., dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus
ratus juta rupiah).
Pelanggaran di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
PelanggaranUU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Segala perbuatan pengusaha yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas diancam dengan
ancaman hukuman kurungan sekurang-kurangnya 1 bulan dan paling lama 4 bulan. Juga
diancam dengan hukuman denda sekurang-kurangnya 10 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya
100 juta rupiah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 176 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diamanahkan bahwa pengawasan ketenagakerjaan
dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan
independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Untuk itu apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, maka yang harus dilakukan adalah
melaporkan kepada Pegawai Pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
Adapun Proses penangan perkara di bidang ketenagakerjaan secara garis besar, dapat diuraikan
sebaai berikut :
Kewenangan PPK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) secara khusus adalah
melakukan penyidikan di bidang ketenagakerjaan (sama dengan kewenangan dari Penyidik
Pejabat POLRI) sebagaimana diatur pada pasal 182 (2) UUK, yaitu :
1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana
di bidang ketenagakerjaan;
2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
4. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
5. Melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan: dan
7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Menjalankan kewenangan tersebut tentulah tidak mudah, karena yang diawasi adalah
pengusaha yang memiliki kekayaan (uang). Sehingga dengan kekayaan yang dimiliki
pengusaha dapat mempengaruhi berbagai pihak demi kepentingannya. Sudah menjadi rahasia
umum, bahwa selama ini pengusaha mengeluarkan biaya siluman demi kelancaran usahanya
baik secara terpaksa maupun dengan sukarela.
Oleh karena itu dalam menjalankan peran dan fungsinya PPK/PPNS harus memiliki komitment
yang kuat dan konsistensi melakukan tugas-tugas pengawasannya. Kekecewaan terhadap
praktek PHI akhir-akhir ini akan memaksa buruh mencari alternatif untuk menemukan keadilan
dan kepastian hukum khususnya mengenai pelanggaran hak-hak buruh sebagaimana diatur
oleh UU.
Paran PPK/PPNS tak perlu kuatir atas hal ini, karena serikat-serikat buruh pastilah mendukung
kerja PPK/PPNS untuk menegakkan pelaksanaan hak-hak buruh yang diabaikan oleh
pengusaha selama ini. Begitu banyak pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi selama ini,
misalnya : upah dibawah UMP/UMK, buruh tidak didaftarkan menjadi peserta Jamsostek,
penggelapan dana jamsostek, dll, tetapi sampai sekarang sangat jarang (bisa dikatakan tak
pernah ada) pengusaha yang diperiksa dan diadili di pengadilan. Tumpuan harapan ini tentulah
tidak berlebihan jika ditujukan kepada PPK/PPNS.
Pengaturan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di bidang ketenagakerjaan
tersebut adalah merupakan suatu peluang bagi kalangan buruh untuk memperjuangkan hak-
hak dari kaum buruh. Oleh karena itu aktivis buruh jangan terfokus pada penyelesaian ala
PPHI, tetapi setiap pelanggaran hak-hak buruh harus didorong melalui jalur pidana yaitu
PPK/PPNS ataupun langsung kepada Polri selaku penyidik tindak pidana sesuai dengan
KUHAP (UU No. 8 tahun 1981).
Memang pengaturan tindak pidana dalam UU tersebut belum mengatur semua kejahatan -
kejahatan yang terjadi terhadap buruh, seperti : penerapan outsourcing, kontrak, borongan dan
harian lepas secara berlebihan (tidak sesuai dengan UU).
Tetapi apa yang menjadi kewenangan dari PPK/PPNS tersebut, jika dimaksimalkan akan dapat
memberikan shock therapy bagi pengusaha untuk menghargai hukum dan buruh sebagai tulang
punggung perekonomian suatu bangsa.
Pada prakteknya pelaksanaan tugas PPK/PPNS tidak mudah. Banyak situasi internal
pemerintahan yang mengakibatkan tugas PPK tidak dapat berjalan. Misalnya : lemahnya
dukungan pemerintah mengenai fasilitas dan rendahnya tingkat profesionalisme dan militansi
PPK dalam berhadapan dengan pengusaha (sumber : notulensi pendidikan dan pelatihan bagi
PPNS se Sumut kerja sama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 -
31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung dan membenahi kinerja
PPK/PPNS .
Di samping itu dalam melaksanakan tugasnya, PPK diharapkan mau bekerja sama atau
meminta informasi dan data-data secara rutin (reguler) kepada pengurus-pengurus serikat
buruh tingkat kabupaten/kota termasuk serikat buruh pada tingkat perusahaan. Informasi dan
data-data dari serikat-serikat buruh tentu akan menjadi informasi yang sangat penting tentang
ada atau tidak adanya pelanggaran hak-hak buruh di perusahaan-perusahaan.
Tugas pengawasan dan penyidikan atas pelanggaran hak-hak dari buruh di perusahaan-
perusahaan yang dilakukan oleh PPK tentu akan semakin efektif jika PPK mampu membangun
koordinasi dan kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
Harapan buruh kepada PPK saat ini sangat besar untuk berani bertindak tegas kepada
pengusaha-pengusaha nakal yang selalu melanggar / melawan ketentuan UU. UU mengatakan
pengusaha dapat dipenjara karena melanggar UU, bukan hanya buruh yang dapat dipenjara.
Semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum.
A. Proses Persidangan
Proses persidangan dalam perkara pidana, secara garis besar adalah sebagai berikut :
B. Upaya Hukum
Dasar Hukum :
Referensi :