Sejalan dengan perkembangan teknologi, dapat dikatakan makin banyak masalah yang
harus dihadapi dan diatasi seseorang serta sulit tercapai kesejahteraan hidup, keadaan ini sangat
besar pengaruhnya terhadap kesehatan jiwa seseorang (Yosep, 2010). Gangguan kesehatan jiwa
merupakan masalah kesehatan masyarakat dan sosial di Indonesia dan cenderung meningkat dari
tahun ke tahun, hal ini dapat mempengaruhi perkembangan seseorang baik fisik, internal dan
emosional untuk tercapainya kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan
masyarakat. Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas cenderung
meningkat, hal ini disebabkan oleh peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan
orang yang dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan,krisis
ekonomi, tekanan dalam pekerjaan dan deskriminasi meningkatkan resiko menderita gangguan
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa jumlah gangguan jiwa cukup
tinggi hingga mencapai 480 juta orang diseluruh dunia pada tahun 2013. Masalah gangguan jiwa
yang menyebabkan menurunnya kesehatan mental ini ternyata terjadi dihampir seluruh negara di
dunia. Masalah gangguan jiwa seperti stres, depresi, kecemasan, ketakutan hingga kasus parah
seperti skizofrenia terus mengalami peningkatan hingga mencapai 20% sampai dengan 30%.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2013 prevalensi gangguan jiwa berat pada
penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta,
Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Bali. Hasil Riskesdas 2013 Provinsi Bali berada di
peringkat kedelapan kasus gangguan jiwa terbanyak dengan prevalensi 2,3 per mil. Menurut
(Suryani, 2011) dalam (Sucipta, 2012) masyarakat Bali mengalami gangguan jiwa setiap
tahunnya cenderung bertambah rata-rata 100-150 orang, dengan rata-rata penderita gangguan
Jenis dan karakteristik gangguan jiwa sangat beragam, salah satunya gangguan jiwa yang
sering kita temukan dan dirawat yaitu skizofrenia (Maramis, 2008). Sekitar 45% penderita yang
masuk rumah sakit jiwa merupakan klien skizofrenia dan sebagian besar klien skizofrenia
memerlukan perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang lama. Skizofrenia merupakan salah
satu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan realitas (halusinasi dan waham),
(Videbeck, 2008). Diperkirakan sebesar 90% pasien skizofrenia mengalami halusinasi, yakni
70% mengalami halusinasi auditorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinasi pengecapan, taktil
(pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Pasien memberi persepsi atau pendapat tentang
lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Pasien yang mengalami halusinasi
sering kali beranggapan sumber halusinasi itu berasal dari lingkungannya, padahal rangsangan
primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian
traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang
yang dicintai, tidak dapat mengendalikan dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri (Yosep,
2010).
mengadapi stressor serta kurangnya kemampuan untuk mengungkapkan masalah yang mereka
hadapi kepada orang lain, (Stuart dan Sundeen, 2008). Dampak yang dapat ditimbulkan oleh
pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa
membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan (Yosep, 2010).
Kemampuan pasien untuk mengontrol halusinasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
seperti terapi aktivitas kelompok belum mampu mengontrol halusinasi dibuktikan oleh Sudjarwo
(2007) yang meneliti tentang pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap
Hasil penelitian setelah post test dari 15 pasien pada kelompok perlakuan sebanyak 4 orang
(26,7%) belum mampu mengontrol halusinasi setelah diberikan terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi. Penelitian yang dilakukan oleh Parwati Luh Gede. (2011). pengaruh TAK
stimulasi stimulasi persepsi sensori terhadap kemampuan mengontrol halusinasi di RSJ Provinsi
Bali di Bangli. Hasil penelitian setelah post test dari 10 pasien pada kelompok perlakuan
sebanyak 2 orang (20%) belum mampu mengontrol halusinasi setelah diberikan terapi aktivitas
Upaya yang dapat dilakukan untuk penanganan pasien halusinasi agar mereka mampu
memberikan terapi latihan asertif. Latihan asertif (assertive training) adalah salah satu teknik
dalam tritmen ganguan persepsi dimana klien diinstruksikan, diarahkan, dilatih, serta didukung
untuk bersikap asertif dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman atau kurang menguntungkan
bagi dirinya daengan melatih kemampuan individu untuk menyampaikan dengan terus terang
pikiran, perasaan, keinginan dan kebutuhannya dengan penuh percaya diri sehingga dapat
berhubungan baik dengan lingkungan sosialnya. Tujuan utama latihan asertif adalah untuk
mengatasi kecemasan yang dihadapi oleh seseorang akibat paparan stimulus yang diterima
(Ermawati,dkk,2009).
Latihan asertif mampu merangsang atau menstimulasikan pasien melalui kegiatan yang
disukainya dan mendiskusikan aktivitas yang telah dilakukan yang untuk mencegah pencerapan
panca indra tanpa ada rangsang dari luar dan bertujuan membantu anggotanya berhubungan
dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptive dengan aktivitas
mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat. Aktivitas yang telah dilakukan tersebut
diharapkan pasien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh
paparan stimulus kepadanya, serta pasien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan
kepadanya dengan tepat, pasien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang
dialami sehingga bila pasien mampu mengontrol maka halusinasinya akan menurun
(Keliat,2005).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka menarik untuk diteliti tentang “pengaruh latihan
asertif terhadap kemampuan pasien jiwa dengan skizofrenia mengontrol halusinasi di Rumah
Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu hal penting yang berpengaruh dalam peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Kesehatan sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku. Seseorang dapat
berperilaku sehat jika memiliki pengetahuan tentang kesehatan, dalam hal itu pengetahuan yang
paling mendasar adalah pengetahuan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
(Machfoedz, 2012). PHBS merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar
kesadaran atas hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang dapat menolong dirinya sendiri di
bidang kesehatan. PHBS dilakukan melalui pendekatan tatanan yaitu: PHBS tatanan rumah
tangga, PHBS tatanan tempat kerja, PHBS tatanan pelayanan kesehatan, PHBS tatanan tempat
umum dan PHBS tatanan sekolah. PHBS tatanan sekolah adalah upaya untuk memberdayakan
siswa, guru, dan masyarakat lingkungan sekolah agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan
PHBS, dan berperan aktif dalam mewujudkan sekolah sehat (Sekarningsih, 2012). Kebiasaan
melaksanakan PHBS semestinya dijadikan budaya sejak usia dini agar terciptanya generasi
Anak usia sekolah merupakan kelompok yang sangat peka untuk menerima perubahan
atau pembaharuan, karena kelompok anak usia sekolah sedang berada dalam taraf pertumbuhan
dan perkembangan. Pada taraf ini anak mudah menerima stimulus sehingga dapat dibimbing,
diarahkan dan ditanamkan kebiasaan yang baik, termasuk dalam hal ini adalah kebiasaan untuk
melaksanakan PHBS di sekolah, melalui pelaksanaan PHBS diharapkan nanti mereka mampu
menerapkan kebiasaan hidup bersih dan sehat setelah dewasa (Notoatmodjo, 2010).
Dampak dari kurang dilaksanakannya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang
sering menyerang anak usia sekolah 6-12 tahun adalah diare, kecacingan, dan anemia ternyata
umumnya berkaitan dengan PHBS serta dampak lainnya adalah suasana belajar yang tidak
mendukung karena lingkungan Sekolah yang kotor, manurunnya citra sekolah dimasyarakat
umum (Maryunani, 2013). Berdasarkan data WHO tahun 2014 menyebut bahwa setiap tahun
100.000 anak sekolah usia 6-12 tahun di Indonesia meninggal akibat diare, angka kejadian
kecacingan mencapai angka 40-60% anemia pada anak sekolah 23% dan masalah karies dan
periodontal 74,4%. Berdasarkan data Depkes tahun 2013 prevalensi penyakit caries dan penyakit
periodontal anak usia 6-12 tahun sebesar 74,4%. Menurut data susenas (survei data nasional)
tahun 2014 menyebutkan bahwa sekitar 3% anak-anak mulai merokok sejak umur kurang dari 10
tahun.
