html
Dalam sebuah kesempatan yang tak terduga, saya berkenalan dengan pak Wahyu
Affandi Suradinata, guru teupaatau empu dalam bahasa Sunda
dari paneupaan Kujang Pajajaran di Bogor. Beliau juga guru bahasa Sunda dan guru
Seni Rupa di sebuah SMK Swasta. Pak Wahyu menerangkan bahwa berbeda arti
dengan istilah yang sama digunakan di daerah lain, guru teupa adalah sebutan
untuk empu pembuat senjata di tatar Sunda, sementara pande adalah pembuat alat-
alat pertanian. Sebagai guru teupa, pak Wahyu dapat dikatakan sebagai satu-
satunya orang yang menguasai dan membuat kujang tidak saja sesuai dengan
pakem yakni Pantun Bogor sebagai sumber sejarah Sunda Pajajaran, tetapi juga
karena upaya beliau untuk menggali informasi lebih dalam mengenai Kujang yang
masih dimiliki para sesepuh, museum, bahkan juga koleksi pribadi. pak Wahyu
sendiri menyukai kujang sejak menemukannya tertancap di sebuah batu di pesisir
sungai Sukawayana, Cisolok, Pelabuhan Ratu. Sejak itu ia bukan saja cuma
mencoba mengoleksi tetapi juga membuatnya setelah mendatangi dan
mengumpulkan informasi dari para sesepuh pemilik kujang yang masih ada,
museum, dan juga acuan sumber sejarah lain mengenai pembuatan kujang.
Menurut pak Wahyu, Kujang sebagai senjata genggam khas Sunda dikenal dengan
sebutan Kujang Pajajaran yakni kekuasaan Pakuan Pajajaran ketika diperintah oleh
Prabu Sri Baduga Maharaja Siliwangi (1482-1521M). Senjata tersebut adalah
penanda karakter etnis Sunda yang ”tabu pandai perang, tapi mesti pandai jika
diperangi”. Penanda inilah yang melatari bentuk senjata Kujang yang berukuran kecil
dan ramping. Dalam segi penggunaannya, Kujang tidak digunakan dengan cara
menebas atau membacok, tapi hanya untuk membela diri dengan cara menangkis,
menusuk atau menikam dari jarak dekat apabila mendapat serangan. Itulah
sebabnya menurut beliau, senjata Kujang juga merupakan simbol pusaka yang
mengandung makna filosofis ”kujang dua pangadekna” (kujang yang tajam di kedua
sisinya). Artinya, setiap orang Sunda sebagaimana etnis lain di Indonesia juga harus
benar-benar berguna tidak saja bagi jati diri budaya tetapi juga bagi bangsa dan
negaranya.
Fungsi Kujang sendiri juga mengalami perubahan sesuai dengan jaman. Pada masa
Pajajaran, menurut pak Wahyu, sekurangnya dikenal empat macam fungsi Kujang.
Pertama, Kujang Pamangkas dengan ukuran bilah (waruga) satu setengah hingga
dua jengkal (30-40cm). Bentuknya agak lebar bagian ujungnya melengkung ke
dalam. Kujang Pamangkas digunakan untuk membabat (nyacar) semak belukar
pada persiapan lahan ladang (huma). Kedua, Kujang Pangarakdengan ukuran bilah
sekitar 20cm sementara panjang tangkainya sendiri antara 120-180cm. Kujang
Pangarak digunakan untuk upacara kerajaan, keagamaan dan adat. Digunakan pula
dalam keadaan darurat untuk menangkis serangan musuh. Ketiga, Kujang
Pakarang yang merupakan semua jenis kujang kecuali Kujang Pamangkas. Ukuran
bilahnya kira-kira 20-30cm dan dipersiapkan untuk menghadapi serangan musuh
yang menyerang. Pamor Bilah dilumuri oleh bahan-bahan racun yang mematikan.
Keempat, Kujang Pusaka yang berpamor dan matanya diberi logam dari emas atau
batu permata. Kujang Pusaka juga diberi tuah dan kekuatan magis untuk menambah
kewibawaan dan keagungan pemiliknya yakni raja dan para pejabat kerajaan. Kini
fungsi kujang meski digunakan sebagai hiasan atau cenderamata juga masih tetap
sebagai pusaka.
Saya sempat bertanya kepada pak Wahyu, mengapa ada lubang di bilah kujang dan
apa makna dari lubang tersebut? Beliau menjawab bahwa itu sebenarnya adalah
salah kaprah karena itu bukan lubang melainkan mata, yang pada bilah kujang asli
memang dulunya diisi oleh logam atau permata. Pada masa kini orang mengenal
kujang dengan lubang karena isinya sudah tidak ada. Kujang buatan pak Wahyu
seperti sesuai pakem pembuatan juga diisi oleh logam meski terbuat dari kuningan.
Bisa juga diisi emas atau permata sesuai dengan pesanan. Sementara jumlah mata
menunjukkan status, hirarki, derajat dan fungsi sosial dari si pemilik sejak jaman
Pajajaran dulu. Dari pakem Pantun Bogor yang memuat segala sesuatu tentang
pembuatan Kujang tersebut, sekurangnya diketahui ada 11 macam Kujang,
yakni Kujang Ciung Mata 9 dimiliki oleh Raja dan Brahmesta (Pandita Agung
Negara). Kujang Ciung Mata 7 dimiliki oleh Prabu Anom, Mantri Dangka,
Pandita. Kujang Ciung Mata 5 dimiliki oleh Geurang Seurat, Bupatim Geurang
Puun. Kujang Ciung Mata 3 dimiliki oleh Puun, Kujang Ciung Mata 1dimiliki oleh
Guru Tantu Agama, Pangwereg Agama. Kujang Jago dimiliki oleh Balapati, Lulugu,
Sambilan. Kujang Kuntul dimiliki oleh Patih (Puri, Taman, Tangtu, Jaba, Palaju),
Mantri (Majeuti, Pasebar, Layar, Karang, Jero). Kujang Bangkong dimiliki oleh
Guru (Sekar, Tangtu, Alas, Cucuk). Kujang Naga dimiliki oleh Kanduru,
Jaro. Kujang Badak dimiliki oleh Pangwereg, Pamatang, Palongok, Palayang,
Pangwelah, Bareusan, Prajurit, Paratulup, Pangawin, Sarawarsa, Kokolot.
Sementara Kujang Ciung Mata 5 Wesi Kuning hanya dimiliki oleh para putri
Menak Pakuan. Hampir semua jenis kujang tersebut dapat dibuat di paneupaan pak
Wahyu di Bogor. Lebih jauh saya bertanya, pernah adakah orang yang memesan
Kujang dengan mata 9? Pak Wahyu mengatakan bahwa ada saja yang memesan
jenis itu tapi terlebih dahulu jelas silsilahnya karena pembuatan Kujang dengan mata
9 adalah milik raja jadi tidak bisa sembarangan. Apalagi jika tujuan pembuatan
Kujang adalah sebagai pusaka, maka laku dan ritual juga dijalankan untuk
konsentrasi dan keselamatan ketika menempa leburan. Bilah kujang
di paneupaan terdiri dari berbagai macam besi dan baja yang ditempa hingga suhu
1200 derajat Celcius, sedangkan pamor keluar berdasarkan perbedaan logam
campuran setelah direndam asam. Bilah normal kujang kira-kira 20cm diluar peksi.
Mata Kujang bisa dipesan kecuali yang 9 diatas sementara pamor disesuaikan
dengan hari lahir si pemilik.
Pamor bilah kujang sendiri dibuat dengan memunculkan pamor melalui perbedaan
besi leburan. Pamor ini cukup unik karena jika dari bentuknya ada dua macam yakni
(1) Sulangkar, berupa garis-garis yang biasa disebut Rambut Sadana dan (2) Tutul
berupa bintik atau bulatan yang bertebaran. Fungsi pamor bukan saja untuk
memperindah bilah Kujang tetapi juga menampung racun dan secara simbolis
melambangkan jiwa atau karakter pemegangnya. Ada delapan motif pamor Kujang
yakni (a) Waringin Kurung yang merupakan simbol Kewibawaan, Logawa,
Pangayoman, Pangadeg, (b) Waruga Sungsang yang merupakan simbol Mawas
Diri, Handap Asor, Gede Wawanen, Pandita, Logawa, (c) Hanjungan Bodas yang
merupakan simbol handap Asor, Kasakten, Wicaksana, Pandita, Logawa, (d) Naga
Bandang yang merupakan simbol Gede Wawanen, Singer, Jugala, Jajaten,
Binangkit, (e) Tirta Sadana yang merupakan simbol Pandita, Pangadeg, Gede
Wawanen, Wicaksana, Logawa, (f) Tapak Nanggalayang merupakan simbol Kukuh,
Sabar, Tekun, Perkasa, Wicaksana, (g) Mega Sirna yang merupakan simbol Gede
Wawanen, Handap Asor, Wibawa, Logawa, Pangadeg, dan (h) Sekar Kadaton yang
merupakan simbol Agung, Wicaksana, Wibawa, Pangadeg, Gede Wawanen.
Seperti halnya keris, kujang juga memiliki ’ricikan’ tersendiri. Misalnya ujung kujang
disebut papatuk, antara mata kujang disebut eluk, bagian perut kujang
disebut beuteung, bagian luar bilah kujang disebut siih, bagian yang mirip gandik
disebut tadah. Bagian tengah kujang disebut tonggong. Jika keris menggunakan
cincin yang disebut mendak, maka kujang juga menggunakannya dengan
sebutan selut. Gagang pada kujang disebut ganja atau landean. Sementara
warangka kujang disebut kowak, sarangka dan gandar disebut tari cangka. Cincin
atau selut kujang dibuat dari bahan kuningan atau tembaga yang disepuh emas. Hal
yang menarik adalah teknik pemasangan bilah dan selut ini masih menggunakan
cara yang tradisional sekali, yakni dengan menggunakan sarang semut hitam. Untuk
melepas bilah dari gagang, haruslah dipanaskan terlebih dahulu. Saya
membayangkan hal serupa sebenarnya juga dilakukan pada keris-keris jaman
dahulu yang masih menggunakan cara yang sama atau menggunakan rambut
manusia. Untuk gagang kujang sendiri bisa terbuat dari kayu Sonokeling, akar kayu
Kopi, Akar Garu atau tanduk dengan motif Ceker Kidang, sedangkan
untuk kowak atau sarung kujang terbuat dari kayu Sonokeling, kayu Samida atau
kayu Sempur.
Tosan aji tidak terbatas hanya keris saja tetapi juga bentuk lain seperti tombak, golok, kujang, badik
dan sebagainya. Selain keris, koleksi yang juga saya miliki adalah golok Tjiomas Banten. Golok ini
adalah pemberian kawan baik saya di Bandung saat saya masih suka keluyuran di waktu muda dulu.
Bilahnya sangat tebal dan cukup berat tapi diimbangi juga oleh hulunya yang terbuat dari tanduk.
Golok ini dipenuhi rajah huruf Arab dan juga mencantumkan '1940' yang kemungkinan besar adalah
tahun pembuatan. Selain itu, bilah golok ini juga agak lengket karena minyak wangi non alkohol yang
sudah ada sejak saya terima. Hal yang menarik dari golok Tjiomas bukan saja soal mantapnya
genggaman tetapi juga adanya sistem kunci tersendiri untuk membuat golok tetap atau terlepas dari
sarungnya. Cara tersebut cukup dilakukan dengan tahanan ibu jari untuk membuat golok bisa
langsung dihunus atau terkunci sehingga tidak akan lolos secara tak sengaja. Sistem tersebut
merupakan ciri khas golok lama yang sepertinya jarang terdapat pada golok lain yang lebih baru.
Salah kaprah seperti inilah yang harus dikikis oleh para pencinta tosan aji dengan menyebarkan
pengetahuan yang mumpuni dan rasional. Misalnya saja keris yang berdiri seperti ilustrasi di atas.
Hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah dan bisa dilakukan dengan keris yang memiliki tingkat
keseimbangan tinggi. Keris sepuh buatan para empu atau pande bahkan pisau dapur pun bisa dibuat
berdiri seperti itu. Meski dianggap sebagai mainan kanak-kanak, mendirikan keris butuh konsentrasi,
kesabaran dan kedalaman perasaan yang tinggi. Tidak dibutuhkan rapalan, elmu atau aji-aji untuk
melakukannya. Pengetahuan yang kurang terhadap hal tersebut membuat khalayak awam mudah
dibodohi bahkan ditipu oleh mereka yang memanfaatkan pengetahuan di atas untuk kepentingan
komersial.
Pembodohan tersebut tidak saja pada aspek esoteris tetapi juga eksoteris atau fisik tosan aji. Keris
yang baru pun bisa dibuat menjadi tua dan seakan-akan dimakan usia. Ditambah pula dengan cerita
mengenai 'keris milik Gajah Mada' atau 'ageman terakhir prabu Brawijaya kesekian' untuk menaikan
harga jual. Caranya adalah dengan merendam keris baru pada kemalan, yaitu larutan belerang yang
dicampur garam dapur serta ditambah air jeruk nipis. Keris yang sudah keropos ditambah dengan
dongeng seperti sinetron tentunya juga menjadi menarik buat mereka yang tidak tahu.
'Keris bersinar' adalah trik permainan sulap untuk bisa membuat keris memliki cahaya putih kehijauan
dalam keadaan gelap. Caranya? bakarlah bagian korek api yang berfungsi untuk mmenggesek pentol
korek. Setelah bagian tersebut terbakar dan menjadi abu, oleskan pada ujung keris. Bagian ini
mengandung fosfor jadi ketika lampu padam, keris akan tampak bercahaya diujungnya. Trik lain
adalah 'keris berasap' dengan cara melumuri ujung keris dengan pentol korek api yang telah
dihaluskan seperti mesiu. Setelah lampu dipadamkan, ujung keris disulut dengan rokok sehingga
akan terbakar menyala dan mengeluarkan asap. Intinya adalah permainan sulap untuk menyakini
para penonton. Masih belum percaya?
Keris sendiri sudah ada sejak kebudayaan Dong Son menyebar di Asia Tenggara
sejak 200 SM, jauh sebelum penyebaran agama Hindu Budha bahkan Kristen dan
Islam yang baru muncul kemudian. Dengan demikian tentunya aneh jika keris yang
masih ada, katakanlah pada masa pra Islam kemudian dicecari oleh pemahaman
yang baru muncul kemudian dan membawanya kepada perbuatan yang dianggap
menyekutukan Tuhan, musyrik sehingga membuat keris dibuang, dilarung atau
dipendam di dalam tanah. Sesungguhnya, kedatangan agama-agama Hindu Budha
hingga Islam adalah bukan saja untuk mempertebal spiritualitas tetapi untuk
mencerahkan akal dan menambah aspek pengetahuan yang bersifat rasional.
Lantas mengapa hal tersebut terjadi? Pertemuan antar budaya satu dengan yang
lain tidak dianggap saling melengkapi melainkan saling mengikis satu sama lain.
Ketidaktahuan bukan lantas mencoba untuk mencari tahu, tetapi justru membuat diri
berada di dalam tempurung kebodohan. Kemalasan juga yang memperlakukan
agama dan kebudayaan hanya berhenti sekedar kepada pertanyaan-pertanyaan
tentang mana yang boleh dan tidak boleh. Jawaban dari pertanyaan yang bersifat
oposisi biner tersebut yang kemudian dipegang erat-erat sehingga mempersalahkan
orang lain dan menganggap diri sendiri yang paling benar. Erosi pemikiran inilah
yang kemudian membuat kebudayaan, rasa seni dan estetika menjadi tumpul. Buah
kebudayaan seperti tosan aji direduksi maknanya habis-habisan sebagai produk
'jahiliyah' yang kalaupun digunakan hanya sebatas pada pemanfaatan yang bersifat
mitos, tahyul dan klenik untuk membentengi situasi politik tertentu pada jaman
tertentu. Misalnya saja, cerita tentang pertempuran keris Sengkelat dan Sabuk Inten
melawan Condong Campur dipahami secara tekstual dan harafiah. padahal mitos itu
diciptakan sebagai tafsir situasi politik pada akhir Majapahit itu sendiri ketika
golongan sakit hati (Sengkelat) menguasai massa (Condong Campur) setelah
golongan borjuasi (Sabuk Inten) menyingkir.
Demikian pula pemahaman terhadap keris yang dianggap memiliki tuah atau
kekuatan yang dibantu dengan jin, penunggu, isi atau gaib yang ada didalamnya.
Buat saya tidak ada keris yang tidak baik, karena pada dasarnya keris yang
diciptakan oleh seorang empu tentunya juga memiliki niatan yang baik. Entah keris
tayuhan atau apapun, jika seorang empu hendak membuat keris tersebut tentunya
diiringi oleh do'a. Permohonan seperti itu memiliki kekuatan berupa energi, sama
halnya dengan do'a yang diucapkan secara sungguh oleh orang dalam sehari-hari.
Hanya saja energi do'a dari empu tersebut juga memiliki kadar dan tingkat fokus
yang tinggi dibarengi oleh ritual yang ia lakukan. Do'a memperkuat niat dan
intensitas pembuatan keris diobarengi oleh segenap ricikan baik dhapur maupun
pamor keris yang ia inginkan. Cocok tidaknya keris tersebut dengan pemesannya
tentu disesuaikan juga oleh empu tersebut. Misalnya keris dhapur Pulanggeni, tentu
saja dibuat dengan tujuan berupa aura kewibawaan, kharisma dan keunggulan
dalam peperangan sehingga pemesannya pada jaman dahulu adalah seorang
pemimpin pasukan.
Akan tetapi di jaman sekarang, sangat jarang orang bisa memesan kepada empu.
Kalau pun ada tentunya akan sangat mahal. Cara yang paling praktis adalah
membeli (dengan istilah 'memahari' atau 'memberi mas kawin'). Disini masalah
kecocokan berbicara lain. Sering orang membeli karena preferensi berupa sekedar
suka atau bahkan ingin memiliki dibandingkan dengan melihat kebutuhan intrinsik
yang lebih dalam. jika keris dhapur Pulanggeni atau Singobarong sepuh tadi
berpindah tangan ke seorang pedagang, maka jelas aura yang muncul tidak cocok.
Bagaimana mungkin seorang pedagang yang membutuhkan aura berupa
keluwesan, pergaulan dan pencarian rejeki material tersebut berhadapan dengan
aura kewibawaan, kharisma dan keunggulan dalam peperangan? Jelas saja para
pelanggan si pedagang bisa menjauh karena ketidak cocokan tersebut. Sama saja
dengan pejabat negara yang membeli keris dhapur Sabuk Inten dengan aura berupa
kekayaan material dan rejeki dalam berusaha. Baik kekayaan material dan rejeki
dalam berusaha jelas tidak mengandalkan keris Sabuk Inten, melainkan dengan
berusaha sebaik dan sejujur mungkin dalam berbisnis. Keris dhapur Sabuk Inten
tidak mendatangkan kekayaan, melainkan hanya mempertegas simbolisasi dan aura
yang dimilikinya. Itulah sebabnya dhapur keris ini banyak dicari oleh pebisnis atau
pengusaha. Jadi untuk apa kekayaan bagi pejabat negara? itu pertanyaan politik
yang tidak harus dijawab di tulisan ini.
Itulah sebabnya menjadi konyol, ketika membeli keris hanya untuk mencari isi, gaib,
jin atau setan gundul didalamnya dan membuat orang lain berpikir bahwa hal-hal
tersebut sudah sepantasnya dianggap musyrik, menyekutukan Tuhan atau gila
sekaligus. Memiliki keris juga harus mempertimbangkan rasionalitas akal sehat
seperti kemampuan merawat, meminimalisasi ego dan juga harga yang pantas. Di
satu sisi keris adalah barang seni hasil kebudayaan yang sulit diukur dengan uang.
Wajar saja jika melihat keris yang tampilan dan bilahnya bagus akan bersifat reaktif
dengan langsung membelinya. Sementara di sisi lain, keris juga harus bisa ditakar
dengan kantong, kepentingan, prioritas dan jumlah uang yang dikeluarkan. Jika
membeli keris yang bagus dengan hitungan jutaan rupiah pada jaman ini adalah
termasuk normal. Membeli dengan belasan juta rupiah, berarti anda membeli karya
seni. Membeli dengan harga puluhan juta rupiah, anda harus berpikir tentang
investasi. membeli dengan harga ratusan juta, berarti anda membeli mimpi dan
dongeng dari sebilah keris yang belum tentu sepantas dan selayak itu secara fisik.
Jadi, sudah cocok atau belum keris anda sekarang ini?
Keris Yang Harus Dihindari
Pengertian keris yang harus dihindari disini bukanlah keris dengan jin gundul berwajah buruk
pembawa sial seperti keyakinan banyak orang, melainkan keris yang diragukan syarat materialnya
(wutuh, tangguh, sepuh) untuk dibeli, dibayar atau dimaharkan.
Jika anda pencinta keris sepuh/tua/kuno, berhati-hatilah sebab segmen pasar keris jenis ini rawan
penipuan. Ketahuilah keris dapur mana saja yang popularitasnya tinggi dan ketersediaanya cukup
banyak (sengkelat, parungsari, jalak) dan keris dapur mana saja yang popularitasnya tinggi tapi
ketersediaan pasar sedikit (jaran guyang, sempana bungkem, pasopati). Semakin jarang dapur keris
tersebut maka terjadi upaya untuk membesut/mengolah keris dapur lain yang mirip untuk dijadikan
dapur yang jarang sekaligus bernilai jual tinggi. Misalnya Kalamisani diolah menjadi Pasopati, keris
lurus dijadikan luk kemba/hemet dan seterusnya.
Pemalsuan juga bukan saja soal mengubah dapur keris tetapi juga membuat bilah keris menjadi
sepuh/tua/kuno, baik dengan proses kimiawi (menggunakan asam) atau proses alamiah
(menguburnya di tanah atau membiarkannya di tempat terbuka dalam jangka waktu tertentu. Oleh
karena permintaan keris sepuh/tua/kuno cukup tinggi, maka cara lain adalah membuat keris jenis itu
dengan bahan-bahan material yang mirip seperti pipa ledeng bahkan velg motor untuk bilah dan
pamor. Mereka yang tidak mampu memilah atau terlalu bernapsu dengan keris sepuh membuat
permintaan tinggi dimana pasar bereaksi memenuhi kebutuhan itu dengan berbagai cara.
Seorang seller keris pernah mengatakan pada saya bahwa makin hari ketersediaan keris
sepuh/tua/kuno yang asli semakin sedikit. Keris yang bagus-bagus sudah jatuh ke tangan kolektor
kelas kakap. Mereka membeli keris dengan harga murah kepada pedagang yang lebih kecil serta
berani menjualnya kembali dengan harga tinggi karena sudah punya nama besar. Sementara keris
yang tersisa hanya berputar di dalam pasar level bawah dengan harga yang terus naik karena sudah
berkali-kali berpindah tangan. Ketersediaan yang semakin sedikit itulah yang kemudian dipenuhi oleh
keris besutan/owah-owahan yangdibuat semirip mungkin dengan aslinya, selagi permintaan pasar
lebih cenderung kepada keris sepuh dibandingkan keris baru.
Dengan demikian keris besutan/owah-owahan bukan lagi mengambil bentuk 'asal jadi' dan 'asal aneh'
seperti fenomena tahun 1980an, melainkan mengikuti keinginan pasar dimana para peminat keris
sepuh sudah semakin pintar untuk mencari pusaka sesuai pakem. Benarkah sesuai pakem? Jika
pakem mengatakan bahwa keris harus memenuhi kriteria utuh (dicari yang tidak cacat seperti
combong atau nama kerennya pamengkang jagad, nyangkem kodok, randa beser, pamor minum
darah dan sebagainya), maka harus memenuhi kriteria sepuh dan tangguh itulah yang masih jadi
pertanyaan besar. Butuh pengalaman memegang keris dan jam terbang tinggi untuk bisa mengetahui
seberapa tua dan jaman pembuatan sebuah pusaka.
Oleh karena itu, membeli/memahari sebilah pusaka sepuh/kuno/tua terutama online harus
memperhatikan aspek sebagai berikut: Pertama, harga yang realistis; jika harga terlalu murah atau
terlalu mahal, anda boleh curiga. Terlalu murah bisa jadi kualitasnya memang rendah atau penjualnya
tidak tahu menilai kualitas barang (meski faktor ini jarang terjadi), atau terlalu mahal karena banyak
cerita bumbu yang dijual (pegangan raja majapahit, milik empu gandring dan sejenis). Pada saat ini,
sebilah keris sepuh dengan dapur yang mudah diperoleh (brojol, jalak) dan pamor mlumah atau tiban
(ngulit semangka, wos wutah) berkualitas tangguh, utuh sepuhnya baik biasanya berkisar 800ribu-
1,5juta rupiah. Jika melalui proses lelang bisa lebih murah, entah karena sudah bosan, stok banyak
atau ada cacat kecil yang tidak berarti. Keris dengan dapur yang lebih jarang (pasopati) dengan usia
yang lebih tua, pamor miring atau rekan (lar gangsir, ron genduru) bisa berkisar 2,5 hingga 3 juta
rupiah. keris tua tangguh bali yang jarang di pasaran bisa mencapai 4 juta rupiah sementara keris
dengan dapur seperti singo barong atau nogososro tanpa kinatah bisa mencapai 5 juta rupiah. Itu
semua masih harga bilah dengan sandangan standar. Semakin mahal sandangan seperti warangka
dengan perak murni, emas bahkan permata tentu saja akan membuat keris semakin mahal. disini
bukan lagi faktor obyektif mengenai material tetapi sudah soal investasi bahkan juga faktor subyektif
seperti keindahan dan seni. Belum lama ini saya melihat langsung sebilah keris dengan sandangan
berupa warangka emas campur perak dengan hiasan batu mirah serta berlian. Penjualnya
menyebutkan angka 450 juta rupiah untuk keris dengan dapur Sempana luk 7 yang menurut saya
bilahnya biasa-biasa saja. Itu masih lebih fair dibandingkan orang yang menipu dengan mengatakan
menjual keris Pasopati seharga milyaran rupiah, padahal gambar yang dipasang adalah Tilam Upih
biasa.
Kedua, seller yang terpercaya. Banyak penjual yang kini sudah memiliki blog atau facebook untuk
menawarkan dagangannya. Pilihlah mereka yang dapat dipercaya baik kualitas barang
dagangan, service exellence, serta respons yang bersahabat. Saya cenderung memilih penjual yang
kredibilitasnya bukan saja didapat secara online, tetapi juga mereka yang memiliki penjualan offline,
serta mudah dihubungi baik lewat email atau telpon. Dengan demikian kepercayaan bisa dibangun
dengan baik untuk proses bisnis selanjutnya. Pengalaman saya, pada akhirnya harga nomor dua
karena nomor satu adalah kepercayaan yang tidak mudah untuk didapat dan dipelihara.
Pertimbangkan pula faktor budaya dan daerah untuk menggambarkan secara garis besar karakter
penjual dan barang dagangannya, sehingga anda dapat lebih mudah memilih pusaka berdasarkan
gatra (Yogya, Solo, Madura) bahkan juga membaca kesukaan seller terhadap jenis pusaka tertentu.
Seorang seller langganan saya menyukai pamor wengkon sehingga informasi terhadap pamor jenis
itu dan ketersediaan yang dimilikinya, memudahkan saya jika kelak menginginkan pamor demikian.
Ketiga, pertimbangkan suara hati dan perbanyak pengetahuan tentang aspek fisik/material keris.
Seringkali faktor "keblondrok" (tertipu mendapat keris besutan/muda padahal menginginkan yang tua)
bukan saja karena tidak memahami harga pasar, seller yang curang tetapi juga lebih banyak karena
ketidaktahuan dan rasa abai terhadap hati sendiri. Jika sudah bernapsu menginginkan suatu, maka
peluang untuk jatuh karena terlalu mahal dan tertipu juga semakin besar. Favoritisme terhadap dapur
atau pamor tertentu membuat orang kalap untuk mengejar apalagi harus berlomba dengan orang lain
di pelelangan. Selain menguras dompet, tentunya akan malu jika mendapat barang yang ternyata
bertolakbelakang dengan harapannya. saya pribadi menganggap proses "keblondrok" untuk satu kali
adalah wajar demi pembelajaran. Setidaknya anda memegang sebilah keris yang akan jadi referensi
agar tidak mendapatkan yang serupa. Siapapun bahkan yang katanya pakar perkerisan pernah
mengalami hal ini. Jika anda berkali-kali "keblondrok" tanpa pernah mau belajar, itu bebal namanya.
Itulah sebabnya suara hati penting dan diimbangi dengan proses pengetahuan yang mumpuni. Ada
banyak tempat untuk bertanya dan didatangi, ada banyak buku dan referensi untuk dibaca. Tidak ada
salahnya mendatangi dan memiliki kan?
Lantas bagaimana dengan penggemar pusaka baru/tangguh Kamardikan abad XX dan XXI? Sejalan
dengan perkembangan pasar, keris atau pusaka baru juga sudah bermunculan dan memiliki kualitas
yang semakin lama semakin baik. Meski masih disambut dingin oleh para kolektor pemula yang
tergila-gila dengan keris sepuh, keris Kamardikan (pembuatan setelah tahun 1945) masa sekarang
sudah mengikuti pakem bahkan mutrani (duplikat) terhadap keris-keris sepuh yang dapur dan
pamornya langka. Seorang seller pernah mengatakan kepada saya bahwa Keris Kamardikan yang
dibelinya sebagai modal untuk lelang, memiliki harga rata-rata 300 ribu rupiah sementara yang
berkualitas sangat bagus baik dapur yang jarang maupun pamor miring/rekan bisa mencapai 2,5 juta
rupiah. Penjual yang jujur akan mengatakan bahwa barangnya adalah Kamardikan baik garap biasa
maupun garap alus. Sementara yang tidak jujur atau tidak mau tahu akan mengatakan itu keris sepuh
dan membodohi pembeli yang tidak mau belajar.
Untuk itulah sangat penting untuk menghindari keris-keris yang tidak sesuai dengan harapan, isi
kantong dan pengetahuan anda. Tidak ada salahnya memiliki keris baru yang bagus garapannya
dibandingkan memburu keris tua yang tidak jelas asal-usulnya.
Tujuan memilih dan memiliki tosan aji bisa sangat beragam. Ada yang karena dilandasi kekaguman
terhadap karya yang dilakukan di masa silam, ada yang karena ingin melestarikan hasil budaya
bangsa, ada yang karena alasan investasi dan ada juga yang karena mencari tuah. Untuk alasan
terakhir sama sekali tidak disarankan bukan karena alasan dosa, tetapi yang lebih utama dan sering
tidak disadari adalah karena rawan penipuan dan berujung kepada kerugian material. Mereka yang
mencari tuah seringkali harus mengeluarkan biaya besar yang tidak seimbang. Saya pernah
mendengar seorang kolektor menyuruh orang-orangnya mencari pusaka tombak Banyak Angrem
tangguh Majapahit. Setelah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit membayar orang kesana kemari,
yang didapat akhirnya hanya tombak Kuntul Nglangak tangguh Madura baru.
Mengapa bisa demikian? Padahal, beberapa penjual keris yang saya kenal memiliki tombak Banyak
Angrem. Pertama, karena ketidaktahuan dan keabaian si kolektor untuk mau mencari sendiri. Toh jika
mau belajar untuk bisa memahami perbedaan ricikan dan dapur sebuah tosan aji serta mencari
informasi lebih detail, kerugian itu bisa dihindari. Tidak mau belajar, tidak mau bersusah payah dan
bahkan hanya karena mendengar namanya, kontan si kolektor yang punya uang bisa menyuruh
orang-orangnya. Buat saya itu kesia-siaan karena mengeluarkan uang hanya mengandalkan
pendengarannya saja.
Alasan lain yang juga harus dihindari saat memilih dan memiliki tosan aji adalah karena mengikuti
trend atau mode. Sejalan dengan perkembangan dunia perkerisan saat ini, banyak para kolektor
yang juga fanatik terhadap dhapur dan tangguh tertentu. Misalnya saja dhapur Pasopati atau tangguh
Sedayu. Dhapur Pasopati cukup populer tetapi ketersediaannya di pasar lebih sedikit. Sementara
tangguh Sedayu dikenal sebagai keris dengan garapan yang sangat bagus; besi yang pulen, halus
dan benar-benar bagus. Akibatnya seeringkali untuk memenuhi permintaan pasar, banyak muncul
keris yang dipermak untuk menaikkan harga jual. Dhapur Kalamisani yang ketersediaannya lebih
banyak kemudian dimodifikasi kembang kacangnya menjadi kembang kacang pogog agar
menyerupai dhapur Pasopati. Lebih parah lagi misalnya keris lurus dibuat berluk banyak seperti 15
dan 17 ke atas untuk memenuhi kebutuhan pasar seperti itu. Sama halnya dengan tangguh favorit
yang kemudian muncul tiruan baru yang benar-benar mirip. Pembedaan hanya bisa dilakukan secara
fisik dalam arti si kolektor harus punya jam terbang tinggi untuk bisa membedakan beragam dhapur
dan tangguh.
Sebagai kolektor pemula yang masih ingusan, saya berpegang kepada beberapa tips di bawah ini:
1. Ada pedoman standar berupa kriteria fisik berupa istilah TUS (tangguh, utuh sepuh)
yang artinya seseorang yang ingin memilih dan memiliki tosan aji haruslah memahami
tangguh kapan itu dibuat, tosan aji yang diinginkan juga harus dalam keadaan utuh secara
fisik dan juga usia tosan aji itu dipastikan tua. Untuk aspek yang terakhir tidak berlaku jika
ingin memiliki keris atau tombak buatan baru (biasanya digolongkan sebagai tangguh
Kamardikan atau buatan setelah tahun 1945). Selain istilah TUS ada juga istilah yang
berdasarkan kriteria emosional seperti 3G2W yakni Gebyar Greget Guwaya Wingit Wibawa
dan juga kriteria spiritual seperti AST yakni Angsar Sejarah Tayuh. Akan tetapi kedua kriteria
ini jelas bersifat subyektif sehingga pembuktiannya akan berbeda antara satu orang dengan
lainnya, sehingga kriteria fisik tetap harus menjadi pegangan utama dalam memilih dan
memiliki tosan aji.
2. Dengan demikian syarat pertama memilih dan memiliki tosan aji adalah tidak cacat
fisik. Pengertian cacat fisik disini adalah mengikuti pakem yang berlaku yakni keris/tombak
tidak patah, ricikan masih lengkap, kembang kacang, bilah dan pesi masih utuh. Ada
tuntunan pakem yang berlaku dan harus dihindari misalnya Pegat Waja (bilah keris/tombak
rengat seperti tripleks basah), Nyangkem Kodok (antara bilah dan ganja di bagian greneng
terbuka lebar), Randa Beser (antara bilah dan ganja di bagian bungkul terdapat rongga) dan
Pamengkang Jagad (retak terutama di bagian sorsoran). Untuk Pamengkang Jagad, kriteria
ini tidak berlaku bagi mereka yang mencari keris berdasarkan kriteria spiritual. Berbeda
dengan pihak Kraton yang menghindari keris retakl pasar justru menyediakan keris yang
dianggap cacat di bagian ini atau combong dengan istilah keren Pamengkang Jagad dan
banyak dicari orang bahkan terutama di negara tetangga lantaran dikenal sebagai sarana
untuk 'asihan'.
3. Lantas jika prasyarat fisik sudah diketahui, bagaimana dengan soal tangguh?
Menangguh keris jelas butuh pengalaman dalam memegang banyak keris agar bisa
mengetahui tangguh meski hanya perkiraan (lihat tulisan saya yang lain di blog ini tentang
Tangguh Keris). Seringkali ini menjadi sumber sengketa antara pembeli dan penjual tosan aji
karena kesalahan baik yang tidak disengaja atau sengara dalam hal menangguh keris.
Penjual yang kurang berpengalaman bisa saja salah dalam menangguh keris, sementara ada
juga yang nakal dengan mengatakan keris baru adalah keris tua apalagi jika sudah melalui
proses kamalan yakni membuat bilah menjadi keropos dengan larutan kimia sehingga terlihat
tampak tua. Hal yang mungkin bisa dilakukan pada tahap ini adalah dengan belajar
sebanyak-banyaknya memegang bilah keris.
4. Pengamatan selanjutnya adalah dengan mengamati kandungan logam dengan
memperhatikan bobot keris. Itu sebabnya menjadi penting bagi pihak penjual agar tidak saja
menampilkan tosan aji berdasarkan kriteria panjang dan lebar tetapi juga beratnya. Ada
kesepakatan umum bahwa semakin ringan bobot sebuah keris, maka kualitasnya juga
semakin baik. Sama halnya dengan bilah yang semakin lama nyaring jika dijentik, maka
kualitasnya juga bagus. Oleh karena itu, penting untuk bisa membedakan baik buruknya
kandungan logam secara awam dalam empat kategori yakni (a) logam dengan kesan basah
hingga kering, (b) logam dengan kesan rabaan halus hingga kasar, (c) logam yang berurat
hingga mulus dan (d) logam dengan kesan padat hingga berpori.
Selain beberapa tips diatas dalam memilih dan memiliki tosan aji, hal penting lainnya adalah lebih
baik memulai dengan dhapur tosan aji baik keris atau tombak yang sederhana terlebih dahulu. Selain
masih aman dari unsur penipuan, kerumitan dan juga hasrat yang berlebih, keris dengan dhapur
sederhana seperti Brojol atau Tilam Upih merupakan awal yang baik dalam mempelajari ricikan dan
pengenalan tosan aji seperti di atas. Simbolisme dhapur Brojol berupa kelahiran atau Tilam Upih
berupa laku kehidupan prihatin juga memiliki posisi tersendiri dalam diri kolektor pemula seperti saya.
Banyak bertanya dan menggali informasi dari sumber-sumber tertulis juga sangat membantu. Pada
saat ini sudah banyak literatur atau referensi baik lama maupun baru yang diterbitkan maupun bisa
diunduh online. Penerjemahan beberapa sumber tertulis mengenai ricikan keris, dhapur dan pamor
juga memperkaya referensi yang sangat berguna ketika akan memilih dan mengoleksi keris.
Mengikuti perkumpulan juga merupakan cara yang cukup baik jika anda tahan dengan mentalisme
paguyuban ala Hobbesian Jawa. Saya pribadi menghindari bentuk seperti ini karena seperti halnya
kolektor benda-benda lain, banyak orang dengan ego yang cukup besar untuk tidak mau disaingi oleh
para pemula. Terlebih jika tosan aji adalah benda yang masih suka dikaitkan dengan pancarian
spiritual. Dari awal bicara soal keris kontan bisa mendadak hanya membahas soal 'isi'. Saya pribadi
lebih suka berkunjung ke museum dan bisa bertanya apa saja disana, dibandingkan mengikuti orang-
orang yang merasa dirinya senior yang dengan segala kerendahan hati enggan mengakui tapi
menikmati keberadaan seperti itu.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengetahui segala sesuatu yang berkaitan secara langsung
dengan tosan aji seperti pemesanan dan pembuatan warangka serta pembelian perangkat lain yang
anda butuhkan. Disini logika pasar masih tetap bermain. Anda harus paham betul harga dan kualitas
kayu, emas, perak bahkan jual beli perangkat yang dibutuhkan sebagai pelengkap seperti jagrak,
ploncon, blawong, sandangan dan sejenisnya. Untuk kualitas massal di Jakarta, pasar Rawabening
adalah tempatnya. Disana bisa juga untuk mencuci dan mewarangi tosan aji. Sementara Museum
Pusaka TMII menawarkan harga dan kualitas lebih tinggi dan juga menjual perangkat seperti
mendak, pendok. Bursa tosan aji dengan sertifikasi dan keaslian yang terjamin juga tersedia meski
relatif juga lebih mahal.
Apapun itu, semua tergantung lagi kepada isi kantong, niat dan juga kemampuan anda berhadapan
dengan ego sendiri bukan?
Dhapur Jaran Guyang merupakan salah satu bentuk dhapur keris luk tujuh. Ada juga yang
menyebutnya dhapur Kapal Guyang. Ukuran pandang dan lebar keris ini normal.
Bilahnya nglimpa, gandiknya polos dan tipis, menggunakan blumbangan dan tingil, meski terkadang
tidak menggunakan tingil melainkan greneng wurung. Ciri yang menonjol dari dhapur ini
adalah pejetan-nya yang memanjang ke atas sampai pertengahan bilah. walaupun pada
umumnya pejetanbersifat dangkal tak begitu kentara.
Definisi Jaran Guyang sendiri berarti kuda (jaran) yang dimandikan (guyang). Filosofinya adalah kuda
merupakan binatang yang senang dimandikan. Jika pemilik atau manusianya dengan senang hati
dan sukarela memandikan kuda maka binatang tersebut akan menurut dan patuh. Hal tersebut
merupakan simbolisasi terhadap hubungan antar manusia yang berlandaskan kasih sayang. Akan
tetapi banyak penggemar keris yang tidak membedakan definisi Jaran Guyang dengan Jaran
Goyang (dalam bahasa Indonesia berarti Kuda Goyang yang merupakan ajian pelet atau asihan).
Itulah sebabnya timbul persepsi bahwa keris Jaran Guyang adalah cocok bagi mereka yang suka
memburu wanita.
Keris dhapur Jaran Guyang koleksi saya di atas adalah tangguh Mataram Senopaten meski
ricikannya mengambil gaya Majapahit yakni besi yang kebiruan, pamor yang ala kadarnya. Satu-
satunya hal yang membedakan adalah gandiknya yang tinggi sebagai ciri Mataraman. Jika gandiknya
rendah maka keris di atas akan digolongkan pada tangguh Majapahit.
Kujang Ciung Mata Tujuh
[FRS 25] Kujang dhapur Ciung Mata Tujuh Prabu Anom pamor Sekar Kadaton, tangguh Bogor abad
XXI, landeyan motif Ceker Kidang kayu Sonokeling, Sarangka kayu Sonokeling. Panjang
19,1cm/berat 170 gram. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.
Kujang dhapur Ciung Mata Tujuh adalah kujang setingkat dibawah dhapur Ciung Mata Sembilan
yang diperuntukkan untuk raja. Mata Tujuh sendiri terbagi tiga yakni peruntukan untuk Mantri Dangka,
Prabu Anom dan Pandita. Koleksi saya diatas adalah untuk Prabu Anom dengan pamor Sekar
Kadaton yang merupakan simbolisme Agung (nama besar), Wicaksana (bijaksana), Wibawa,
Pangadeg (pemimpin), Gede Wawanen (keberanian yang besar). Untuk selengkapnya dapat dilihat di
artikel mengenai kujang di blog ini.
Kujang koleksi saya diatas juga memiliki mata dari kuningan dan merupakan karya Guru Teupa
Wahyu Affandi Suradinata, dari Paneupaan Kujang Pajajaran, Katulampa Bogor. Hal yang menarik
dari koleksi saya di atas selain sebagai pusaka yang langka, kujang buatan pak Wahyu juga
mengeluarkan baru harum gaharu. Hal itu disebabkan selama proses pembuatan juga menggunakan
bahan dari kayu gaharu tersebut. Itulah sebabnya jika diolesi minyak gaharu, maka bau harum
tersebut akan tercium dengan kerasnya.
Jika anda sudah memilih dan memiliki tosan aji, sudah sepatutnya anda merawatnya pula. Perawatan
tosan aji pada masa sekarang mau tidak mau harus dibuat sepraktis dan seefisien mungkin.
Mengapa demikian? Banyak orang tinggal di kota-kota besar dan kecil dengan kesibukan yang
berbeda-beda. Buat anda yang tinggal di kota besar dan sibuk dengan pekerjaan, tak perlu berkecil
hati merasa tidak punya waktu untuk merawat tosan aji milik anda. Janganlah membayangkan
perawatan tosan aji penuh dengan ritual, prosesi dan biaya mahal karena harus menyiapkan sesaji
macam-macam. Itu hanya berlaku di tempat-tempat seperti kraton yang memang punya tuntutan
seperti demikian. Dengan alasan kepraktisan dan efisiensi itulah perawatan tetap bisa berjalan.
Berikut beberapa tips perawatan tosan aji:
1. Perawatan tosan aji lebih baik dilakukan di ruang terbuka atau ruangan dengan
jendela terbuka agar sirkulasi udara tetap terjaga. Tosan aji seperti keris atau tombak terlebih
dahulu dibuka satu persatu mulai dari warangka, pendok, landeyan, dan deder-nya. Siapkan
terlebih dahulu pembersih logam dan kayu, sikat gigi bekas, tisu, koran serta lap tebal
berbahan handuk. Gosoklah logam seperti kuningan, lapis perak atau emas dengan sikat gigi
bekas dan pembersih logam secara perlahan. Biarkan beberapa detik agar pembersih benar-
benar mengangkat kotoran logam. Kemudian logam dilap dengan tisu, kertas koran atau kain
tebal. Jika pembersih terlalu keras dengan kadar ammoniak cukup tinggi, ada baiknya
siapkan juga sarung tangan karet yang bisa dibeli di apotik. Hal yang sama juga anda
lakukan terhadap kayu dengan menggunakan pembersih yang berbeda. Pembersihan
kelengkapan tosan aji seperti ini kerap dilupakan; orang cenderung memperhatikan bilahnya
saja sementara kelengkapan seperti warangka/sarung, deder/gagang, atau landeyan/gagang
tombak jarang dibersihkan. Padahal bilah yang bagus juga membutuhkan tempat yang bagus
dan terpelihara. Periksalah apakah kelengkapan tersebut masih utuh karena seringkali logam
menjadi kusam dan kayu melapuk jika tidak merawat. Lebih parah lagi, warangka
keris/tombak juga sering menjadi sarang kutu yang mempercepat proses pelapukan jika
perawatan diabaikan. Jika anda ingin memasang bilah ke deder atau landeyan kembali,
sediakan pula benang wol untuk ikatan pada peksi agar bilah bisa masuk secara pas ke
dalam deder/landeyan. Pada jaman dahulu, cara untuk memasukan peksi ke dalam deder
adalah dengan menggunakan lilitan rambut manusia (biasanya rambut pemiliknya karena
pada jaman dahulu gaya rambut masih panjang) atau menggunakan lak. Kedua cara tersebut
kini sudah tidak dimungkinkan; gaya rambut sudah pendek dan lak sulit untuk dibuka kecuali
dengan memanaskan deder/landeyan di atas api dan berpotensi merusaknya.
2. Jika warangka dan kelengkapan tosan aji sudah dibersihkan, kini giliran bilahnya.
Bilah keris atau tombak memang harus diminyaki. Tidak perlu menunggu hari atau bulan
tertentu untuk meminyaki. Jika anda melihat minyak di bilah sudah mengering dari proses
perawatan sebelumnya, ada baiknya hal itu dilakukan. Minyak mencegah karat dan juga
menjaga kelembaban pada bilah dan peksi. Gunakan kuas ukuran sedang dan minyak bisa
menggunakan minyak kelapa, minyak sayur atau bahkan minyak pembersih 'Singer'. Untuk
jenis yang terakhir ini sebagian pencinta keris enggan menggunakannya karena ada mitos
bahwa tuah tosan aji miliknya menjadi berkurang. Minyak yang digunakan tersebut dicampur
terlebih dahulu dengan minyak wangi non alkohol beraroma seperti cendana, melati, mawar
atau apapun. Perbandingannya bisa 2:1 atau terserah sesuai dengan selera anda.
Pencampuran dengan minyak wangi non alkohol beraroma seperti itu bukan karena alasan
mistik, melainkan agar minyak kelapa atau minyak sayur tadi tidak berbau tengik setelah
digunakan. Sangat tidak disarankan menggunakan minyak wangi non alkohol seperti minyak
misik, zafaron atau sejenis. Bagi yang percaya tuah, minyak wangi dari Arab itu sering
digunakan tapi efeknya adalah membuat bilah menjadi lengket. Jika bilah lengket, maka
seringkali bilah menjadi sulit untuk dikeluarkan dari warangka. Terlebih lagi sifat lengket
tersebut mengundang debu dan kutu untuk bersarang di dalam warangka. Jika tidak ingin
repot, pesan saja minyak untuk perawatan tosan aji yang sudah siap pakai melalui mranggi
atau tempat pembuatan/penjualan tosan aji yang anda ketahui. Setelah anda minyaki sendiri,
biarkan beberapa saat sebelum masuk kembali ke dalam warangka atau jika tidak punya
waktu bisa dikeringkan dengan kertas koran bekas.
3. Ada kalanya tosan aji yang anda miliki juga harus dicuci dan dijamas. Sebenarnya ini
juga sudah praktis karena anda tinggal membawanya ke tempat-tempat yang menyediakan
jasa untuk mencuci dan menjamas. Sekali lagi, tidak ada hari atau bulan tertentu yang
mewajibkan anda mencuci atau menjamas tosan aji. Lihat saja kondisi bilah apakah memang
memerlukan atau tidak. Biasanya, pencucian dan penjamasan idealnya dilakukan pada saat
pertama kali anda memiliki tosan aji tersebut. Mitos yang terbentuk mengatakan bahwa tosan
aji harus dicuci dan dijamas setiap bulan Suro atau Maulud. Itu hanya soal kepercayaan dan
biaya tentunya. Bilah dengan logam berkualitas bagus biasanya hanya membutuhkan 4-5
tahun sekali untuk dicuci dan dijamas. Jika anda ingin mencuci tosan aji sendiri, maka cara
yang paling baik adalah merendamnya dengan air kelapa tua dicampur sedikit parutan nanas
sekurangnya selama satu malam. Jika bilah masih tampak kotor, proses ini bisa diulang
kembali. Kemudian gosoklah dengan jeruk nipis kecil (orang Jawa menyebutnya dengan
jeruk pecel) secara perlahan hingga bilah memutih. Biarkan bilah sebentar hingga mengering
dengan sendirinya. Selanjutnya adalah proses penjamasan dengan mewarangi bilah. Ini
proses yang sangat sulit meski bahan warangan baik berupa bubuk maupun yang sudah
berbentuk cair dalam botolan bisa dipesan. Jika mewarangi terlalu banyak maka bilah
menjadi tampak gelap dan pamor tidak keluar. Proses mewarangi berguna untuk
mengeluarkan kilau pamor sekaligus mencegah bilah dari proses karat. Setelah diwarangi,
baru proses meminyaki pusaka dimulai. Masih belum punya waktu untuk melakukannya?
Serahkan saja pada ahlinya :)
Istilah dan Ciri Bilah Keris
Tangguh Keris
Definisi lain tangguh adalah perkiraan gaya kedaerahan, atau zaman dibuatnya sebilah keris atau
tombak, yang dijabarkan dari pasikutannya, pengamatan jenis besinya, pamor dan bajanya. Yang
dimaksud pasikutan adalah kesan selintas atas gaya garapan sebuah keris. Misalnya keris tangguh
Majapahit dapat diartikan: (1) dibuat dengan gaya (model) Majapahit, (2) dibuat oleh empu dari
Majapahit.
Ada sementara pecinta keris yang mengartikan tangguh sebagai asal-usul. Namun pengertian seperti
ini kurang meyakinkan karena ternyata ada beberapa empu yang hidupnya berpindah-pindah,
misalnya dari Pajajaran ke Tuban lalu ke Majapahit.
Penyebutan nama tangguh keris terasa kabur karena dalam budaya keris juga dikenal
kebiasaan mutrani atau pembuatan duplikat. Khusus untuk keris-keris putran (duplikat), penyebutan
nama tangguh menjadi kacau, maka untuk keris-keris demikian lalu disebut yasan, artinya buatan.
Misalnya keris A merupakan duplikat keris B. Keris A buatan Surakarta, sedangkan keris
B tangguh Tuban. Maka keris A disebut tangguh Tuban yasan Surakarta.
Karena itu, jika seseorang keliru dalam menangguh sebuah keris, ia tidak akan terlalu dipersalahkan
karena tangguh hanyalah sebuah perkiraan. Ilmu tangguh mempelajari cara menentukan perkiraan
tentang zaman apa sebuah keris atau tosan aji lain dibuat, berdasarkan tanda-tanda tertentu. Ahli
keris yang sering tepat dalam memperkirakan tangguh sebilah keris atau tombak biasanya disebut
ahli tangguh. Dengan mengamati tanda-tandanya seorang ahli tangguh terkadang dapat memastikan
tangguh sebilah keris. Jika tangguhnya pasti, biasanya disebut tangguh lempoh.
Serat Centhini yang oleh sebagian besar pencinta keris dianggap sebagai sumber tertulis yang
menjadi panutan, tidak mengkaitkan soal tangguh dengan sesuatu zaman. Tentang hal ini, Bambang
Harsrinuksmo dalam naskahnya Budaya Keris (manuskrip tahun 1996) antara lain menulis: bilamana
maksud para penulis Serat Centhini memang bukan mengaitkan soal tangguh dengan zaman
pembuatan, berarti seorang empu yang hidup pada masa kini pun boleh menyebut keris buatannya
sebagai keris tangguh Majapahit. Dalam naskahnya itu Bambang Harsrinuskmo menyimpulkan,
tangguh seharusnya memang dikaitkan dengan zaman pembuatan, sekaligus perkiraan umur keris
itu. Ia berpendapat, walaupun Serat Centhini menjadi salah satu panutan, belum tentu segala uraian
yang dimuat dalam karya agung itu pasti benar.
Tangguh keris yang dikenal masyarakat perkerisan di Pulau Jawa adalah:
7. Tangguh Madura, dalam dunia perkerisan dibagi dua, yakni Madura Tua yang
sejaman dengan Majapahit dan Madura Muda yang sejaman dengan Mataram Amangkurat.
Keris tangguh Madura Tua pasikutannya demes, serasi, seimbang, menyenangkan). Besinya
berkesan kering seperti kurang wasuhan, warnanya hitam pucat.
Pamornya nggajih dan nyekrak, kasar rabaannya. Panjang bilahnya tidak merata; ada yang
panjang, ada yang sedang, ada yang agak pendek. Ganjanya sebit ron tal, sirah cecaknya
pendek. Keris tangguh Madura Muda pasikutannya galak. Besinya berkesan kering; seperti
kurang wasuhan. Warnanya hitam agak abu-abu; kadar bajanya kurang.
Pamornya mubyar dan nyekrak. Gandik-nya miring, ganjanya sebit ron tal, sirah cecaknya
pendek.
10. Tangguh Tuban, pasikutannya sedang, panjang bilahnya sedang, agak lebar, agak
tebal, luknya renggang dan dangkal. Besinya hitam; kadar bajanya banyak dan berkesan
kering. Pamornya kelem dan pandes.Gandiknya agak pendek. Bentuk sirah
cecak pada ganjanya membulat, besar tapi pendek. Sogokannya panjang.
12. Tangguh Pengging, pasikutannya sedang ramping, garapannya rapi, Jika keris luk,
luknya rengkol sekali. Besinya hitam, berkesan basah. Pamornya bersahaja, lumer pandes.
Gulu melednya panjang.
13. Tangguh Demak, mempunyai pasikutan yang wingit. Bilahnya berukuran sedang;
besinya hitam kebiru-biruan dan berkesan basah. Pamornya tergolong kelem dan berkesan
mengambang. Ganjanya tipis. Sirah cicaknya pendek.
15. Tangguh Madiun, pasikutannya kemba. Besinya berkesan basah. Pamornya sedikit
tapi lumer dan pandes. Bilah tebal, biasanya nglimpa, konturnya agak mbembeng.
16. Tangguh Koripan, pasikutannya kemba, tanpa semu (hambar). Besinya garingsing
(kehitaman dan berkesan kering); pamornya berkesan adeg,jenis pamornya sanak.
17. Tangguh Mataram, ada tiga macam, masing-masing mempunyai ciri tersendiri.
Pertama, Mataram Senopaten; pasikutannya prigel, sereg; besinya hitam kebiruan.
Pamornya pandes lan ngawat. Kedua, Mataram Sultan Agung: pasikutannya demes (serasi,
menyenangkan, tampan, enak dilihat), besinya mentah, pamornya mubyar. Ketiga Mataram
Amangkuratan: pasikutannya galak, birawa, besinya mentah, pamornya kemambang.
Tangguh Amangkuratan biasaya juga disebut Tangguh Kartasura.
18. Tangguh Cirebon, mempunyai pasikutan yang wingit. Bilahnya berukuran sedang,
tipis, jarang yang memakai ada-ada; besinya hitam kecoklatan dan berkesan kering.
Pamornya tergolong kelem dan berkesan mengambang. Ganjanya tipis dan sirah cecaknya
pendek.
Keris Buda dan tangguh Kabudan, walaupun dikenal masyarakat luas, tidak dimasukan ke dalam
buku-buku yang memuat soal tangguh. Mungkin, karena dapur keris yang dianggap masuk dalam
tangguh Kabudan hanya sedikit, hanya dua yakni Jalak Buda dan Betok Buda.
Keris dhapur Sabuk Inten (bahasa Indonesia: berikat pinggang permata) adalah salah satu dhapur
keris luk 11 dengan permukaan bilah nglimpa, menggunakan kembang kacang, lambe
gajah dua, sogokan rangkap, sraweyan, ri pandan atau greneng. Nama dhapur Sabuk Inten menjadi
terkenal sejak tahun 1970-an karena disebut-sebut dalam buku cerita silat Jawa yang berjudul
Nagasasra Sabuk inten karya SH Mintardja. Keris dhapur ini populer sekali di kalangan kolektor
terutama juga para pebisnis, yang percaya terhadap aspek esoteris dhapur Sabuk Inten. Mereka
yang percaya beranggapan bahwa dhapur Sabuk Inten berpengaruh terhadap perkembangan dan
kelancaran bisnis.
Sebagai catatan, ada pula keris dhapur lain yang bentuknya amat mirip dengan dhapur Sabuk Inten
yakni dhapur Carita Keprabon. Jumlah luknya juga sebelas, ricikan hampir sama kecuali pada ricikan
gusen. Carita Keprabon memakai gusen dan lis-lisan, sedangkan keris dhapur Sabuk Inten tidak
menggunakannya.
Keris dhapur Sabuk Inten koleksi saya di atas memiliki pamor Tunggak Semi, yang merupakan salah
satu motif pamor yang terletak di bagis sor-soran bilah keris. bentuknya merupakan garis tidak
beraturan, berlapis dan pada bagian ujung bentuk itu seolah 'tumbuh' lagi bentuk pamor yang lain
seperti tunas bersemi. Aspek esoteris dari pamor ini disukai oleh para pedagang dan pemutar modal
karena mereka percaya bahwa tuah pamor ini dapat membantu usaha mereka. Pamor Tunggak Semi
tergolong pamor mlumah dari pembuatannya dan juga pamor tiban karena tidak dirancang terlebih
dahulu oleh sang empu.
Selain itu, keris koleksi saya di atas, juga termasuk cukup tua yakni era Mataram Senopaten atau
Mataram awal. hal tersebut dapat dilihat dari bentuk bilah yang ramping dan semakin mengecil ke
atas, ganja yang memanjang, serta bilah yang hitam kebiruan dan padat.
Keris dhapur Kalamisani (bahasa Indonesia: Raksasa Berbisa) merupakan dhapur keris lurus yang
cukup populer dengan ricikan berupa kembang kacang, lambe gajah dua, tikel alis, gusen,
kruwingan dan greneng. Biasanya bilah juga menggunakan ada-ada. Dalam pewayangan ada juga
keris Kalamisani milik Gatotkaca tapi itu tidak ada hubungannya dengan dunia perkerisan yang kita
kenal.
Keris koleksi saya diatas memiliki beberapa ciri khas yang cukup unik. Pertama, pamornya ada dua
(dwiwarna) yakni Untuwalang dan Wiji Timun. Pamor Untuwalang (bahasa Indonesia: Gigi Belalang)
adalah salah satu motif pamor yang bentuknya menyerupai pamor Tepen atau Wengkon. Sepertinya
halnya bingkai, pamor Untuwalang memiliki garis tepi hanya saja garis tersebut bergelombang
membentuk gambar serupa mata gergaji atau gigi belalang. Bagi yang percaya aspek esoteris, pamor
Untuwalang tergolong pamor rekan yang pemilih. Tidak semua orang cocok untuk memilikinya. Oleh
sebagian pencinta keris, pamor ini dianggap bertuah untuk membuat pemiliknya menjadi tokoh yang
dipercaya dan dianggap pemimpin oleh orang-orang sekitarnya. Kata-katanya akan didengar dan
ditaati. Oleh karena itu banyak yang beranggapan bahwa pemilik yang paling sesuai bagi keris ini
adalah guru, pendidik atau pemimpin masyarakat. Pamor yang kedua adalah pamor Wiji Timun
(bahasa Indonesia: Biji Ketimun) yang tergolong pamor mlumah dan rekan. Bagi yang percaya aspek
esoteris, pamor ini memiliki tuah yang dapat membuat pemiliknya memiliki wibawa dan ketenaran
dalam lingkungan masyarakat.
Selain pamor, ciri khas yang kedua dari keris koleksi saya di atas adalah ganjanya yang berpamor
Mas Kumambang. bentuknya merupakan garis mendatar yang berlapis-lapis. Pamor tersebut
membuat keris menjadi semakin indah untuk dilihat. Sementara aspek esoterisnya mengatakan
bahwa pamor tersebut membuat pemiliknya bisa bergaul dengan kalangan atas maupun bawah.
Terlepas dari aspek esoteris, hal yang dapat ditarik kesimpulan adalah pembuatan sebilah keris
seperti contoh diatas jelas memiliki tujuan dan pengharapan yang baik dari empu dan pemiliknya
yang terdahulu. Semangat seperti itulah yang harus dipelihara oleh saya sebagai pemiliknya di masa
kini.
Keris Dhapur Pasopati
[FRS 16] Keris lurus dhapur Pasopati pamor Tunggak Semi, estimasi Tangguh Madura abad XX,
berat 200 gram, panjang 33,7 cm, warangka Gayaman Yogya kayu Timoho, pendok Bunton baru
warna emas, mendak dan deder lawasan. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.
Dhapur Pasopati adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus yang cukup populer. Ukuran Bilahnya
sedang, agak tebal karena keris ini memakai ada-ada; permukaan bilahnya nggigir sapi. Kontur
bilahnya biasanya menampilkan kesan ramping. Ricikan yang terdapat pada dhapur Pasopati adalah
memakai kembang kacang pogok, lambe gajah satu, sogokannya dua berukuran normal serta ri
pandan. Kadang-kadang ada juga Pasopati yang memakai gusen dan lis-lisan.
Dalam dunia pewayangan diceritakan salah satu senjata Arjuna adalah Pasopati, sehingga dhapur
keris ini menjadi terkenal. Sebenarnya di dalam pewayangan Pasopati bukanlah keris, melainkan
panah dhapur Wulan Tumanggal. Kaitan antara nama panah Pasopati dan keris Pasopati adalah
persamaan nama belaka yang artinya Penunjuk Kematian.
Itulah sebabnya kepemilikan keris dhapur Pasopati pada jaman dahulu identik dengan senopati atau
panglima perang. Tidak sembarang orang dapat memiliki keris dhapur tersebut. Keris koleksi saya di
atas adalah contoh tangguh baru yang usianya belum 100 tahun. Ada yang mengatakan bahwa keris
tersebut masuk ke era Kamardikan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa masuk pada era Nom-
Noman (Kraton Yogyakarta/Surakarta) karena grenengnya memiliki gunung sebagai ciri khas tangguh
pada era tersebut. Meski demikian keris koleksi saya di atas merupakan keris dengan garapan yang
cukup bagus; besinya kebiruan dan kokoh serta cukup nyaring jika dijentik.
Tombak Dhapur Biring Lanang
[FRS 15] Tombak Lurus dhapur Biring Lanang, pamor Tirto Tumetes, estimasi tangguh Mataram
abad XVII, berat 450gram, panjang 28,5cm, methuk Iras, warangka kayu Awar-awar, Landeyan 1
hasta. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.
Tombak dhapur Biring Lanang adalah salah satu dhapur tombak lurus dengan bentuk bilah yang
agak pipih dan simetris, Bentuk tombak ini hampir serupa dengan tombal dhapur Biring
Drajit. Bangkekan atau pinggangnya ramping dan merupakan lekukan dalam. Bagian bilah yang yang
terletak di bawah bangkekanlebih lebar dibandingkan dengan lebar bilah yang di atas pinggang. Di
tepi bilah bagian pangkal ada bagian yang menyudut.
Tombak dhapur Biring Lanang memakai ada-ada tipis di tengah bilahnya. Permukaan bilah yang
terletak di bawah pinggang bentuknya ngadal meteng. Koleksi saya di atas merupakan memiliki
estimasi tangguh Mataram abad XVII dengan methuk Iras atau bagian cincin di pangkal tombak
menyatu dengan bilahnya. Hanya saja sepertinya kinatah di bagian methuk merupakan susulan pada
masa berikutnya, dengan estimasi Nom-Noman atau semasa Hamengkubuwono V.
Diposting oleh Koleksi Tosan Aji di 22.57
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke Twitter
Keris Dhapur Dhuwung memiliki ricikan berupa gandik lugas dan pejetan, sementara
bagian wadidang atau bagian belakang keris bersifat tumpul. Sebagai catatan
dhapur Dhuwung ada yang berbilah lurus dan ada juga yang luk 3 seperti koleksi
saya diatas.
Keris dhapur Dhuwung sendiri tergolong keris yang langka. Koleksi saya diatas
memiliki dentingan bilah yang cukup bagus, tetapi pamornya
bersifat nggajih (menyerupai lemak) yakni memiliki kualitas yang kurang baik.
Awalnya, pendok warangka juga bergaya Madura, namun karena sudah rusak dan
tidak ada ketersediaan gaya tersebut maka pendok di atas dimodifikasi dengan
mengambil gaya Surakarta yang lebar sehingga dapat disesuaikan.
Keris Dhapur Tilam Sari
[FRS 19] Keris lurus dhapur Tilam Sari pamor Wengkon Akhodiyat, estimasi tangguh Pajang, abad
XVI, panjang 33,7cm/berat 210 gram, warangka Gayaman Yogya kayu Kemuning, pendok Bunton
lapis emas model Yogya. Sertifikasi Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah.
Dhapur Tilam Sari (bahasa Indonesia: tempat tidur penuh bunga) adalah salah satu bentuk dhapur
keris lurus yang banyak dijumpai di pulau Jawa. Bentuk keris itu sangat serupa dengan dhapur Tilam
Upih yakni sama-sama memiliki gandikpolos ukuran normal, tikel alis dan pejetan. Bedanya keris
dhapur Tilam Sari memakai tingil yakni tonjolan kecil di ekor ganja, sementara dhapur Tilam Upih
tidak menggunakan tingil. Bilah dhapur Tilam Sari umumnya tipis, permukaannya rata karena tidak
memakai ada-ada maupun gusen. Sebagian pecinta keris beranggapan bahwa dhapur Tilam Sari
baik untuk pria yang telah berkeluarga karena angsarnya membawa keteduhan dan ketentraman
keluarga.
Pamor Wengkon (bahasa Indonesia: bingkai) atau disebut juga Tepen (bahasa Indonesia: tepi)
adalah nama pamor yang gambarnya menyerupai bentuk bingkai di sepanjang tepi bilah keris. Pamor
ini tergolong pamor rekan, yakni pamor yang bentuknya dirancang lebih dahulu oleh empunya. Dari
cara pembuatannya, pamor Wengkon ada dua macam yakni pamor mlumah dan pamor miring. Oleh
mereka yang percaya aspek esoteri keris, pamor ini dinilai mempunyai tuah untuk membantu
pemiliknya lebih hemat, tahan segala godaan, dan manfaat lainnya. Pamor ini tergolong tidak pemilih,
siapa saja dapat memilikinya. Walau tampaknya sederhana, pamor Wengkon termasuk sulit dibuat.
Hanya empu yang sudah banyak pengalaman yang sanggup membuat pamor ini secara konstan
berjarak tetap dengan garis tepi bilah.
Sedangkan pamor Akhodiyat adalah bagian dari kelompok pamor yang memiliki kecemerlangan yang
lebih pada daripada pamor disekitarnya di permukaan bilah. Bagian yang lebih cemerlang atau
berkilau itu itu disebut pamor Akhodiyat yang tampak seperti lelehan logam keperak-perakan. Pamor
akhodiyat terjadi karena suhu yang tepat pada saat penempaan atau pada tahap akhir penempaan.
Dengan demikian pamor tersebut bukan terbuat dari logam perak seperti yang diduga banyak orang.
Pamor Akhodiyat tergolong pamor tiban yang tidak direncanakan dan seringkali pamor ini disebut
juga pamor Akordiat atau Kodiat. Orang Madura dan Jawa Timur menyebutnya dengan Pamor
Deling.
Keris koleksi saya diatas memiliki garis pamor yang cukup tebal dan tidak terputus dikedua sisi.
Hanya saja saya masih belum bisa membedakan apakah pamor tersebut tergolong
pamor mlumah (pamor yang lapisan besinya sejajar dengan permukaan keris) atau
pamor miring (pamor yang lapisan besinya tegal lurus dengan permukaan bilah keris)
mengingat ganjanya wulung atau berwarna hitam, sehingga tidak dapat dilihat begitu saja.
Keris Dhapur Damar Murub
[FRS 20] Keris luk 1 dhapur Damar Murub pamor Wos Wutah, estimasi tangguh Mataram abad XV,
panjang 33,6cm/berat 170gram, warangka Ladrang Surakarta lamen kayu Jati Gembol, pendok
Blewah lapis emas model Surakarta. Sertifikasi Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah.
Keris dhapur Damar Murub atau disebut juga Urubing Dilah (bahasa Indonesia: obor atau lampu
minyak yang menyala) adalah nama salah satu dhapur luk satu, walau ada juga yang
menggolongkannya sebagai keris lurus atau bahkan luk tiga. Sor-soran pada keris ini bisa berdhapur
apa saja tetapi disebut Damar Murub karena di pucuk keris ada luk yang menyerupai nyala api.
Dengan demikian keris ini mudah dikenali, terutama dengan adanya luk seperti itu dipucuk bilah.
Keris ini tergolong langka dan koleksi saya diatas memiliki sor-soran dhapur Sempaner sehingga
kombinasi yang ada dapat disebut pula dengan dhapur Sempaner Urubing Dilah. Kombinasi seperti
ini berlaku juga unruk keris lainnya sehingga ada juga dhapur Laler Mengeng Urubing Dilah atau
Pudhak Sategal Urubing Dilah. Simbolisme keris luk 1 seperti diketahui adalah melambangkan
keingintahuan terhadap spiritualisme.
Keris luk 17 di atas termasuk Dhapur Ngamper Buta dan tergolong keris Kalawijan. Cirinya adalah
bilah yang tergolong panjang untuk ukuran standar, memiliki kembang kacang, satu lambe gajah,
jalen blumbangan dan greneng lengkap. Dhapur ini tergolong langka untuk ukuran keris sepuh,
apalagi jika memiliki estimasi tangguh Mataram, sementara untuk tangguh seperti Tuban atau
Madura keris Kalawijan lebih mudah ditemui meski kini ada juga keris-keris Kamardikan yang juga
mengambil bentuk luk di atas 13.
Keris koleksi saya di atas memiliki pamor Banyu Tetes, yang sekilas meredup masuk ke dalam bilah.
Bahan bilah sendiri memiliki permukaan yang padat namun agak kasar sebagai ciri garapan Madura
sepuh. Selut atau hiasan di hulu merupakan model lama sementara mendhak perak yang lama sudah
diganti dengan baru. Warangka keris terbuat dari kayu pilihan yakni Timoho, sementara untuk
pendhok lama berbahan alpaka (campuran seng, tembaga dan nikel) sudah diganti pula dengan
perak.
Keris Dhapur Sengkelat (2)
[FRS 06] Keris Luk 13 Dhapur Sengkelat Pamor Buntel Mayit estimasi tangguh Madura Kamardikan
abad XX, berat 240 gram, panjang 35,2cm, Hulu gaya Yogya, Warangka dan gandar gaya Yogya
Kayu Kemuning. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.
Keris Kamardikan biasanya memiliki garapan baik halus maupun kasar. Keris koleksi saya di atas
adalah keris tangguh Madura dengan garapan kasar; panjang bilahnya berukuran standar tapi cukup
berat dan sebenarnya tidak seimbang dengan warangka dan hulu berbahan kayu kemuning. Jika
diperhatikan maka sebenarnya bagian ganja tidak sepenuhnya masuk ke dalam warangka. Mengapa
demikian? karena ukuran warangka jaman sekarang adalah standar dan tergantung kepada bilahnya.
Dengan kata lain, bilah panjang (biasanya maksimal 37-38cm) atau pendek tetap masuk dalam
warangka yang sama. Kayu kemuning sangat lunak dan idealnya bisa disetel untuk bilah seperti
apapun. Hanya saja, kayu kemuning yang digunakan untuk warangka juga sudah tipis sehingga sulit
untuk dibuat lebih tipis lagi. Alternatif lain dengan memasang pendok juga tidak memungkinkan
karena sebaliknya akan membuat warangka menjadi tebal. Akhirnya dengan situasi apa adanya,
keris di atas masuk ke dalam warangka. Pita merah yang ada bukanlah apa-apa, melainkan sekedar
menutup batas kayu antara gandar dengan bilah warangka, karena warangka di atas bukan jenis iras
yang menyatu antara keduanya.
Ciri lain dari tangguh Madura era Kamardikan dengan garapan kasar seperti di atas adalah rengkol
luknya cukup kaku, bagian sorsoran juga kaku dan tebal, sementara ri pandan dan tingil di ganja
bagian belakang juga masih utuh. Pamor juga 'nyekrak' atau berkilau karena bahan nikel yang
digunakan cukup banyak, sementara permukaan bilah juga kasar disebabkan jenis pasir besi yang
dipakai sebagai bahan keris. Perpaduan bahan tersebut juga memperlihatkan bentuk pamor yang
melilit juga menyisakan patahan ketika berbalik ke sisi bilah yang berseberangan.
Pamor Buntel Mayit atau Gubet yang melilit bilah adalah pamor rekan atau buatan. Jaman dahulu
pamor jenis ini dihindari oleh banyak orang karena dianggap mempunyai tuah buruk dan pemilih. Jika
cocok, maka pamor ini dianggap bisa mendatangkan kekayaan atau kesuksesan bagi pemiliknya.
Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pamor Buntel Mayit memiliki tuah untuk
menundukkan orang yang berangasan/pemarah. Terlepas dari persepsi demikian, pada masa
sekarang pamor Buntel Mayit justru banyak dicari orang. Mungkin karena semakin dihindari, justru
makin banyak juga orang yang penasaran. Akibatnya pasar juga memberikan peluang dengan
membuat keris-keris baru dengan pamor seperti itu. Untuk saya pribadi, lebih berpendapat bahwa
pamor tersebut awalnya bernama Buntel Mayat, karena mayat dalam bahasa Jawa berarti miring.
Jadi sebenarnya definisi yang dimaksud adalah pamor yang melilit (buntel) dan miring (mayat) dari
pangkal hingga ujung tosan aji. Pemahaman dengan bahasa Indonesia menyebabkan kata mayat
atau jenazah atau tubuh yang sudah mati itu ditafsirkan kembali dengan padanan bahasa Jawanya
yakni Mayit. Hal ini sangat menarik dan bisa ditelusuri lebih dalam, meski pada titik ini sudah ada
kejelasan dari aspek etimologi atau asal-usul kata. Tujuannya adalah untuk mengupas mitos
sehingga sekurangnya mendapatkan kejelasan awal mengapa pamor tersebut dulu dihindari dan
sekarang justru malah dicari.
Pembelajaran yang terpenting dengan memiliki satu atau dua keris Kamardikan adalah dapat
mengetahui perbedaan-perbedaannya dibandingkan keris sepuh. Hal ini penting karena
pembelajaran tidak dapat sepenuhnya diresapi hanya dengan mendengar cerita saja sebagai
informasi, tetapi juga memegang, merasakan dan bisa mengetahui perbedaan di antara keduanya.
Keris luk 13 dengan dhapur Sengkelat kebanyakan memiliki bilah yang cukup panjang. Ricikannya
adalah memakai kembang kacang, satu lambe gajah dan juga memakai jenggot. Selain itu juga
terdapat dua sogokan, sraweyan, ri pandan, greneng, kruwingan. Ada pula yang mengatakan bahwa
dhapur Sengkelat tidak memakai jenggot karena jika ada jenggotnya itu dinamakan dhapur
Parungsari.
Keris berdhapur Sengkelat juga dianggap memiliki nilai sejarah tersendiri dengan berbagai cerita dan
dikaitkan dengan aspek esoterisnya berupa tuah kewibawaan. Itulah sebabnya dhapur jenis ini
sangat populer dan ketersediaannya juga banyak. Bilah keris koleksi saya di atas memiliki slorok besi
kehijauan sebagai tanda usianya yang cukup tua. Selain itu hal yang menarik adalah luk keris
tersebut sangat luwes mengimbangi panjangnya, sebagai indetifikasi yang cukup umum untuk model
serupa dari tangguh Mataram
Keris Dhapur Sepang
[FRS 10] Keris dhapur Sepang pamor Adeg, pamor ganja Mas Kumambang, estimasi tangguh Tuban
Madura abad XX, panjang 34,1 cm/berat 180gram, Warangka Ladrang Surakarta kayu Jati Iras
pendok Blewah bahan kuningan, deder lawasan gaya Surakarta, mendhak lawasan sudah diganti
dengan yang baru. Sertifikasi Museum Pusaka TMII
Dhapur Sepang adalah nama salah satu dhapur keris lurus dengan panjang bilah sedang. Ada yang
mengatakan bahwa cirinya hanya memakai kembang kacang tanpa pejetan dan tanpa ricikan lain.
Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa dhapur Sepang bilahnya simetris, tanpa ricikan,
tanpa gandik, kadang-kadang ada tingil kembar di kanan-kiri. Pada keris koleksi saya di atas mungkin
lebih masuk pada pendapat kedua. Bagi yang percaya aspek esoteri keris, dhapur Sepang dianggap
memiliki tuah yang baik untuk membangun kerukunan suami istri.
Pada bagian bilah keris terdapat pamor Adeg. Pamor ini tergolong pamor pemilih, akan tetapi lebih
banyak yang cocok dengannya daripada yang tidak cocok. Jika melihat aspek esoterisnya, tuah
pamor Adeg dipercaya sebagai penolak seperti guna-guna, wabah, angin ribut, banjir dan
sebagainya. Ada pamor Adeg yang menjadi penolak satu macam tapi ada juga yang beberapa
macam.
Sementara pada bagian ganja terdapat pamor tersendiri yakni pamor Mas Kumambang. Pamor ini
mirip kue lapis, ada jenis yang memiliki dua lapis bahkan lebih. tuah pamor Mas Kumambang
dianggap baik untuk berhubungan dengan banyak orang karena memperlancar pergaulan.
Dhapur Kudup Gambir atau Ngudup Gambir adalah salah satu dari 4 macam bentuk ujung sebilah
keris atau tombak, menyerupai kuncup Bunga Gambir yang belum mekar, banyak terdapat pada
ujung tombak.
Pamor Pendaringan Kebak juga mirip Wos Wutah, tetapi Pendaringan Kebak lebih penuh dan
rapat serta nyaris memenuhi seluruh permukaan bilah. Dari bawah sampai ujung bilah dan dari tepi
satu ke tepi yang lainnya.
Dhapur Sedhet adalah keris dengan luk 15, panjang bilah sedang, memakai kembang kacang, lambe
gajahnya satu, pakai jalen, sogokan rangkap ukuran normal, ricikan lain greneng, ada yang memakai
tikel alis, adapula yang tidak.
Keris dengan luk di atas 13 termasuk ke dalam dhapur Kalawijan/Palawijan atau di luar normal.
Dalam pakem dhapur keris Kraton Surakarta, yang termasuk dalam kalawijan adalah mencapai luk
29. Pada masa sekarang, ada juga keris yang berluk 37. Semua itu tergantung kreasi dari empu atau
pande pembuat keris tersebut. Mengapa kalawijan atau palawijan? Jika mengacu kepada
penggunaan kata, kalawijan atau palawijan diterapkan misalnya pada bahan pangan non beras. Ada
juga penggunaan kata kalawijan terhadap barisan abdi dalem Kraton yang secara fisik di luar normal,
seperi albino, cebol dan semacamnya. Demikian pula dengan keris Kalawijan yang di luar normal
dengan maksud jumlah luk di atas 13. Ada pendapat bahwa keris Kalawijan dahulu diberikan kepada
orang yang di luar normal, dalam arti eksentrik, pintar sekali atau kurang sekali. Mungkin itu pula
sebabnya Keris Kalawijan dengan luk di atas 13 juga bukan termasuk keris yang menjadi favorit bagi
pihak Kraton. Tidak dapat dibayangkan bahwa para pejabat Kraton memiliki simbol sifat di luar
normal sementara feodalisme menuntut kepatutan dalam batas-batas tertentu. Dengan kata lain, luk
13 sudah menjadi titik sempurna untuk ukuran Kraton.
Keris Kalawijan pada masa ini juga memiliki popularitas tersendiri. Akibatnya, pasar pun juga
menyesuaikan diri. Oleh karena keris ini langka, maka terjadi pula pemalsuan seperti keris lurus yang
dibentuk menjadi banyak luk. Pemalsuan seperti ini sebenarnya bisa dilihat bagi mereka yang
terbiasa memegang tosan aji. Pertama, luk tidak luwes. Kedua, ujung keris sepuh biasanya punya
posisi miring ke depan atau ke belakang sementara ujung keris palsu tersebut cenderung lurus di
tengah. Ketiga, sor-soran atau bagian bawah keris sepuh jika memiliki sogokan tentunya akan
bersifat luwes mengikuti luk. Sementara pada keris palsu tampak terlihat kaku dan berpenampilan
'maksa'. Keris era Kamardikan jaman sekarang banyak pula yang berluk lebih dari 13. tentu saja keris
baru lebih baik dibandingkan dengan yang 'aspal' tadi.
Hal yang menarik dari keris koleksi saya di atas adalah kembang kacangnya menutup degan
sempurna Hanya saja pada bagian bilah di tengah hingga ke ujung sudah mengalami korosi. Hal
tersebut bisa jadi disebabkan usia yang sudah tua atau juga perawatan yang salah oleh pemilik
sebelumnya. Menjamas keris dengan takaran komposisi yang keliru atau penyimpanan di tempat
yang salah bisa menyebabkan pengeroposan. Itulah sebabnya bagian lis-lisannya sudah mulai
menipis. Hal yang menarik lainnya adalah pada bagian bawah sirah cicak di gonjo seperti foto
terbawah, ditemukan adanya rajah tiga titik. Apakah rajah tersebut merupakan 'tanda tangan' sang
empu pembuat keris? Sulit untuk dijawab.
Menimbang dan menilai aspek eksoteris tombak jauh lebih sulit dibandingkan keris. Mengapa
demikian? Keris memiliki ricikan yang terperinci dan jelas sementara tombak hanya terdiri dari tiga
bagian yakni sor-soran (bagian pangkal), awak-awak dan pucuk. Bentuk sor-soran tombak hingga
pucuk tersebut sangat variatif dan begitu juga dengan dhapur serta bilahnya (ada bilah tunggal
hingga Pancasula yang berbilah lima sementara bilah keris hanya satu).
Itulah sebabnya menghitung luk pada tombak bukan perkara yang mudah seperti pada bilah keris.
Contoh yang jelas adalah koleksi saya di atas. Ada yang mengatakan bahwa dhapur tombak tersebut
adalah Carita karena jumlah luknya sebelas. Saya pribadi berpendapat bahwa tombak koleksi di atas
adalah berluk 13 dengan demikian juga dhapurnya adalah Korowelang karena berbentuk seperti ular
meski ada juga Korowelang yang berluk 9 atau 11. Bilah tombak di atas cukup panjang namun untuk
alasan praktis, landeyan atau kayu tangkai tombak yang digunakan hanya berukuran pendek. Kayu
Sono cukup ringan namun sepertinya tidak sebanding dengan kayu Jati sebagai tutup tombak yang
jauh lebih berat. Akibatnya, berat tombak bisa menjadi tidak seimbang. Selain itu, kelemahan kayu
Jati yang berat itu bisa membuat tombak menjadi macet untuk bisa dikeluarkan dari slongsongnya.
Sementara pamor Ngulit Semangka adalah jenis pamor mlumah dan umum terdapat pada tosan aji.
Pamor ini coraknya seperti kulit semangka dan dari aspek esoteris dianggap sebagai pamor yang
tidak pemilih, memudahkan jalan mencari rejeki dan mudah bergaul dengan siapa saja dari golongan
manapun.
Keris dhapur Sempana tergolong banyak ragamnya karena ada yang luk tujuh dan luk sembilan.
Keris koleksi saya di atas merupakan keris Madura Sepuh tapi meniru gaya Mataram pada jamannya.
Bobotnya yang lumayan berat dan kokoh menjadi salah satu ciri pembeda dengan keris tangguh
Mataram yang umumnya ringan dan ramping. Pertanyaan yang masih menyisa adalah soal jenis
dhapur Sempana yang seperti apa pada keris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa dhapur
Sempana di atas adalah Sempana Panjul atau Manyul karena kembang kacangnya tidak bungkem.
Berdasarkan pakem, pada kategori luk 7 memang hanya ada dua jenis Sempana yakni Panjul dan
Bungkem. Saya pribadi lebih menilainya sebagai Sempana Bungkem, bukan karena kembang
kacangnya nyaris melengkung dan menutup alias bungkem, tetapi karena keris tersebut tidak
memiliki lambe gajah seperti jenis Panjul seperti yang tergambar dalam pakem dhapur keris Keraton
Surakarta tahun 1920.
Perbedaan yang spesifik di antara keduanya adalah dhapur Sempana Panjul memakai kembang
kacang, sraweyan, ri pandan dan greneng. Jenis dhapur ini juga tergolong langka dan agak jarang
dijumpai. Sementara Sempana Bungkem juga memakai kembang kacang hanya saja kembang
kacang seperti di gambar pertama itu menutup dengan sempurna alias bungkem.
Sebagai catatan, dhapur Sempana Bungkem dari sisi esoteris tergolong sebagai keris yang cukup
populer karena disukai oleh jaksa atau pembela perkara karena katanya dapat 'membungkam' atau
mmepengaruhi lawan bicara. Konsekuensi pasar dari popularitas semacam ini adalah pemalsuan
yang cukup banyak terhadap keris luk tujuh yang kembang kacangnya dibentuk ulang dari yang tidak
bungkem menjadi bungkem.
Keris dhapur Brojol adalah salah satu versi keris berdhapur lurus dengan bilah pendek/sedang,
gandik polos, memakai pejetan dan dalam beberapa versi ada yang memakai ganja iras tanpa ricikan
lainnya. Bedanya dengan keris dhapur Tilam Upih, pada dhapur Brojol tidak ada tikel alis. Bagi yang
mempercayai aspek esoteris keris ini, dhapur Brojol dianggap cocok bagi dukun beranak/bidan atau
wanita hamil supaya selamat saat melahirkan. hal tersebut mungkin disebabkan karena arti kata
'brojol' dalam bahasa Jawa adalah 'lahir' dan makna filosofis yang ada bisa digali lebih dalam.
Keris dhapur Brojol koleksi saya di atas termasuk dalam bilah yang sedang (30cm) dan berpamor
sangat penuh dari bagian ganja hingga ujung keris. Pamor yang ada dalam keris tersebut adalah
pamor Wos Wutah, namun ada juga mengatakan bahwa pamornya adalah Mrutu Sewu. Hal ini bisa
saja terjadi dalam mengamati aspek eksoteris sebuah keris karena perbedaan referensi, pengamatan
dan perasaan. Saya menggarisbawahi bahwa menilai aspek fisik sebuah keris tidaklah sederhana,
apalagi aspek esoterisnya. Sebagai catatan, pamor Mrutu Sewu adalah pamor dengan kumpulan
garis dan bulatan yang saling berdekatan sehingga tampak kompleks. Pamor Mrutu Sewu biasanya
terlepas dari pangkal sampai ujung bilah, termasuk pamor mlumah, tidak pemilih dan dianggap
memiliki tuah untuk pergaulan. Ada juga yang mengatakan bahwa pamor Mrutu Sewu baik untuk
gadis atau janda yang ingin mendapatkan jodoh. Menurut anda?
Keris Dhapur Bakung
[FRS 08] Keris luk 5 dhapur Bakung, pamor Kelengan/Pengawak Waja, estimasi tangguh Mataram
abad XV, Hulu Surakarta, Warangka Ladrang gaya Surakarta, berat 120 gram, panjang 36,1cm,
pendok Bunton model Solo. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.
Keris dhapur Bakung adalah jenis keris yang jarang ditemukan dan seringkali sulit dibedakan dengan
keris luk 5 lainnya seperti Pulanggeni dan Kalanadah. Ciri keris dhapur ini adalah cekungan
pejetannya dalam, serta ada tikel alis dan greneng tanpa ricikan lainnya. Sementara dhapur
Pulanggeni gandiknya polos, memiliki sraweyan dan greneng lengkap. Dengan kata lain, pada
dhapur Bakung terdapat cekungan di bagian sor-soran dan 'tulang' memanjang di bilahnya,
sementara pada dhapur Pulanggeni tidak terdapat cekungan dan tulang tersebut.
Pamor Kelengan/Pengawak Waja adalah istilah untuk keris tanpa pamor sama sekali. Pada keris
muda, Pengawak Waja memang tidak diselipi bahan pamor, sementara pada keris tua seperti koleksi
saya di atas bahan pamor tidak terlihat karena penempaan dibuat ratusan bahkan ribuan kali
sehingga pamor sudah luluh dan menyatu dengan bilah. Dengan demikian jika terlihat hanya seperti
urat halus atau serat saja. Dengan demikian pamor ini juga termasuk kategori sulit dibuat karena
membutuhkan keahlian yang tinggi. Bagi yang percaya terhadap tuah pamor, Pengawak Waja adalah
pamor yang sulit dibaca bagi orang yang tidak menguasai penilaian esoteris.
Keris dhapur Bakung ini adalah salah satu koleksi favorit saya, karena selain bilahnya yang ramping,
bobotnya juga sangat ringan sekali. Hal tersebut menunjukkan kematangan sang empu dalam
menghasilkan karya yang sungguh memanjakan mata.
Keris Dhapur Jalak Sangu Tumpeng
[FRS 03] Keris luk lurus Dhapur Jalak Sangu Tumpeng, estimasi tangguh Mataram Abad XVI, pamor
Wos Wutah, Hulu Yogya, warangka Branggah/Ladrang gaya Yogya kayu Kemuning, berat 160 gram,
panjang 34,5cm, pendok Bunton gaya Yogya. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.
Dhapur Jalak Sangu Tumpeng (burung Jalak berbekal nasi Tumpeng) adalah salah satu dhapur keris
bilah lurus dengan ciri gandik polos, memakai tikel alis, pejetan, sogokan rangkap, sraweyan dan
tingil. Ada kebiasaan di jaman dahulu jika seorang anak merantau maka orangtuanya membekali
dengan keris dhapur ini. Selain itu dhapur Jalak Sangu Tumpeng bagi yang percaya dengan tuahnya
adalah memudahkan jalan mencari rejeki. Itulah sebabnya dhapur ini juga digemari oleh pengusaha,
pedagang dan pegawai Bank.
Pamor Wos Wutah adalah pamor yang paling banyak dijumpai, bentuknya tidak teratur tetapi tetap
indah dan umumnya tersebar dipermukaan bilah. Ada yang berpendapat pamor ini pamor gagal, saat
si empu ingin membuat sesuatu pamor tetapi gagal maka jadilah Wos Wutah. Tetapi ini dibantah dan
beberapa empu dan pamor ini memang sengaja dibuat serta termasuk pamor tiban. Bagi yang
percaya aspek esoteris, pamor ini berkhasiat baik untuk ketentraman dan keselamatan pemiliknya,
bisa digunakan untuk mencari rejeki, cukup wibawa dan disayang orang sekelilingnya, pamor ini tidak
pemilih.
Hal yang menarik dari keris dhapur Jalak Sangu Tumpeng koleksi saya ini adalah bentuknya yang
ramping, ringan dan berbunyi cukup nyaring jika bilahnya dijentik dengan jari. Hal tersebut
membuktikan bahwa kandungan bajanya cukup banyak dan tempaannya matang.
Dhapur Tilam Upih ini paling banyak terdapat di Jawa dan merupakan salah satu dhapur keris lurus
dengan gandik polos. tikel alis dan 'pejetan' tanpa ricikan lain.
Tilam Upih yang dalam terminologi Jawa berarti tikar yang terbuat dari anyaman daun untuk alas
tidur, diistilahkan sebagai kondisi sedang tirakat/prihatin, masih tidur dengan alas yang keras, belum
dengan alas yang empuk. Untuk itu dengan Keris Pusaka Tilam Upih diharapkan memperoleh efek
ketenteraman keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu, banyak sekali pusaka keluarga yang
diberikan secara turun-temurun dalam dapur Tilam Upih.
Sementara pamor Wos Wutah adalah pamor umum yang paling banyak terdapat berupa bulatan dan
garis tak beraturan. Pamor ini tergolong pamor tiban, pamor mlumah dan tidak pemilih.
Keris ini adalah koleksi pribadi saya yang pertama dan merupakan keris warisan dari ibu saya.
Pertama kali diterima masih di dalam kotak dengan keadaan 'telanjang' dan ganjanya sudah
hilang. Akhirnya saya memesan warangka, deder dan mendhak baru. Saya pikir, warngka Sandang
Walikat membuatnya lebih terlihat lebih praktis dan sederhana. Secara fisik keris ini sebenarnya
cukup menarik. peksi atau tangkainya masih utuh dan teksturnya seperti ada 'pejetan' yang membuat
bilahnya tidak rata.Keris ini juga tergolong kecil dengan ukuran <30cm dan awalnya saya sempat
mengira sejenis patrem atau cundrik jaman dahulu. Hal yang paling sulit adalah mengidentifikasi
pamor karena bilah sudah sangat tua sehingga bentuk Wos Wutah seperti bulatan dan garis tak
beraturan itu sulit bisa dilihat.
Keris berdhapur Tilam Upih ini adalah keris kedua dari dhapur yang sama dalam koleksi saya dan
keris pertama dengan bilah panjang yang cukup maksimal untuk ukuran keris Jawa. Hal yang
menarik adalah jumlah pamornya yang mencapai tiga buah dalam bilahnya. Pamor Junjung Drajat
adalah pamor yang cukup favorit di Jawa Timur dan Madura yang dianggap memiliki tuah yang baik
untuk naik pangkat sehingga banyak dicari oleh mereka yang bekerja sebagai pegawai. Pamor ini
terdapat di bagian sor-soran atau pangkal keris yang menyerupai pamor Ujung Gunung tetapi hanya
satu puncak saja. Biasanya di puncak pamor tersebut terdapat pamor lain yang kebetulan dalam keris
koleksi saya adalah pamor Pulo Tirto.
Pamor Pulo Tirto sendiri mirip dengan pulau-pulau di tengah air yang menyebar tidak merata di bilah
keris dan tergolong pamor tiban. Seperti pamor lain yang memiliki simbolisme air dan identik dengan
rejeki, pamor ini juga dianggap memiliki tuah yang dapat menambah ketentraman keluarga, rejeki dan
luwes dalam pergaulan. Sementara pada bagian bilahnya terdapat pamor Untuwalang yang
merupakan pamor rekan. Pamor ini berbentuk gerigi seperti gigi belalang dengan simbolisme
pemiliknya akan menjadi pemimpin dan dipercaya banyak orang. Kata-katanya akan ditaati. Oleh
karena itu pamor Untuwalang dianggap cocok bagi guru, pendidik atau pemimpin masyarakat. Saya
membayangkan pemilik awal keris ini adalah orang yang tinggi besar dan sesuai dengan panjang dan
bilahnya yang cukup lumayan panjang dan berat. Selain itu simbolisme dari ketiga pamor adalah
mencerminkan orang yang memiliki pengharapan tinggi dalam pekerjaan, pergaulan dan rejeki
sekaligus. Memiliki jabatan tinggi, bergaul luas dan didengar orang, mungkin di jaman sekarang
adalah simbolisme seorang menteri atau rektor.
Keris koleksi saya diatas selain unik karena memiliki tiga pamor, juga memiliki gandar dan deder
dengan kayu yang berkualitas. Kayu Trembalo dan Tayuman yang digunakan sebagai gandar dan
deder mengkilap sehingga disebut Nginden (membiaskan cahaya). Sebutan Nginden ini berlaku tidak
saja buat sandangan tetapi juga bilah keris yang mengkilap karena kesempurnaan pamornya. Hanya
saja pendok model Slorok Krawangannya sudah cukup tua sehingga warna aslinya sudah meluntur.
Itulah sebabnya saya berinisiatif menyepuhnya kembali dengan warna merah dan tidak
menggantinya dengan pendok baru karena masih utuh.
Dhapur Singo Barong adalah keris yang bagian gandiknya diukir dengan bentuk kepala singa mirip
kilin, yakni arca binatang mitologi penunggu gerbang dari Cina. Arca semacam ini banyak terdapat di
kelenteng dan menunjukkan pengaruh budaya Cina di Nusantara. Ricikan keris dhapur Singo Barong
biasanya menggunakan sraweyan, ri pandan dan greneng. Dhapur ini juga bisa disebut dhapur Naga
Singa. Selain gandik yang diukir berbentuk singa, dhapur ini juga biasanya menampilkan kelamin
yang tegang sebagai simbol kejantanan. Mulut singa juga biasanya disumpal emas atau batu
permata yang konon tujuannya adalah untuk meredam aura panas atau penampilan sifat galak dari
keris dhapur SIngo Barong ini. Berbeda dengan keris dhapur Nagasasra yang melambangkan
kebijaksanaan dan kekuasaan seorang raja, dhapur Singo Barong merupakan simbolisme kekuasaan
dan ketegasan yang dimiliki tidak saja seorang raja tetapi juga patih dan senopati perang.
Pamor Ilining Warih atau disebut juga pamor Banyu Mili adalah pamor yang menyerupai garis-
garis yang membujur dari pangkal ke ujung bilah. Pamor ini tergolong pamor rekan yang bentuk
gambarnya dirancang oleh empu. Banyak orang menganggap pamor ini tidak pemilih memiliki tuah
untuk melancarkan rejeki dan memperluas pergaulan. Pemiliknya akan mudah bergaul dengan
berbagai lapisan masyarakat. Sepintas pamor Ilining Warih mirip degan pamor Adeg, hanya bedanya
pamor Ilining warih tidak sehalus pamor Adeg. Garis-garis pamor Ilining Warih juga berkelok-kelok
menampilkan kesan seperti air yang mengalir.
Keris koleksi saya diatas memiliki estimasi Madura Sepuh sejaman dengan Mataram Senopaten. Hal
yang menarik adalah selain kayu Jati Gembolnya yang mengkilap, bagian belakang pendok terdapat
huruf Honocoroko dengan tulisan 'Pendhok Agpus' yang merupakan singkatan dari pendok ageman
pusaka. Bisa jadi keris tersebut dahulu merupakan keris ageman seseorang dalam pengertian
sebagai perangkat simbolis jabatan tertentu. Pendoknya sendiri saya sempat kirim ke Solo untuk
dilapis perak ulang mengingat lapisan perak yang lama telah luntur dan membuat bahan dasar
kuningannya menjadi terlihat.
Keris Dhapur Parungsari
[FRS 28] Keris luk 13 dhapur Parungsari pamor Ngulit Semangka, estimasi tangguh Bali abad XX,
panjang bilah 42,5cm, panjang keseluruhan 62cm, warangka model Batun Poh Bali kayu Sonokeling,
danganan Batara Siwa Tangan Empat kayu Areng.
Keris dhapur Parungsari (bahasa Indonesia: Lembah Bunga) adalah salah satu keris dengan luk 13
dengan ciri menggunakan kembang kacang (keris dhapur Parungsari gaya Bali yang biasa saya
temui menggunakan kembang kacang bungkem), jenggot, dua lambe gajah, sraweyan, pejetan dan
greneng. Dhapur Parungsari mirip dengan Dhapur Sengkelat hanya bedanya dhapur Parungsari
menggunakan dua lambe gajah sementara dhapur Sengkelat hanya satu lambe gajah. Itulah
sebabnya agak sulit untuk membedakan kedua dhapur tersebut.
Keris koleksi saya diatas memiliki panjang yang standar untuk ukuran keris Bali yakni antara 41-
45cm. Bilah dan warangkanya cukup berat dan panjang. Awalnya danganan masih bergaya Podolan,
kemudian saya ganti dengan ukiran Batara Siwa Tangan Empat yang dipesan khusus dari Tampak
Siring, Bali. Warna danganan yang hitam dari kayu areng sesuai dengan warna bilahnya yang juga
menghitam. Ditambah pula dengan mendak khusus keris Bali yang umumnya sulit ditemui dan dijual
di pulau Jawa. Selain itu pamor keris koleksi saya tersebut memiliki garapan yang halus sehingga
mempercantik bilah yang nyaring bunyinya jika dijentik.
Dhapur Karna Tinanding (bahasa Indonesia: Karna yang sedang berperang tanding dengan Arjuna,
saudaranya sendiri seperti yang dikisahkan dalam Mahabharata) adalah dhapur ekris yang cukup
populer dengan tiga versi. Koleksi saya di atas adalah versi yang menggunakan sogokan rangkap,
sraweyan, wadidang, lambe gajah, serta kembang kacang di depan dan di belakang. Pudhak Sategal
adalah bagian keris di atas sor-soran dengan bentuk kelopak bunga dan ujungnya runcing. Posisinya
tergantung kreativitas sang empu; ada yang sejajar dan ada pula yang lebih tinggi satu sama lainnya.
Pudhak Sategal dala bilah koleksi saya diatas memiliki bentuk sejajar di kanan kiri serta berada
beberapa centimeter di atas sor-soran.
Bilahnya sendiri merupakan buatan baru dengan bahan pusaka lama yang didaur ulang oleh seorang
empu di Sumenep, Madura. Untuk warangka dan danganan, saya memesannya kepada seorang
pengrajin di Tampak Siring, Bali. Bilah buatan Bali sendiri sulit untuk bisa ditemukan dan rata-rata
memang buatan Madura. Meski panjang bilah koleksi saya relatif lebih pendek dari bilah keris Bali
yang rata-rata 42-45cm, namun dengan pembuatan warangka dan pemilihan danganan yang cermat
maka jadilah sebuah koleksi yang kreatif dan proporsional.
Keris dhapur Sembada (bahasa Indonesia: sanggup membuktikan kemauan) termasuk keris yang
langka untuk buatan lama maupun baru. Keris luk tiga ini memiliki ricikan berupa kembang kacang
pogog, satu lambe gajah, satu jalen, pejetan, tikel alis, sraweyan, greneng, dan terkadang ada
pudhak setegal jika terdapat pada keris dhapur Sembada versi besar.
Keris koleksi saya ini didapat sebagai hadiah dari seorang sahabat di Surabaya. Meski bentuknya
kecil, tetapi cukup berat juga mengingat keris ini adalah bukan buatan lama. Pamor Wos Wutah
awalnya belum tampak terlalu jelas sebelum dicuci dan diwarangi ulang. Pamor tersebut terkesan
menempel pada besi dengan berlapis-lapis, yang merupakan ciri khas buatan baru tangguh Madura.
Dhapur Sinom adalah salah satu dhapur keris lurus dengan ukuran panjang bilah sedang. Di tengah
bilah terdapat ada-ada dan permukaan bilah biasanya nggigir sapi. Keris ini tergolong populer dengan
ricikan memakai kembang kacang, sogokan rangkap, satu lambe gajah, pejetan, sraweyan dan ri
pandan. Bilah keris koleksi saya memiliki estimasi tangguh Majapahit awal, dilihat dari sogokan yang
panjang, gandik yang rendah, serta kualitas besi yang merupakan ciri pembuatan pada jaman
tersebut.
Pamor Tirto Tumetes (bahasa Indonesia: air yang menetes) merupakan simbolisme terhadap unsur
rejeki, sebagaimana pamor-pamor lain yang dikatakan mengandung unsur air (tirta). Pamor ini
tergolong pamor mlumah dan tiban, yang tidak direncanakan sebelumnya oleh sang empu.
Warangka keris koleksi saya diatas terbuat dari kayu Asem dengan motif Pelet Kendit. Meski kualitas
dan popularitas kayu Asem masih dibawah kayu Timoho, namun motif Pelet Kendit berupa garis
melintang secara sempurna di kedua sisi warangka termasuk sulit ditemukan. Motif tersebut bagi
yang percaya aspek esoterinya adalah mampu 'mengikat' pelanggan sehingga banyak dicari oleh
pedagang atau pengusaha.