Anda di halaman 1dari 138

 About

dionchagi
Just another WordPress.com site

25 Okt 2011
Leave a Comment

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN G DENGAN


CEDERA KEPALA DI RUANG PERAWATAN BEDAH
KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN G DENGAN CEDERA

KEPALA DI RUANG PERAWATAN BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ATAMBUA

Diajukan sebagai salah satu persyaratan Untuk menyelesaikan pendidikan DIII keperawatan
pada Akademi Keperawatan Kabupatan Belu

OLEH

THERESIA MAGDALENA FERNANDEZ

NIM : 5306.09.597

PEMERINTAH KABUPATEN BELU

AKADEMI KEPERAWATAN
2011

LEMBAR PERSETUJUAN

Diterima dan disetujui untuk diikutsertakan dalam ujian akhir karya tulis ilmiah.

Atambua, 8 Oktober 2011

Pembimbing

Antonia Helena Hamu S.Kep.Ns

NIP : 1974 0319 199803 2 005

Mengetahui

Direktur Akademi Keperawatan Kabupaten Belu

Djulianus Tes Mau, S.Kep.Ns. M.Kes

NIP : 19670729 198903 1 010

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Ujian Sidang Karya Tulis Ilmiah di Akademi
Keperawatan Kabupaten Belu, …………………………………………. 2011

MENGESAHKAN

Tim Penguji Tanda Tangan

1. Penguji I :
………………………………………. (…………………..)

NIP :

1. Penguji II : ……………………………………… (…………………..)

NIP :

1. Penguji III :
……………………………………… (…………………..)

NIP :

Mengetahui

Direktur Akademi Keperawatan Kabupaten Belu

Djulianus Tes Mau,S.Kep.Ns,M.Kes


NIP : 19670729 198903 1 010

MOTTO

“Kegagalan melakukan hal besar jauh lebih baik daripada hanya keberhasilan melakukan
hal kecil”

PERSEMBAHAN

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria


2. Suamiku tercinta dan anak – anakku tersayang Icha dan Ibet .
3. Almamater tercinta ” Akademi Keperawatan Kabupaten Belu ” beserta jajaran staf
dosen dan seluruh civitas akademika atas warna dan kebersamaan selama
menyelesaikan proses ini.
4. Teman – teman progsus keperawatan sekelas yang telah memberi warna dan inspirasi
tersendiri pada penulis selama menyelesaikan proses ini

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
bimbingan–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan judul
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN G DENGAN CEDERA KEPALA DI
RUANG PERAWATAN BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ATAMBUA”
dengan baik.

Karya tulis ilmiah ini dibuat sebagai salah satu tuntunan kurikulum pendidikan tinggi yang
dibuat untuk menyelesaikan pendidikan ahli madya keperawatan, pada Akademi
Keperawatan Kabupaten Belu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis
ilmiah ini telah memperoleh banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis patut menyampaikan terima kasih kepada
:

1. Drs.Joachim Lopez, selaku Bupati Belu yang telah memberikan ijin kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan.
2. dr.Lau Fabianus, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu yang telah
mengijinkan penulis untuk melanjutkan pendidikan diploma III.
3. dr.Yeni Tassa, selaku direktris RSUD Atambua yang telah menerima dan mengijinkan
penulis melakukan studi kasus.
4. Djulianus Tes Mau,S.Kep,Ns,M.Kes, selaku Direktur Akademi Keperawatan
Kabupaten Belu yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengeyam
pendidikan di Akademi Keperawatan ini.
5. Antonia Helena Hamu,S.Kep,Ns. selaku pembimbing penulis yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing dan memberikan masukan bagi penulis dalam penyusunan
karya tulis ilmiah ini.
6. Pasen G yang menyediakan waktu dan memberikan kesempatan pada penulis untuk
melakukan asuhan keperawatan secara langsung.
7. Petugas perpustakaan yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
mendapatkan sumber bacaan yang berkaitan dengan karya tulis ilmiah ini.
8. Teman – teman progsus keperawatan sekelas yang selalu memberikan warna dan
inspirasi perjuangan tersendiri bagi penulis selama melalui proses ini.
9. Suami dan kedua anakku tercinta yang telah mendorong dan memahami penulis
selama menyelesaikan proses ini.

Penulis berupaya semaksimal mungkin agar karya tulis ilmiah ini bisa menjadi baik dan layak
untuk sesama, namun penulis menyadari kesempurnaan masih jauh. Maka saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak demi perbaikan karya tulis ilmiah ini sangatlah
diharapkan dan akan diterima dengan lapang dada. Kiranya semua bantuan yang telah penulis
dapatkan dibalaskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Atambua, Oktober 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman
Judul……………………………………………………………………………………….. i

Lembar
Persetujuan……………………………………………………………………………….. ii

Lembar
Pengesahan……………………………………………………………………………… iii

Motto……………………………………………………………………………………………
…………. vi

Persembahan……………………………………………………………………………………
……. v

Kata
Pengantar……………………………………………………………………………………….
vi

Daftar Isi
……………………………………………………………………………………………….
viii

Daftar
tabel……………………………………………………………………………………………
…x

Daftar
Lampiran………………………………………………………………………………………
xi

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang……………………………………………………………………… 1
2. Rumusan Masalah………………………………………………………………. 2
3. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum…………………………………………………………………
2
2. Tujuan Khusus……………………………………………………………….. 3
3. Manfaat Penulisan
……………………………………………………………… 3
4. Metode Penulisan
……………………………………………………………….. 3
5. Sistematika Penulisan………………………………………………………….
4

BAB II TINJAUAN TEORITIS

1. Konsep Dasar
1. Anatomi Fisiologi Otak
1. Susunan Saraf Pusat…………………………………………….5
2. Susunan Saraf Perifer……………………………………………7
3. Cedera Kepala
1. Pengertian………………………………………………………
……7
2. Etiologi…………………………………………………………
……………. 8
3. Klasifikasi………………………………………………………
………….. 8
4. Patofisiologi……………………………………………………
……….. 10
5. Pemeriksaan Penunjang ………………………………………..
11
6. Penatalaksanaan…………………………………………………
….. 12
7. Komplikasi……………………………………………………
………….. 14
8. Konsep dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian………………………………………………
……………………. 14
2. Diagnosa
Keperawatan……………………………………………
…… 24
3. Perencanaan……………………………………………
…………………… 25
4. Pelaksanaan……………………………………………
……………………. 39
5. Evaluasi…………………………………………………
……………………… 43

BAB III TINJAUAN KASUS

1. Pengkajian……………………………………………………………………45
2. Diagnosa Keperawatan………………………………………………….55
3. Perencanan, implementasi dan evaluasi…………………………..57
4. Catatan perkembangan………………………………………………….64

BAB IV PEMBAHASAN………………………………………………………………….77

BAB V PENUTUP

1. Kesimpulan…………………………………………………………………..80
2. Saran…………………………………………………………………………..81

Daftar Pustaka

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skala Coma Glasgow………………………………………………….09

Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala………………..10

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pathway Cedera Kepala

Lampiran 2. Surat ijin Pengambilan Data

Lampiran 3. Surat Ijin Melaksanakan penelitian

Lampiran 4. Surat balasan telah melakukan penelitian

Lampiran 5. Daftar Konsul

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(www.yayanakhyar.com.nr/200905).

Setiap tahun di Amerika Serikat, mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala
52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma dikaitkan dengan
kematin. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Natroma Trauma Project di
Islamic Republik of Iran bahwa, diantara semua jenis trauma tertinggi yang
dilaporkan yaitu sebanyak 78,7 % trauma kepala dan kematian paling banyak
juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, zand, Rouzrokh, Zarei, 2009).
Rata – rata rawat inap pada laki – laki dan wanita akibat terjatuh dengan
diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per 100.000 dan 158,3 per
100.000 (Thomas 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih
tinggi pada laki – laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per 100.000
dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun keatas, kematian akibat
trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang
mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Kraus (1993), dalam
penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami
cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan
sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala
disebabkan oleh terjatuh.Menurut data yang diperolah dari rekam medik RSUD
Atambua, pada tiga tahun terakhir ini yaitu : tahun 2008 terdiri dari 142 orang,
laki –laki : 107 orang ( 75,3 %), perempuan : 42 orang (29,5 %), Tahun 2009 :
163 orang, laki – laki : 140 orang (85,8 %), perempuan : 23 orang (13,6 %),
Tahun 2010 : 175 orang, laki – laki : 149 orang (85,1 %), perempuan : 26 orang (
14,8 %).

Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan


teknologi, diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya
transportasi, mobilitas penduduk pun ikut meningkat. Namun akibat kemajuan
ini, juga berdampak negatif yaitu semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas
karena ketidak hati – hatian dalam berkendaraan. Sehingga dapat
mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu cedera yang sering terjadi pada
saat kecelakan lalu lintas
adalah cedera kepala (…………..http://repository.usu.ac.id/
bitstream/ 12345678 /16495/5.chapter%201.pdf)

Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi,


oleh karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik
terutama tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera otak sekunder
dan cara merujuk penderita secepat mungkin oleh untuk petugas kesehatan yang
berada digaris depan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalahnya


adalah “ Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala di Rumah Sakit Umum Daerah Atambua ? ”

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu mengembangkan pola pikir ilmiah dalam memberikan


asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala dengan pendekatan proses
keperawatan.

2. Tujuan khusus

a) Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien cedera kepala.

b) Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien


dengan cedera kepala.

c) Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien


dengan cedera kepala.

d) Mahasiswa mampu melaksanakan rencana tindakan keperawatan pada


pasien dengan cedera kepala.
e) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilakukan.

f) Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi terhadap tindakan


keperawatan yang telah dilakukan.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi profesi keperawatan

Memberikan asuhan tentang bagaimana merawat pasien dengan cedera kepala,


dengan menggunakan proses keperawatan yang meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

2. Bagi Rumah Sakit

Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan penerapan asuhan keperawatan


pada pasien dengan cedera kepala.

3. Bagi penulis

a) Memperoleh pengalaman yang nyata dalam merawat klien dengan cedera


kepala.

b) Menambah pengetahuan tentang penerapan asuhan keperawatan pada


klien dengan cedera kepala.

E. Metode Penulisan

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif, yakni


melalui studi pustaka dan studi kasus. Studi pustaka diambil dari buku – buku
perpustakaan dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan proposal
karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan Yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,


tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan.

BAB II : Tinjauan teoritis Yang terdiri dari konsep dasar cedera kepala dan
konsep dasar Asuhan Keperawatan pada pasien cedera kepala.

BAB III : Tinjaun kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

BAB IV : pembahasan

BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar

1. Anatomi Fisiologi Otak

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak yang lembut, yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Pada orang
dewasa tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan
isi intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari 2 dinding atau tabula yang dipisahkan
oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksternal dan dinding bagian dalam disebut
tabula internal. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan
meninges adalah durameter, araknoid dan piameter (Price, Silvia A ; 2005 : 1014).

Sistem persarafan terdiri dari:

a. Susunan saraf pusat

1) Otak

(a).Otak besar atau serebrum (cerebrum)


Mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan
yang duhubungkan oleh massa substansi alba (substansia alba)
yang disebut korpus kalosum (corpus callosum). Serebrum terdiri
atas : korteks sereri, basal ganglia (korpora striate) dan sistem
limbik (rhinencephalon).
(b).Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fossa kranial posterior,
dibawah tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii dan
medula oblongata. Serebelum mempunyai dua hemisfer yang
dihubungkan oleh vermis. serebelum dihubungkan dengan otak
tengah oleh pedunkulus serebri superior, dengan pons paroli oleh
pedunkulus serebri media dan dengan medula oblongata oleh
pedunkulus serebri inferior. Lapisan permukaan setiap hemisfer
serebri disebut korteks yang disusun oleh substansia grisea.
Lapisan – lapisan korteks serebri ini dipisahkan oleh fisura
transversus yang tersusun rapat. Kelompok massa substansia
grisea tertentu pada serebelum tertanam dalam substansia alba
yang paling besar dikenal sebagai nukleus dentatus.
(c).Batang otak.
Pada permukaan batang otak terdapat medula oblongata, pons
varolii, mesensefalon dan diensefalon. Talamus dan epitalamus
terlihat dipermukaan posterior batang otak yang terletak diantara
serabut capsula interna. Disepanjang pinggir dorsomedial talamus
terdapat sekelompok serabut saraf berjalan keposterior basis
epifise.
2) Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)
Medula spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat
yang menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan
embrio. Semula ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis
sentralis. Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama
dipersatukan oleh struktur intermedia yang dibentuk oleh sel saraf dan
didukung oleh jaringan interstisial.
Medula spinalis membentang dari foramen magnum sampai setinggi
vertebra lumbalis I dan II, ujung bawahnya runcing menyerupai kerucut
yang disebut konus medularis, terletak didalam kanalis vertebralis
melanjut sebagai benang-benang (filum terminale) dan akhirnya
melekat pada vertebra III sampai vertebra torakalis II, medula spinalis
menebal kesamping. penebalan ini dinamakan intumensensia
servikalis.
b. Susunan saraf perifer
1) Susunan saraf somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensori
dari tubuh. Indra ini berbeda dengan indra khusus (penglihatan,
penghiduan, pendengaran, pengecapan dan keseimbangan), indra
somatik digolongkan menjadi 3 jenis :
(a).Indra somatik mekano reseptif.
(b).Indra termoreseptor.
(c).Indra nyeri.
2) Susunan saraf otonom
Saraf yang mempersarafi alat – alat dalam tubuh seperti kelenjar,
pembuluh darah, paru – paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini
mendapat dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling
bertentangan, kalau yang satu merangsang yang lainnya menghambat
dan sebaliknya, kedua susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan
saraf parasimpatis (syaifuddin ; 2009 : 335 – 360).
2. Cedera Kepala
a. Pengertian
Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak.
secara anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala
serta tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya (Arif Muttaqin ;
2008 : 270).
Cedera kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura
meter) atau tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura).
Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki
akses langsung ke otak (Corwin J.Elizabeth; 2005 : 175).
Cedera kepala : Trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen (http://www.yayanakhyar. com.nr/200905).
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala terjadi baik
secara langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat
mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanen.

b. Etiologi
Penyebab utama cedera kepala meliputi : Kecelakaan lalu lintas
>50 % kasus, Jatuh, Pukulan, Kejatuhan benda, Kecelakaan
kerja/industri, Cedera lahir, Luka tembak (Cholik Harun dan Saiful
Nurhidayat ; 2009 :49 )

c. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
keparahan dan morfologi cedera:
1) Mekanisme:
(a). Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
(b). Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.