Upaya yang dilakukan untuk mencegah angka kesakitan pada anak usia sekolah 6-12
tahun, dilakukan dengan program perilaku hidup bersih dan sehat yang dikenal dengan PHBS
(Depkes RI, 2011). PHBS sangat diperlukan di lingkungan sekolah karena sangat berpengaruh
terhadap perilaku sehat anak. Sekolah juga sebagai salah satu sasaran PHBS ditatanan sekolah
dengan indikator yaitu mencuci tangan dengan air yang mengalir dan memakai sabun,
mengkonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah, menggunakan jamban yang bersih dan sehat,
olahraga yang teratur dan terukur, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok di sekolah,
menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan dan membuang sampah pada
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menunjukkan bahwa cakupan
program PHBS tatanan sekolah baru mencapai 57,52%. Padahal Rencana Strategis (Restra)
Kementerian Kesehatan tahun 2014 mencantumkan target 70% sekolah sudah mempraktekkan
PHBS. Data PHBS untuk Provinsi Bali tahun 2014 menunjukkan sekolah yang telah memenuhi
kriteria PHBS baik sebesar 62,32% dari target 80%, tahun 2015 sekolah yang telah memenuhi
kriteria PHBS baik sebesar 68,75% dari target 80%. Kota Denpasar merupakan salah satu
kabupaten/ Kota di Provinsi Bali dengan cakupan program PHBS tatanan sekolah tahun 2015
yang belum mencapai target Provinsi, sekolah-sekolah di Kota Denpasar yang telah memenuhi
kriteria PHBS baik sebesar 67,50% dari target 80% (Dinkes Provinsi Bali, 2015).
kesehatan bersama dengan departemen pendidikan nasional, departemen agama, dan departemen
dalam negeri bekerjasama untuk mengembangkan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
UKS merupakan salah satu kegiatan kesehatan dalam sekolah yang melibatkan semua pihak
yang ada dalam sekolah berkaitan dengan masalah kesehatan, menciptakan lingkungan kesehatan
yang sehat dan aman, memberikan pendidikan kesehatan bagi anak, memberikan akses
pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif bagi anak-anak (Depkes RI,2013).
Health Promoting School adalah sekolah yang telah melaksanakan UKS dengan ciri-ciri
melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan masalah kesehatan sekolah, menciptakan
lingkungan sekolah yang sehat dan aman, memberikan pendidikan kesehatan di sekolah,
memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan, ada kebijakan dan upaya sekolah untuk
mempromosikan kesehatan dan berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan anak, dengan
demikian sekolah sebagai tempat belajar tidak hanya perlu memiliki lingkungan yang bersih dan
sehat dalam mendukung proses belajar mengajar yang baik, namun diharapkan mampu
membentuk siswa memiliki derajat kesehatan yang baik (Depkes RI, 2013).
Keperawatan kesehatan sekolah merupakan salah satu area dalam keperawatan komunitas,
peran perawat komunitas pada kesehatan sekolah antara lain sebagai pelaksana asuhan
keperawatan di sekolah dengan kegiatan mengkaji masalah kesehatan dan keperawatan peserta
didik dengan melakukan pengumpulan data, analisa data, perumusan masalah dan prioritas
masalah,juga menyusun perencanaan kegiatan UKS, melaksanakan kegiatan UKS sesuai dengan
rencana kegiatan yang telah disusun, penilaian dan pemantauan hasil kegiatan UKS, dan
melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Sebagai
Pengelola kegiatan UKS, perawat kesehatan yang bertugas di puskesmas dapat ditunjuk sebagai
seorang koordinator UKS di tingkat puskesmas. Bila perawat kesehatan ditunjuk sebagai
koordinator maka pengelolaan pelaksanaan UKS menjadi tanggung jawabnya atau paling tidak
ikut terlibat dalam tim pengelola UKS. Sebagai Penyuluh, Peranan perawat dalam memberikan
penyuluhan dapat dilakukan secara langsung melalui penyuluhan kesehatan yang bersifat umum
dan klasikal, atau secara tidak langsung sewaktu melakukan pemeriksaan kesehatan peserta didik
Lingkungan sekolah yang sehat tentu sangat mendukung dalam pencapaian tujuan
pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka tiga (trias) pelaksanaan program pokok UKS
yaitu pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sekolah sehat, yang
perlu didorong dan dimasyarakatkan agar semua pihak memahami dan mendukung program
UKS di sekolah . Usaha Kesehatan Sekolah sebagai salah satu wahana untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat harus di laksanakan secara terpadu, berencana, terarah dan bertanggung
menghayati, menyenangi dan melaksanakan prinsip hidup sehat dalam kehidupan peserta didik
LatarBelakang
pemerintah dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan membawa dampak positif bagi
kesejahteraan masyarakat, dalam bidang kesehatan dampak positif tersebut terlihat dari
Jumlah populasi Lansia di dunia diperkirakan hampir mencapai 2 juta orang pada tahun
2005 dan diproyeksikan menjadi 2 milyar pada tahun 2050. Jumlah lansia di Indonesia pada
kurun waktu 1990-2025 sebesar 414%, dari 11.275.557 jiwa meningkat sebesar46.680.806 jiwa
(Darmono & Martono, 2010). Saatini di seluruh dunia jumlah orang lanjut usia diperkirakan ada
500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2
milyar. (SitiBandiyah, 2009). Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia Tahun 2010, jumlah
lansia tahun 2009 sejumlah 18.425.000 jiwa dan tahun 2010 sejumlah 19.036.600 jiwa dilihat
Menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Permasalahan
yang sering dihadapi lansia seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi penurunan berbagai
fungsi organ tubuh. Penurunan fungsi ini disebabkan karena berkurangnya jumlah sel secara
anatomis serta berkurangnya aktivitas, asupan nutrisi yang kurang, polusi dan radikal bebas, hal
tersebut mengakibatkan semua organ pada proses menuaakan mengalami perubahan structural
dan fisiologis, begitu juga otak (Bandiyah, 2009). Perubahan tersebut menyebabkan lansia
mengalami perubahan fungsi kerja otak/ perubahan fungsi kognitif.Perubahan fungsi kognitif
dapat berupa mudah lupa (forgetfulness) yang merupakan bentuk gangguan kognitif yang paling
ringan. Gejala mudah lupa diperkirakan dikeluhkan oleh 39% lanjut usia yang berusia 50-59
tahun, meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Di fase ini seseorang
masih bisa berfungsi normal walaupun mulai sulit mengingat kembali informasi yang telah
dipelajari. Jika penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia berjumlah 7% dari seluruh
penduduk, maka keluhan mudah lupa tersebut diderita oleh setidaknya 3% populasi di
Indonesia. Mudah lupa ini bisa berlanjut menjadi gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive
Impairment-MCI) sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat (Wreksoatmodjo,
2012).
World Alzheimer Reports mencatat demensia akan menjadi krisis kesehatan terbesar di
abad ini yang jumlah penderitanya terus bertambah. Data WHO tahun 2010 menunjukkan, di
tahun 2010 jumlah penduduk dunia yang terkena demensia sebanyak 36 juta orang. Jumlah
penderitanya diprediksi akan melonjak dua kali lipat di tahun 2030 sebanyak 66 juta orang.
Jumlah penyandang demensia di Indonesia hampir satu juta orang pada tahun 2011
(Wreksoatmodjo, 2012).
Perubahan fungsi kognitif ini tentunya membawa dampak tersendiri bagi kehidupan
lansia. Studi oleh Comijs et al. (2004) dalam surprenant & Neath (2007) menunjukkan bahwa
perubahan fungsi kognitif pada lansia berasosiasi secara signifikan dengan peningkatan depresi
dan memiliki dampak terhadap kualitas hidup seorang lansia. Selain itu, lansia yang mengalami
perubahan fungsi kognitif lebih banyak kehilangan hubungan dengan orang lain, bahkan dengan
keluarganya sendiri (Aartsen, van Tilburg, Smits &Knipscheer, 2004 dalam Surprenant &
Neath, 2007). Hal ini akan membawa dampak pada melambatnya proses sentral dan waktu
reaksi sehingga fungsi sosial dan okupasional akan mengalami perubahan yang signifikan pada
kemampuan sebelumnya (McGilton 2007).Studi lain menunjukkan adanya hubungan yang kuat
antara kesehatan kognitif, fisik, social dan emosional dan semuanya saling bergantung satu
sama lain sampai tingkat tertentu (Baltes & Lindenberger, 1997, Colcombe& Kramer, 2003,
Gallo, Rebok, Tensted, Wadley, &Horgas, 2003 dalam Suprenant & Neath, 2007).
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah gangguan kognitif yaitu dengan
menerapkan tehnik komunikasi terapeutik. Pendekatan secara individu dan kelompok, juga
keterlibatan keluarga dalam melakukan perawatan sangat penting untuk mencapai kesembuhan
pasien. Berdasarkan hal tersebut masalah gangguan kognitif pada lansia sangat penting di
ketahui apa penyebab terjadinya sehingga intervensi yang diberikan tepat dan sesuai untuk
mengatasi masalah pasien. Akhirnya pasien diharapkan dapat seoptimal mungkin untuk
psikologis dan kesehatan sosial serta kesejahteraannya yang didefenisikan sebagai kualitas
hidup (Quality of Life/QOL). Menurut WHO kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap
posisi mereka dalam kehidupan dan konteks budaya serta sistem nilai dimana mereka hidup dan
dalam hubungannya dengan tujuan individu, harapan, standar dan perhatian. Kualitas hidup
mempengaruhi kesehatan fisik, kondisi psikologis, tingkat ketergantungan, hubungan sosial dan
Menurut World Health Organization Quality of Life yang sudah diterjemahan ke dalam
bahasa Indonesia dimensi kualitas hidup mencakup empat domain meliputi kesehatan fisik,
kesehatan psikologik, hubungan sosial, dan lingkungan (Salim, 2007). Keempat domain tersebut
meliputi domain kesehatan fisik yaitu berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan,
ketergantungan pada perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, tidur dan istirahat,
dengan pengaruh positif dan negatif spiritual, pemikiran pembelajaran, daya ingat dan
konsentrasi, gambaran tubuh dan penampilan, serta penghargaan terhadap diri sendiri. Domain
hubungan sosial terdiri dari hubungan personal, aktifitas seksual dan hubungan sosial. Domain
lingkungan terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik, lingkungan fisik, sumber penghasilan,
kesempatan memperoleh informasi, dan keterampilan baru, partisipasi dan kesempatan untuk
rekreasi, atau aktifitas pada waktu luang.Penelitian yang dilakukan oleh Baiyewu (2006)
terhadap 51 lansia, bertujuan untuk mengkaji kualitas hidup lansia dan untuk membandingkan
faktor sosiodemografi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 52 pasien (20,7 %) dengan score QOL yang baik, 164 (65,4%)
dengan skore cukup baik dan 35 (13,9%) dengan score QOL yang rendah. Kualitas hidup lansia
yang rendah dihubungkan dengan kesehatan fisik, kondisi psikologis, tingkat ketergantungan,