Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH LATIHAN ASERTIF TERHADAP KEMAMPUAN PASIEN JIWA DENGAN

SKIZOFRENIA MENGONTROL HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI

Latar Belakang Masalah

Sejalan dengan perkembangan teknologi, dapat dikatakan makin banyak masalah yang

harus dihadapi dan diatasi seseorang serta sulit tercapai kesejahteraan hidup, keadaan ini sangat

besar pengaruhnya terhadap kesehatan jiwa seseorang (Yosep, 2010). Gangguan kesehatan jiwa

merupakan masalah kesehatan masyarakat dan sosial di Indonesia dan cenderung meningkat dari

tahun ke tahun, hal ini dapat mempengaruhi perkembangan seseorang baik fisik, internal dan

emosional untuk tercapainya kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan

masyarakat. Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas cenderung

meningkat, hal ini disebabkan oleh peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan

orang yang dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan,krisis

ekonomi, tekanan dalam pekerjaan dan deskriminasi meningkatkan resiko menderita gangguan

jiwa (Suliswati, 2012).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa jumlah gangguan jiwa cukup

tinggi hingga mencapai 480 juta orang diseluruh dunia pada tahun 2013. Masalah gangguan jiwa

yang menyebabkan menurunnya kesehatan mental ini ternyata terjadi dihampir seluruh negara di

dunia. Masalah gangguan jiwa seperti stres, depresi, kecemasan, ketakutan hingga kasus parah

seperti skizofrenia terus mengalami peningkatan hingga mencapai 20% sampai dengan 30%.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2013 prevalensi gangguan jiwa berat pada

penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta,

Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Bali. Hasil Riskesdas 2013 Provinsi Bali berada di

peringkat kedelapan kasus gangguan jiwa terbanyak dengan prevalensi 2,3 per mil. Menurut

(Suryani, 2011) dalam (Sucipta, 2012) masyarakat Bali mengalami gangguan jiwa setiap
tahunnya cenderung bertambah rata-rata 100-150 orang, dengan rata-rata penderita gangguan

jiwa sekitar 11.675 orang.

Jenis dan karakteristik gangguan jiwa sangat beragam, salah satunya gangguan jiwa yang

sering kita temukan dan dirawat yaitu skizofrenia (Maramis, 2008). Sekitar 45% penderita yang

masuk rumah sakit jiwa merupakan klien skizofrenia dan sebagian besar klien skizofrenia

memerlukan perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang lama. Skizofrenia merupakan salah

satu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan realitas (halusinasi dan waham),

(Videbeck, 2008). Diperkirakan sebesar 90% pasien skizofrenia mengalami halusinasi, yakni

70% mengalami halusinasi auditorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinasi pengecapan, taktil

dan penciuman (Sulistyowati, 2007).

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal

(pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Pasien memberi persepsi atau pendapat tentang

lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Pasien yang mengalami halusinasi

sering kali beranggapan sumber halusinasi itu berasal dari lingkungannya, padahal rangsangan

primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian

traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang

yang dicintai, tidak dapat mengendalikan dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri (Yosep,

2010).

Pasien yang mengalami halusinasi disebabkan karena ketidakmampuan pasien dalam

mengadapi stressor serta kurangnya kemampuan untuk mengungkapkan masalah yang mereka

hadapi kepada orang lain, (Stuart dan Sundeen, 2008). Dampak yang dapat ditimbulkan oleh

pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa

membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan (Yosep, 2010).
Kemampuan pasien untuk mengontrol halusinasi setelah dilakukan tindakan keperawatan

seperti terapi aktivitas kelompok belum mampu mengontrol halusinasi dibuktikan oleh Sudjarwo

(2007) yang meneliti tentang pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap

kemampuan pasien mengontrol halusinasi di RSJ Dr. RadjimanWediodiningrat Lawang Malang.

Hasil penelitian setelah post test dari 15 pasien pada kelompok perlakuan sebanyak 4 orang

(26,7%) belum mampu mengontrol halusinasi setelah diberikan terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi. Penelitian yang dilakukan oleh Parwati Luh Gede. (2011). pengaruh TAK

stimulasi stimulasi persepsi sensori terhadap kemampuan mengontrol halusinasi di RSJ Provinsi

Bali di Bangli. Hasil penelitian setelah post test dari 10 pasien pada kelompok perlakuan

sebanyak 2 orang (20%) belum mampu mengontrol halusinasi setelah diberikan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi.