2) Berdasarkan beratnya:

(a). Ringan (GCS 14-15)

(b). Sedang (GCS (9-13)

(c).Berat (GCS 3-8)

3) Berdasarkan morfologi:

(1) Fraktur tengkorak

(a).Kalvaria: Linear atau stelata, Depressed atau nondepressed,


Terbuka atau tertutup

(b).Dasar tengkorak: Dengan atau tanpa kebocoran CNS, Dengan


atau tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial)

(2) Lesi intrakranial

(a).Fokal: Epidural, Subdural, intraserebral

(b).Difusa: Komosio ringan, Komosio klasik, Cedera aksonal difusa(


http://www.yayanakhyar.co.nr/2009)

4) Skala Coma Glasgow (GCS)

Tabel I.Skala Coma Glasgow


Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik (M)
1 Tidak ada reaksi 1 Tidak ada jawaban 1 Tidak ada reaksi

2 Dengan rang 2 Mengerang 2 Reaksi ekstensi(deserebrasi)

sang nyeri
3 Terhadap suara 3 Tidak tepat 3 Reaksi fleksi(dekortikasi)

4 Spontan 4 Kacau/confused 4 Reaksi menghindar

5 Baik,tidak ada dis 5 Melokalisir nyeri

orientasi

6 Menurut perintah

(Sumber:dr George Dewanto,Sp.s,dkk.Panduan Praktis:Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf)

Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan nilai


GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank (Hudak dan
Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh cholik Harun Risjidi)

Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai


skala Koma Glasgow
Penentuan keparahan Deskripsi Frekuensi
GCS:13-15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau


amnesia tetapi kurang dari 30 menit
Minor/ringan 55 %
Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio
serebral,tidak ada hematom
GCS:9-12

Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia lebih


dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
Sedang 24 %
Dapat mengalami fraktur tengkorak
GCS:3-8

Kehilangan kesadaran dan /atau amnesia


lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio
serebral,laserasi,

Berat atau hematom intrakranial 21 %

(Sumber:Cholik Harun Rosjidi,cs(Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala & Stroke)

d. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua


tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda
paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi – deselerasi gerakan kepala. Dalam
mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contercoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulag
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup.

Akselerasi deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti


secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma, perbedaan densisitas
antar tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yag berlawanan
dari benturan (contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yag timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi (http://www.yayankhyar. com.nr/2009).
e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala meliputi:

1) CT scan (dengan/tanpa kontras)

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan


perubahan jaringan otak.

2) MRI

Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.

3) Cerebral angiography

Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak


sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4) Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

5) Sinar X

Mendeteksi parubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur


garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

6) BAER

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

7) PET

Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.

8) CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid

9) Kadar Elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan


tekanan intrakranial.

10)Screen Toxicology

Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan


kesadaran

11)Rontgen Thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)

Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area


pleural.

12)Toraksentesis menyatakan darah/cairan

13)Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)

Analisa Gas Darah (AGD/ Astrup) adalah salah satu tes diagnostik
untuk menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat
digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi
dan status asam basa (Arif Muttaqin ; 2008 : 284)

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari


faktor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan
menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi.
Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen
dan glukosa yang lebih rendah.

Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial


yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intrakranial ini dapat dilakukan dengn cara menurunkan P aCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan P aCO2 ini
yakni dengan intubasi endotrakeal hiperventilasi. Tindakan membuat
intermitten iatrogenic paralisis Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada
klien – klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yangmeninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan
tekanan intrakranial.

Penatalaksanaan konservatif meliputi:

1) Bedrest total

2) Observasi tanda – tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

3) Pemberian obat – obatan

(a). Dexamethason/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema


serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

(b). Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi


vasodilatasi.

(c). Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol


20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.

(d). Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau


untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole

4) Makanan atau cairan


Pada trauma ringan bila muntah – muntah tidak dapat diberikan apa –
apa, hanya cairan infus Dextrosa 5 %, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.

5) Pada trauma berat

Karena hari – hari pertama didapat klien mengalami penurunan


kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka
hari – hari pertama (2 – 3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5
% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5 % 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan
diberikan melalui nasogatric tube (2500 – 3000 TKTP). Pemberian
protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

(Arif Muttaqin ; 2008 : 284-285)

g. Komplikasi

1) Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral dapat


menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering cedera
kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan intrakranial
meningkat, dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis
cedera otak sekunder.Pada hematoma, kesadaran dapat menurun
dengan segera, atau dapat menurun setelahnya ketika hematoma
meluas dan edema interstisial memburuk.

2) Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi
da tetap ada.

(Corwin J Elizabeth ; 2009 : 246)

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan
cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik dan pengkajian psikososial.

a) Anamnesis

Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register,
diagnosis medis.

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta


pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.

b) Riwayat penyakit saat ini

Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian
yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi,
muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka
dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya
liquor dari hidung dan telinga, serta kejang.

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan


dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif dan koma.

Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut –
ngebutan.
c) Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,


riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, penggunaan obat – obat antikoagulan, aspirin, vasodilator,
obat – obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.

d) Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi


dan diabetes melitus.

e) Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai


respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri)

Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien


mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola
persepsi dan konsep diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif.

f) Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan


klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem
(B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain)
dan terarah dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.
Keadaan umum

Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan


kesadaran (cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15,
cedera kepala berat/ cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama
dengan 8 dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.

(1) B1 (Breathing)

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari


perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :

(a).Inspeksi

Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak


napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru
tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh dan
kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya
atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang
iga, pnemothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga
perlu dinilai : retraksi dari otot – otot interkostal, substernal,
pernapan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat
inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal
tidak mampu menggerakkan dinding dada.

(b).Palpasi

Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan


didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.

(c).Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks/ hematothoraks

(d).Auskultasi

Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada


klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk
yang menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.

(2) B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)


hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat.

Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa


keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan
pucat menandakan adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah.
Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -
tanda awal dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari
trauma kepala akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH)
yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi
atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan
resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
sistem kardiovaskuler.
(3) B3 (Brain)

Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama


disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma
dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada
sistem lainnya.

(a).Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah


indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa,
sampai koma.

(b).Pemeriksan fungsi serebral

Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,


nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status
mental mengalami perubahan.

Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan


penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun
jangka panjang

Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis


didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal
yang lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan
dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman,
lupa dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi
masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah
psikologi lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas
emosional, bermusuhan, frustasi, dendam da kurang kerja sama.

Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase


sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustrasi

(c).Pemeriksaan saraf kranial

Saraf I

Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak


anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan
pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral

Saraf II

Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan


lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus.
Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia
subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali
pembuluh darah didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus.
Tetapi dari segala macam kalainan didalam ruang intrakranial,
tekanan intrakranial dapat dicerminkan pada fundus

Saraf III, IV da VI

Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan


trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma
kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap
sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada
penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang
tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan
menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat
anisokoria dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan
miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi
yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini
disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola
pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal
menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan
berkonstriksi.

Saraf V

Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis


nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi
gerakan menguyah

Saraf VII

Persepsi pengecapan mengalami perubahan

Saraf VIII

Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan


biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi
tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis

Saraf IX dan Xl

Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.

Saraf XI

Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik
dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Saraf XII
Indra pengecapan mengalami perubahan

(d).Sistem motorik

Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu


sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.

Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.

Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade


kekuatan otot didapatkan grade O

Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami gangguan


karena hemiparase dan hemiplegia.

(e).Pemeriksaan reflek

Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon, ligamentum


atau periosteum derajat refleks pada respon normal.

Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks fisiologis sisi


yag lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.

(f). Sistem sensorik

Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk


menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsivisual karena
gangguan jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua
atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien
dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi
visual, taktil dan auditorius.

(4) B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk


berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan
dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala
klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang
atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan
kerusakan neurologis luas.

(5) B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,


mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukan kerusakan neurologis luas.

Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya


lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya
dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi
abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik
ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.
Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag
berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.

(6) Tulang (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh


ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran
mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis
pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan
respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari
penggunaan pocked red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.

Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu
jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya
demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan


desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma , subdural hematoma
dan epidural hematoma.

b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi


pada pusat pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan,
ekspansi paru yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan
perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan
penumpukan sputum peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk
sekunder, akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada
trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.

d. Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma


jaringan dan refleks spasme otot sekunder.

e. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman


terhadap konsep diri, takut mati, ketergantungan pada alat bantu,
perubahan status kesehatan/ status ekonomi/ fungsi peran, hubungan
interpersonal/ penularan

3. Rencana Intervensi

a. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang


sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik
bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma.

Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.

Kriteria hasil:

Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS :
4, 5, 6,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal

Intervensi:

Mandiri:

1) Kaji faktor penyebab dari situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/


penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan
TIK.
R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologis/ tanda – tanda kegagalan untuk menentukan
perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan

2) Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam.

R/ suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan


baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik
penurunan dari autoregulator. Kebanyakan merupakan tanda
penurunan difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah (diastolik) maka dibarengi dengan
peningkatan tekanan darah intrakranial. Adanya peningkatan
tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK.

3) Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.

R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali

dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika


batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial
(okulomotorik) yang menunjukan keutuhan batang otak, ukuran
pupil menunjukan keseimbangan antara parasimpatis dan
simpatis. Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi
dari saraf kranial II dan III.

4) Monitor temperatur da pengaturan suhu lingkungan .

R/ Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan


kebutuhan metabolisme dan O2 akan menunjang TIK/ICP
(intrakranial pressure).

5) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan


sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada kepala.
R/ Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan
penekanan pada venajugularis dan menghambat aliran darah ke
otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.

6) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi


lamanya prosedur.

R/ Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek


rangsagan kumulatif.

7) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase


punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.

R/ Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat


mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.

8) Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver.

R/ Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga


menghindari peningkatan TIK.

9) Bantu klien jika batuk, muntah

R/ Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks


dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat
meningkatkan TIK.

10)Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku

R/ Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK


atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak
menurundapat meningkatkan TIK.
11)Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase
urine secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya
konstipasi.

R/ Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan


TIK.

12)Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab
akibat TIK meningkat.

R/ Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien


dan mengurangi kecemasan.

13)Observasi tingkat kesadaran GCS

R/ Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan


berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.

Kolaborasi:

1) Pemberian O2 sesuai indikasi.

R/ Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan


vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK

2) Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam


intrakranial.

R/ Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila


kemungkinan terdapat tanda – tanda defisit neurologis yang
menandakan peningkatan intrakranial.

3) Berikan cairan intravena sesuai indikasi

R/ Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema


serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah , tekanan
darah dan TIK.
4) Berikan obat osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide

R/ Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air


dari sel otak dan mengurangi edema serebral dari TIK

5) Berikan steroid contohnya : Dexamethason,

methylprenidsolon.

R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema


jaringan.

6) Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein

R/ Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK
tetapi digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan
menurunkan sensasi nyeri.

7) Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen.

R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme


serebral/oksigen yang diinginkan.

8) Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin,


LED

R/ Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian


obat.

b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi


pusat pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang
tidak meksimal karen trauma, dan perubahan perbandingan O2 dan
CO2,kegagalan ventilator.

Tujuan:
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi, adanya peningkatan, pola
napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas – gas pada paru, adaptif mengatasi faktor – faktor
penyebab.

Intervensi:
1) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala
tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk
sebanyak mungkin.

R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru


dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea


atau perubahan tanda-tanda vital.

R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat


terjadi sebagai akibat stres fisiologis dan nyeri atau dapat
menunjukan terjadinya terjadinya syok sehubungan dengan
hipoksia.

3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau


kolaps paru – paru.

R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas


dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.

4) Pertahankan perilaku tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan


menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.

R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat


dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
5) Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan jangan
mematikan alarm.

R/ Ventilator yang memiliki alarm yang biasa dilihat dan didengar


misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/ rendahnya tekanan
oksigen.

6) Taruhlah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual


ventilasi untuk sewaktu – waktu dapat digunakan.

R/ Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk


mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada
alat ventilator secara mendadak.

7) Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba


berhenti

R/ Melatih klien untuk mengatur napas, seperti napas dalam,


napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik
relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dari sistem
pernapasan.

8) Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan


konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung,
monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen. Mengkaji
tidal volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi spirometer

R/ Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan


perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer
setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai
cadangan.

9) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan


fisioterapi.

a) Pemberian antibiotik.
b) Pemberian analgesik.

c) Fisioterapi dada.

d) Konsul foto thoraks.

R/ Kolaborasi dengan tim kesehatan lainuntuk mengevaluasi


perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

c. Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret dan
ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan
keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar,
tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif, tidak ada
lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.

Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas

R/ Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret,


sisa cairan mukus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau
posisi dari endotracheal/ tracheostomy tube yag berubah.

2) Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua paru


(bilateral)

R/ Pergerakan dada yang simeteris dengan suara napas yang


keluar dari paru – paru menandakan jalan napas tidak
terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi
pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan
suara napas seperti ronkhi atau wheezing.
3) Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan
tube secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon
bantuan perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.

R/ Endotracheal tube dapat saja masuk kedalam bronkhus kanan,


menyebabkan obstruksi jalan napas keparu – paru kanan dan
mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks

4) Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari


ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.

R/ Selama intubasi klien mengalami refleks batuk yang tidak


efektif, atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot
pernapasan (neuromuskular/neurosensorik), keterlambatan
untuk batuk. Semua klien tergantung dari alternatif yag
dilakukan seperti mengisap lendir dari jalan napas.

5) Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan


dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai,
cairan fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan
penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi).

R/ Pengisapan lendir tidak selamnya dilakukan terus -menerus,


dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya
hipoksia

6) Anjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas


panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.

R/ Batuk yang efektif dapat mengeluarkan

sekret dari saluran napas.

7) Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)


R/ Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru –
paru, mengurangi resiko atelektasis.

8) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.

R/ Membantu pengeceran sekret, mempermudah pengeluaran


sekret.

9) Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa


terdapat penumpukan sekret disaluran pernapasan.

R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu


mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

10) Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.

R/ batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,


dapat menyebabkan frustasi

11)Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin

R/ memungkinkan expansi pun lebih luas

12)Lakukan pernapasan diafragma

R/ pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan


ventilasi alveolar.

13)Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan


keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.

R/ meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah


pengeluaran sekresi sekret

14) Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan
melakukan 2 batuk pendek dan kuat.

R/ pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien.


15)Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.

R/ sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan


sumbatan mukus yang mengarah pada atelektasis.

16)Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :


mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan masukan cairan
1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.

R/ untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mukosa pada


saluran napas bagian atas

17)Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.

