Anda di halaman 1dari 9

Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

ANALISIS KEJADIAN PUTING BELIUNG DI STASIUN


METEOROLOGI JUANDA SURABAYA MENGGUNAKAN
CITRA RADAR CUACA DAN MODEL WRF-ARW
(STUDI KASUS TANGGAL 4 FEBRUARI 2016)

I Kadek Mas Satriyabawa dan Wahyu Nugroho Pratama


Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Pos-el : dekmasbmkg@gmail.com

Abstract

Whirlwind is localized weather disturbance which often happens at afternoon or evening in


transition or rain season that happened in short time but has destructive character which
caused by Cumulonimbus cloud, like which happened at Juanda Surabaya Meteorological
Station on 4th February 2016 at 09.00 UTC. One of instruments used to detect whirlwind is
weather radar, which also supported by output data from WRF-ARW. This research uses
radar products such as CMAX, PPI dBZ, and CAPPI dBZ overlayed with SSA to see unique
pattern of whirlwind, PPI V and CAPPI V overlayed with HWIND to see mesocyclone
pattern, VVP and HSHEAR to see wind pattern, and also VCUT to see cloud vertical
structure. WRF-ARW model uses FNL data to see value of CAPE, vorticity, divergence,
temperature, relative humidity, cloud, and wind. The analysis result shows that hook echo
pattern is seen in radar image at 09.20 UTC with 50-55 dBZ refectivity value and
Cumulonimbus cloud’s height reach 7 km. Atmospheric conditions also support occurance
of whirlwind, seen in CAPE reach > 2000 J/Kg, Vertical RH more than 80 %, temperature
decreased from 7 UTC, also LCL and LFC are low.

Keywords : whirlwind, weather radar, WRF-ARW, hook echo, cumulonimbus

Abstrak

Puting beliung merupakan gangguan cuaca berskala lokal yang seringnya terjadi pada siang
atau sore hari di musim transisi atau musim penghujan dengan durasi singkat namun bersifat
merusak yang disebabkan oleh awan k, seperti yang terjadi di Stasiun Meteorologi Juanda
Surabaya pada tanggal 04 Februari 2016 sekitar pukul 09.00 UTC. Salah satu alat untuk
mendeteksi puting beliung adalah radar cuaca, serta didukung oleh data keluaran model
WRF-ARW. Penelitian ini menggunakan produk radar berupa CMAX, PPI dBZ dan CAPPI
dBZ overlay dengan SSA untuk melihat pola khas puting beliung, PPI V dan CAPPI V
overlay dengan HWIND untuk melihat pola mesocyclone, VVP dan HSHEAR untuk
melihat pola angin serta VCUT untuk mengetahui struktur vertikal awan. Model WRF-
ARW menggunakan data FNL untuk melihat nilai CAPE, vortisitas, divergensi, suhu, RH,
awan, dan angin. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola hook echo teramati pada citra
radar jam 09.20 UTC dengan nilai reflektivitas maksimum 50-55 dBZ dan ketinggian awan
Cumulonimbus mencapai 7 km. Kondisi atmosfer sangat mendukung terjadinya puting
beliung, dilihat dari CAPE mencapai > 2000 J/Kg, RH vertikal lebih dari 80%, Suhu
menurun mulai jam 07.00 UTC, serta nilai LCL dan LFC yang rendah.

Kata kunci : puting beliung, radar cuaca, WRF-ARW, hook echo, Cumulonimbus

1. PENDAHULUAN

Cuaca ekstrem adalah kejadian cuaca yang tidak normal, tidak lazim yang dapat
mengakibatkan kerugian terutama keselamatan jiwa dan harta. Salah satu fenomena cuaca ekstrem

89
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

yang berbahaya adalah puting beliung. Puting beliung adalah angin kencang yang berputar yang
keluar dari awan Cumulonimbus (Cb) dengan kecepatan lebih dari 34,8 knots atau 64,4 km/jam dan
terjadi dalam waktu singkat.1 Fenomena puting beliung sering terjadi di Indonesia pada musim
transisi atau musim hujan yang disebabkan oleh adanya awan Cumulonimbus. Waktu terjadinya
kebanyakan pada siang atau sore hari dengan durasi yang singkat dan bersifat sangat merusak
untuk daerah-daerah yang dilewati.2 Salah satu tugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) adalah untuk menyampaikan informasi dan peringatan dini akan terjadinya fenomena -
fenomena cuaca yang berpotensi berbahaya bagi masyarakat, termasuk informasi tentang puting
beliung.3 Salah satu alat di BMKG yang digunakan untuk mendeteksi terjadinya puting beliung
adalah radar cuaca, karena memiliki resolusi spasial dan temporal yang cukup tinggi.4
Teknik analisis tornado dari awan supercell diadopsi untuk wilayah Indonesia untuk
mendeteksi kejadian puting beliung. Berdasarkan teori tornado genesis yaitu mengenai
pembentukan tornado yang tergambar pada radar cuaca dibagi menjadi dua yaitu tornado supercell
dan tornado non-supercell.5 Tornado supercell ditandai dengan adanya pola hook echo (kait) atau
comma echo (koma) dan mesocyclone, sedangkan tornado non – supercell dengan masa hidup yang
lebih pendek sering dikaitkan dengan adanya pola bow echo (busur).6 Radar cuaca juga didukung
dengan data hasil keluaran model cuaca untuk memperoleh informasi yang lebih akurat. Model
cuaca yang saat ini sering digunakan di BMKG adalah Weather Research Forecast – Advanced
Research WRF (WRF-ARW).
WRF merupakan model prediksi cuaca skala meso dan sistem asimilasi data yang saat ini
sudah menggantikan model – model numerik yang telah ada sebelumnya seperti North American
Mesoscale Model (NAM-Eta) di Amerika Serikat untuk keperluan operasional.7 Model WRF-ARW
menggunakan model fluida yang dapat termampatkan (densitas tidak tetap), nonhidrostatik (namun
tersedia pilihan yang hidrostatik). Koordinat vertikalnya mengikuti koordinat tekanan hidrostatik
topografi bumi. Grid yang digunakan adalah Arakawa C-grid.8
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada kejadian puting beliung di
Sidoarjo tanggal 26 Desember 2012 terdapat pola hook echo yang teramati dengan baik pada citra
radar cuaca serta adanya pola konvergensi dalam sel badai yang berubah menjadi divergensi dalam
waktu 10 menit sebelum terjadinya puting beliung.9 Dalam kejadian puting beliung lainnya di
wilayah Jawa Timur yaitu meliputi wilayah Sidoarjo, Pasuruan dan Bangkalan pada tahun 2013-
2014 terlihat adanya pola bow echo atau hook echo dan pola mesocyclone kecuali untuk wilayah
Sidoarjo, dengan kondisi atmosfer yang labil bersyarat yang mendukung terjadinya puting
beliung.10 Pada tanggal 4 Februari 2016 puting beliung kembali terjadi di wilayah Surabaya,
menurut Faiq11 dalam tribunnews menyatakan bahwa angin puting beliung yang terjadi di wilayah
kantor Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya terjadi sekitar pukul 16.00 WIB dengan durasi kira-
kira 1 menit yang mengakibatkan isi ruangan kantor porak-poranda. Namun kejadian ini tidak
sampai mengganggu aktivitas penerbangan dan tidak menyebabkan kerusakan yang terlalu fatal.
Berdasarkan latar belakang dan kejadian diatas, kejadian tersebut akan dianalisis untuk
diketahui bagaimana karakteristik puting beliung yang dapat dilihat dari radar cuaca serta
bagaimana kondisi atmosfer pada saat kejadian menggunakan data hasil keluaran model WRF-
ARW. Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang
bagaimana karakter puting beliung dan keadaan atmosfer yang seperti apa yang mengindikasikan
terjadinya puting beliung, sehingga diharapkan dapat dijadikan pertimbangan untuk membuat
prakiraan terjadinya puting beliung .