Upaya yang dapat dilakukan untuk penanganan pasien halusinasi agar mereka mampu

mengontrol halusinasinya yaitu dengan menggunakan metode pendekatan kelompok dengan

memberikan terapi latihan asertif. Latihan asertif (assertive training) adalah salah satu teknik

dalam tritmen ganguan persepsi dimana klien diinstruksikan, diarahkan, dilatih, serta didukung

untuk bersikap asertif dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman atau kurang menguntungkan

bagi dirinya daengan melatih kemampuan individu untuk menyampaikan dengan terus terang

pikiran, perasaan, keinginan dan kebutuhannya dengan penuh percaya diri sehingga dapat

berhubungan baik dengan lingkungan sosialnya. Tujuan utama latihan asertif adalah untuk

mengatasi kecemasan yang dihadapi oleh seseorang akibat paparan stimulus yang diterima

(Ermawati,dkk,2009).

Latihan asertif mampu merangsang atau menstimulasikan pasien melalui kegiatan yang

disukainya dan mendiskusikan aktivitas yang telah dilakukan yang untuk mencegah pencerapan
panca indra tanpa ada rangsang dari luar dan bertujuan membantu anggotanya berhubungan

dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptive dengan aktivitas

mengenal halusinasi, aktivitas menghardik halusinasi, aktivitas mengontrol halusinasi dengan

melakukan kegiatan, aktivitas mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, aktivitas

mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat. Aktivitas yang telah dilakukan tersebut

diharapkan pasien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh

paparan stimulus kepadanya, serta pasien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan

kepadanya dengan tepat, pasien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang

dialami sehingga bila pasien mampu mengontrol maka halusinasinya akan menurun

(Keliat,2005).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka menarik untuk diteliti tentang “pengaruh latihan

asertif terhadap kemampuan pasien jiwa dengan skizofrenia mengontrol halusinasi di Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Bali”.


HUBUNGAN HEALTH PROMOTING SCHOOL DENGAN PERILAKU HIDUP
BERSIH DAN SEHAT (PHBS) TATANAN SEKOLAH.

Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu hal penting yang berpengaruh dalam peningkatan kualitas

sumber daya manusia. Kesehatan sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku. Seseorang dapat

berperilaku sehat jika memiliki pengetahuan tentang kesehatan, dalam hal itu pengetahuan yang

paling mendasar adalah pengetahuan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

(Machfoedz, 2012). PHBS merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar

kesadaran atas hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang dapat menolong dirinya sendiri di

bidang kesehatan. PHBS dilakukan melalui pendekatan tatanan yaitu: PHBS tatanan rumah

tangga, PHBS tatanan tempat kerja, PHBS tatanan pelayanan kesehatan, PHBS tatanan tempat

umum dan PHBS tatanan sekolah. PHBS tatanan sekolah adalah upaya untuk memberdayakan

siswa, guru, dan masyarakat lingkungan sekolah agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan

PHBS, dan berperan aktif dalam mewujudkan sekolah sehat (Sekarningsih, 2012). Kebiasaan

melaksanakan PHBS semestinya dijadikan budaya sejak usia dini agar terciptanya generasi

penerus bangsa yang berkualitas (Depkes RI, 2011).

Anak usia sekolah merupakan kelompok yang sangat peka untuk menerima perubahan

atau pembaharuan, karena kelompok anak usia sekolah sedang berada dalam taraf pertumbuhan

dan perkembangan. Pada taraf ini anak mudah menerima stimulus sehingga dapat dibimbing,

diarahkan dan ditanamkan kebiasaan yang baik, termasuk dalam hal ini adalah kebiasaan untuk

melaksanakan PHBS di sekolah, melalui pelaksanaan PHBS diharapkan nanti mereka mampu

menerapkan kebiasaan hidup bersih dan sehat setelah dewasa (Notoatmodjo, 2010).
Dampak dari kurang dilaksanakannya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang

sering menyerang anak usia sekolah 6-12 tahun adalah diare, kecacingan, dan anemia ternyata

umumnya berkaitan dengan PHBS serta dampak lainnya adalah suasana belajar yang tidak

mendukung karena lingkungan Sekolah yang kotor, manurunnya citra sekolah dimasyarakat

umum (Maryunani, 2013). Berdasarkan data WHO tahun 2014 menyebut bahwa setiap tahun

100.000 anak sekolah usia 6-12 tahun di Indonesia meninggal akibat diare, angka kejadian

kecacingan mencapai angka 40-60% anemia pada anak sekolah 23% dan masalah karies dan

periodontal 74,4%. Berdasarkan data Depkes tahun 2013 prevalensi penyakit caries dan penyakit

periodontal anak usia 6-12 tahun sebesar 74,4%. Menurut data susenas (survei data nasional)

tahun 2014 menyebutkan bahwa sekitar 3% anak-anak mulai merokok sejak umur kurang dari 10

tahun.