R/ higene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan


mencegah bau mulut.

18)Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.

1) Pemberian ekpektoran

2) Pemberian antibiotik

3) Fisioterapi dada

4) Konsul foto thoraks

R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan


mengevaluasi kndisi klien pengembangan parunya.

19)Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase,


perkusi / penepukan.

R/ mengatur ventilasi segment paru – paru sekret.

20)Berikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin,


meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
R/ mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi
muscle / bronchospasme.

d. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di
adaptasi, dapat mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan
nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi:
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni
dan non invasif.

R/ pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan


nonfarmakologi lainnya telah menunjukan keefektifan dalam
mengurangi nyeri

2) Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot


rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.

R/ Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2


oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.

3) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

R/ mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang


menyenangkan.

4) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.

R/ istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan


meningkatkan kenyamanan.
5) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan
menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.

R/ pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi


nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana terapeutik.

6) Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah


pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1
– 2 jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.

R/ pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang


objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan
melakukan : intervensi yang tepat.

7) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.

R/ analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan


berkurang.

e. Cemas atau takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman


terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alat bantu/
perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan
interpersonal.

Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam secara subjektif melaporkan rasa cemas


berkurang.

Kriteria Hasil : klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-


cara yang sehat kepada perawat, klien dapat mendemonstrasikan
keterampilan pemecahan masalahnya dan perubahan koping yang
digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat penurunan
kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan
tidur/istirahat dengan baik.
Intervensi : Mandiri.

1) Identifikasi persepsi klien untuk menggambarkan tindakan sesuai


situasi

R/ menegaskan batasan masalah individu dan pengeruhnya


selama diberikan intervensi.

2) Monitor rspon fisik seperti : Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan


yang berulang-ulang, catat kesesuaian respons verbal dan non verbal
selama komunikasi.

R/ digunakan dalam mengevaluasi derajat/ tingkat kesadaran/


konsentrasi, khususnya ketika melakukan komunikasi verbal.

3) Anjurkan klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan


mengekspresikan rasa takutnya.

R/ Memberikan kesempata untuk berkonsentrasi, kejelasan dari


rasa takut, dan mengurangi cemas yang berlebihan.

4) Akuilah situasi yang membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang
tak berarti seperti mengatakan semuanya akan menjadi baik.

R/ Memvalidasi situasi yang nyata tanpa mengurangi pengaruh


emosional.

5) Identifakasi/ kaji ulang bersama klien / keluarga tindakan pengaman


yang ada seperti kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan suctioa
emergency. Diskusikan arti dari bunyi alarm.

R/ membesarkan/menentramkan hati klien untuk membantu


menghilangkan cemas yang tak berguna, mengurangi
konsentrasi yang tidak jelas, dan menyiapkan rencana sebagai
respons dalam keadaan darurat.
6) Cetak reaksi dari klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk
mendiskusika perasaannya/konsentrasi dan harapan masa depan.

R/ Anggota keluarga dengan responnya pada apa yang terjadi


dan kecemasannya dapat di sampaikan kepada klien.

7) Identifikasi kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan


mengontrol pengguanaannya.

R/ Memfokuskan perhatian pada sendiri dapat meningkatkan


pengertian dalam penggunaan koping.

8) Demonstrasikan/anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi


seperti mengatur pernapasan, menuntun dalam berkhayal, relaksasi
progresif.

R/ pengaturan situasi yang aktif dapat mengurangi perasaan


yang tak berdaya.

9) Anjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampua individu


seperti menulis, menonton tv dan keterapilan

R/ sejumlah keterampilan baik secara sendiri maupun dibantu


selama pemasangan ventilator dapat membuat klien merasa
berkualitas dalam hidupnya.

Kolaborasi

Rujuk ke bagian lain guna penanganan selanjutnya.

R/ mungkin dibutuhkan untuk membantu jika klien/ keluarga tidak


dapat mengurangi cemas atau ketika klien membutuhkan alat
yang lebih canggih.

( Arif Muttaqin ; 2008 : 288-297 )

4. Pelaksanaan tindakan keperawatan


Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan
untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing oders untuk membantu
klien mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2001 : 63). Pelaksanaan
pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :

Diagnosa keperawatan 1: Resiko tinggi peningkatan TIK yang


berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma,
dan epidural hematoma. Pelaksanaannya adalah : mengkaji faktor penyebab dari
situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/ penurunan perfusi jaringan dan
kemungkinan penyebab peningkatan TIK. Memonitor tanda – tanda vital tiap 4
jam. mengevaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
Memonitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan . Mempertahankan
kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari
penggunaan batal yang tinggi pada kepala. Memberikan periode istirahat antara
tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur. Mengurangi rangsangan
ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang
tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
Mencegah/hindarkan terjadinya valsava manuver. Membantu klien jika batuk,
muntah. Mengkaji peningkatan istirahat dan tingkah laku. Melakukan palpasi
pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten
jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi. Memberikan penjelasan
pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab akibat TIK meningkat.
Mengobservasi tingkat kesadaran GCS. Kolaborasi: Pemberian O 2 sesuai
indikasi. Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam
intrakranial. Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Berikan obat
osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide. Berikan steroid contohnya :
Dexamethason, methylprenidsolon. Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein.
Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen. Monitor hasil laboratorium sesuai
dengan indikasi seperti prothrombin, LED

Diagnosa keperawatan 2 : Ketidakefektifan pola pernapasan yang


berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot – otot
pernapasan, ekspansi paru yang tidak meksimal karen trauma, dan perubahan
perbandingan O2 dan CO2,kegagalan ventilator. Pelaksanaannya adalah :
Memberikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat
tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Mengobservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital. Menjelaskan pada klien tentang etiologi/faktor
pencetus adanya sesak atau kolaps paru – paru. Mempertahankan perilaku
tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih
lambat dan dalam. Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan jangan
mematikan alarm. Taruhlah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan
manual ventilasi untuk sewaktu – waktu dapat digunakan. Bantulah klien untuk
mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba berhenti. Perhatikan letak
dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa
tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis
batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi
spirometer. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan
fisioterapi.

Diagnosa keperawatan 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang


berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan
sekresi sekret dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri
dan keletihan. Pelaksanaannya adalah : mengkaji keadaan jalan napas.
Mengevaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua paru
(bilateral). Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan
tube secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan
perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube. Mencatat adanya
batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan
yang tinggi, pengeluaran sekret melalui endotracheal/ tracheostomy tube,
bertambahnya bunyi ronkhi. Melakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi
durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag
sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan
penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi). Menganjurkan klien teknik batuk
selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada
indikasi. Mengatur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam). Memberikan
minum hangat jika keadaan memungkinkan. Menjelaskan kepada klien tentang
kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret disaluran
pernapasan. Mengajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan
batuk. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin, lakukan
pernapasan diafragma, tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara
perlahan, lahan keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut, lakukan napas
kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan
kuat. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. Mengajarkan klien
tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang
adekuat, meningkatkan masukan cairan 1000-1500cc/hari bisa tidak ada
kontraindikasi. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
Melakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi /
penepukan. Memberikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti
aminophilin, meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride
(bronkosal).
Diagnosa Keperawatan 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder. Pelaksanaannya adalah :
menjelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni dan
non invasif. Pelaksanaannya adalah : mengajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk
menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri
dan juga tingkatkan relaksasi masase. Mengajarkan metode distraksi selama
nyeri akut. Memberikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan
posisi yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.
Meningkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung. Mengobservasi tingkat nyeri dan respon
motorik klien,30 menit setelah pemberian obat analgesik untuk mengkaji
efektifitasnya serta setiap 1 – 2 jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.

Diagnosa Keperawatan 5 : Cemas atau takut yang berhubungan dengan


krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan
pada alat bantu/ perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran,
hubungan interpersonal. Pelaksanaannya adalah : mengidentifikasi persepsi
klien untuk menggambarkan tindakan sesuai situasi. Monitor respon fisik seperti
: Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan yang berulang-ulang, catat
kesesuaian respons verbal dan non verbal selama komunikasi. Menganjurkan
klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.
Akuilah situasi yang membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang tak
berarti seperti mengatakan semuanya akan menjadi baik. Mengidentifakasi/ kaji
ulang bersama klien / keluarga tindakan pengaman yang ada seperti kekuatan
dan suplai oksigen, kelengkapan suctioa emergency. Diskusikan arti dari bunyi
alarm. Mencetak reaksi dari klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk
mendiskusika perasaannya/konsentrasi dan harapan masa depan. Identifikasi
kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan mengontrol
pengguanaannya. Mendemonstrasikan / anjurkan klien untuk melakukan teknik
relaksasi seperti mengatur pernapasan, menuntun dalam berkhayal, relaksasi
progresif. Menganjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampua
individu seperti menulis, menonton tv dan keterapilan. Kolaborasi ; Rujuk ke
bagian lain guna penanganan selanjutnya.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses


keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001 : 71).

Hasil evaluasi yang bisa didapatkan pada pasien dengan cedera kepala
sesuai dengan diagnosa keperawatan yang ada adalah sebagi berikut :

a. Pasien tidak mengalami peningkatan TIK yang ditandai dengan Klien tidak gelisah,
klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat
papiledema, TTV dalam batas normal.

b. Pola napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan memperlihatkan frekuensi
pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas – gas pada paru,
adaptif mengatasi faktor – faktor penyebab.
c. Jalan napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan bunyi napas terdengar
bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk
yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.

d. Pasien secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat
mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.

e. Klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat kepada
perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat
mencatat penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan
tidur/istirahat dengan baik.

BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

I. Identitas klien

Untuk mendapatkan gambaran nyata kasus cedera kepala sedang, penulis


mengambil kasus yaitu pada pasien G umur 15 tahun, jenis kelamin laki –
laki,suku/bangsa: Tetun/Indonesia, pendidikan:SMP, alamat:pasar baru,
Atambua. Masuk rumah sakit pada tanggal 31 Agustus 2011 jam 15.00 WITA
dengan keluhan utama: pasien mengatakan pasien mengalami kecelakaan
lalu lintas dan keluhan utama saat pengkajian pasien mengatakan sakit pada
kepala dan luka bekas jahitan pada alis mata kanan, skala nyeri 7-9 (berat).

Dirawat diruang bedah Rumah Sakit Umum Daerah Atambua dengan


diagnosa medik Cedera Kepala Sedang.Kelarga mengatakan pasien tidak
pernah dioperasi sebelumnya.

No MR: 01.17.XX,tanggal pengambilan data 01 September 2011 pada jam


08.00 WITA.
II. Riwayat Keperawatan

1. Riwayat penyakit sekarang

keluarga mengatakan pada tanggal 31 Agustus 2011 pasien G


mengalami kecelakaan lalu lintas,saat itu pasien G sedang
mengendarai motor yang ditumpangi bersama temannya.Pasien G
dibonceng dengan kecepatan ± 60 km/jam.Motor yang ditumpangi
pasien G dan temannya ditabrak mobil (angkutan kota) sehingga
pasien G terlempar kearah kiri jalan dan kepala membentur trotoar
dan tidak sadarkan diri.Pasien G dibawa temannya dan warga
sekitar ke UGD Rumah Sakit Umum Daerah Atambua.

2. Riwayat penyakit dahulu

Pasien mengatakan pernah jatuh dari sepeda dan mengalami patah


tulang pada tangan kiri,lalu pasien dirawat dirumah sakit dan pulang
untuk melanjutkan pengobatan tradisional.

3. Riwayat kesehatan keluarga

Pasien dan orang tua mengatakan dalam keluarga tidak ada yang
menderita penyakit menular (TB paru,Diabetes dan Hipertensi)
tetapi hanya menderita demam dan batuk pilek biasa.

III. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum

Keadaan umum lemah,pasien terbaring diatas tempat


tidur,kesadaran secara kualitatif somnolen,keadaan secara
kuantitatif dengan GCS: E:3.V:5,M:5,total 13,pasien hanya mau
tidur saja,bengkak pada mata kanan dan tampak kebiruan,luka
jahit pada alis mata kanan dan pada dahi.keluar darah dari hidung
pada saat kecelakaan.Terdapat luka jahit pada kaki kanan dan
paha kiri,pasien tampak meringis kesakitan.Terpasang cairan infus
Ringer Laktat 12 tetes/menit pada tangan kanan.

2. Tanda-tanda vital

Tekanan darah:100/60 mmHg posisi berbaring,Nadi:84 x/menit,


irama teratur dan kuat,Suhu:36,4oC/axila, Pernapasan:18x/menit,
irama teratur,Akral:teraba hangat,Mean Preassure Arteri (MAP):73,
Pulse Preassure (PP):40.

3. Body Sistem

a. Breathing

Bentuk hidung simetris,tidak ada cairan yag keluar,terdapat sisa


darah yang kering,tidak ada luka lecet pada hidung,pada
leher,posisi trakea berada ditengah.
Bentuk dada simetris,tidak ada luka lecet,tidak ada retraksi
dinding dada,RR:18 x/menit irama teratur.Palpasi hidung: tidak
ada nyeri tekan, perkusi:,auskultasi: bunyi kedua lapang paru
vesikular.

b. Blood

Pasien tampak pucat,mukosa bibir kering,tidak ada fraktur dan


perdarahan aktif.Pada jantung terdapat denyutan
normal,denyutan lebih terlihat pada bagian apikal jantung,tidak
ada pembengkakan,detak jantung keras,Capilarry Refill Time
(CRT) < 2 detik,akral teraba hangat. Mean Pressure Arteri
(MAP):73mmHg. Pulse Preassure : 40mmHg. Auskultasi:Bunyi
yang dihasilkan saat perkusi adalah bunyi redup dan saat
auskultasi ditemukan bunyi jantung S1 dan S2 tunggal.

c. Brain
Tingkat kesadaran secara kwalitatif somnolen,secara kuantitatif
GCS: E:3,V:5,M:5 total 13.Saat dilakukan pemeriksaan Nervus I
(sensori) :pasien dapat membedakan bau alkohol pada kapas
alkohol.Nervus II untuk sensori pemeriksaan pupil pada mata kiri
miosis.Nervus III (Okulomotorik:traklear dan abdusen): secara
motorik,pasien dapat menutup mata dengan rapat, Nervus IV
(Trigenimus):Tidak dapat diukur.Nervus V (saraf facial)
motorik:saat diminta tersenyum pasien dapat
tersenyum,sensorik:pasien dapat membedakan rasa asin dan
manis. Nervus VII (glosovfaringeal) secara motorik:pasien dapat
menelan air yang minum, secara sensorik: pasien dapat
membedakan rasa pahit dan asam. Nervus IX
(asesorius):pasien dapat menggerakkan bahu keatas.Nervus X
(hipoglasus) motorik:lidah tampak simetris dan tidak
tremor,pasien dapat menyebut huruf L,T,D dan N.Nervus XI
motorik:pasien dapat menoleh kekiri dan kekanan.Nervus XII
motorik:lidah tidak mengalami perubahan.

d. Bladder

Perut tampak simetris,tidak ada jejas,tidak ada luka lecet,tidak


ada distensi kandung kemih,tidak terpasang kateter dan
menurut pasien BAK 1 kali warn kuning,tidak ada nyeri saat
BAK.Saat palpasi tidak ada nyeri tekan.

e. Bowel

Pada bibir tidak ada luka lecet,mukosa bibir kering,gigi tampak


kotor,pada perut tidak ada bayangan vena,bising usus 6-7
kali/menit,tidak teraba massa,tidak ada nyeri tekan pada
perut,tidak ada distensi kandung kemih,perkusi:bunyi
timpani,menurut keluarga sejak pasien masuk kemarin pasien
belum BAB.

f. Bone.
Tulang: Pada akstremitas atas, tidak mengalami fraktur dan
perdarahan aktif.Pada ekstremitas bawah,pada kaki kanan dan
paha kiri terdapat luka jahit.
Otot:Tidak ada memar,pergerakan terbatas ,kekuatan otot
ekstremitas atas dan ekstremitas bawah gerak aktif, kekuatan
otot nilai 5.
Integumen:terdapat luka jahit pada alis mata kanan dan dahi
serta paha kiri dan kaki kanan,bengkak pada mata kanan dan
tampak kebiruan.Turgor kulit kering,kulit tampak kotor dengan
sisa darah yang sudah kering.Pada tubuh warna kulit sawo
matang,akral teraba hangat.