90
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

2. METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian ini adalah Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya (07°22'38" LS dan
112°47'38" BT) dan sekitarnya dalam area radar cuaca. Data yang digunakan adalah raw data radar
gematronik Surabaya dan data Final Analysis (FNL) dari National Centre of Enviromental
Prediction – National Centre of Atmospheric Research (NCEP-NCAR) dengan resolusi spasial
awal 10 x 10, dan resolusi temporalnya 6 jam pada tanggal 4 Februari 2016. Pengolahan data radar
yang dilakukan mencakup :
 Pengolahan data raw untuk menghasilkan produk CMAX dBZ, PPI dBZ dan CAPPI dBZ
overlay dengan SSA untuk melihat pola khas terjadinya puting beliung (hook echo dan bow
echo)
 PPI V dan CAPPI V yang di-overlay dengan HWIND, untuk melihat pola mesocyclone
 VVP dan HSHEAR untuk melihat pola angin dan VCUT untuk mengetahui struktur vertikal
awan
 Data FNL di running menggunakan WRF-ARW, dengan pengaturan resolusi domain 5 km,
untuk menghasilkan parameter labilitas atmosfer, vortisitas, divergensi, suhu, kelembaban
udara, dan angin
 Membuat interpretasi dari hasil olah data radar dan model

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik puting beliung dengan radar

Dari citra radar produk CMAX pada jam 09.20 UTC terlihat adanya pola hook echo yang
merupakan karakteristik dari tornado supercell dengan nilai reflektivitas maksimum 50-55 dBZ.
Sedangkan dari citra produk VCUT jam 09.20 UTC terlihat bahwa ketinggian sel awan mencapai 7
km. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat awan Cumulonimbus di wilayah tersebut yang
menyebabkan terjadinya puting beliung (Gambar 1).

Gambar 1. Citra radar produk CMAX dBZ dan VCUT jam 09.20 UTC

Dari citra radar produk PPI dBZ dan CAPPI dBZ overlay dengan SSA pada jam 09.20 UTC
pada lokasi kejadian puting beliung menunjukkan terdapat cluster awan badai yang luas dan juga
terlihat adanya pola hook echo dengan nilai reflektivitas mencapai 45-50 dBZ (Gambar 2). Dari
citra radar produk PPI V dan CAPPI V overlay dengan HWIND pada jam 09.20 UTC tidak terlihat
adanya pola mesocyclone. Namun pada produk PPI V terdapat batas antara dua nilai velocity yang
berlawanan arah dengan nilai outbond mencapai 6-10 m/s dan nilai inbound –(2-6) m/s (Gambar
3).

91
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

Gambar 2. Citra radar produk PPI dBZ elevasi 0,5° dan CAPPI dBZ 0,5 km overlay
SSA jam 09.20 UTC

Gambar 3. Citra radar produk PPI V elevasi 0,5o dan CAPPI V 0,5 km overlay
HWIND jam 09.20 UTC

Berdasarkan citra radar produk VVP pada jam 09.20 UTC (Gambar 4) menunjukkan
nilai vertical shear yang lemah sampai ketinggian 3 km mencapai 0-5 m/s/km. Sedangkan
citra produk HSHEAR pada jam 09.20 UTC menunjukkan nilai horizontal shear yang cukup
lemah juga sekitar 0-4 m/s/km. Hal ini mengindikasikan bahwa pada lokasi terjadinya puting
beliung terdapat udara berputar namun lemah yang menunjukkan intensitas puting beliung
lemah pada saat ini.

Gambar 4. Citra radar produk VVP dan HSHEAR 0.5 km jam 09.20 UTC

92
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

3.2 Kondisi atmosfer pada saat terjadi puting beliung dengan model WRF

Pada jam 09.00 – 10.00 UTC, dari hasil model, nilai CAPE mencapai 2100-2400 J/Kg
(Gambar 5), hal ini menunjukan bahwa atmosfer labil, kemungkinan terjadinya proses konvektif
kuat, yang dapat mendukung terbentuknya awan CB dan dapat menyebabkan puting beliung.
Berdasarkan nilai vortisitas, pada lapisan 1000 – 900 mb, nilai vortisitas dominan bernilai negatif,
artinya di Belahan Bumi Selatan (BBS), mendukung adanya kenaikan udara. Dapat dilihat pada
Gambar 6, jam 09.00 – 09.25 UTC, nilainya negatif di sekitar lapisan 1000 mb, menunjukan bahwa
di permukaan terjadi kenaikan udara yang kuat. Pada lapisan 900 – 625 mb, vortisitas bernilai
positif, dan pada jam 09.00 – 09.45 UTC, di lapisan 625 – 550 mb, nilai vortisitas negatif kembali,
menunjukan masih adanya gerakan ke atas pada lapisan tersebut sehingga menunjukkan proses
kenaikan udara yang kuat.

Gambar 5. CAPE tanggal 4 Februari 2016 jam 09.20 dan 09.45 UTC

Gambar 6. Vortisitas tanggal 4 Februari 2016 jam 09.00 – 10.00 UTC

93
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

Pada jam 09.00 - 09.30 UTC, di lapisan bawah nilai divergensi negatif, artinya terjadi
konvergensi, menyebabkan kenaikan udara (Gambar 7). Di lapisan 950 mb ke atas, nilai divergensi
dominan positif, menandakan adanya divergensi, artinya udara terberai.

Gambar 7. Divergensi tanggal 4 Februari 2016 jam 08.00 – 11.00 UTC

Dari data suhu, menunjukkan nilai yang menurun drastis pada jam 07.00 UTC. Hal ini
menunjukkan bahwa kemungkinan sudah mulai terbentuk awan konvektif yang tebal dan tinggi,
sehingga menghalangi radiasi matahari yang masuk ke permukaan bumi, sehingga suhu permukaan
menjadi rendah. Dari data RH, menunjukkan nilai yang meningkat drastis pada jam 07.00 UTC.
Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan sudah mulai terbentuk awan konvektif yang tebal dan
tinggi, sehingga kandungan uap air di udara meningkat.

Gambar 8. Suhu udara permukaan tanggal 4 Februari 2016 (kiri) dan Kelembaban
udara permukaan tanggal 4 Februari 2016 (kanan)

94
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

Gambar 9. Kelembapan udara vertikal tanggal 4 Februari 2016 jam 09.00 – 10.00 UTC

RH vertikal pada jam 09.00 -10.00 UTC (Gambar 9), sampai lapisan 300 mb masih
menunjukkan nilai lebih dari 80%, artinya, udara lembap, mengandung banyak uap air, dan
berpotensi membentuk awan – awan konvektif yang kuat.
Pada jam 09.00 – 09.30 UTC, komponen angin arah vertikal dari model (Gambar 10),
menunjukkan nilai negatif di lapisan 100 – 500 mb, dan positif di lapisan 500 – 200 mb, namun
pada jam 09.30 – 09.55 UTC nilai w menjadi positif dari lapisan 900 – 200 mb, mengindikasikan
adanya gerakan angin ke atas. Namun, untuk nilainya semuanya kecil, di bawah 1 knot. Pada jam
09.10 – 09.15 UTC di lapisan 900 – 800 mb terlihat ada perubahan arah angin dari baratan menjadi
timuran, memungkinkan adanya perputaran udara untuk menjadi bibit puting beliung. Sedangkan
pada jam 09.00 – 09.25 menunjukan nilai maksimum 18 knot di lapisan bawah, sehingga cukup
mendukung terjadinya angin puting beliung.

Gambar 10. Arah angin (kiri), Kecepatan Angin (tengah), Komponen angin vertikal
(kanan) tanggal 4 Februari 2016

Dari data LCL (Gambar 11), pada jam 07.00 UTC, nilai LCL mulai turun, sampai sekitar
300 m, menunjukkan tinggi dasar awan yang rendah, pada jam 09.00 – 10.00 UTC tinggi dasar
awan sekitar 350 m menunjukkan adanya awan konvektif yang tebal. Pada jam 07.00 – 10.00 UTC
menujukan nilai yang rendah juga, artinya, proses konveksi awan mulai terjadi di lapisan yang

95
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

rendah, sehingga memungkinkan terbentuknya konveksi yang kuat dan awan – awan konvektif
yang besar. Data fraksi awan rendah pada jam 09.20 UTC, di sekitar stasiun meteorologi Juanda
Surabaya dapat dilihat bahwa lebih dari 90% langit tertutup awan rendah (Gambar 11).

Gambar 11. Ketinggian dasar awan LFC (kiri), Ketinggian dasar awan LCL (tengah)
dan Fraksi awan rendah (kanan) tanggal 4 Februari 2016

4. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis puting beliung menggunakan citra radar cuaca dan keadaan atmosfer
menggunakan model WRF-ARW pada kasus puting beliung tanggal 4 Februari 2016 di Stasiun
Meteorologi Juanda Surabaya, teramati pola khas hook echo dengan citra radar cuaca dengan nilai
reflektivitas maksimum mencapai 50-55 dBZ dan ketinggian sel awan badai mencapai 7 km.
Namun tidak teramati adanya pola mesocyclone berdasarkan analisis produk velocity dari citra
radar, hanya terdapat gisir angin (shear) dengan intensitas yang lemah. Sedangkan dari parameter
cuaca hasil keluaran model WRF-ARW diketahui bahwa keadaan atmosfer mendukung untuk
terjadinya puting beliung, dilihat dari keadaan atmosfer yang labil, ditandai dengan nilai CAPE
yang besar, serta adanya awan Cumulonimbus dengan tinggi dasar yang cukup rendah, dilihat dari
suhu permukaan yang rendah, kelembaban vertikal yang tinggi, serta LCL dan LFC yang rendah.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Dosen-Dosen STMKG, Bapak
Eko Wardoyo dan Bapak Indra Gustari atas bimbingannya serta teman-teman yang telah
memeberikan dukungan dalam menyelesaikan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
1
BMKG, 2010. Peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (KBMKG) Nomor :
KEP.009 tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan,
dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim. Halaman 3, Jakarta : BMKG.
2
Zakir, A., Khotimah M.K., dan Sulistya, W., 2010 . Prespektif Operasional Cuaca Tropis. Jakarta : Pusat
Penelitian dan Pengembangan BMKG. 228 hlm.
3
Republik Indonesia, 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009 Tentang
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Lembaran Negara RI No 16, Jakarta : Sekretariat Negara.
4
Nugraheni, I., 2014. Kajian Kejadian Puting Beliung di Sumatera Selatan dengan Memanfaatkan Data
Radar Cuaca (Studi Kasus Januari 2013 - Maret 2014). Skripsi. Program Studi Meteorologi. Tangerang
Selatan : Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

96
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

5
Markowski P.M., dan Richardson Y.P., 2009. Tornadogenesis: Our current understanding, forecasting
considerations, and questions to guide future research. 4th European Conference on Severe
Storms 4ECSS. Atmospheric Research, Italy.
6
Smith, R. 1996. Non-Supercell Tornadoes : A Review for Forecaster. Laporan Penelitian, NWSFO Memphis
: NOAA.
7
Skamarock, W.C., dkk. 2008. A Description of the Advanced Research WRF Version 3. NCAR Technical
Note, National Center for Atmospheric Research : Colorado.
8
NCAR. 2015. WRF-ARW Version 3 Modeling System User’s Guide. National Center for Atmospheric
Research : Colorado.
9
Ayudia, S., 2012. Peringatan Dini Kejadian Angin Puting Beliung Dengan Pemanfaatan Data Radar (Study
Kasus Puting Beliung di Sidoarjo 26 Desember 2012). Prosiding Final Rasat 2013. BMKG : Jakarta.
10
Muzayanah, L.F., 2015. Interpretasi Radar Cuaca sebagai Kajian Puting Beliung dan Angin Kencang
Wilayah Jawa Timur (Studi Kasus Sidoarjo, Bangkalan dan Pasuruan). Skripsi. Program Studi
Meteorologi. Tangerang Selatan : Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
11
Faiq, N., 2016. Wow, Begini Ngerinya Puting Beliung saat Terekam Kamera di Juanda.
(http://surabaya.tribunnews.com/2016/02/04/wow-begini-ngerinya-puting-beliung-saat-terekam-
kamera-di-juanda, diakses pada 28 Maret 2016).

97

Anda mungkin juga menyukai