Upaya yang dilakukan untuk mencegah angka kesakitan pada anak usia sekolah 6-12

tahun, dilakukan dengan program perilaku hidup bersih dan sehat yang dikenal dengan PHBS

(Depkes RI, 2011). PHBS sangat diperlukan di lingkungan sekolah karena sangat berpengaruh

terhadap perilaku sehat anak. Sekolah juga sebagai salah satu sasaran PHBS ditatanan sekolah

dengan indikator yaitu mencuci tangan dengan air yang mengalir dan memakai sabun,

mengkonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah, menggunakan jamban yang bersih dan sehat,

olahraga yang teratur dan terukur, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok di sekolah,

menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan dan membuang sampah pada

tempatnya (Depkes RI, 2011).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menunjukkan bahwa cakupan

program PHBS tatanan sekolah baru mencapai 57,52%. Padahal Rencana Strategis (Restra)
Kementerian Kesehatan tahun 2014 mencantumkan target 70% sekolah sudah mempraktekkan

PHBS. Data PHBS untuk Provinsi Bali tahun 2014 menunjukkan sekolah yang telah memenuhi

kriteria PHBS baik sebesar 62,32% dari target 80%, tahun 2015 sekolah yang telah memenuhi

kriteria PHBS baik sebesar 68,75% dari target 80%. Kota Denpasar merupakan salah satu

kabupaten/ Kota di Provinsi Bali dengan cakupan program PHBS tatanan sekolah tahun 2015

yang belum mencapai target Provinsi, sekolah-sekolah di Kota Denpasar yang telah memenuhi

kriteria PHBS baik sebesar 67,50% dari target 80% (Dinkes Provinsi Bali, 2015).

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan sekolah sehat, departemen

kesehatan bersama dengan departemen pendidikan nasional, departemen agama, dan departemen

dalam negeri bekerjasama untuk mengembangkan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

UKS merupakan salah satu kegiatan kesehatan dalam sekolah yang melibatkan semua pihak

yang ada dalam sekolah berkaitan dengan masalah kesehatan, menciptakan lingkungan kesehatan

yang sehat dan aman, memberikan pendidikan kesehatan bagi anak, memberikan akses

pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif bagi anak-anak (Depkes RI,2013).

Health Promoting School adalah sekolah yang telah melaksanakan UKS dengan ciri-ciri

melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan masalah kesehatan sekolah, menciptakan

lingkungan sekolah yang sehat dan aman, memberikan pendidikan kesehatan di sekolah,

memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan, ada kebijakan dan upaya sekolah untuk

mempromosikan kesehatan dan berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan anak, dengan

demikian sekolah sebagai tempat belajar tidak hanya perlu memiliki lingkungan yang bersih dan

sehat dalam mendukung proses belajar mengajar yang baik, namun diharapkan mampu

membentuk siswa memiliki derajat kesehatan yang baik (Depkes RI, 2013).
Keperawatan kesehatan sekolah merupakan salah satu area dalam keperawatan komunitas,

peran perawat komunitas pada kesehatan sekolah antara lain sebagai pelaksana asuhan

keperawatan di sekolah dengan kegiatan mengkaji masalah kesehatan dan keperawatan peserta

didik dengan melakukan pengumpulan data, analisa data, perumusan masalah dan prioritas

masalah,juga menyusun perencanaan kegiatan UKS, melaksanakan kegiatan UKS sesuai dengan

rencana kegiatan yang telah disusun, penilaian dan pemantauan hasil kegiatan UKS, dan

melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Sebagai

Pengelola kegiatan UKS, perawat kesehatan yang bertugas di puskesmas dapat ditunjuk sebagai

seorang koordinator UKS di tingkat puskesmas. Bila perawat kesehatan ditunjuk sebagai

koordinator maka pengelolaan pelaksanaan UKS menjadi tanggung jawabnya atau paling tidak

ikut terlibat dalam tim pengelola UKS. Sebagai Penyuluh, Peranan perawat dalam memberikan

penyuluhan dapat dilakukan secara langsung melalui penyuluhan kesehatan yang bersifat umum

dan klasikal, atau secara tidak langsung sewaktu melakukan pemeriksaan kesehatan peserta didik

secara perseorangan (Maryunani, 2013).