IV. Pola Fungsi Kesehatan

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Pasien mengatakan saat ini tidak tahu atau tidak mengerti dengan
penyakit yang diderita (cedera kepala) pasien mengatakan hanya
merasa sakit pada kepala dan luka jahit.

b. Pola nutrisi dan metabolik

Sebelum sakit :pasien mengatakan setiap hari makan 3 kali sehari


dan minum 6-7 gelas sehari.Kesukaan makan pasien:daging ayam
dan daging sapi.
Setelah masuk rumah sakit:pasien makan seperti biasa 3 x
sehari,dan minum 4-5 gelas air/hari.Pasien makan sedikit-sedikit
dan menghabiskan setengah dari porsi yang disediakan dirumah
sakit.

c. Pola eliminasi.

Sebelum sakit :pasien mengatakan BAB 1-2 kali sehari,konsistensi


lembek,warna kuning dan bau kas.BAK 4-5 x sehari,warna kuning
muda,bau khas amoniak.
Setelah masuk rumah sakit :Pasien mengatakan sejak masuk kemarin
tanggal 31 Agustus 2011 belum BAB.BAK 2-3 x sehari,tetapi dibantu
oleh keluarga atau perawat ditempat tidur dengan menggunakan pispot.

d. Pola istirahat dan tidur.

Sebelum sakit:pasien mengatakan tidur siang dari jam 14.00-


16.00.Pada malam hari tidur dari jam 22.00-06.00 pagi.Kebiasaan
sebelum tidur malam berdoa.
Setelah Masuk rumah sakit:Pasien hanya tidur ditempat tidur,pasien
lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur.

e. Pola hubungan dan peran.

Pasien mengatakan hubungannya dengan keluarga dan teman-teman


baik,peranannya sebagai anak pertama dalam keluarga

f. Pola aktifitas dan latihan.

Sebelum sakit :pasien mengatakan selalu melakukan aktivitasnya sendiri.

Setelah Masuk rumah sakit:Pasien tidak bisa melakukan aktivitas sendiri


seperti makan,dan minum,buang air besar dan kecil tetapi dibantu oleh
keluarga dan perawat.

g. Pola mekanisme koping.

Pasien mengatakan kalau ada masalah pasien mencari jalan keluar


dengan berbicara pada ibunya.

h. Pola konsep diri.

Pasien mengatakan malu dan takut dengan keadaannya sekarang,


pasien takut mati dan berharap dapat sembuh agar dapat beraktivitas
seperti biasa.Pasien mengatakan takut dan trauma jika harus naik
sepeda motor lagi dan menanyakan apakah bisa sembuh?
i. Pola nilai dan kepercayaan.

Pasien beragama katolik,sebelum sakit setiap hari minggu pasien selalu


kegereja dan mempunyai keyakinan bahwa Tuhan adalah sumber
kekuatan.

V. Pemeriksaan Diagnostik

Laboratorium:Tidak dilakukan pemeriksaan

Radiologi:Foto polos:AP/lateralis.Thorax:AP

VI. Therapy

Tanggal:31-08-2011,obat injeksi:

Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr (1000 mg)/intravena.

Injeksi Torasic 2 x 30 mg/intravena.

Injeksi Kalnex 2 x 50 mg/intravena.

Injeksi brainact 2 x 125 mg/intravena.

Tanggal 01-10-2011,obat injeksi:

Injeksi Cravit 750 mg drip dalam cairan Ringer Laktat,40 tetes/menit.

Injeksi Brainact 2 x 125 mg/intravena.

Injeksi Torasic 2 x 30 mg/intravena.

Injeksi Ranitidine 2 x 25 mg/intravena.


Tanggal 05-10-2011,obat tablet:

Danalgin 3 x ½ tablet (250 mg)

Staforin 2 x 1 tablet (250 mg)

Brainact 2 x 1 tablet (500 mg)

Atambua, 1 – 9 – 2011

Theresia
M.Fernandez
NIM : 5306.09.597

ANALISA DATA

No Hari/tgl Data Etiologi Masalah

1 Kamis,01- DS:Pasien mengatakan sakit Trauma Gangguan


kepala perfusi
09-2011 pada kepala.
jaringan
otak
DO:Keadaan umum
lemah, kesadaran secara
kualitatif somnolen, keadaan
secara kuantitatif GCS:
E:3.V:5,M:5,total 13, pasien
hanya mau tidur saja,
bengkak pada mata kanan
dan tampak kebiruan,
terdapat luka jahit pada alis
mata kanan dan pada dahi.
keluar darah dari hidung pada
saat terjadi
kecelakaan.Terdapat luka
jahit pada kaki kanan dan
paha kiri, pasien tampak
meringis kesakitan.

Tanda-tanda vital:

Nadi :84 x/menit, irama


teratur dan kuat.

Pernapasan:18 x/menit, Irama


teratur.

Tekanan darah:100/60 mmHg


posisi berbaring.

Mean Preassure Arteri


(MAP):73, Pulse
Preassure (PP) :40.Capilary
Refill Time (CRT) < 2 detik.
2 Kamis,01- DS: Pasien mengatakan sakit Trauma Gangguan
09-2011 pada kepala dan luka jahitan. jaringan rasa
dan refleks nyaman
DO: Keadaan umum lemah,
spasme nyeri akut
kesadaran secara kualitatif
otot
somnolen, keadaan secara
sekunder.
kuantitatif GCS:
E:3.V:5,M:5,total 13, bengkak
pada mata kanan dan
tampak kebiruan, terdapat
luka jahit pada alis mata
kanan dan pada
dahi.Terdapat luka jahit pada
kaki kanan dan paha kiri,
pasien tampak meringis
kesakitan, skala nyeri 7-9
(berat).

Tanda-tanda vital:

Nadi :84 x/menit, irama


teratur dan kuat.

Pernapasan:18 x/menit, Irama


teratur.

Tekanan darah:100/60 mmHg


posisi berbaring.

Mean Preassure Arteri


(MAP):73, Pulse
Preassure (PP) :40.
3 Kamis,01- DS: Pasien mengatakan takut Krisis ketakutan
09-2011 mati dan berharap dapat situasional:
sembuh. perubahan
status
Pasien mengatakan takut dan
kesehatan.
trauma naik sepeda motor.

DO: Tanda-tanda vital:


Nadi:84 x/menit, irama teratur
dan kuat, Pernapasan:18
x/menit, irama teratur.
Tekanan darah:100/60 mmHg
4 Kamis,01- DS: Pasien mengatakan tidak Kelemahan Defisit
fisik perawatan
09-201 bisa melakukan aktivitas
diri.
sendiri tetapi dibantu
oleh keluarga dan perawat,
pasien mengatakan sakit
kepala.

DO: Keadaan umum


lemah.Kulit tampak kotor
dengan sisa darah yang
sudah kering pada muka, kaki
dan tangan.Gigi tampak kotor.

Kekuatan otat ekstremitas


atas dan bawah aktif, nilai 5

B. Diagnosa keperawatan

Dari analisa diatas maka prioritas diagnosa keperawatan yang muncul adalah:

1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan trauma kepala.

DS: Pasien mengatakan sakit pada kepala.

DO: Keadaan umum lemah, kesadaran secara kualitatif somnolen,keadaan


secara kuantitatif GCS: E:3.V:5,M:5,total 13, bengkak pada
mata kanan dan tampak kebiruan,luka jahit pada alis mata kanan dan
pada dahi.Keluar darah dari hidung pada saat kecelakaan.Terdapat
luka jahit pada kaki kanan dan paha kiri,pasien tampak meringis
kesakitan.Tanda-tanda vital: Nadi :84 x/menit,irama teratur dan
kuat.Pernapasan:18 x/menit,Irama teratur.Tekanan darah:100/60
mmHg posisi berbaring.

Mean Preassure Arteri (MAP):73 mmHg, Pulse Preassure (PP):40


mmHg

2. Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan


dan refleks spasme otot sekunder.
DS:Pasien mengatakan sakit pada kepala dan luka jahitan.

DO:Keadaan umum lemah,kesadaransecara kualitatif somnolen,keadaan


secara kuantitatif GCS: E:3.V:5,M:5,total 13, bengkak pada
mata kanan dan tampak kebiruan,luka jahit pada alis mata kanan dan
pada dahi.Terdapat luka jahit pada kaki kanan dan paha kiri,pasien
tampak meringis kesakitan,skala nyeri 7-0 (berat). Tanda-tanda vital:
Nadi :84x/menit,irama teratur dan kuat.Pernapasan:18 x/menit,Irama
teratur.Tekanan darah:100/60 mmHg posisi berbaring.Mean
Preassure Arteri (MAP):73 mmHg, Pulse Preassure (PP) :40 mmHg

3. Ketakutan berhubungan dengan Krisis situasional: perubahan status


kesehatan.

DS: Pasien mengatakan takut mati dan berharap dapat sembuh.

Pasien mengatakan takut dan trauma naik sepeda motor

DO: Pasien tampak cemas.Pasien menanyakan apakah bisa


sembuh.Tanda- tanda vital: Nadi:84 x/menit, irama teratur dan kuat,
Pernapasan:18 x/menit, irama teratur. Tekanan darah:100/60 mmHg
posisi berbaring.

4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.

DS:Pasien mengatakan tidak bisa melakukan aktivitas sendiri tetapi dibantu


oleh keluarga dan perawat.

DO:Keadaan umum lemah,Kulit tampak kotor dengan sisa darah yang


sudah kering pada muka,kaki dan tangan.Gigi tampak kotor Kekuatan
otat ekstremitas atas dan bawah aktif.

C. PERENCANAAN, IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Nama pasien :
G Dx Medik :
Cedera Kepala Sedang.
Umur :15
tahun No.MR :
01.17.XX

Ruang :Bedah.

NO Hari/ Diagnosa Tujuan Intervensi R


Tgl Keperawatan
1 Kamis, Gangguan perfusi Goal : pasien akan 1. Mengukur tanda-tanda 1. Sebag
01-09- jaringan otak mempertahakan vital fungs
2011 berhubungan dengan perfusi yang
trauma kepala. adekuat selama
masa perawatan.

Obyektif : setelah
dilakukan
perawatan selama
3 x 24 jam,
diharapkan pasien
dapat
menunjukkan :

Perfusi keserebral
yang adekuat
dengan kriteria
hasil :

 Keadaan
umum
membaik.

 Kesadaran
secara
kualitatif
composmentis 2. Meng
dan secara kecen
kuantitatif 2. Pantau dan catat status tingka
GCS,E:4,V:5,M neurologis secara teratur
:6 total 15 dan bandingkan dengan
nilai standar (GCS)
 Bengkak pada 3. Gang
mata 3. Kaji perubahan pada pengl
berkurang penglihatan,seperti dapat
adanya penglihatan oleh k
 Tidak keluar kabur,ganda,lapang mikro
darah dari pandang yang otak
hidung. menyempit dan
pengalaman persepsi.
 Tanda-tanda
vital dalam
4. Kolaborasi obat sesuai 4. Meng
batas normal: instruksi. pada
gangg
Tekanan . kesad
darah:130/80 h terja
mmHg, cereb
nadi:60-100
x.menit,

Respirasi

rate:16-24

x/menit.

2 Kamis Gangguan rasa nyaman Goal : Pasien 1. Kaji mengenai 1. Nyeri


nyeri akut berhubungan dapat menunjukan penga
01-09- dengan refleks spasme rasa nyeri lokasi, intensitas, durasi, dan h
2011 otot sekunder berkurang selama penyebaran. oleh p
masa perawatan memu
interve

2. Pende
Objektif : setelah meng
dilakukan relaks
perawatan 3 x 24 nonfa
jam diharapkan lainny
pasien menjadi menu
nyaman dengan keefe
kriteria evaluasi: meng

 Keadaan 3. Akan
umum pered
tampak baik sehin
O2 ol
2. Jelaskan dan bantu klien akan
 Skala nyeri dengan tindakan pereda
berkurang akan
nyeri non farmakologi nyerin
dari 7-9 dan non invasif.
(berat)
menjadi 1-3
(ringan)
4. Istirah
 Nyeri dapat mere
berkurang. semu
sehin
menin
 Tanda-tanda
kenya
vital dalam
batas normal
Tekanan
darah:130/80
mmHg, 5. Analg
nadi:60-100 lintas
x.menit, nyeri,
akan
Respirasi

rate:16-24 3. Mengajarkan pada


pasien teknik-teknik
x/menit. distraksi,relaksasi dan
masase.

4. Mengatur posisi yang


nyaman dan waktu
istirahat yang cukup.
5. Kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian
analgesic

3 Kamis Ketakutan berhubungan Goal:pasien akan 1. Monitor respon fisik 1. Digun


dengan krisis menunjukan rileks :kelemahan,perubahan meng
01-09- situsional:perubahan selama tanda vital,gerakan deraja
2011 status kesehatan perawatan. berulang-ulang,catat kesad
kesesuaian respon si kus
verbal dan non verbal melak
selama komunikasi. komun
Objektif:setelah
dilakukan tindakan
perawatan 2 x 24
jam diharapkan
pasien menjadi
rileks,dengan
kriteria evaluasi:

 Pasien
tampak rileks

 Ketakutan
dapat
berkurang.

 Tanda-tanda
vital dalam
batas normal: 2. Memb
kesem
Tekanan 2. Anjurkan klien dan berko
darah:130/80 keluarga untuk asan
mmHg, mengungkapkan dan dan m
nadi:60-100 mengekspresikan rasa cema
x.menit, suhu: takutnya. berleb

Respirasi

rate:16-24 3. Penga
yang
x/menit. meng
peras
berda
3. Demonstrasikan/anjurkan
klien untuk melakukan
teknik relaksasi seperti
mengatur
pernapasan,menuntun 4. Sejum
dala berkhayal,relaksasi ketera
progresif. secar
diban
pema
ventil
memb
mera
dalam

4. Anjurkan aktivitas
pengalihan perhatian
sesuai kemampuan
individu seperti
menulis,menonton TV
dan keterampilan.

4 Kamis Defisit perawatan diri Goal:pasien dapat 1. Tentukan kekuatan otot 1. Meng
kelemahan fisik. menunjukan saat ini kebut
01-09- aktifitas perawatan yang
2011 diri dalam tingkat
kemampuan
pribadi

Obyektif:Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan 2 x
24 jam,diharapkan
pasien dapat
menampilkan
aktifitas merawat
diri dengan kriteria
2. Memb
hasil:
aman
kepad
Tubuh pasien
tampak
bersih dari sisa
darah yang sudah 2. Beri perawatan personal
kering higiene pasien. 3. Meng
segar,pasien penya
dapat kehila
mandi,makan dan
minum,buang air
kecil dan buang
air besar 4. Memb
sendiri.tingkat aman
kemampuan pada
mobilitas 0 pasien
tidak tergantung
pada orang lain. 3. Dorong agar pasien
selalu membersihkan
mulut dan skat gigi.

4. Anjurkan keluarga untuk


memandikan pasien 2
kali dalam satu hari.
CATATAN PERKEMBANGAN

Pasien :G

Diagnosa medik :Cedera Kepala Sedang.

Umur :15 tahun.

No MR:01.17.XX

Evaluasi (SOAPIE)
N Hari/tg
Dx. Keperawatan
o l
1 Jumat Gangguan perfusi S:pasien mengatakan sakit pada kepala
,02- jaringan otak
09- berhubungan dengan
2011 trauma kepala.
O: Keadaan umum lemah, kesadaran
secara kualitatif composmentis,keadaan
secara kuantitatif GCS: E:3.V:5,M:5,total 13,
bengkak pada mata kanan berkurang dan
tampak kemerahan.Tanda-tanda vital:

Nadi:78 x.menit,irama teratur dan kuat.

Pernapasan:20 x.menit,irama teratur.

Tekanan darah:100/70 mmHg, posisi


berbaring.

Mean Preassure Arteri :80 mmHg,

Pulse Preassure:30 mmHg

A:masalah gangguan perfusi jaringan otak


belum teratasi

P:intervensi nomor 1,2,3 dan 4 dilanjutkan.

I:
1. Jam 08.00 WITA

Mengukur tanda-tanda vital:

Nadi:78 x.menit,irama

teratur dan kuat.

Pernapasan:20

x.menit, irama teratur.

Tekanan darah:100/70

mmHg, posisi berbaring.

2. Jam 08.10 WITA

Mengobservasi status neurologis dengan


cara tes kesadaran secara kualitatif
somnolen,secara kuantitatif
GCS:E:3,V:5,M:5.

3. Jam 08.15 WITA

Mengkaji penglihatan pada mata kanan


yang terdapat oedema. penglihatan baik
dan tidak kabur, pasien kesulitan
membuka mata

4. Jam 14.00 WITA

Melaksanakan kolaborasi dengan


melaksanakan injeksi siang. Brainact
125 mg/selang. Ceftriaxone 1
gram/selang.

E:Keadaan umum lemah, kesadaran secara


kualitatif composmentis, keadaan secara
kuantitatif GCS: E:3.V:5,M:5,total 13,
bengkak pada mata kanan dan tampak
kebiruan, tidak ada darah keluar dari
hidung.Tanda-tanda vital:

Nadi:78 x.menit,irama teratur dan kuat.


Pernapasan:20 x/menit, irama teratur.

Tekanan darah:100/70 mmHg, posisi


berbaring.

Mean Preassure Arteri :80 mmHg

Pulse Preassure: 30 mmHg


2 Jumat Gangguan rasa nyaman S:pasien mengatakan sakit pada kepala.
,02- nyeri akut berhubungan
09- dengan refleks spasme
2011 otot sekunder.
O:keadaan umum lemah, wajah tampak
meringis kesakitan, skala nyeri 7-9 (berat),
terdapat luka heting pada alis kanan, dahi
,paha kiri dan kaki kanan. tanda-tanda vital:

Nadi:78 x.menit, irama teratur dan kuat.

Pernapasan: 20 x/ menit,irama teratur.

Tekanan darah:100/70 mmHg

A:Masalah gangguan rasa nyaman nyeri


akut belum teratasi.

P:Intervensi nomor 1,2,3,4,dan

5 dilanjutkan.

I:

1. Jam 08.00 WITA

Mengkaji lokasi nyeri pada kepala,skala


nyeri 7-9 berat,waktunya terus menerus.

2. Jam 08.00 WITA

menjelaskan dan bantu klien dengan


tindakan pereda nyeri non farmakologi
dan non invasif.
3. Jam 08.20 WITA

Mengajarkan pada pasien teknik-teknik


distraksi,relaksasi dan masase.

4. Jam 08.30 WITA.

Mengatur posisi yang nyaman dan waktu


istirahat yang cukup.

5. Jam 14.00 WITA

Kolaborasi dengan dokter untuk


pemberiananalgesic.

E: pasien mengatakan sakit pada


kepala.keadaan umum lemah,wajah tampak
meringis kesakitan,skala nyeri 7-9
(berat),terdapat luka heting pada alis
kanan,dahi paha kiri dan kaki kanan.tanda-
tanda vital:

Nadi:78 x.menit,irama teratur dan kuat.

Pernapasan:20 x.menit,irama teratur.

Tekanan darah:100/70 mmHg posisi


berbaring.

3 Jumat Ketakutan berhubunga S: Pasien mengatakan tidak takut lagi.


,02- n dengan krisis
09- situsional:perubahan
2011 status kesehatan.
O:pasien tampak rileks,pasien tidak takut
lagi,tanda-tanda vital:

Nadi:78 x/menit,irama teratur dan kuat

Pernapasan:20x/menit iramateratur.
Tekanandarah:100/70mmHg,posisiberbarin
g.

A:Masalah ketakutan teratasi.


P:Intervensi dipertahankan
4 Jumat Defisit perawatan diri S:Pasien mengatakan belum bisa
,02- berhubungan dengan melakukan aktifitas sendiri seperti
09- kelemahan fisik makan,minum,buang air kecil dan buang air
2011 besar,tetapi dibantu oleh keluarga.

O: keadaan umum lemah, tubuh pasien


tampak segar dan bersih dari sisa darah
yang sudah kering.kekuatan otot gerak aktif.

A:Masalah defisit perawatan diri teratasi


sebagian.

P:Intervensi 1,dan 4 dilanjutkan.intervensi


nomor 2 dan 3 dipertahankan.

I:

1. Jam 08.00 WITA

Mengkaji kekuatan otot dalam hal ini


menyiapkan makan,minum,buang air
besar dan buang air kecil dibantu oleh
keluarga.

2. Jam 09.00 WITA

Anjurkan keluarga untuk memandikan


pasien pada pagi dan sore hari.

E:Pasien mengatakan belum bisa


melakukan aktifitas sendiri seperti
makan,minum,buang air kecil dan buang air
besar,tetapi dibantu oleh keluarga.

keadaan umum lemah, tubuh pasien tampak


segar dan bersih dari sisa darah yang sudah
kering.kekuatan otot gerak aktif.

Evaluasi (SOAPIE)
No Hari/tgl Dx keperawatan

1 Sabtu,03- Gangguan perfusi S:pasien mengatakan sakit pada


09-2011 jaringan otak kepala berkurang.
berhubungan dengan
trauma kepala.

O: Keadaan umum tampak


lemah, kesadaran secara
kualitatif composmentis, keadaan
secara kuantitatif GCS:
E:4.V:5,M:6,total 15, bengkak
pada mata kanan berkurang dan
tampak kemerahan. Tanda-tanda
vital:

Nadi:84 x.menit,irama teratur dan


kuat.

Pernapasan:18 x/menit,irama
teratur.

Tekanan darah:100/70 mmHg,


posisi berbaring.

A:masalah gangguan perfusi


jaringan otak teratasi sebagian.

P:intervensi nomor 1,2,3 dan 4


dilanjutkan.
I:

5. Jam 08.00 WITA

Mengukur tanda-tanda vital:

Nadi:84 x.menit,irama

teratur dan kuat.

Pernapasan:18 x/menit,
irama

teratur.

Tekanan darah:100/70
mmHg,

posisi berbaring.

6. Jam 08.10 WITA

Mengobservasi status
neurologis dengan cara tes
kesadaran secara kualitatif
somnolen,secara kuantitatif
GCS:E:4,V:5,M:6 total 15.

7. Jam 08.15 WITA

Mengkaji penglihatan pada


mata kanan yang terdapat
oedema.penglihatan baik dan
tidak kabur,pasien kesulitan
membuka mata

8. Jam 14.00 WITA

Melaksanakan kolaborasi
dengan melaksanakan injeksi
siang.Brainact 125
mg/selang.dan Ceftriaxone 1
gr/selang.

E: pasien mengatakan sakit pada


kepala berkurang.

Keadaan umum tampak lemah,


kesadaran secara kualitatif
composmentis,keadaan secara
kuantitatif GCS: E:4.V:5,M:6,total
15,bengkak pada mata kanan
berkurang dan tampak
kemerahan. Tanda-tanda vital:

Nadi:84 x.menit,irama teratur dan


kuat.

Pernapasan:18 x.menit,irama
teratur.

Tekanan darah:100/70 mmHg,

2 Sabtu,03- Gangguan rasa S:Pasien mengatakan pasien


09-2011 nyaman nyeri akut mengatakan sakit pada kepala
berhubungan dengan dan luka jahitan berkurang
refleks spasme otot
sekunder.

O: wajah tampak meringis


kesakitan,skala nyeri 4-6
(sedang),terdapat luka heting
pada alis kanan,dahi paha kiri
dan kaki kanan.tanda-tanda vital:

Nadi:84 x.menit,irama teratur dan


kuat.

Pernapasan:18 x.menit,irama
teratur.

Tekanan darah:100/70 mmHg


posisi berbaring.

A:masalah gangguan rasa


nyaman nyeri akut teratasi
sebagian.

P:intervensi nomor 1,2,3


dilanjutkan,intervensi nomor 4
dan 5 dipertahankan.
I:

1. Jam 08.00 WITA

Mengkaji lokasi nyeri pada


kepala,skala nyeri 4-6
(sedang).

2. Jam 08.15 WITA

menjelaskan dan bantu klien


dengan tindakan pereda nyeri
non farmakologi dan non
invasif.

3. Jam 08.30 WITA

Mengajarkan pada pasien


teknik distraksi dan relaksasi
seperti napas dalam dan
mendengar musik.

E: Pasien mengatakan pasien


mengatakan sakit pada kepala
dan luka jahitan berkurang, wajah
tampak meringis kesakitan,skala
nyeri 4-6 (sedang),terdapat luka
heting pada alis kanan,dahi paha
kiri dan kaki kanan.tanda-tanda
vital:

Nadi:84 x.menit,irama teratur dan


kuat.

Pernapasan:18 x.menit,irama
teratur.

Tekanan darah:100/70 mmHg


posisi berbaring.
3 Sabtu,03- Defisit perawatan diri S: Pasien mengatakan mulai bisa
09-2011 kelemahan fisik. melakukan aktifitas sendiri seperti
makan,minum,mandi,buang air
kecil dan buang air besar tetapi
masih dibantu oleh keluarga.
E
v
D
a
x
O: keadaan umum lemah, pasien l
terbaring ditempat tidur,kekuatan u
Hk
otot gerak aktif. a
a e
s
r p
i
Ni e
o/ r
A:Masalah defisit perawatan diri (
t a
teratasi sebagian. S
g w
O
l a
A
t
P
a
P:Intervensi 1 dan 4 I
n
dilanjutkanintervensi 2 dan 3 E
dipertahankan. )
1 MG S
i a :
n n p
I: g g a
g g s
1. Jam 08.00 WITA u u i
, a e
Tentukan kemampuan saat ini 0 n n
(skala 0-4) dan hambatan 4
untuk partisipasi dalam - p m
perawatan.skala 2 butuh 0 e e
bantuan dan pengawasan. 9 r n
- f g
2. Jam 09.30 WITA 2 u a
0 s t
Anjurkan keluarga untuk 1 i a
memandikan pasien 2 kali 1 k
dalam satu hari. j a
a n
r
i s
E: Pasien mengatakan mulai bisa n a
melakukan aktifitas sendiri seperti g k
makan,minum,mandi,buang air a i
kecil dan buang air besar tetapi n t
masih dibantu oleh keluarga.
keadaan umum lemah, pasien o p
terbaring ditempat tidur,kekuatan t a
otot gerak aktif. a d
k a
ber
tra
2 Minggu,04- Ga
09-2011 nya
ber
ref
sek
3 Minggu,04- De
09-2011 ber
kel
Evaluasi (SOAPIE)
No Hari/tgl Dx keperawatan

1 Senin ,05- Gangguan perfusi S:pasien mengatakan kepala


09-2011 jaringan otak sakit berkurang.
berhubungan
dengan trauma
kepala.
O: keadaan umum membaik

kesadaran secara kualitatif


composmentis,secara kuantitatif
GCS:E:4,V:5,M:6 total 15.

bengkak pada mata kanan


berkurang.

Tanda-tanda vital:

Nadi:78 x.menit,irama teratur dan


kuat.

Pernapasan:18 x.menit,irama
teratur

Tekanan darah:100/80 mmHg


posisi berbaring.

A:masalah teratasi sebagian.

P:intervensi dihentikan pasien


pulang.

2 Senin ,05- Gangguan rasa S:Pasien mengatakan kepala


09-2011 nyaman nyeri akut dan luka jahitan sakit sedikit
berhubungan
dengan refleks
spasme otot
sekunder. O: pasien tampak rileks,skala
nyeri 1-3 (ringan),terdapat luka
heting pada alis kanan,dahi paha
kiri dan kaki kanan.tanda-tanda
vital:

Nadi:78 x.menit,irama teratur dan


kuat.

Pernapasan:18 x.menit,irama
teratur.

Tekanan darah:100/80 mmHg


posisi berbaring.

A:masalah gangguan rasa


nyaman nyeri akut teratasi
sebagian.

P:intervensi nomor 2 dan 3


dipertahankan,pasien pulang.
Discharge planning

Nama Pasien :G

Umur :15 tahun

No Register :01.17.XX.

Dx Medis :Cedera Kepala Sedang

Tgl Masuk Rumah Sakit :31-08-2011

Tgl Keluar Rumah Sakit :05-09-2011

Diagnosa keperawatan yag muncul pada pasien G adalah : Gangguan perfusi


jaringan otak berhubungan dengan adanya trauma otak,Gangguan rasa nyaman
nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder,cemas berhubungan dengan krisis situasional:perubaha status
kesehatan,Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.

Diagnosa keperawatan yang teratasi sebagian :gangguan perfusi jaringan


otak berhubungan dengan trauma kepala dan Gangguan rasa nyaman nyeri akut
berhubungan dengan refleks spasme otot sekunder.Diagnosa keperawatan yang
teratasi :ketakutan berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan Defisit
perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.

Pendidikan kesehatan yang diberikan:

1. Kontrol kembali kepelayanan terdekat sesuai surat rujukan.

2. Menganjurkan pada pasien dan orang tua,jika sewaktu-waktu pasien G


mengalami muntah,sakit kepala hebat dan kejang harus segera dibawa ketempat
pelayanan kesehatan terdekat untuk diambil tindakan selanjutnya.

3. Anjurkan untuk selalu menggunakan helm dan berhati-hati saat berkendara


motor.
Atambua, 5 – 9 – 2011

Theresia M.Fernandez

BAB IV

PEMBAHASAN

Setelah penulis melaksanakan Asuhan Keperawatan melalui


pendekatan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, menegakkan
diagnosa keperawatan,perencanaan,pelaksanaan dan evaluasi maka pada
BAB ini penulis akan membahas mengenai kesenjangan antara teori dengan
kenyataan yang ditemukan dalam perawatan kasus Cedera Kepala Sedang
pada pasien G yang dirwt oleh penulis sejak tanggal 01 September 2011
sampai dengan tanggal 5 September 2011 di Ruang Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Atambua,yang dapat diuraikan sebagai berikut:

A. Pada tahap pengkajian, menurut Arif Muttaqin dalam buku ‘’Asuhan


Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan ‘’ halaman 276
mencakup aspek-aspek berikut: anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan
diagnostik dan pengkajian psikososial.Selain itu pada pengkajian juga
dilakukan pemeriksaan fisik secara Body System dari B1-B6,sedangkan
pada kasus nyata tidak dilakukan pemeriksaan diagnostik penunjang CT-
Scan karena tidak adanya alat pendukung, pengkajian dilakukan secara
komprehensif dengan cara wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik
selain itu juga dikaji riwayat kesehatan dan psikososial.Alasannya sebab
manusia itu unik dan kompleks yag terdiri dari komponen sel, organ dan
sistem organ.Pada teori ini mengklasifikasikan tingkat keparahan sebagai
berikut:GCS 9-14, konfusi, letargi atau stupor, amnesia pasca trauma,
muntah tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda batle, mata rabun,
hemotimpanum dan kejang, sedangkan pada kasus nyata saat dilakukan
pengkajian hanya ditemukan kesadaran kualitatif somnolen, kesadaran
kuantitatif GCS:13, pada saat terjadi kecelakaan keluar darah segar melalui
hidung.Alasannya setiap manusia memiliki respon yang bervariasi terhadap
adanya rangsangan.
B. Dalam teori perumusan diagnosa keperawatan yang muncul adalah : Resiko
tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan proses
desak ruang sekunder dari trauma kepala yang mengakibatkan adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma dan
epidural hematoma. Ketidakefektfan pola pernapasan yang berhubungan
dengan depresi pada pusat pernapasan diotak,kelemahan otot-otot
pernapasan, ekspansi paru yang tidak optimal karena akumulasi
udara/cairan, dan perubahan perbandingan O2 dan CO2, kegagalan
ventilator.Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk
sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada
trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.Perubahan kenyamanan: nyeri
akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional:
ancaman terhadap konsep diri,takut mati, ketergantungan pada alat bantu,
perubahan status kesehatan/ status ekonomi/fungsi peran, hubungan
interpersonal/ penularan. sedangkan pada kasus nyata yang ditemukan
adalah :Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan adanya
trauma otak, Gangguan rasa nyaman nyeri akut yang berhubungan
dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder, cemas
berhubungan dengan krisis situasional: perubahan status kesehatan, Defisit
perawatan diri (mandi dan sikat gigi) berhubungan dengan kelemahan fisik.
Alasannya karena diagnosa diangkat berdasarkan respon pasien.
C. Pelaksanaan tindakan keperawatan pada prinsipnya dilakukan sesuai
dengan rencana keperawatan.Pada teori pelaksanaan tindakan disesuaikan
dengan rencana perawatan .Dalam melaksanakan tindakan perawatan,
selain melaksanakannya secara mandiri, harus adanya kerja sama dengan
tim kesehatan lainnya. Merupakan realisasi rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan menilai data yang
baru.Alasannya proses keperawatan memiliki salah satu sifat yaitu
fleksibilitas yang artinya urusan pelaksanaan proses keperawatan dapat
diubah sesuai dengan situasi dan kondisi pasien.Implementasi tindakan
dibedakan menjadi tiga kategori yaitu:independent (mandiri), interdependent
(bekerja sama dengan tim kesehatan lainnya:dokter,bidan,tenaga analis,ahli
gizi, apoteker, ahli kesehatan gigi, fisiotherapy dan lainnya) dan dependent
(bekerja sesuai instruksi atau delegasi tugas dari dokter)
D. Pada kasus nyata evaluasi yang gunakan adalah evaluasi proses
(formatif).Alasannya evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan,
berorientasi pada etiologi,dilakukan secara terus menerus sampai tujuan
yang ditentukan tercapai.Evaluasi dilakukan sesuai dengan perubahan
klien.Untuk memudahkannya penulis mengevaluasi atau memantau
perkembangan pasien digunakan komponen SOAP (evaluasi pada hari
pertama perawatan) dan SOAPIE (evaluasi perkembangan kondisi
pasien/untuk catatan perkembangan pasien) : S = (data subyektif:diperoleh
dari pasien berupa keluhan-keluhan pasien), O = (data obyektif:dari hasil
observasi dan pemeriksaan), A= (analisis masalah), P = (perencanaan),I =
(implementasi), E = (evaluasi).

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu,maka penulis mengambil


kesimpulan,bahwa:
1. Pada pengkajian kondisi yang ditemukan pada pasien adalah Keadaan
umum lemah, kesadaran secara kualitatif somnolen, keadaan secara
kuantitatif dengan GCS: E:3.V:5,M:5,total 13, pasien hanya mau tidur
saja, bengkak pada mata kanan dan tampak kebiruan, luka jahit pada
alis mata kanan dan pada dahi. Keluar darah dari hidung pada saat
terjadi kecelakaan.Terdapat luka jahit pada kaki kanan dan paha kiri,
pasien tampak meringis kesakitan.Terpasang cairan infus Ringer Laktat
12 tetes/menit pada tangan kanan. Tanda-tanda vital :Tekanan
darah:100/60 mmHg posisi berbaring, Nadi:84 x/menit, irama teratur
dan kuat, Suhu:36,4oC/axila, Pernapasan:18x/menit, irama teratur,
Akral:teraba hangat, Mean Preassure Arteri (MAP):73 mmHg, Pulse
Preassure(PP) :40 mmHg.

2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus nyata berdasarkan kondisi


dan respon pasien sehingga ada diagnosa keperawatan yang sesuai dengan
tinjauan teori dan ada yang tidak sesuai dengan tinjauan teoritis. Adapun
diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien sebagai berikut: 1).
Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan adanya trauma
otak.2).Gangguan rasa nyaman nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder.3). ketakutan berhubungan dengan
krisis situasional:perubahan status kesehatan.4). Defisit perawatan
diri berhubungan dengan kelemahan fisik.

3. Rencana tindakan pada keempat diagnosa keperawatan yang muncul pada


kasus nyata semuanya dilakukan pada pasien .

4. Evaluasi dari keempat diagnosa keperawatan yang diprioritaskan, dua


diagnosa teratasi pada hari jumad dan sabtu dan dua diagnosa teratasi
sebagian pada hari senin.

5. Dokumentasi keperawatan dilakukan dengan mengdokumentasikan semua


kegiatan dan hasilnya mulai dari pengkajian sampai dengan kedalam catatan
perawat yang ada dalam status pasien sebagai bukti tanggung jawab dan
tanggung gugat dikemudian hari.

B. Saran

Adapun saran yang ingin disampaikan penulis antara lain:

1. Bagi perawat
Agar dalam memberikan tindakan keperawatan kepada pasien,juga harus
dilakukan tindakan-tindakan mandiri perawat.

2. Bagi Rumah Sakit

Agar dalam pemberian pelayanan disiapkan fasilitas-fasilitas yang memadai


untuk menunjang pemeriksaan,kususnya pada pasien sedera kepala,seperti
CT-Scan.

3. Bagi penulis

Agar terus mengembangkan pengetahuan yang telah didapat tentang cedera


kepala sedang serta membagikannya kepada orang lain sehingga tindakan
pencegahan dan penanganan dapat dilakukan secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

……………………http://www yayankhyar.co.nr.2009.

Bruner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC.

Cholik H. Rosjidi. CS. 2009. Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala dan Stroke.
Yogyakarta. Ardana Media

Corwin J. Elizabeth.2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3 Revisi. Jakarta. EGC


Dewanto George, CS .2009. Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta
EGC

Muttaqim Arif.2008 Buku Ajar Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan. Sitem
Persarafan . Jakarta. Salemba Medika.

Syaifuddin. 2009 . Anatomi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan edisi


kedua. Jakarta. Salemba Medika

LEMBARAN KONSUL

NAMA : THERESIA M. FERNANDEZ

NIM : 5306.09.597
JUDUL : ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA
SEDANG DIRUANG BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ATAMBUA

MATERI YANG
NO HARI/TGL KETERANGAN PARAF
DIKONSUL
Rabu, Bab I Revisi
1
27-07-2011
Selasa, Bab I dan Bab II Revisi
2
16-08-2011
Senin, Bab I dan Bab II Revisi
3
22-08-2011
Kamis, Bab I dan Bab II Revisi
4
25-08-2011
Jumad, Bab I dan Bab II Revisi dan ACC
5
26-08-2011
Sabtu, Bab I dan Bab II ACC
6
27-08-2011
Kamis, Bab III Revisi
7
01-09-2011
Rabu, Bab III ACC
8
05-10-2011
Kamis, Bab IV dan Bab V Revisi
9
06-10-2011
Sabtu, 08 – Bab IV dan Bab V ACC maju ujian.
10
10 – 2011

Normal
0
false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;}
table.MsoTableGrid
{mso-style-name:”Table Grid”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-priority:59;
mso-style-unhide:no;
border:solid black 1.0pt;
mso-border-alt:solid black .5pt;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-border-insideh:.5pt solid black;
mso-border-insidev:.5pt solid black;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;}

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(www.yayanakhyar.com.nr/200905).

Setiap tahun di Amerika Serikat, mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala
52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma dikaitkan dengan
kematin. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Natroma Trauma Project di
Islamic Republik of Iran bahwa, diantara semua jenis trauma tertinggi yang
dilaporkan yaitu sebanyak 78,7 % trauma kepala dan kematian paling banyak
juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, zand, Rouzrokh, Zarei, 2009).
Rata – rata rawat inap pada laki – laki dan wanita akibat terjatuh dengan
diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per 100.000 dan 158,3 per
100.000 (Thomas 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih
tinggi pada laki – laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per 100.000
dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun keatas, kematian akibat
trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang
mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Kraus (1993), dalam
penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami
cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan
sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala
disebabkan oleh terjatuh.Menurut data yang diperolah dari rekam medik RSUD
Atambua, pada tiga tahun terakhir ini yaitu : tahun 2008 terdiri dari 142 orang,
laki –laki : 107 orang ( 75,3 %), perempuan : 42 orang (29,5 %), Tahun 2009 :
163 orang, laki – laki : 140 orang (85,8 %), perempuan : 23 orang (13,6 %),
Tahun 2010 : 175 orang, laki – laki : 149 orang (85,1 %), perempuan : 26 orang (
14,8 %).

Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan


teknologi, diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya
transportasi, mobilitas penduduk pun ikut meningkat. Namun akibat kemajuan
ini, juga berdampak negatif yaitu semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas
karena ketidak hati – hatian dalam berkendaraan. Sehingga dapat
mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu cedera yang sering terjadi pada
saat kecelakan lalu lintas
adalah cedera kepala (…………..http://repository.usu.ac.id/
bitstream/ 12345678 /16495/5.chapter%201.pdf)

Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi,


oleh karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik
terutama tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera otak sekunder
dan cara merujuk penderita secepat mungkin oleh untuk petugas kesehatan yang
berada digaris depan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalahnya


adalah “ Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala di Rumah Sakit Umum Daerah Atambua ? ”

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu mengembangkan pola pikir ilmiah dalam memberikan


asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala dengan pendekatan proses
keperawatan.

2. Tujuan khusus

a) Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien cedera kepala.

b) Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien


dengan cedera kepala.
c) Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala.

d) Mahasiswa mampu melaksanakan rencana tindakan keperawatan pada


pasien dengan cedera kepala.

e) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan


yang telah dilakukan.

f) Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi terhadap tindakan


keperawatan yang telah dilakukan.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi profesi keperawatan

Memberikan asuhan tentang bagaimana merawat pasien dengan cedera kepala,


dengan menggunakan proses keperawatan yang meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

2. Bagi Rumah Sakit

Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan penerapan asuhan keperawatan


pada pasien dengan cedera kepala.

3. Bagi penulis

a) Memperoleh pengalaman yang nyata dalam merawat klien dengan cedera


kepala.

b) Menambah pengetahuan tentang penerapan asuhan keperawatan pada


klien dengan cedera kepala.

E. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif, yakni
melalui studi pustaka dan studi kasus. Studi pustaka diambil dari buku – buku
perpustakaan dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan proposal


karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan Yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,


tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan.

BAB II : Tinjauan teoritis Yang terdiri dari konsep dasar cedera kepala dan
konsep dasar Asuhan Keperawatan pada pasien cedera kepala.

BAB III : Tinjaun kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

BAB IV : pembahasan

BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar

1. Anatomi Fisiologi Otak

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak yang lembut, yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Pada orang
dewasa tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan
isi intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari 2 dinding atau tabula yang dipisahkan
oleh tulang berongga.

Dinding luar disebut tabula eksternal dan dinding bagian dalam disebut
tabula internal. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan
meninges adalah durameter, araknoid dan piameter (Price, Silvia A ; 2005 : 1014).

Sistem persarafan terdiri dari:

a. Susunan saraf pusat

1) Otak
(a).Otak besar atau serebrum (cerebrum)
Mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan
yang duhubungkan oleh massa substansi alba (substansia alba)
yang disebut korpus kalosum (corpus callosum). Serebrum terdiri
atas : korteks sereri, basal ganglia (korpora striate) dan sistem
limbik (rhinencephalon).
(b).Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fossa kranial posterior,
dibawah tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii dan
medula oblongata. Serebelum mempunyai dua hemisfer yang
dihubungkan oleh vermis. serebelum dihubungkan dengan otak
tengah oleh pedunkulus serebri superior, dengan pons paroli oleh
pedunkulus serebri media dan dengan medula oblongata oleh
pedunkulus serebri inferior. Lapisan permukaan setiap hemisfer
serebri disebut korteks yang disusun oleh substansia grisea.
Lapisan – lapisan korteks serebri ini dipisahkan oleh fisura
transversus yang tersusun rapat. Kelompok massa substansia
grisea tertentu pada serebelum tertanam dalam substansia alba
yang paling besar dikenal sebagai nukleus dentatus.
(c).Batang otak.
Pada permukaan batang otak terdapat medula oblongata, pons
varolii, mesensefalon dan diensefalon. Talamus dan epitalamus
terlihat dipermukaan posterior batang otak yang terletak diantara
serabut capsula interna. Disepanjang pinggir dorsomedial talamus
terdapat sekelompok serabut saraf berjalan keposterior basis
epifise.
2) Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)
Medula spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat
yang menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan
embrio. Semula ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis
sentralis. Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama
dipersatukan oleh struktur intermedia yang dibentuk oleh sel saraf dan
didukung oleh jaringan interstisial.
Medula spinalis membentang dari foramen magnum sampai setinggi
vertebra lumbalis I dan II, ujung bawahnya runcing menyerupai kerucut
yang disebut konus medularis, terletak didalam kanalis vertebralis
melanjut sebagai benang-benang (filum terminale) dan akhirnya
melekat pada vertebra III sampai vertebra torakalis II, medula spinalis
menebal kesamping. penebalan ini dinamakan intumensensia
servikalis.
b. Susunan saraf perifer
1) Susunan saraf somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensori
dari tubuh. Indra ini berbeda dengan indra khusus (penglihatan,
penghiduan, pendengaran, pengecapan dan keseimbangan), indra
somatik digolongkan menjadi 3 jenis :
(a).Indra somatik mekano reseptif.
(b).Indra termoreseptor.
(c).Indra nyeri.
2) Susunan saraf otonom
Saraf yang mempersarafi alat – alat dalam tubuh seperti kelenjar,
pembuluh darah, paru – paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini
mendapat dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling
bertentangan, kalau yang satu merangsang yang lainnya menghambat
dan sebaliknya, kedua susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan
saraf parasimpatis (syaifuddin ; 2009 : 335 – 360).

2. Cedera Kepala
a. Pengertian
Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak.
secara anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala
serta tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya (Arif Muttaqin ;
2008 : 270).
Cedera kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura
meter) atau tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura).
Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki
akses langsung ke otak (Corwin J.Elizabeth; 2005 : 175).
Cedera kepala : Trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen (http://www.yayanakhyar. com.nr/200905).
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala terjadi baik
secara langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat
mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanen.

b. Etiologi
Penyebab utama cedera kepala meliputi : Kecelakaan lalu lintas
>50 % kasus, Jatuh, Pukulan, Kejatuhan benda, Kecelakaan
kerja/industri, Cedera lahir, Luka tembak (Cholik Harun dan Saiful
Nurhidayat ; 2009 :49 )

c. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
keparahan dan morfologi cedera:
1) Mekanisme:
(a). Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.

(b). Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau


pukulan benda tumpul.

2) Berdasarkan beratnya:

(a). Ringan (GCS 14-15)

(b). Sedang (GCS (9-13)

(c).Berat (GCS 3-8)


3) Berdasarkan morfologi:

(1) Fraktur tengkorak

(a).Kalvaria: Linear atau stelata, Depressed atau nondepressed,


Terbuka atau tertutup

(b).Dasar tengkorak: Dengan atau tanpa kebocoran CNS, Dengan


atau tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial)

(2) Lesi intrakranial

(a).Fokal: Epidural, Subdural, intraserebral

(b).Difusa: Komosio ringan, Komosio klasik, Cedera aksonal difusa(


http://www.yayanakhyar.co.nr/2009)

4) Skala Coma Glasgow (GCS)

Tabel I.Skala Coma Glasgow


Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik (M)
1 Tidak ada reaksi 1 Tidak ada jawaban 1 Tidak ada reaksi

2 Dengan rang 2 Mengerang 2 Reaksi ekstensi(deserebrasi)

sang nyeri

3 Terhadap suara 3 Tidak tepat 3 Reaksi fleksi(dekortikasi)

4 Spontan 4 Kacau/confused 4 Reaksi menghindar

5 Baik,tidak ada dis 5 Melokalisir nyeri

orientasi

6 Menurut perintah
(Sumber:dr George Dewanto,Sp.s,dkk.Panduan Praktis:Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf)

Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan nilai


GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank (Hudak dan
Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh cholik Harun Risjidi)

Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai


skala Koma Glasgow
Penentuan keparahan Deskripsi Frekuensi
GCS:13-15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau


amnesia tetapi kurang dari 30 menit
Minor/ringan 55 %
Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio
serebral,tidak ada hematom
GCS:9-12

Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia lebih


dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
Sedang 24 %
Dapat mengalami fraktur tengkorak

GCS:3-8

Kehilangan kesadaran dan /atau amnesia


lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio
serebral,laserasi,

Berat atau hematom intrakranial 21 %

(Sumber:Cholik Harun Rosjidi,cs(Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala & Stroke)

d. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua
tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda
paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi – deselerasi gerakan kepala. Dalam
mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contercoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulag
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup.

Akselerasi deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti


secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma, perbedaan densisitas
antar tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yag berlawanan
dari benturan (contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yag timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi (http://www.yayankhyar. com.nr/2009).

e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala meliputi:

1) CT scan (dengan/tanpa kontras)

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan


perubahan jaringan otak.

2) MRI

Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.


3) Cerebral angiography

Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak


sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4) Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

5) Sinar X

Mendeteksi parubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur


garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

6) BAER

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

7) PET

Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.

8) CSS

Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan


subarakhnoid

9) Kadar Elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan


tekanan intrakranial.

10)Screen Toxicology

Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan


kesadaran

11)Rontgen Thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)


Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area
pleural.

12)Toraksentesis menyatakan darah/cairan

13)Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)

Analisa Gas Darah (AGD/ Astrup) adalah salah satu tes diagnostik
untuk menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat
digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi
dan status asam basa (Arif Muttaqin ; 2008 : 284)

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari


faktor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan
menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi.
Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen
dan glukosa yang lebih rendah.

Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial


yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intrakranial ini dapat dilakukan dengn cara menurunkan P aCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan P aCO2 ini
yakni dengan intubasi endotrakeal hiperventilasi. Tindakan membuat
intermitten iatrogenic paralisis Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada
klien – klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yangmeninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan
tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi:

1) Bedrest total

2) Observasi tanda – tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

3) Pemberian obat – obatan

(a). Dexamethason/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema


serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

(b). Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi


vasodilatasi.

(c). Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol


20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.

(d). Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau


untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole

4) Makanan atau cairan

Pada trauma ringan bila muntah – muntah tidak dapat diberikan apa –
apa, hanya cairan infus Dextrosa 5 %, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.

5) Pada trauma berat

Karena hari – hari pertama didapat klien mengalami penurunan


kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka
hari – hari pertama (2 – 3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5
% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5 % 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan
diberikan melalui nasogatric tube (2500 – 3000 TKTP). Pemberian
protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
(Arif Muttaqin ; 2008 : 284-285)

g. Komplikasi

1) Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral dapat


menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering cedera
kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan intrakranial
meningkat, dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis
cedera otak sekunder.Pada hematoma, kesadaran dapat menurun
dengan segera, atau dapat menurun setelahnya ketika hematoma
meluas dan edema interstisial memburuk.

2) Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi
da tetap ada.

(Corwin J Elizabeth ; 2009 : 246)

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan
cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik dan pengkajian psikososial.

a) Anamnesis

Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register,
diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.

b) Riwayat penyakit saat ini

Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian
yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi,
muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka
dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya
liquor dari hidung dan telinga, serta kejang.

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan


dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif dan koma.

Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut –
ngebutan.

c) Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,


riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, penggunaan obat – obat antikoagulan, aspirin, vasodilator,
obat – obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.

d) Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi


dan diabetes melitus.

e) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri)

Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien


mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola
persepsi dan konsep diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif.

f) Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan


klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem
(B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain)
dan terarah dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.

Keadaan umum

Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan


kesadaran (cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15,
cedera kepala berat/ cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama
dengan 8 dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.

(1) B1 (Breathing)

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari


perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
(a).Inspeksi

Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak


napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru
tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh dan
kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya
atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang
iga, pnemothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga
perlu dinilai : retraksi dari otot – otot interkostal, substernal,
pernapan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat
inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal
tidak mampu menggerakkan dinding dada.

(b).Palpasi

Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan


didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.

(c).Perkusi

Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan


trauma pada thoraks/ hematothoraks

(d).Auskultasi

Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada


klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk
yang menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.

(2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat.

Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa


keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan
pucat menandakan adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah.
Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -
tanda awal dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari
trauma kepala akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH)
yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi
atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan
resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
sistem kardiovaskuler.

(3) B3 (Brain)

Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama


disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma
dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada
sistem lainnya.

(a).Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa,
sampai koma.

(b).Pemeriksan fungsi serebral

Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,


nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status
mental mengalami perubahan.

Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan


penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun
jangka panjang

Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis


didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal
yang lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan
dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman,
lupa dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi
masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah
psikologi lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas
emosional, bermusuhan, frustasi, dendam da kurang kerja sama.

Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase


sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustrasi
(c).Pemeriksaan saraf kranial

Saraf I

Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak


anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan
pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral

Saraf II

Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan


lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus.
Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia
subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali
pembuluh darah didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus.
Tetapi dari segala macam kalainan didalam ruang intrakranial,
tekanan intrakranial dapat dicerminkan pada fundus

Saraf III, IV da VI

Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan


trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma
kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap
sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada
penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang
tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan
menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat
anisokoria dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan
miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi
yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini
disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola
pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal
menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan
berkonstriksi.

Saraf V
Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis
nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi
gerakan menguyah

Saraf VII

Persepsi pengecapan mengalami perubahan

Saraf VIII

Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan


biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi
tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis

Saraf IX dan Xl

Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.

Saraf XI

Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik
dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Saraf XII

Indra pengecapan mengalami perubahan

(d).Sistem motorik

Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu


sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.

Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.


Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade
kekuatan otot didapatkan grade O

Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami gangguan


karena hemiparase dan hemiplegia.

(e).Pemeriksaan reflek

Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon, ligamentum


atau periosteum derajat refleks pada respon normal.

Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks fisiologis sisi


yag lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.

(f). Sistem sensorik

Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk


menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsivisual karena
gangguan jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua
atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien
dengan hemiplegia kiri.

Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan


sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi
visual, taktil dan auditorius.

(4) B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk


berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan
dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala
klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang
atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan
kerusakan neurologis luas.

(5) B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,


mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukan kerusakan neurologis luas.

Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya


lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya
dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi
abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik
ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.
Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag
berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.

(6) Tulang (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh


ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran
mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis
pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan
respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari
penggunaan pocked red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.

Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu
jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya
demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan


desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma , subdural hematoma
dan epidural hematoma.

b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi


pada pusat pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan,
ekspansi paru yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan
perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.

c. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan


penumpukan sputum peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk
sekunder, akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada
trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.

d. Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma


jaringan dan refleks spasme otot sekunder.

e. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman


terhadap konsep diri, takut mati, ketergantungan pada alat bantu,
perubahan status kesehatan/ status ekonomi/ fungsi peran, hubungan
interpersonal/ penularan
3. Rencana Intervensi

a. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang


sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik
bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma.

Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.

Kriteria hasil:

Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS :
4, 5, 6,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal

Intervensi:

Mandiri:

1) Kaji faktor penyebab dari situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/


penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan
TIK.

R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status


neurologis/ tanda – tanda kegagalan untuk menentukan
perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan

2) Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam.

R/ suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan


baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik
penurunan dari autoregulator. Kebanyakan merupakan tanda
penurunan difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah (diastolik) maka dibarengi dengan
peningkatan tekanan darah intrakranial. Adanya peningkatan
tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK.

3) Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.

R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali

dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika


batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial
(okulomotorik) yang menunjukan keutuhan batang otak, ukuran
pupil menunjukan keseimbangan antara parasimpatis dan
simpatis. Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi
dari saraf kranial II dan III.

4) Monitor temperatur da pengaturan suhu lingkungan .

R/ Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan


kebutuhan metabolisme dan O2 akan menunjang TIK/ICP
(intrakranial pressure).

5) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan


sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada kepala.

R/ Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan


penekanan pada venajugularis dan menghambat aliran darah ke
otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.

6) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi


lamanya prosedur.

R/ Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek


rangsagan kumulatif.

7) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase


punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat
mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.

8) Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver.

R/ Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga


menghindari peningkatan TIK.

9) Bantu klien jika batuk, muntah

R/ Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks


dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat
meningkatkan TIK.

10)Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku

R/ Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK


atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak
menurundapat meningkatkan TIK.

11)Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase


urine secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya
konstipasi.

R/ Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan


TIK.

12)Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab
akibat TIK meningkat.

R/ Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien


dan mengurangi kecemasan.

13)Observasi tingkat kesadaran GCS


R/ Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan
berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.

Kolaborasi:

1) Pemberian O2 sesuai indikasi.

R/ Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan


vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK

2) Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam


intrakranial.

R/ Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila


kemungkinan terdapat tanda – tanda defisit neurologis yang
menandakan peningkatan intrakranial.

3) Berikan cairan intravena sesuai indikasi

R/ Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema


serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah , tekanan
darah dan TIK.

4) Berikan obat osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide

R/ Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air


dari sel otak dan mengurangi edema serebral dari TIK

5) Berikan steroid contohnya : Dexamethason,

methylprenidsolon.

R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema


jaringan.

6) Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein


R/ Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK
tetapi digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan
menurunkan sensasi nyeri.

7) Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen.

R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme


serebral/oksigen yang diinginkan.

8) Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin,


LED

R/ Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian


obat.

b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi


pusat pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang
tidak meksimal karen trauma, dan perubahan perbandingan O2 dan
CO2,kegagalan ventilator.

Tujuan:
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi, adanya peningkatan, pola
napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas – gas pada paru, adaptif mengatasi faktor – faktor
penyebab.

Intervensi:
1) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala
tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk
sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru
dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea


atau perubahan tanda-tanda vital.

R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat


terjadi sebagai akibat stres fisiologis dan nyeri atau dapat
menunjukan terjadinya terjadinya syok sehubungan dengan
hipoksia.

3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau


kolaps paru – paru.

R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas


dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.

4) Pertahankan perilaku tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan


menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.

R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat


dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.

5) Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan jangan


mematikan alarm.

R/ Ventilator yang memiliki alarm yang biasa dilihat dan didengar


misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/ rendahnya tekanan
oksigen.

6) Taruhlah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual


ventilasi untuk sewaktu – waktu dapat digunakan.

R/ Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk


mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada
alat ventilator secara mendadak.
7) Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba
berhenti

R/ Melatih klien untuk mengatur napas, seperti napas dalam,


napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik
relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dari sistem
pernapasan.

8) Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan


konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung,
monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen. Mengkaji
tidal volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi spirometer

R/ Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan


perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer
setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai
cadangan.

9) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan


fisioterapi.

a) Pemberian antibiotik.

b) Pemberian analgesik.

c) Fisioterapi dada.

d) Konsul foto thoraks.

R/ Kolaborasi dengan tim kesehatan lainuntuk mengevaluasi


perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

c. Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret dan
ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan
keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar,
tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif, tidak ada
lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.

Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas

R/ Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret,


sisa cairan mukus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau
posisi dari endotracheal/ tracheostomy tube yag berubah.

2) Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua paru


(bilateral)

R/ Pergerakan dada yang simeteris dengan suara napas yang


keluar dari paru – paru menandakan jalan napas tidak
terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi
pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan
suara napas seperti ronkhi atau wheezing.

3) Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan
tube secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon
bantuan perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.

R/ Endotracheal tube dapat saja masuk kedalam bronkhus kanan,


menyebabkan obstruksi jalan napas keparu – paru kanan dan
mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks

4) Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari


ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.

R/ Selama intubasi klien mengalami refleks batuk yang tidak


efektif, atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot
pernapasan (neuromuskular/neurosensorik), keterlambatan
untuk batuk. Semua klien tergantung dari alternatif yag
dilakukan seperti mengisap lendir dari jalan napas.

5) Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan


dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai,
cairan fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan
penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi).

R/ Pengisapan lendir tidak selamnya dilakukan terus -menerus,


dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya
hipoksia

6) Anjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas


panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.

R/ Batuk yang efektif dapat mengeluarkan

sekret dari saluran napas.

7) Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)

R/ Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru –


paru, mengurangi resiko atelektasis.

8) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.

R/ Membantu pengeceran sekret, mempermudah pengeluaran


sekret.

9) Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa


terdapat penumpukan sekret disaluran pernapasan.

R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu


mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

10) Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
R/ batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
dapat menyebabkan frustasi

11)Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin

R/ memungkinkan expansi pun lebih luas

12)Lakukan pernapasan diafragma

R/ pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan


ventilasi alveolar.

13)Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan


keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.

R/ meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah


pengeluaran sekresi sekret

14) Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan
melakukan 2 batuk pendek dan kuat.

R/ pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien.

15)Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.

R/ sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan


sumbatan mukus yang mengarah pada atelektasis.

16)Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :


mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan masukan cairan
1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.

R/ untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mukosa pada


saluran napas bagian atas

17)Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.


R/ higene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.

18)Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.

1) Pemberian ekpektoran

2) Pemberian antibiotik

3) Fisioterapi dada

4) Konsul foto thoraks

R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan


mengevaluasi kndisi klien pengembangan parunya.

19)Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase,


perkusi / penepukan.

R/ mengatur ventilasi segment paru – paru sekret.

20)Berikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin,


meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).

R/ mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi


muscle / bronchospasme.

d. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di
adaptasi, dapat mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan
nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi:
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni
dan non invasif.

R/ pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan


nonfarmakologi lainnya telah menunjukan keefektifan dalam
mengurangi nyeri

2) Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot


rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.

R/ Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2


oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.

3) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

R/ mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang


menyenangkan.

4) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.

R/ istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan


meningkatkan kenyamanan.

5) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan


menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.

R/ pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi


nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana terapeutik.

6) Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah


pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1
– 2 jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.
R/ pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang
objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan
melakukan : intervensi yang tepat.

7) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.

R/ analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan


berkurang.

e. Cemas atau takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman


terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alat bantu/
perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan
interpersonal.

Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam secara subjektif melaporkan rasa cemas


berkurang.

Kriteria Hasil : klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-


cara yang sehat kepada perawat, klien dapat mendemonstrasikan
keterampilan pemecahan masalahnya dan perubahan koping yang
digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat penurunan
kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan
tidur/istirahat dengan baik.

Intervensi : Mandiri.

1) Identifikasi persepsi klien untuk menggambarkan tindakan sesuai


situasi

R/ menegaskan batasan masalah individu dan pengeruhnya


selama diberikan intervensi.

2) Monitor rspon fisik seperti : Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan


yang berulang-ulang, catat kesesuaian respons verbal dan non verbal
selama komunikasi.
R/ digunakan dalam mengevaluasi derajat/ tingkat kesadaran/
konsentrasi, khususnya ketika melakukan komunikasi verbal.

3) Anjurkan klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan


mengekspresikan rasa takutnya.

R/ Memberikan kesempata untuk berkonsentrasi, kejelasan dari


rasa takut, dan mengurangi cemas yang berlebihan.

4) Akuilah situasi yang membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang
tak berarti seperti mengatakan semuanya akan menjadi baik.

R/ Memvalidasi situasi yang nyata tanpa mengurangi pengaruh


emosional.

5) Identifakasi/ kaji ulang bersama klien / keluarga tindakan pengaman


yang ada seperti kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan suctioa
emergency. Diskusikan arti dari bunyi alarm.

R/ membesarkan/menentramkan hati klien untuk membantu


menghilangkan cemas yang tak berguna, mengurangi
konsentrasi yang tidak jelas, dan menyiapkan rencana sebagai
respons dalam keadaan darurat.

6) Cetak reaksi dari klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk


mendiskusika perasaannya/konsentrasi dan harapan masa depan.

R/ Anggota keluarga dengan responnya pada apa yang terjadi


dan kecemasannya dapat di sampaikan kepada klien.

7) Identifikasi kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan


mengontrol pengguanaannya.

R/ Memfokuskan perhatian pada sendiri dapat meningkatkan


pengertian dalam penggunaan koping.
8) Demonstrasikan/anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi
seperti mengatur pernapasan, menuntun dalam berkhayal, relaksasi
progresif.

R/ pengaturan situasi yang aktif dapat mengurangi perasaan


yang tak berdaya.

9) Anjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampua individu


seperti menulis, menonton tv dan keterapilan

R/ sejumlah keterampilan baik secara sendiri maupun dibantu


selama pemasangan ventilator dapat membuat klien merasa
berkualitas dalam hidupnya.

Kolaborasi

Rujuk ke bagian lain guna penanganan selanjutnya.

R/ mungkin dibutuhkan untuk membantu jika klien/ keluarga tidak


dapat mengurangi cemas atau ketika klien membutuhkan alat
yang lebih canggih.

( Arif Muttaqin ; 2008 : 288-297 )

4. Pelaksanaan tindakan keperawatan

Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan


untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing oders untuk membantu
klien mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2001 : 63). Pelaksanaan
pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :

Diagnosa keperawatan 1: Resiko tinggi peningkatan TIK yang


berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma,
dan epidural hematoma. Pelaksanaannya adalah : mengkaji faktor penyebab dari
situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/ penurunan perfusi jaringan dan
kemungkinan penyebab peningkatan TIK. Memonitor tanda – tanda vital tiap 4
jam. mengevaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
Memonitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan . Mempertahankan
kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari
penggunaan batal yang tinggi pada kepala. Memberikan periode istirahat antara
tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur. Mengurangi rangsangan
ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang
tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
Mencegah/hindarkan terjadinya valsava manuver. Membantu klien jika batuk,
muntah. Mengkaji peningkatan istirahat dan tingkah laku. Melakukan palpasi
pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten
jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi. Memberikan penjelasan
pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab akibat TIK meningkat.
Mengobservasi tingkat kesadaran GCS. Kolaborasi: Pemberian O 2 sesuai
indikasi. Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam
intrakranial. Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Berikan obat
osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide. Berikan steroid contohnya :
Dexamethason, methylprenidsolon. Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein.
Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen. Monitor hasil laboratorium sesuai
dengan indikasi seperti prothrombin, LED

Diagnosa keperawatan 2 : Ketidakefektifan pola pernapasan yang


berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot – otot
pernapasan, ekspansi paru yang tidak meksimal karen trauma, dan perubahan
perbandingan O2 dan CO2,kegagalan ventilator. Pelaksanaannya adalah :
Memberikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat
tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Mengobservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital. Menjelaskan pada klien tentang etiologi/faktor
pencetus adanya sesak atau kolaps paru – paru. Mempertahankan perilaku
tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih
lambat dan dalam. Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan jangan
mematikan alarm. Taruhlah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan
manual ventilasi untuk sewaktu – waktu dapat digunakan. Bantulah klien untuk
mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba berhenti. Perhatikan letak
dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa
tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis
batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi
spirometer. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan
fisioterapi.

Diagnosa keperawatan 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang


berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan
sekresi sekret dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri
dan keletihan. Pelaksanaannya adalah : mengkaji keadaan jalan napas.
Mengevaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua paru
(bilateral). Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan
tube secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan
perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube. Mencatat adanya
batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan
yang tinggi, pengeluaran sekret melalui endotracheal/ tracheostomy tube,
bertambahnya bunyi ronkhi. Melakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi
durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag
sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan
penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi). Menganjurkan klien teknik batuk
selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada
indikasi. Mengatur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam). Memberikan
minum hangat jika keadaan memungkinkan. Menjelaskan kepada klien tentang
kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret disaluran
pernapasan. Mengajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan
batuk. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin, lakukan
pernapasan diafragma, tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara
perlahan, lahan keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut, lakukan napas
kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan
kuat. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. Mengajarkan klien
tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang
adekuat, meningkatkan masukan cairan 1000-1500cc/hari bisa tidak ada
kontraindikasi. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
Melakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi /
penepukan. Memberikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti
aminophilin, meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride
(bronkosal).
Diagnosa Keperawatan 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder. Pelaksanaannya adalah :
menjelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni dan
non invasif. Pelaksanaannya adalah : mengajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk
menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri
dan juga tingkatkan relaksasi masase. Mengajarkan metode distraksi selama
nyeri akut. Memberikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan
posisi yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.
Meningkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung. Mengobservasi tingkat nyeri dan respon
motorik klien,30 menit setelah pemberian obat analgesik untuk mengkaji
efektifitasnya serta setiap 1 – 2 jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.

Diagnosa Keperawatan 5 : Cemas atau takut yang berhubungan dengan


krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan
pada alat bantu/ perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran,
hubungan interpersonal. Pelaksanaannya adalah : mengidentifikasi persepsi
klien untuk menggambarkan tindakan sesuai situasi. Monitor respon fisik seperti
: Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan yang berulang-ulang, catat
kesesuaian respons verbal dan non verbal selama komunikasi. Menganjurkan
klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.
Akuilah situasi yang membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang tak
berarti seperti mengatakan semuanya akan menjadi baik. Mengidentifakasi/ kaji
ulang bersama klien / keluarga tindakan pengaman yang ada seperti kekuatan
dan suplai oksigen, kelengkapan suctioa emergency. Diskusikan arti dari bunyi
alarm. Mencetak reaksi dari klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk
mendiskusika perasaannya/konsentrasi dan harapan masa depan. Identifikasi
kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan mengontrol
pengguanaannya. Mendemonstrasikan / anjurkan klien untuk melakukan teknik
relaksasi seperti mengatur pernapasan, menuntun dalam berkhayal, relaksasi
progresif. Menganjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampua
individu seperti menulis, menonton tv dan keterapilan. Kolaborasi ; Rujuk ke
bagian lain guna penanganan selanjutnya.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses


keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001 : 71).

Hasil evaluasi yang bisa didapatkan pada pasien dengan cedera kepala
sesuai dengan diagnosa keperawatan yang ada adalah sebagi berikut :

a. Pasien tidak mengalami peningkatan TIK yang ditandai dengan Klien tidak gelisah,
klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat
papiledema, TTV dalam batas normal.

b. Pola napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan memperlihatkan frekuensi
pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas – gas pada paru,
adaptif mengatasi faktor – faktor penyebab.

c. Jalan napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan bunyi napas terdengar
bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk
yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.

d. Pasien secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat
mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.

e. Klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat kepada
perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat
mencatat penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan
tidur/istirahat dengan baik.

Share this:

 Twitter
 Facebook

Posted in Uncategorized
← Older Entry

Tinggalkan Balasan


 KALENDER
Oktober 2011
S S R K J S M

1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31

 PENCARIAN
 Tulisan Terakhir
o ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN G DENGAN CEDERA
KEPALA DI RUANG PERAWATAN BEDAH
o kolera
 Arsip
o Oktober 2011
 FACEBOOK
Ona Fernandez

AddyTie Onnapunk

 Kategori
o Uncategorized

Blog di WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai