Anda di halaman 1dari 33

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam

bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang

sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan

pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di

Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan

nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab

kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran

napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti

di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan

penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.

Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %. Di Amerika

dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.

Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari

untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan

kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia

diberikan antibiotika secara empiris (PDPI, 2003).


9

2.1.1 Definisi Pneumonia

Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru

yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).

Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak

termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh non

mikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-

obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2003).

Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-

paru (alveoli), dengan gejala batuk pilek yang disertai nafas sesak atau

nafas cepat. Penyakit ini mempunyai tingkat kematian yang tinggi.

Secara klinis pada anak yang lebih tua selalu disertai batuk dan nafas

cepat dan tarikan dinding dada kedalam. Namun pada bayi seringkali

tidak disertai batuk (Pamungkas, 2012).

2.1.2 Etiologi Pneumonia

Cara terjadinya penularan berkaitan pula dengan jenis kuman, misalnya

infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococus pneumoniae,

melalui slang infus oleh Staphylococus aureus sedangkan infeksi pada

pemakaian ventilator oleh Pseudomonas aeruginosa (IPD, 2009).

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,

yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia

komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan

bakteri gram positif, pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan


10

bakteri gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan

oleh bakteri anaerob (PDPI, 2003).

Pada rawat jalan jenis patogen tidak diketahui pada 40% kasus.

Dilaporkan adanya Streptococus Pneumonia pada (9-20%),

Micobacterium pneumonia (13-37%), Chlamydia pneumonia ( 17%).

Patogen pada PK rawat inap diluar ICU. Pada 20-70% tidak diketahui

penyebabnya Streptococus Pneumonia, Haemophilus influenza,

Micobacterium pneumonia, Chlamydia pneumonia, Legionella, dan

virus sebesar 10 %. Sedangkan pada PK rawat inap di ICU yang

menjadi etiologinya adalah Streptococus pneumonia,

Enterobacteriacae, Pseudomonas Aeuroginosa (IPD, 2009).

2.1.3 Klasifikasi Pneumonia

Menurut Departemen Kesehatan RI , pneumonia diklasifikasikan sebagai

berikut :

1. Pneumonia berat

2. Peumonia ringan

3. Bukan pneumonia ( penyakit paru lain) (Kemenkes, 2010).

Sedangkan pada panduan persatuan dokter paru indonesia (2003),

pneumonia diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis :

a. Pneumonia komuniti (Community Acquired Pneumonia)


11

b. Pneumonia nosokomial (Hospital Acqiured Pneumonia /

Nosocomial Pneumonia)

c. Pneumonia aspirasi

d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised

pembagian ini penting untuk memudahkan dalam penatalaksanaan.

2. Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia.

Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang

yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,

Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan

Chlamydia

c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder.

Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah

(immunocompromised)

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia lobaris, Sering pada pneumania bakterial, jarang

pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu

lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh

obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau

proses keganasan

b. Bronkopneumonia, Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat

pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun


12

virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan

dengan obstruksi bronkus

c. Pneumonia interstisial (PDPI, 2003).

2.1.4 Faktor Resiko Pneumonia

etiologi dari peneumonia nosokomial yang tergantung terhadap tingkat

berat sakit, jenis patogen, onset dan hal itu dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Faktor resiko utama untuk patogen tertentu pada Pneumonia


(sumber : IPD, 2009).

Patogen Faktor Resiko


Staphylococcus aureus Koma, cedera kepala, influeza, pemakaian
obat IV, DM, gagal ginjal
Methicilin resisten Pernah dapat antibiotik, ventilator> 2 hari
Staphylococcus aureus lama dieawat di ICU , terapi
steroid/antibiotik
Pseudomonas aeruginosa Kelainan struktur paru (bronkietaksis,kistik
fibrosis), malnutrisi
Anaerob Aspirasi, selesai operasi abdomen
Achinobachter Antibiotik sebelum onset pneumonia dan
ventilasi mekanik

2.1.5 Patogensis

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di

paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila

terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme

dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di

paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai

dan merusak permukaan epitel saluran napas.

Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :


13

1. Inokulasi langsung

2. Penyebaran melalui pembuluh darah

3. Inhalasi bahan aerosol

4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara

Kolonisasi. Kolonisasi adalah proses dimana bakteri menempati dan

bermultiplikasi pada suatu daerah tertentu pada tubuh manusia. Secara

inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,

mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0

m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan

selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran

napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran

napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan

permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari

sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur

(50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan

pemakai obat (drug abuse) (PDPI, 2003).

Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-

10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml)

dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi

pneumonia. Pada pneumonia akibat virus terjadi efek sitopatik dimana

menyebabkan nekrosis sel epitel dan terjadi peningkatan mukus

bronkial (Herdanto, 2010). Pada pneumonia mikroorganisme biasanya


14

masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang

terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas

bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan

jenis mikroorganisme yang sama (PDPI, 2003).

Pada Histoplasma capsulatum dan Blastomyces dermatitides, terjadi

inhalasi spora dan terakumulasi pada alveoli. Tubuh akan merespon

dengan pelepasan makrofag alveolar untuk memfagositosis jamur

tersebut. Didalam sel makrofag, jamur justru dapat mengalami

multiplikasi spora intrasel. Selanjutnya makrofag akan menuju

limfonodi mediastinal, akan mengalir dalam sirkulasi darah yang

merupakan penyebaran secara hematogen (Herdanto, 2010).

2.1.6 Epidemiologi

Sebuah studi menyebutkan rata-rata kasus pneumonia dalam setahun

adalah 12 kasus setiap 1000 orang. Mortalitas pada penderita pneumonia

komuniti yang membutuhkan perawatan rumah sakit diperkirakan sekitar 7

- 14%, dan meningkat pada populasi tertentu seperti pada penderita

Comunity Acquired Pneumonia (CAP) dengan bakterimia, dan penderita

yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU). Angka

mortalitas juga lebih tinggi ditemukan pada negara berkembang, pada usia

muda, dan pada usia lanjut, bervariasi dari 10 – 40 orang tiap 1000

penduduk di negara-negara barat (Marchelinus, 2013).


15

2.1.7 Pneumonia Nasokomial

Pneumonia nosokomial adalah suatu peradangan pada parenkim paru

yang disebabkan oleh mikroorganisme penyebab infeksi yang

berkembang setelah 48 jam setelah masuk rumah sakit dan tidak terjadi

atau tidak terinkubasi pada saat masuk rumah sakit (Tablan, 2004).

Pneumonia nosokomial menduduki peringkat ketiga dari seluruh infeksi

nosokomial, setelah infeksi saluran kemih, dan infeksi kulit. Pneumonia

nosokomial pada anak ditandai dengan gejala dan tanda klinis

(misalnya batuk, retraksi, demam, peningkatan frekuensi napas dan

penemuan rales pada auskultasi paru), hasil pemeriksaan penunjang

(foto dada) dan ditunjang hasil pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan

mikrobiologi sputum pada saluran napas, pemeriksaan biakan darah,

dan penanda inflamasi seperti sel darah putih atau C-reaktif protein

(Mahabee, 2002).

2.1.8 Diagnosis Pneumonia Komuniti

Pneumonia sebagai infeksi mempunyai gejala yang khas pada masing-

masing jenis pneumonia. Untuk mendiagnosis perlu dilakukan anamnesis,

pemeriksaan penunjang, dan pemeriksaan fisik.

2.1.8.1 Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu

tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid


16

atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada

(PDPI,2003).

Pada pneumonia berat gejala timbul gejala berupa nafas cepat, tarikan

dinding dada ke dalam, stridor sedangkan pada pneumonia ringan

terdapat gejala nafas cepat dan apabila tidak ada gejala nafas cepat

maka bukan merupakan pneumonia (Depkes, 2010).

2.1.8.2 Pemeriksaan Fisik

Gejala peneumonia yang tidak khas sering terdapat pada anak dibawah

5 tahun, namun secara umum pneumonia untuk penilaian keadaan

umumnya adalah frekuensi napas, nadi, kesadaran dan kemapuan

makan (IDAI, 2009). Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari

luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit

tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada

perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler

sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang

kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi (PDPI,

2003).

2.1.8.3 Pemeriksaan Penujang

Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil

pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologis, evaluasi foto x-ray dada

(IDAI, 2009). Berikut untuk pemeriksaan penunjang pada pneumonia :

1. Pemeriksaan Radiologi
17

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama

untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa

infiltrat sampai konsolidasi dengan air broncogram, penyebab

bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Gambaran

adanya infiltrat dari foto x-ray merupakan standar yang

memastikan diagnosis (IDAI, 2009). Foto toraks saja tidak dapat

secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan

petunjuk kearah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia

lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,

Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral

atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia

sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan

meskipun dapat mengenai beberapa lobus (PDPI, 2003).

2. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah

leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai

30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke

kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis

etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi.

Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak

diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik

(PDPI,2003).
18

Diagnosis pasti pneumonia komuniti menurut Persatuan Dokter Paru

Indonesia, ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau

infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :

1. Batuk-batuk bertambah

2. Perubahan karakteristik dahak / purulen

3. Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam

4. Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara

napas bronkial dan ronki

5. Leukosit > 10.000 atau < 4500 (PDPI, 2003).

Yang termasuk dalam faktor modifikasi adalah: (ATS, 2001)

1. Pneumokokus resisten terhadap penisilin

a. Umur lebih dari 65 tahun

b. Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan

terakhir

c. Pecandu alkohol

d. Penyakit gangguan kekebalan

e. Penyakit penyerta yang multipel

2. Bakteri enterik Gram negatif

a. Penghuni rumah jompo

b. Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru

c. Mempunyai kelainan penyakit yang multipel

d. Riwayat pengobatan antibiotik

3. Pseudomonas aeruginosa

a. Bronkiektasis
19

b. Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari

c. Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan

terakhir

d. Gizi kurang

Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat

dilakukan dengan menggunakansistem skor menurut hasil penelitian

Pneumonia Patient Outcome Research Team’; (PORT) sepertiTabel 2

di bawah ini :

Tabel 2. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT


(Sumber: PDPI, 2003).

Karakteristik penderita Jumlah poin


Faktor demografi
1. Usia :
a. laki-laki Umur (tahun)
b. Perempuan Umur (tahun)- 10
2. Perawatan di rumah +10
3. Penyakit penyerta
a. Keganasan +30
b. Penyakit hati +20
c. Gagal jantung kongestif +10
d. Penyakit serebrovaskular +10
e. Penyakit ginjal +10
Pemeriksaan fisis
1. Perubahan mental +20
2. Pernapasan > 30 kali/menit +20
3. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg +20
4. Suhu tubuh <35 derajat celcius atau +15
>40 +10
5. Nadi > 125 kali/menit
Hasil laboratorium/Radiologi
1. Analisis gas darah arteri : PH 7,35 +30
2. BUN >30 mg/dL +20
3. Natrium < 130 Meq/ Liter +20
4. Glukosa > 250 mg/Dl +10
5. Hematokrit < 30 % +10
6. PO2 <= 60 mmHg +10
7. Efusi pleura +10

Menurut ATS tahun 2005 kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah

satu atau lebih kriteria di bawah ini :


20

a. Kriteria minor:

1. Frekuensi napas > 30/menit

2. Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg

3. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral

4. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus

5. Tekanan sistolik < 90 mmHg

6. Tekanan diastolik < 60 mmHg

b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut :

1. Membutuhkan ventilasi mekanik

2. Infiltrat bertambah > 50%

3. Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)

4. Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI,

pada penderita riwayat penyakit ginjal ataugagal ginjal

yang membutuhkan dialisis (ATS, 2005).

Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat

inap pneumonia komuniti adalah :

1. Skor PORT lebih dari 70

2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu

dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini :

a. Frekuensi napas > 30/menit

b. Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg

c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral

d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus

Tekanan sistolik < 90 mmHg


21

Tekanan diastolik < 60 mmHg

3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

2.1.8.4 Kriteria Perawatan Intensif

Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif

adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor

tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan

vasopressor >4 jam (syok sptik) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu

(Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks parumenunjukkan

kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor

dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan

Ruang Rawat Intensif (PDPI, 2003).

2.1.8.5 Pneumonia Atipik

Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering

pula dijumpai bakteri atipik. Bakteriatipik yang sering dijumpai

adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella

spp. Penyebab lain Chlamydia psittasi, Coxiella burnetti, virus

Influenza tipe A& B, Adenovirus dan Respiratory syncitial virus

(PDPI, 2003).

Gejalanya adalah tanda infeksi saluran napas yaitu demam, batuk

nonproduktif dan gejala sistemik berupa nyeri kepala dan mialgia.

Gejala klinis padatabel di bawah ini dapat membantu menegakkan

diagnosis pneumonia atipik. Pada pemeriksaan fisis terdapat ronki


22

basah tersebar, konsolidasi jarang terjadi. Gambaran radiologis

infiltrat interstitial. Labolatorium menunjukkan leukositosis ringan,

pewarnaan Gram, biarkan dahak atau darah tidakditemukan bakteri.

Laboratorium untuk menemukan bakteri atipik. Beberapa cara untuk

diagnosis dari pneumonia atipik sebagai berikut:

1. Isolasi biarkan sensitivitinya sangat rendah

2. Deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA)

3. Polymerase Chain Reaction (PCR)

4. Uji serologi

5. Cold agglutinin

6. Uji fiksasi komplemen merupakan standar untuk diagnosis

Micobacterium pneumoniae

7. Micro immunofluorescence (MIF). Standard serologi untuk

Chlamydia pneumoniae

8. Antigen dari urin untuk Legionella

untuk membantu secara klinis gambaran perbedaan gejala klinis atipik

dan tipik dapat dilihatpada tabel 3, walaupun tidak selalu dijumpai

gejala-gejala tersebut.

Tabel 3. Gejala pada pneumonia atipik dan tipik (Sumber: PDPI,


2003).

Tanda dan gejala P. atipik P. tipik


1. Onset Grandual Akut
2. Suhu Kurang tinggi Tinggi, menggigil
3. Batuk Non produktif Produktif
4. Dahak Mukoid Purulen
5. Gejala lain Nyeri kepala, mialgia, Jarang
sakit tengorokan, suara
parau,
6. Gejala diluar paru Flora normal atau Lebih jarang
7. pewarnaan gram spesifik Kokus gram (+)
23

8. radiologis Patchy atau normal atau (-)


9. laboratorium Leukosit normal Konsolidasi lobar
10. gangguan fungsi kadang rendah Lebih tinggi
hati Sering jarang
2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteru sama seperti

infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai

secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil

kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi

antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen (Kemenkes, 2005).

Sebagai tatalaksana umum dengan pasien yang mempunyai saturasi

oksigen < 92% pada saat benapas dengan udara kamar harus diberikan

terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk

mempertahankan saturasi oksigen > 92% (IDAI, 2009).

Petunjuk terapi empiris menurut PDPI (2003):

Rawat jalan

1. Tanpa faktor modifikasi :

Golongan β laktam atau β laktam + anti β laktamase

2. Dengan faktor modifikasi :

Golongan β laktam + anti β laktamase atau

Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin,

gatifloksasin).

3. Bila dicurigai pneumonia atipik : makrolid baru (roksitrosin,

klaritromisin, azitromosin)
24

Rawat inap

1. Tanpa faktor modifikasi : Golongan beta laktam + anti beta laktamase

i.v atau Sefalosporin G2, G3 i.v atau Fluorokuinolon respirasi i.v

2. Dengan faktor modifikasi :

Sefalosporin G2, G3 i.v atau Fluorokuinolon respirasi i.v

3. Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru

Ruang rawat intensif

1. Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas : Sefalosporin G3 i.v

nonpseudomonas ditambah makrolid baruatau fluorokuinolon

respirasi i.v

2. Ada faktor risiko infeksi pseudomonas : Sefalosporin G3 i.v anti

pseudomonas i.v atau karbapenem i.v ditambah fluorokuinolon

anti pseudomonas (siprofloksasin) i.v atau aminoglikosida i.v.

3. Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik : sefalosporin anti

pseudomonas i.v atau carbamapenem i.v

ditambah aminoglikosida i.v ditambah lagi makrolid baru atau

fluorokuinolon respirasi i.v.

Tatalaksana dari pneumonia komuniti menurut Persatuan Dokter Paru

Indonesia (2003) dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Penderita rawat jalan

a. Pengobatan suportif / simptomatik

 Istirahat di tempat tidur

 Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi


25

 Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun

panas

 Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran

b. Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8

jam

2. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa

a. Pengobatan suportif / simptomatik

 Pemberian terapi oksigen

 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan

elektrolit

 Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

b. Pengobatan antibiotik harus diberikan sesuai dengan etiologi

kurang dari 8 jam

3. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif

a. Pengobatan suportif / simptomatik

 Pemberian terapi oksigen

 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan

elektrolit

 Pemberian obatsimptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

b. Pengobatan antibiotik sesuai dengan etiologi kurang dari 8 jam

c. Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.

Dalam panduan penatalaksaan pneumonia terbaru dari ATS (2007)

dikatakan bahwa terapi untuk pneumonia sesuai dengan etiologi dari

pneumonia tersebut atau lebih sering dikatakan terapi defenitif. Untuk


26

pneumonia komuniti penatalaksanaannya sesuai dengan patogen

penyebabnya seperti tabel 4 dibawah ini :

Gambar 1. Penatalaksanaan pneumonia Komuniti menurut ATS


(Sumber: ATS, 2007)
27

2.2 Antibiotika

2.2.1 Defenisi Antibiotika

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,

yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Banyak

antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik yang tidak

diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon)

juga sering digolongkan sebagai antibiotik (Farmakologi, 2007).

2.2.2 Pilihan Antibiotika

Pilihan obat untuk pneumonia komuniti terdapat beberapa golongan

yaitu:

2.2.2.1 Golongan Makrolida

Eritromisin merupakan prototipe golongan ini sejak ditemukan

pertama kali tahun 1952. Komponen lain golongan makrolida

merupakan derivat sintetik dari eritromisin yang struktur

tambahannya bervariasi antara 14-16 cincin lakton. Derivat

makrolida tersebut terdiri dari spiramysin, midekamisin,

roksitromisin, azitromisin dan klaritromisin (Farmakologi, 2009).

Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi

Gram positif coccus seperti Staphylococcus aureus, coagulase-

negatif staphylococci, streptococci β-hemolitik dan Streptococcus

spp. lain,enterococci, H. Influenzae, Neisseria spp, Bordetella spp,


28

Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia dan

Legionella spp. Azitromisin memiliki aktivitas yang lebih poten

terhadap Gram negatif, volume distribusi yang lebih luas serta waktu

paruh yang lebih panjang. Klaritromisin memiliki fitur

farmakokinetika yang meningkat (waktu paruh plasma lebih

panjang, penetrasi ke jaringan lebih besar) serta peningkatan

aktivitas terhadap H. Influenzae, Legionella pneumophila (Jones RN

et al., 1997). Sedangkan roksitromisin memiliki aktivitas setara

dengan eritromisin, namun profil farmakokinetiknya mengalami

peningkatan sehingga lebih dipilih untuk infeksi saluran pernapasan.

Hampir semua komponen baru golongan makrolida memiliki

tolerabilitas, profil keamanan lebih baik dibandingkan dengan

eritromisin. Lebih jauh lagi derivat baru tersebut bisa diberikan satu

atau dua kali sehari, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien

(Kemenkes, 2005).

2.2.2.2 Golongan Beta Laktam

Antibiotik beta-laktam adalah golongan antibiotika yang memiliki

kesamaan komponen struktur berupa adanya cincin beta-laktam dan

umumnya digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri (Madigan dan

Martinko, 2000). Terdapat sekitar ± 56 macam antibotik beta-laktam

yang memiliki aktivitas antimikrobial pada bagian cincing beta

laktamnya dan apabila cincin tersebut dipotong


29

oleh mikroorganisme maka akan terjadi resistensi antibiotik terhadap

antibiotik tersebut (Schwalbe, Steele-Moore, dan Goodwin, 2007).

Antibiotik beta-laktamase bekerja membunuh bakteri dengan cara

menginhibisi sintesis dinding selnya. Pada proses pembentukan

dinding sel, terjadi reaksi transpeptidasi yang dikatalis oleh enzim

transpeptidase dan menghasilkan ikatan silang antara dua rantai

peptida-glukan. Enzim transpeptidase yang terletak pada membran

sitoplasma bakteri tersebut juga dapat mengikat antibiotik beta-

laktam sehingga menyebabkan enzim ini tidak mampu mengkatalisis

reaksi transpeptidasi walaupun dinding sel tetap terus dibentuk

(Handayani, 2013).

Dinding sel yang terbentuk tidak memiliki ikatan silang dan

peptidoglikan yang terbentuk tidak sempurna sehingga lebih lemah

dan mudah terdegradasi. Pada kondisi normal, perbedaan tekanan

osmotik di dalam sel bakteri gram negatif dan di lingkungan akan

membuat terjadinya lisis sel. Selain itu, kompleks protein

transpeptidase dan antibiotik beta-laktam akan menstimulasi

senyawa autolisin yang dapat mendigesti dinding sel bakteri tersebut.

Dengan demikian, bakteri yang kehilangan dinding sel maupun

mengalami lisis akan mati (Handayani, 2013).

Yang termasuk kedalam golongan beta laktam adalah penisilin,

sefalosforin, karbapenam, dan monobaktam serta penghambat beta

laktamase dengan kobinasinya (Farmakologi, 2007).


30

2.2.2.3 Golongan Aminoglikosid

Sampai sekarang derivat aminoglikosida telah dikembangkan seperti

streptomisin, neomisin, kanamisin, paromomisin, gentamisin,

tobramisin, sisomisin, dan netilmisin. Senyawa aminoglikolisida

dibedakan dari gugus gula amino yang terikat pada aminosiklitol.

Gentamisin merupakan prototip golongan aminoglikosida

(Farmakologi, 2007).

Menurut Dinitanegara (2011), mekanisme dari golongan

aminoglikosida adalah :

1. Aminoglikosida berdaya kerja bakterisida.

2. Aminoglikosida terikat pada sub unit 30 S dari ribosom maka

sub unit 70 S nya tidak terbentuk sehingga terjadi inhibisi

sintesis protein karena salah baca kode genetik

3. Asam amino yang salah yang disambungkan pada rantai

polipeptida sehingga terbentuk protein yang berbeda.

4. Mekanisme lain yaitu merusak membran sel bakteri sehingga

bakteri mati.

Antibiotik aminoglikosida merupakan bakterisid yang kerjanya

cepat. Pembunuhan bakteri tergantung pada konsentrasi, tetapi

aktivitas bakterisid residual masih ada walaupun konsentrasi serum

telah menurun di bawah konsentrasi penghambatan minimum

(Brunton, et.al., 2008)

.
31

Diatur oleh potensial elektrik membran, aminoglikosida berdifusi

melalui saluran-saluran encer yang dibentuk oleh protein porin pada

membran terluar dari bakteri gram negatif dan memasuki ruang

periplasma. Proses yang kecepatannya terbatas ini dapat diblok atau

dihambat dengan penurunan pada pH atau kondisi anaerobik, seperti

pada bisul. Sekali berada di dalam sel, aminoglikosida mengikat

polysome dan mengganggu sintesis protein dengan menyebabkan

kesalahan pembacaan dan terminasi prematur dari translasi mRNA.

Protein abnormal yang dihasilkan mungkin dimasukkan kedalam

membran sel, mengubah permeabilitas dan kemudian menstimulasi

transpor aminoglikosida (Brunton, et.al., 2008).

2.2.2.4 Golongan Flourokuinolon

Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin,

ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain.

Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh

Gonokokus, Shigella, E. coli, Salmonella, Haemophilus, Moraxella

catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan Pseudomonas aeruginosa

(Kemenkes, 2011).

Pada saat perkembangbiakkan kuman ada yang namanya replikasi

dan transkripsi dimana terjadi pemisahan double helix dari DNA

kuman menjadi 2 utas DNA. Pemisahan ini akan selalu

menyebabkan puntiran berlebihan pada double helix DNA sebelum

titik pisah (Feripadri, 2011).


32

Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan enzim

DNA girase.Peranan antibiotika golongan Kuinolon &

Flurokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman

dan bersifat bakterisidal, sehingga kuman mati (Feripadri, 2011).

2.2.3 Posologi Antibiotika

Pada pasien pneumonia sangat diperlukan dalam posologi dari antibiotika

dengan memperhatikan dosis masing masing obat antibiotika.Posologi

adalah ilmu yang membahas bentuk sediaan obat, pemberian obat,

perhitungan dosis dan frekuensi pemberian obat.Setiap paramedis perlu

mempelajari posologi agar dapat memberikan obat secara rasional. Yaitu

pemberian obat yang tepat pada paisien, tepat obat, tepat waktu, tepat

dosis dan tepat rute (Pradipta, 2014).

Berikut posologi antibiotika untuk pneumonia menurut Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia dan farmakologi UI sesuai dengan ATS

(2007):
33

Tabel 5. Profil obat terapi pneumonia komuniti sesuai dengan PDPI dan
ATS (Sumber : ATS, 2007 dan Farmakologi, 2009).

Nama Obat Golongan Sedian Dosis Anak Dosis


Dewasa
Penisilin v Beta laktam 250 mg, 635 25-50 0,25-0,5 g
mg, syrp.125 mg/kg/hari 2x sehari
mg/5ml 4 x sehari
Amoksisilin Beta laktam 125 mg, 250 20-40 0,25-0,5 g
mg, 500 mg, mg/kg/hari 3x sehari
syrp.125 3x sehari
mg/5ml
Sefotaksim Beta laktam 1,2 g dan 10 g 50-200 1-2 g/ 6-12
(IV) mg/kg/hari jam
4-6 x sehari

Seftriakson Beta laktam 0,25 mg, 0,5 50-100 1-4 g / 24


mg, dan 1 g mg/kg/hari jam
(IV) 2 x sehari

Sefuroksim Beta laktam 250 mg,500 0,125-0,25 0,25 -0,5 g


mg (IV,PO) g bid

Doksisiklin Tetrasiklin 150 mg, dan - Oral, awal


300 mg, 200 mg,
syrp.75 selanjutnya
mg/5ml 100-200 mg/
hari
1x sehari
Vankomisin Makrolid 500 mg (IV) 20-40 mg 2-4 g /hari
10 g (PO) /kg/hari 2x sehari
(IV)
10 g
oral/115 ml
air
2x sehari
Azitromisin Makrolid 250 mg dan 10 1x 1500 mg /
500 mg mg/kg/hari hari
(tablet) 1x sehari-3 3x sehari
250 mg/ 5 ml hari
(sytp)
Klaritromisin Makrolid 250 mg dan 15 2x 250-500
500 mg mg/kg/hari mg /hari
2x sehari 2x sehari
Sefalosporin Beta laktam Generasi I-IV
Gentamisin Aminogliko Larutal streril 5-6 5-6
sid ampul 60 mg mg/kg/hari mg/kg/hari
/1,5 ml, 80 1x sehari 1x sehari (IV,
mg/ 2 ml , 120 (IV, IM) IM)
mg / 3 ml dan
280 mg/ 2 ml
Sediaan salep
34

dan krim 0,3%

Streptomisin Aminogliko 1 g atau 5 g 20-30 1-2 g /hari


sid (IM) mg/kg/hari 1 x sehari
2 x sehari
Siprofloksasin Fluorokuino Tablet 2x250-500 2x250-500
lon 250,500, dan mg/hari mg/hari
750 mg 2x sehari 2x sehari
Infus 200 dan (PO) (PO)
400 mg 2X 200- 2X 200-400
400 mg mg (IV)
(IV)
Levofloksasin Fluorokuino Tablet 250 dan 1x250-500 1x250-500
lon 500 mg mg (PO) mg (PO)
Infus 500 1x 500 mg 1x 500 mg
mg/100 ml IV tiap 24 IV tiap 24
jam jam

Klindamisin Makrolid Kapsul 150 8-16 150-300


mg dan 300 mg/kg/hari mg/hari 3-4
mg, suspensi x sehari
oral 75
mg/5ml

Karbapenem Beta laktam Imiviem (IV) 60-120 0,25-0,5 g/ 6-


Meropenem mg/kg/hari 8jam
(IV) 3x sehari
IRHZ tuberkulosis IRHZ
Intrakonazole Jamur 100 mg kapsul 200 200 mg/hari
infeksi mg/hari 2x sehari
sistemik 2x sehari
Amfoterisin B Jamur 50 mg bubuk Terapi Terapi cairan
infeksi cairan dengan
sistemik dengan amfoterisin B
amfoterisin
B

2.3 Drug Related Problems (DRPs)

2.3.1 Definisi

Drug Related Problems (DRPs) merupakan situasi tidak ingin dialami

oleh pasien yang disebabkan oleh terapi obat sehingga dapat berpotensi

menimbulkan masalah bagi keberhasilan penyembuhan yang

dikehendaki. Suatu kejadian dapat disebut DRPs bila memenuhi


35

komponen yaitu kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien berupa

keluhan medis, gejala, diagnosis, penyakit, dan ketidakmaupun

(disability) serta memiliki hubungan antara kejadian tersebut dengan

terapiobat dimana hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi

obat maupun kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi

maupun preventif (Cipolle et al., 2004).

2.3.2 Klasifikasi

Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) Classification V 5.01

mengklasifikasikan DRPs yaitu sebagai berikut :

Tabel 6. Klasifikasi dan penjelasan drug related problems (DRPs) (PCNE5,


2006).

Kode Domain primer


V5.01
Masalah P1 Reaksi merugikan
Pasien menderita dari suatu peristiwa obat
yang merugikan
P2 Masalah Pilihan Obat
Pasien mendapat atau akan mendapatkan
kesalahan pada penggunaan obat untuk
penyakitnya
P3 Masalah dosis
Pasien mendapat lebih atau kurang dari
jumlah obat yang dia butuhkan.
P4 Masalah Penggunaan Obat
Kesalahan atau tidak adanya obat yang
diambil atau diberikan
P5 Interaksi
Adanya manifestasi atau potensial interaksi
obat-obat atau obat-makanan

Penyebab C1 Seleksi Obat/Dosis


Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
pemilihan jadwal obat dan atau dosis
C2 Proses Penggunaan Obat
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
cara pasien menggunakan obat, terlepas dari
36

petunjuk dosis yang tepat.


C3 Informasi
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
kurangnya atau salah tafsir informasi
C4 Pasien / psikologis
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
kepribadian atau perilaku pasien
C5 (Farmasi) logistik
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan
mekanisme logistik peresepan
C6 Dan Lain Lain

Intervensi I0 Tidak ada intervensi


I1 Pada tingkat peresepan
I2 Pada tingkat pasien
I3 Pada tingkat Obat
I4 Lainnya

Hasil Intervensi O0 Hasil intervensi tidak diketahui


O1 Masalah benar-benar dipecahkan
O3 Masalah sebagian dipecahkan
O4 Masalah tidak dipecahkan

Domain Primer Kode Masalah


V5.01
1. Efek samping
Pasien menderita P1.1 Efek samping diderita (non-alergi)
suatu efek racun obat P1.2 Efek samping diderita (alergi)
yang merugikan P1.3 Efek toksis diderita
2. Masalah pilihan obat
Pasien mendapat atau
akan mendapatkan P2.1 Obat tidak tepat (tidak tepat untuk
kesalahan pada indikasi)
penggunaan obat P2.2 Sediaan obat yang tidak tepat (tidak
untuk penyakitnya tepat untuk indikasi)
P2.3 Duplikasi tidak tepat pada kelompok
terapi atau bahan aktif
P2.4 Kontra-indikasi obat (Kehamilan atau
menyusui)
P2.5 Tidak ada indikasi yang jelas pada
penggunaan obat
P2.6 Tidak ada obat yang diresepkan tetapi
indikasi yang jelas

3. Masalah Dosis
Pasien mendapat P3.1 Dosis obat terlalu rendah atau
lebih atau kurang dari pemberian dosis tidak mencukupi
jumlah obat yang dia P3.2 Dosis obat terlalu tinggi atau pemberian
butuhkan. dosis berlebihan
P3.3 Lama pengobatan terlalu pendek
P3.4 Lama pengobatan terlalu lama
37

4. Masalah
penggunaan obat
Kesalahan atau tidak P4.1 Obat tidak diambil atau diberikan sama
adanya obat yang sekali
diambil atau P4.2 Kesalahan pengambilan atau
diberikan administrasi obat

5. Interaksi
Adanya manifestasi P5.1 Potensi interaksi.
atau potensial P5.2 Manifestasi interaksi
interaksi obat-obat
atau obat-makanan

6. Lainnya P6.1 Pasien tidak puas dengan terapi


meskipun mendapat obat yang tepat
P6.2 Ketidakcukupan pengetahuan kesehatan
dan penyakit
P6.3 Keluhan yang tidak jelas. Diperlukan
klarifikasi lebih lanjut
P6.4 Kegagalan terapi (alasan yang tidak
diketahui)
38

2.4 Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka akan teori yang telah ada yang berhubungan

dengan penelitian yang dinginkan. pneumonia adalah penyakit infeksi akut

yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dengan gejala batuk pilek yang

disertai nafas sesak dan nafas cepat (Pamungkas, 2012). Dalam menentukan

pengobatan yang akan diperlukan pada pasien pneumonia kominti perlu

diketahui etiologi, anamnesis tentang penyakit pasien, diagnosis pasien

(WHO,2006).

Golongan yang digunakan pada pengobatan pneumonia komuniti adalah

golongan beta laktam, golongan anti beta laktamase,golongan fluorokuinolon

respirasi, makrolid (PDPI, 2003). Selain golongan tersebut ada beberapa

golongan yang juga dipakai dalam pengobatan pneumonia komuniti yaitu

golongan aminoglikosida (dinitanegara, 2011). Dalam penelitian ini akan

dilihat ketidaksesuaian pengobatan (DRPs) pada pengobatan pneumonia

komuniti serta hubungan usia, berat badan,dan komponen DRPs terhadap

kejadian DRPs.

Menurut (Cipole et al., 2012) klasifikasi Drugs Related Problems (DRPs)

dalam PCNE (2006) adalah pemilihan obat, dosis obat, indikasi obat, dan

interaksi obat. Namun dalam penelitian ini tidak diteliti mengenai interaksi

obat karena membutuhkan sampel primer untuk mengetahui efek samping

ataupun interaksi obatnya.


39

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau ikatan

antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atan antara varibael yang

satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti.

Kerangka konsep dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

PNEUMONIA
KOMUNITI

Peresepan Obat di RSUD Jendral


Ahmad Yani

Indikasi Obat Dosis Obat Pemilihan Obat

Indikasi tanpa Obat tanpa Dosis tinggi Dosis rendah


obat indikasi obat obat

Drug Related Problems (DRPs)

Gambar 3. Kerangka konsep


40

2.6 Hipotesis

Hipotesis yang dapat diambil dari penelitian ini ada 2 jenis yaitu hipotesis

alternatif dan hipotesis nol, yaitu sebagai berikut:

1. Hipotesis alternatif (Ha) : Adanya Kejadian Drug Related Problems

(DRPs) pada pasien pneumonia berdasarkan panduan PDPI

(perhimpunan dokter paru indonesia) di Poliklinik Paru RSUD Jendral

Ahmad Yani Periode april 2014- maret 2015 Kota Metro.

2. hipotesis nol (H0) : Tidak adanya Kejadian Drug Related Problems

(DRPs) pada pasien pneumonia berdasarkan panduan PDPI

(perhimpunan dokter paru indonesia) di Poliklinik Paru RSUD Jendral

Ahmad Yani Periode april 2014- maret 2015 Kota Metro.

Anda mungkin juga menyukai