Lingkungan sekolah yang sehat tentu sangat mendukung dalam pencapaian tujuan

pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka tiga (trias) pelaksanaan program pokok UKS

yaitu pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sekolah sehat, yang

perlu didorong dan dimasyarakatkan agar semua pihak memahami dan mendukung program

UKS di sekolah . Usaha Kesehatan Sekolah sebagai salah satu wahana untuk meningkatkan

kemampuan hidup sehat harus di laksanakan secara terpadu, berencana, terarah dan bertanggung

jawab dalam menanamkan, menumbuhkan, mengembangkan dan membimbing untuk

menghayati, menyenangi dan melaksanakan prinsip hidup sehat dalam kehidupan peserta didik

sehari-hari (Depkes RI, 2011).


HUBUNGAN STATUS KOGNITIF DENGAN KUALITAS HIDUP LANSIA

LatarBelakang

Lansia (LanjutUsia) Menurut WHO adalah orang yang berusia 60-74

tahun.Pernyataaninisesuaidengan UU Nomor 13 tahun 1998,tentangkesejahteraanlanjutusia di

Indonesia yang menyatakanbahwalansiaadalah orang yang berusia 60 tahunkeatas. Keberhasilan

pemerintah dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan membawa dampak positif bagi

kesejahteraan masyarakat, dalam bidang kesehatan dampak positif tersebut terlihat dari

peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH). Meningkatnya UHH menyebabkan peningkatan

jumlah penduduk lansia setiap tahunnya (Gitahafas, 2011).

Jumlah populasi Lansia di dunia diperkirakan hampir mencapai 2 juta orang pada tahun

2005 dan diproyeksikan menjadi 2 milyar pada tahun 2050. Jumlah lansia di Indonesia pada

kurun waktu 1990-2025 sebesar 414%, dari 11.275.557 jiwa meningkat sebesar46.680.806 jiwa

(Darmono & Martono, 2010). Saatini di seluruh dunia jumlah orang lanjut usia diperkirakan ada

500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2

milyar. (SitiBandiyah, 2009). Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia Tahun 2010, jumlah

lansia tahun 2009 sejumlah 18.425.000 jiwa dan tahun 2010 sejumlah 19.036.600 jiwa dilihat

dari jumlah tersebut terjadi peningkatan lansia di Indonesia.

Menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Permasalahan

yang sering dihadapi lansia seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi penurunan berbagai

fungsi organ tubuh. Penurunan fungsi ini disebabkan karena berkurangnya jumlah sel secara
anatomis serta berkurangnya aktivitas, asupan nutrisi yang kurang, polusi dan radikal bebas, hal

tersebut mengakibatkan semua organ pada proses menuaakan mengalami perubahan structural

dan fisiologis, begitu juga otak (Bandiyah, 2009). Perubahan tersebut menyebabkan lansia

mengalami perubahan fungsi kerja otak/ perubahan fungsi kognitif.Perubahan fungsi kognitif

dapat berupa mudah lupa (forgetfulness) yang merupakan bentuk gangguan kognitif yang paling

ringan. Gejala mudah lupa diperkirakan dikeluhkan oleh 39% lanjut usia yang berusia 50-59

tahun, meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Di fase ini seseorang

masih bisa berfungsi normal walaupun mulai sulit mengingat kembali informasi yang telah

dipelajari. Jika penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia berjumlah 7% dari seluruh

penduduk, maka keluhan mudah lupa tersebut diderita oleh setidaknya 3% populasi di

Indonesia. Mudah lupa ini bisa berlanjut menjadi gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive

Impairment-MCI) sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat (Wreksoatmodjo,

2012).

World Alzheimer Reports mencatat demensia akan menjadi krisis kesehatan terbesar di

abad ini yang jumlah penderitanya terus bertambah. Data WHO tahun 2010 menunjukkan, di

tahun 2010 jumlah penduduk dunia yang terkena demensia sebanyak 36 juta orang. Jumlah

penderitanya diprediksi akan melonjak dua kali lipat di tahun 2030 sebanyak 66 juta orang.

Jumlah penyandang demensia di Indonesia hampir satu juta orang pada tahun 2011

(Wreksoatmodjo, 2012).

Perubahan fungsi kognitif ini tentunya membawa dampak tersendiri bagi kehidupan

lansia. Studi oleh Comijs et al. (2004) dalam surprenant & Neath (2007) menunjukkan bahwa

perubahan fungsi kognitif pada lansia berasosiasi secara signifikan dengan peningkatan depresi

dan memiliki dampak terhadap kualitas hidup seorang lansia. Selain itu, lansia yang mengalami
perubahan fungsi kognitif lebih banyak kehilangan hubungan dengan orang lain, bahkan dengan

keluarganya sendiri (Aartsen, van Tilburg, Smits &Knipscheer, 2004 dalam Surprenant &

Neath, 2007). Hal ini akan membawa dampak pada melambatnya proses sentral dan waktu

reaksi sehingga fungsi sosial dan okupasional akan mengalami perubahan yang signifikan pada

kemampuan sebelumnya (McGilton 2007).Studi lain menunjukkan adanya hubungan yang kuat

antara kesehatan kognitif, fisik, social dan emosional dan semuanya saling bergantung satu

sama lain sampai tingkat tertentu (Baltes & Lindenberger, 1997, Colcombe& Kramer, 2003,

Gallo, Rebok, Tensted, Wadley, &Horgas, 2003 dalam Suprenant & Neath, 2007).

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah gangguan kognitif yaitu dengan

menerapkan tehnik komunikasi terapeutik. Pendekatan secara individu dan kelompok, juga

keterlibatan keluarga dalam melakukan perawatan sangat penting untuk mencapai kesembuhan

pasien. Berdasarkan hal tersebut masalah gangguan kognitif pada lansia sangat penting di

ketahui apa penyebab terjadinya sehingga intervensi yang diberikan tepat dan sesuai untuk

mengatasi masalah pasien. Akhirnya pasien diharapkan dapat seoptimal mungkin untuk

memenuhi kebutuhannya dan terhindar dari kecelakaan yang membahayakan keselamatannya

(Siti Saidah Nasution,2003).

Tergangguanya fungsi kognitif lansia dapat mempengaruhi kapasitas fungsional,

psikologis dan kesehatan sosial serta kesejahteraannya yang didefenisikan sebagai kualitas

hidup (Quality of Life/QOL). Menurut WHO kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap

posisi mereka dalam kehidupan dan konteks budaya serta sistem nilai dimana mereka hidup dan

dalam hubungannya dengan tujuan individu, harapan, standar dan perhatian. Kualitas hidup
mempengaruhi kesehatan fisik, kondisi psikologis, tingkat ketergantungan, hubungan sosial dan

hubungan pasien dengan lingkungan sekitarnya (WHO, 2008).

Menurut World Health Organization Quality of Life yang sudah diterjemahan ke dalam

bahasa Indonesia dimensi kualitas hidup mencakup empat domain meliputi kesehatan fisik,

kesehatan psikologik, hubungan sosial, dan lingkungan (Salim, 2007). Keempat domain tersebut

meliputi domain kesehatan fisik yaitu berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan,

ketergantungan pada perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, tidur dan istirahat,

aktifitas kehidupan sehari-hari, dan kapasitas kerja.Domain kesehatan psikologik berhubungan

dengan pengaruh positif dan negatif spiritual, pemikiran pembelajaran, daya ingat dan

konsentrasi, gambaran tubuh dan penampilan, serta penghargaan terhadap diri sendiri. Domain

hubungan sosial terdiri dari hubungan personal, aktifitas seksual dan hubungan sosial. Domain

lingkungan terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik, lingkungan fisik, sumber penghasilan,

kesempatan memperoleh informasi, dan keterampilan baru, partisipasi dan kesempatan untuk

rekreasi, atau aktifitas pada waktu luang.Penelitian yang dilakukan oleh Baiyewu (2006)

terhadap 51 lansia, bertujuan untuk mengkaji kualitas hidup lansia dan untuk membandingkan

faktor sosiodemografi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat 52 pasien (20,7 %) dengan score QOL yang baik, 164 (65,4%)

dengan skore cukup baik dan 35 (13,9%) dengan score QOL yang rendah. Kualitas hidup lansia

yang rendah dihubungkan dengan kesehatan fisik, kondisi psikologis, tingkat ketergantungan,

hubungan sosial dan hubungan pasien dengan lingkungan sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai