Anda di halaman 1dari 26

TUGAS DAN KEWENANGAN BMA (BAITUL MAL ACEH)

Tugas :

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Syariat Islam di Aceh

Pada Jurusan Hukum Tata Negara

Dosen Pembina :

Bpk. Prof. Dr Al. YASA’ ABUBAKAR, M.A

Kelompok 4

Anggota :

No (30) -Alaidin ( 170105056) No (29) - Muhammad Fasya ( 170105081)

No (27) - RA Rizki Perkasa Alam ( 170105039) No (28) - Siska Alfaini ( 170105016)

No (24) - Rita Humaira( 170105113) No (25) - Masmi ( 170105008)

No (26) - Fitri Handayani ( 170105021)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR – RANIRY

BANDA ACEH

2018

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah Swt karena berkat rahmat dan hidayah nya
makalah ini dapat di selesaikan.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada makalah ini, Oleh karena itu
penulis minta maaf jika makalah yang di sajikan kurang lengkap atau tidak sempurna
sebagaimana mesti nya.

Kritik dan Saran demi kesempurnaan makalah ini sangat diharapkan, semoga makalah ini
dapat membantu kita dalam proses belajar mengajar pada mata kuliah Studi Syariat Islam di Aceh
serta bermanfaat bagi pembaca.

Banda Aceh, Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah. .................................................................................. …….1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ........................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Baitul Mal di Provinsi Aceh ....................................................................................3


1. Aspek Filosofis ..................................................................................................3
2. Aspek Yuridis ....................................................................................................4
B. Tata Kerja Lembaga Baitul Mal dalam Jajaran Lembaga daerah Provinsi Aceh ....6
1. Pengelolaan Zakat dalam Pusaran konflik Regulasi Pengelolaan Zakat Pada
Badan Baitul Mal ............................................................................................... 9
2. Implikasi Penerapan Peraturan Zakat Sebagai PAD ........................................11
3. Macam-Macam tingkatan Baitul Mal .............................................................. 13
4. Kewenangan dan kewajiban Baitul Mal .......................................................... 14
5. Harta Objek Zakat ............................................................................................ 19

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ......................................................................................................21
B. SARAN ..................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini suatu negara di dunia pasti membutuhkan suatu institusi yang mampu
memperlancar aktivitas perekonomianya. Dan tentunya institusi tersebut harus mempunyai
peran yang sangat signifikan untuk kelancaran aktivitas perekonomianya.

Dan institusi tersebut sudah ada sejak zaman dulu dan Madinah merupakan kota
pertama yang memperkenalkannya, yang pada saat itu di pimpin dan dicetuskan oleh
Rasulullah saw, institusi terebut di sebut Baitul Mal. Pada waktu itu Baitul Mal memegang
peranan yang sangat vital karena bukan hanya aspek ekonomi tapi semua aspek kehidupan
negara

Seiring berkembang nya waktu ,perubahan demi perubahan terjadi dalam


perkembangan islam.Setiap poin poin dari pada rukum islam harus di peuhi oleh setiap umat
islam,yang mana salah satunya adalah zakat .Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib
dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak
menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam.

Bagi kaum Muslim di berbagai daerah di Indonesia memiliki lembaga untuk mengurus
harta-harta agama, seperti zakat, wakaf dan harta lain sebagainya. Lembaga tersebut antara lain
Badan Amil Zakat, Infaq dan Sadaqah (BAZIS). Ada yang namanya Yayasan Amil Zakat,
Dompet Dhu’afa, baitul mal dan nama lainnya, baik yang diselenggarakan oleh pihak
pemerintah atau swasta, yang disesuaikan dengan kearifan lokal maasing-masing daerah.

Di Aceh ada badan pengelola zakat yang kita kenal dengan nama Baitul Mal. Dan masih
banyak persoalan dan pengelolaan dalam penegakkan Baitul Mal di aceh .

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu Lembaga Baitul Mal ?


2. Bagaimana Kewenangan Baitul Mal di aceh?
3. Bagaimanakah pendistribusian dana dan penyelesaian persoalan Baitul Mal di aceh ?

1
C. TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui Lembaga Baitul Mal.


2. Untuk Mengetahui Kewenangan Baitul Mal di Aceh.
3. Untuk Mengetahui Pendistribusian dana dan Penyelesaian Persoalan Baitul Mal di
Aceh.

2
3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Baitul Mal di Provinsi Aceh


1. Aspek Filosofis
Secara filosofis, posisi Qanun dalam masyarakat Aceh adalah untuk membuat aturan
yang mengikat semua masyarakat Aceh. Ini berbeda dengan posisi fatwa yang tidak memiliki
kekuatan hukum, namun mempunyai kekuatan otoritas.1

Dengan kata lain, sebuah Qanun dalam hukum Islam, merupakan peraturan yang dibuat
oleh penguasa untuk mengatur tata pemerintahannya.2

Dalam tradisi masyarakat Aceh, Qanun merupakan aturan yang dibuat oleh pihak istana
yang kemudian menjadi semacam acuan bagi masyarakat dalam bertindak tanduk sesuai
dengan AMA (Adat Meukuta Alam). Adapun Baitul Mal merupakan sebuah lembaga keuangan
yang sudah pernah ada sejak zaman Khalifah Islam. Jadi, secara definisi, memang sudah terjadi
tumpang tindih pemahaman, yang karena itu, tidak mengherankan pola pelaksanaannya, seperti
yang terjadi di Aceh juga mengalami sejumlah tarik menari, antara ’kepentingan penguasa’ dan
’semangat awal dari sifat hakiki dari Baitul Mal’ itu sendiri. 3

Jadi, jika dipetakan secara kefilsafatan, maka posisi Baitul Mal di Aceh sejatinya adalah seperti
yang diinginkan dalam sejarah khalifah Islam dan pemerintahan Islam lainnya. Namun dalam
konteks ke-Aceh-an, keberadaannya diakui dalam Undang-Undang, namun pada tahap
operasionalnya sama sekali jauh dari undang-undang. Karena lembaga-lembaga lainnya juga
memiliki hak yang hampir mirip dengan peran dan fungsi Baitul Mal seperti Dinas Pengelolaan

1 Lihat misalnya MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa Dan Perubahan Sosial, ed. Ilham B. Saenong, trans. Iding Rosyidin
Hasan (Bandung: Mizan, 2003).

2 Akh. Minhaji, "Islamic Law under the Ottoman Empire," in The Dynamics of Islamic Civilization, ed. Yudian Wahyudi, Akh. Minhaji, and
Amirul Hadi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).184-208.

3 Amrullah, Menggagas Ulang Tugas Dan Fungsi Baitul Mal.Lihat misalnya Ahmad Humam Hamid, "Kemiskinan Kronis Di Aceh," Serambi
Indonesia, 16 May 2009.

4
Keuangan dan Kekayaan Aceh. Ini belum lagi perannya hampir sama dengan BAZIS. Karena
itu, sebelum Qanun ini dibuat perlu ada pengkajian

secara epistemologis, aksiologis, dan ontologis mengenai apa sebenarnya hakikat


Baitul Mal yang diinginkan oleh pemerintah Aceh? Inilah pertanyaan yang cukup mendasar
dari aspek filosofis ini. Di atas itu, perlu juga dipertanyakan apakah rakyat Aceh benar-benar
menyadari akan arti penting dari keberadaan Baitul Mal. Dengan kata lain, perlu dilakukan
sebuah studi mengenai tingkat pemahaman masyarakat terhadap Baitul Mal. Apa saja yang
mereka pandang mengenai persoalan harta dalam perspektif agama. Walaupun sudah ada
Qanun No.10 2007 mengenai Baitul Mal, namun pemahaman masyarakat mengenai lembaga
ini sama sekali belum terukur secara pasti. Karena itu, studi dari perspektif filosofis akan
memberikan sebuah acuan bagi masyarakat mengenai kepentingan akan posisi Baitul Mal.
Demikian pula, perlu ditelaah secara substantif bagaimana pembaharuan Qanun yang
dimaksud dari perspektif keilmuan. Apapun yang ditetapkan nanti harus bisa
dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dengan kata lain, pola pembaharuan Baitul Mal ini
harus dilakukan secara telegrafik di mana kajian mengenai Baitul Mal tidak hanya dilihat dari
perspektif hukum Islam semata, tetapi juga melihat aspek-aspek sosio-budaya, sosio-ekonomi,
8dan sosio-politik di Aceh. Sehingga pembaharuan yang diinginkan bisa menjawab tantang
kehidupan masyarakat Aceh, khususnya dalam bidang kehidupan beragama. Perubahan
dinamika masyarakat Aceh yang sangat cepat ini, terutama mengenai pola kehidupan di
wilayah perkotaan, khususnya kesadaran dalam memahami peran Baitul Mal adalah sangat
mustahak untuk dipertimbangkan. Peta masyarakat ini sepatutnya dilakukan

2. Aspek Yuridis
Dari aspek yuridis, maka urgensi pengembangan Baitul Mal sebenarnya telah memiliki
payung hukum yang amat baik. Sejak Aceh memasuki era damai sejak 15 Agustus 2005, telah
memberikan angin segar bagi pemerintahan Aceh. Di samping itu, adanya ruang bagi Aceh
untuk melaksanakan Syari‘at Islam sebagaimana tercantum dalam Qanun Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam No.11 tahun 2000 dan Qanun No.5 tahun 2000. Di samping itu, ada beberapa
produk Undang-Undang yang memberikan hak bagi rakyat Aceh untuk melaksanakan Syari‘at
Islam seperti UU No.14 tahun 1999 dan UU No.18 2001. Payung bersambut ketika ada UU
No.11 tahun 2006 yang merupakan buah dari perdamaian di Helsinki antara Pemerintah
Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Semua perangkat yuridis agaknya tidak akan menghambat pengembangan Baitul Mal.
Apalagi Qanun No.10 Tahun 2007 secara jelas telah menjelaskan bagaimana seharusnya

5
dijalankan. Karena itu, perjalanan sejarah Baitul Mal saat ini lebih banyak pada pola penerapan
dari berbagai peraturan yang mengikat dari aspek lain seperti persoalan zakat, infak, dan
pertanahan. Di sini pengembangan Baitul Mal harus sinergi dengan semua pihak baik di
kalangan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tentu saja kita tidak menginginkan pembaharuan
Baitul Mal yang diinginkan malah bisa menimbulkan salah paham dan adu kepentingan di
antara lembaga pemerintahan di Aceh. Sebab bagaimanapun, persoalan yang dikelola oleh
Baitul Mal juga menjadi perhatian penting pemerintah pusat. Terkadang, di tingkat daerah
sering beradu kepentingan di antara para pengambil kebijakan mengenai eksistensi Baitul Mal
tersebut. Persoalan misalnya tidak ada ’perhatian’ dari Pemda dan tumpang tindih peraturan
mengenai persoalan keuangan daerah, sejatinya tidak menghambat proses diseminasi lembaga
Baitul Mal ke seluruh pelosok Aceh. Sebab, jika semua Baitul Mal di Aceh berjalan seperti
yang diinginkan, maka beberapa persoalan kesejahteraan masyarakat Aceh bisa teratasi.
Demikian pula, persoalan pola pengelolaan yang cukup transparan dari Baitul Mal. Sebab, jika
tidak ada transparansi dan banyak penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan di dalam Baitul
Mal, bukan hanya akan merugikan Pemerintah Daerah, tetapi masyarakat umum secara
keseluruhan.
Aceh adalah salah satu daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum
yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin
oleh seorang gubernur4.

Umat Islam di Aceh berdasarkan adat yang berlaku sampai saat ini , secara umum rutin
menyerahkan zakat yang wajib mereka bayarkan kepada teungku imuem pada setiap gampong.
Dalam adat aceh teungku imuem gampong merupakan badan atau petugas resmi pengelola
zakat, paling kurang zakat fitrah, zakat hasil sawah dan zakat hasil perdagangan. dengan
demikian izin untuk mengelola zakat “secara modern” yang diserahkan kepada Baitul Mal
dapat dianggap sebagai penguatan atas adat yang ada. Alasan ini dapat dianggap sebagai
penguat tambahan bahwa pengelolaan zakat atas bersama sama dengan harta wakaf dan harta
agama lainnya oleh Baitul Mal, lebih dekat kepada masalah-masalah keagamaan (dan
peradatan) daripada keuangan.5

4 Kadis Syariat Islam Aceh, Himpunan Undang-undang… Edisi Ke-8, 2010, hal 535-536
5 Al Yasa’ Abubakar, Kebijakan Pelaksanaan Syariat Islam Dalam UU No 11 Tahun 2006 dan UU No 48 Tahun 2007, Hlm 28

6
Undang-undang RI. nomor 44 tahun 1999 Keistimewaan Aceh dan nomr 11 tahun 2006,
tenatng UUPA, pasal 180 ayat (1) huruf d, memasukkan zakat sebagai salah satu sumber
pendapatan asli daerah6, maka dalam hal menjabarkan maksud undang-undang ini, DPRD dan
Pemerintah Daerah membuat Perda nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam,
yang termasuk di dalamnya Baitu Mal. Maka sesuai Perda di atas Gubernur Aceh
mengeluarkan surat Keputusan nomor 18 taahun 2003 tentan Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Badan Baitul Mal NAD. Mengingat putusan Gubernur itu tidak cukup kuat, maka dengan
kesepakatan DPRD dan Gubernur dikeluarkanlah Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang
pengelolaan Zakat, yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (1), bahwa Badan Baitul Mal
merupakan lembaga daerah yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat dan harta
agama lainnya di provinsi Aceh7. Selanjutnya Pemerintah Aceh menyempurnakan Qanun
pengelolaan Zakat dengan mengeluarkan satu qanun khusus nomor 10 tahun 2007 tentang
Baitul Mal.

Jadi dalam hal ini, pengelolaan zakat dan harta agama lainnya di Aceh tidak lagi berdasarkan
kepada undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, karena berdasarkan
azas Lex Specialist Deroget Lex Generalist, artinya hukum yang khusus dapat mengalahkan
hukum yang umum.

B. Tata kerja lembaga Baitul Mal dalam jajaran lembaga daerah Provinsi
Aceh

secara kelembagaan Baitul Mal Aceh telah memiliki landasan hukum yang jelas tetapi
secara fungsional kelembagaan masih diperlukan penguatan terutama berkaitan dengan bagian
pengawasan. Qanun No. 10/2007 pasal 9 menyebutkan bahwa dalam menjalankan
kewenangannya yang berkaitan dengan syariat, Baitul Mal berpedoman pada fatwa MPU Aceh.
Dewan Syariah yang eksis sebelum lahirnya Qanun dimaksud telah memberikan kontribusi
yang signifikan dalam berjalannya kegiatan di Baitul Mal.
Dewan Syariah dapat di SK-kan dengan keputusan Gubernur dengan tugas dan
kewenangan yang diperluas seperti melakukan pengawasan bukan saja yang berkaitan dengan
persoalan syar’i terhadap pengelolaan zakat, wakaf dan harta agama melainkan juga hal lain

6 Departemen Dalam Negeri, Undang-undang RI, Nomor 44 tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh
7 Prof. Dr. TM. Daniel Djuned, MA, Baitul mal Lembaga Resmi Pengelola Zakat, makalah, disampaikan pada Raker Bimtek Baitul Mal se-
0Prov NAD 11-12 Juli 2006, Asrama Haji Banda Aceh, h 2

7
yang terkait. Menyikapi kondisi dimaksud, pasca Qanun 10/2007, Dewan Syariah diganti
dengan
Dewan Pertimbangan yang kedudukannya dibuat berdasarkan Peraturan Gubernur
sedangkan Kepala Baitul Mal berdasarkanQanun, kondisi tersebut tentu tidak relevan untuk
sebuahlembaga keuangan.
Hal ini terasa berbeda bila dibandingkan dengan UUPerbankan yang tetap menyebutkan
secara jelas dan integral mengenai pengawas. Untuk itu, bila Lembaga Baitul Mal diharapkan
menjadi lembaga yang kredibel dalam mengelola zakat maka perangkat kelembagaannya harus
diperkuat dengan system dan Hierarki yang komprehensif.
Baitul Mal Aceh mempunyai tingkatan tertinggi di atas Baitul Mal Kab/Kota atau
Kemukiman dan Gampong namun tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan atau pengawasan terhadap Baitul Mal di bawah hierarki nya tersebut. Seyogyanya
laporan kegiatan Baitul Mal dimaksuddapat ditelisik kebenarannya oleh Baitul Mal Aceh
dalam rangka menjaga transparansi dan reliabilitas pengelolaan zakat dalam rangka mendapat
kepercayaan publik secara lebih luas.
Sebagai bagian dari lembaga daerah di provinsi, BaitulMal bertanggung jawab secara
vertikal kepada gubernur selakukepala daerah. Pertanggungjawaban tersebut dapat saja dalam
bentuk laporan rutin bulanan, semesteran, dan tahunan. Hal-hal yang dilaporkan bisa saja
meliputi kegiatan pengelolaan keuangan, managerial, kesekretariatan, ataupun hal lainnyayang
dianggap penting bagi perkembangan Baitul Mal. Laporan tersebut dibutuhkan mengingat
gubernur merupakanpemegang kekuasaan eksekutif tertinggi di provinsi. Sehinggasegala
aktivitas eksekutif harus dalam pengawasan gubernur.
Pendelegasian kewenangan dapat saja diberikanGubernur kepada Sekretaris Daerah
(Sekda) sebagai perpanjangan tangan Gubernur. Sehingga kegiatan administrasi kelembagaan
daerah dapat berhubungan langsung dengan Sekda.
Hubungan Baitul Mal dengan lembaga daerah dan perangkat daerah lainnya dalam provinsi
Aceh memiliki hubungan koordinasi antar lembaga. Baitul Mal hanya berkoordinasi dengan
lembaga daerah yang berkaitan langsung dengan kegiatan administrasi dan operasional
lainnya. Dengan kata lain secara kelembagaan, Baitul Mal tidak dapat diintervensi oleh
lembaga daerah lainnya, terkecuali dengan izin atau persetujuan gubernur selaku kepala daerah.
Ketentuan mengenai perangkat daerah baik untuk daerah provinsi, kabupaten maupun kota,
diatur dalam Pasal 120 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan
lembaga teknis daerah, sedangkan perangkat daerah kabupaten/ kota terdiri atas sekretariat

8
daerah, kecamatan, dan kelurahan,8 sedangkan sekretariat daerah itu dipimpin oleh Sekretaris
Daerah.9
Dalam hal ini, Baitul Mal merupakan lembaga teknis daerah yang menjalankan fungsi-
fungsi khusus dari daerah otonomi khusus.
Baitul Mal sebagai lembaga teknis daerah dalam menjalani fungsi-fungsi khususnya
dirasakan masih mengalami kendala yang tidak kecil, yang dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1. Kendala regulasi. Regulasi untuk pelaksanaan Baitul Mal masih menyisakan persoalan
yang berarti, dilihat dan kelengkapan, kejelasan dan kemantapannya;
2. Kendala koordinasi. Proses koordinasi antar lembaga daerah belum berjalan dengan
baik, sehingga berakibat kurang maksimalnya pelaksanaan program;
3. Kendala persepsi. Proses keterbukaan yang berkembang telah berdampak pada
munculnya kecenderungan keragaman persepsi dalam menyikapi keberadaan Baitul
Mal;
4. Kendala waktu. Euforia otonomi khusus yang begitu menggebu-gebu menuntut
kecepatan dan ketanggapan yang tinggi untuk menyusun berbagai peraturan dan
kebijakan yang diperlukan. Sementara Pemerintah (Pusat dan Daerah) tidak punya
cukup waktu untuk melakukannya, walau sadar bahwa yang ada memang belum
lengkap;
5. Kendala keterbatasan sumberdaya. Rendahnya kualitas/ kapasitas SDM jelas
merupakan faktor yang dominan dalam ketidakmampuan memberdayakan
kapasitasnya.

1. Pengelolaan Zakat dalam dalam Pusaran Konflik Regulasi dalam pengelolaan


Zakat Pada Badan Baitul Mal

Tujuan pengelolaan zakat oleh Baitul Mal adalah untuk menyejahterakan rakyat dan
agar harta tidak berputar pada sekelompok orang saja. Pada saat yang sama, Baitul Mal sendiri
bukanlah organisasi atau lembaga yang berusaha mencari untung. Semangatnya adalah

8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pasal. 120.

9 Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm.277-
325.

9
mengelola harta umat dan mengembalikan kepada umat, tanpa mengambil untung, baik untuk
diri pengelola maupun bagi pemerintah. Di sini penting ditelaah secara seksama mengenai
posisi Baitul Mal sebagai alat untuk mencari PAD.10Pemahaman ini tentu saja akan memiliki
sinyalemen bahwa Baitul Mal harus berlomba-lomba memasukkan uang ke kas daerah.
Padahal, peran Baitul Mal bukanlah seperti ini,11namun melalui spirit keagamaan, berupaya
agar umat Islam mau menyisihkan harta milik Allah dan mengelola harta-harta yang menjadi
tanggung jawab Baitul Mal. Produk pembaruan Baitul Mal ini harus secara jeli melihat
persoalan untuk tidak menimbulkan multitafsir masyarakat mengenai keberadaan Baitul Mal.

Berbeda halnya jika zakat sudah dinyatakan sebagai sumber PAD, maka zakat wajib
disetor ke kas daerah dan penyalurannya harus tunduk kepada aturan tentang penge-lolaan
keuangan daerah seperti UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP No. 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri No.13/2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, dan sejumlah aturan lainnya yang berhubungan dengan
PAD.12

Jika ketentuan zakat sebagai PAD sudah diatur, konsekuensi logisnya adalah zakat
boleh digunakan untuk membiayai belanja daerah (sebagaimana PAD umumnya). Kondisi ini

mencederai ketentuan syariah yang telah mengatur keleluasaan pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh amil (Baitul Mal) untuk para mustahik yang telah ditentukan dalam masing-

masing asnaf. Kenyataan inilah yang sedang terjadi di Aceh, baik yang dihadapi oleh Baitul
Mal Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya secara

konkrit dan komprehensif. Permasalahan utamanya adalah belum adanya pengaturan khusus
ketika zakat menjadi penerimaan PAD (baik sebagai PAD Aceh maupun PAD

10 Potensi zakat memang sangat menjanjikan bisa lebih besar 12 kali dari PAD seluruh Kab/Kota di
Indonesia,dengan kata lain jika zakat dijadikan sebagai PAD mampu menutupi sepenuhnya penerimaan pajak
dan retribusi didaerah. lihat https://ahmad-rajafi.wordpress.com.

11 Padahal tujuan dibentuknya Baitul Mal adalah ”karena Baitul Mal mempunyai peranan yang cukup besar
sebagai sarana tercapainya tujuan negara serta pemerataan hak dan kesejahteraan kaum Muslim”. Lihat, Abdul
Azis Dahlan et al., eds., hlm. 187.

12 Secara normatif pengertian PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hasilnya dimanfaatkan untuk penyelenggaraan tugas-tugas
Pemerintahan dan kegiatan pem-bangunan dalam rangka mengisi kemandirian otonomi daerah. Nurlan Darise,
Pengelolaan Keuangan Daerah, Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta 2006, hlm. 43.

10
Kabupaten/Kota). Ketentuan ini melahirkan sejumlah kontroversi dengan regulasi tersebut ,
karena itu beberapa hal perlu diperhatikan, diantaranya:13

a. Pengelolaan zakat bukan berdasarkan UU atau Perda (qanun), tetapi berdasarkan


ketentuan syariah (Al-Quran dan Al-Hadits).
b. Zakat tidak dapat dimanfaatkan untuk membiayai tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan, tetapi sudah diarahkan kepada delapan asnaf mustahik.
c. Penyaluran zakat tidak perlu harus menunggu penge-sahan APBD, tetapi harus segera
disalurkan sesudah zakat terkumpul.
d. Jumlah zakat yang disalurkan harus sama dengan jumlah yang diterima dan tidak
terikat kepada platform yang ditetapkan dalam APBD.
e. Pengeluaran zakat dalam APBD dikelompokkan dalam belanja langsung yang
jumlahnya relatif besar, sehingga harus dipenuhi berbagai persyaratan terlebih dahulu
seperti pelelangan, pemilihan rekanan serta persyaratan administrasi lainnya yang
berlaku. Sedangkan penyaluran zakat dalam ketentuan syariah sudah ditetapkan
asnafnya serta tersebar kepada berbagai lokasi yang dipilih.
f. Apabila realisasi penerimaan zakat melebihi dari rencana yang dicantumkan dalam
APBD suatu tahun, maka berdasarkan peraturan pengelolaan keuangan daerah,
kelebihan tersebut tidak dapat dicairkan tet api menjadi tambahan dana untuk tahun
anggaran yang akan datang

2. Implikasi Penerapan Peraturan Zakat Sebagai PAD


Terdapat beberapa pasal yang mengatur Baitul Mal, zakat, dan sadaqah, dalam
UUPA, yakni:
a. Pasal 180 ayat (1), menyebut zakat sebagai salah satu sumber PAD Aceh dan PAD
kabupaten/kota.14
b. Pasal 191, menentukan bahwa zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola Baitul Mal
Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota, diatur lebih lanjut dengan qanun.
c. Pasal 192, disebutkan, zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah
pajak penghasilan terutang dari wajib pajak.

13 Lihat misalnya beberapa persoalan yang dikemukakan oleh Amrullah, Menggagas Ulang Tugas Dan Fungsi
Baitul Mal, Baitul Mal Aceh, Banda Aceh, 2010.

14 Tidak ada penjelasan dalam UUPA. Dalam UU Keuangan negara, yang dimaksud pendapatan daerah adalah
hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

11
Berdasarkan ketentuan tersebut, dibentuk Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 tentang
Baitul Mal. Seiring dengan perkembangan zaman, qanun ini dirasakan beberapa hal yang
perlu dilakukan perubahan, dalam rangka mengoptimalkan tugas dan fungsi Baitul Mal dalam
melakukan pengelolaan zakat, harta wakaf, dan harta agama.
Qanun Baitul Mal, berisi 63 Pasal, disahkan pada tanggal 17 Januari 2008. Implikasi
dari penerapan atau pelaksanaan qanun ini yang merupakan turunan dari UUPA terkait
dengan pengelolaan zakat adalah sebagai berikut:15

a. Zakat sebagai PAD, dimana Qanun sudah ditentukan bahwa zakat adalah PAD. Dalam
hal ini, sisa realisasi dari zakat harus disetor kembali ke kas daerah.
b. Tidak ada ketegasan masalah pengaturan zakat sebagai belanja barang dan jasa pada
APBA maupun APBK dalam wujud pengaturan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, pertanggungjawaban, evaluasi, dan monitoring zakat dan infaq dilakukan
oleh Bapel Baitul Mal Aceh. Di pihak lain, masih ada pemahaman bahwa zakat sebagai
PAD harus dikelola oleh sekreta-riat sebagai pengguna anggaran. Belum ada pembagian
tugas dan fungsi yang jelas antara badan pelaksana dan sekretariat Baitul Mal.
c. Kewenangan Kepala Baitul Mal dalam melakukan unit -unit untuk efektivitas
pengelolaan lebih cepat dan tepat sangat dibutuhkan dan belum ada pengaturan tentang
kewenangan tersebut.
d. Pengelolaan ZIS yang bersifat produktif dan berkelan-jutan juga belum ada pengaturan,
sehingga pengalaman pembentukan Unit Fakir Uzur; Unit Beasiswa; Unit ZIS Produktif
atau unit lainnya walaupun dapat berjalan baik namun tidak adanya kepastian regulasi.
e. Status bendahara penerimaan dan penyaluran dalam struktur Badan Pelaksana, tugas dan
fungsinya berada di bawah Kepala Baitul Mal, bukan di bawah sekretariat. Namun
dalam pelaksanaannya tidak diakui karena bendahara hanya boleh ada di SKPA.16
f. Penggunaan jasa giro atau bagi hasil dari sumber zakat belum ada kepastian hukum,
apakah bisa menjadi bahagian dari penerimaan Baitul Mal atau menjadi penerimaan
pemerintah sebagaimana jasa giro pada SKPA lainnya yang bersumber dari APBA.
Sehingga sampai saat ini dana tersebut tidak pernah digunakan atau disalurkan.

15 Armiadi, Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah Di Baitul Mal Aceh (Kontestasi Zakat Dalam
Sistem Tata Kelola Keuangan Negara), Laporan Penelitian Individual, Lemlit UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2015.

16 Pengalaman selama ini, bahwa zakat dikelola oleh Badan Pelaksana Baitul Mal. Sekretariat menempatkan
PNS sebagai ben-dahara penerimaan dan bendara pengeluaran (zakat). Amrullah, Paradigma Baru Pengelolaan
Zakat di Indonesia, Potret Penge-lolaan Zakat di Baitul Mal Aceh, Banda Aceh, 2012, hlm 45.

12
g. Dilihat dari regulasi yang ada terkait PAD, maka zakat karena tidak diatur secara
khusus, dapat saja dimanfaatkan untuk membiayai tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan (sesuai ketentuan PAD), tidak harus disalurkan kepada 8 asnaf mustahik.
h. Penyaluran zakat selama ini harus menunggu pengesahan APBA/APBK dan tidak harus
segera disalurkan sesudah zakat terkumpul, jika dikehendaki perlunya penyesuaian atau
perubahan dalam rencana penyaluran dan pendayagunaan zakat, maka harus menunggu
mekanisme APBA-P/APBK-P.
i. Jumlah zakat yang disalurkan tidak harus sama dengan jumlah yang diterima karena
wajib terikat dengan platform yang ditetapkan dalam APBA/K. Apabila realisasi
penerimaan zakat melebihi dari rencana yang dicantumkan dalam APBA/K suatu tahun,
maka berdasarkan peraturan pengelolaan keuangan daerah, kelebihan tersebut tidak
dapat dicairkan, tetapi menjadi SILPA untuk anggaran tahun mendatang.
j. Pengeluaran zakat dalam APBD dikelompokkan dalam belanja langsung yang
jumlahnya relatif besar, sehingga harus dipenuhi berbagai persyaratan seperti
pelelangan, pemilihan rekanan, persyaratan administ rasi lain yang berlaku. Sedangkan
penyaluran zakat dalam ketentuan syariah sudah ditetapkan asnaf dan tersebar ke
berbagai lokasi yang dipilih.
k. Dalam hal pengadaan barang dan jasa yang dilakukan di Baitul Mal masih menuai
kontroversial karena harus mengikuti mekanisme pengadaan barang dan jasa seperti
yang diatur dalam Perpres. No.4/2015, Perubahan keempat atas Perpres 54/2010 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa. Pilihannya harus melalui pola tender, penunjukan
langsung, dan swakelola, harus melalui kepanitiaan yang bersertifikat, karena zakat
sudah dianggap sebagai PAD.

Melihat sejumlah permasalahan di atas mengindikasikan bahwa problem pengelolaan


zakat sebagai PAD sangat serius dan berdampak sistemik bagi kelembagaan dan pengurus
amil zakat) itu sendiri. Kondisi ini benar-benar telah menjadi polemik dan sebuah kontestasi
yang belum berujung kepada penyelesaian secara komprehensif.

3. Macam-macam Tingkatan Baitul Mal.

Adapun tingkatan Baitul Mal yang berlaku di Aceh setelah Qanun nomor 10 tahun 2007
adalah:

13
1. Baitul Aceh, adalah lembaga daerah Non Strutural yang dalam melaksanakan
tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syari’at, dan bertanggung
jawab kepada Gubernur.
2. Baitul Mal Kabupaten/Kota, adalah lembaga daerah non structural yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syari’at, dan
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.
3. Baitul Mal Mukim, adalah lembaga kemukiman non structural yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syari’at, dan
bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.Dalam Qanun Aceh nomor 7
tahun 2004 tidak dijumpai Baitul Mal Mukim, karena alasannya kemukiman tidak
memiliki rakyatnya dan rakyat hanya dimiliki oleh gampong.
4. Baitul Mal Gampong, adalah lembaga gampong non structural yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syari’at, dan
bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.

4. Kewenangan dan Kewajiban Baitul Mal

Kewenangan dan kewajiban Baitul Mal dapat disimpulkan yaitu mengumpulkan,


mengelola dan menyalurkan zakat, wakaf dan harta agama lainnya yang menjadi
wewenangnya, membentuk UPZ dan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Baitul
Mal di bawahnya, membuat laporan serta menginformasikannya kepada masyarakat.17

Kebijakan mengenai pengelolaan zakat sebagai PAD dan kewenangan pembentukan


Baitul Mal sebagai badan yang akan mengelola zakat (infaq, wakaf dan harta agama lainnya)
oleh UU 11/06 diserahkan kepada Daerah (Aceh) untuk diatur melalui Qanun Aceh.

Keseriusan pemerintah di atas belum menyentuh persoalan utama dari pengelolaan


zakat yaitu bagaimana membuat lembaga pengelola zakat menjadi mandiri serta menjadi
tempat kaum mustdh’afin menggantungkan diri. Pengaturan tersebut masih melibatkan
birokrasi pemerintah, dalam hal ini jajaran dep. Agama, sebagai pengelola zakat, secara khusus
sehingga lembaga amil zakat tidak dapat bekerja secara maksimal. Selain itu, peraturan
pemerintah yang mengaturpengelolaan zakat sebagai peraturan pelaksana UU No.38/1999

17 Kadis Syariat Islam Aceh, Himpunan Undang-undang… Edisi Ke-8, 2010, h 546-548.

14
belum dikeluarkan. Kekuatan UU tersebut masih diragukan untuk dapat menjadikan
pengelolaan zakat menjadi sebuah otoritas yang bekerja transparan dan terarah.

Dalam pengembangan Baitul Mal ke depan diharapkan harus ada suatu penegasan
tentang pengelolaan dana yang bersumber dari Baitul Mal. Harus bisa dipisahkan mana dana
yang bisa digolongkan PAD dan mana yang tidak. Pekerjaan utama yang dilakukan oleh Baitul
Mal adalah mengelola dan membagi-bagikan uang. Baitul Mal semacam lembaga keuangan,
atau lembaga yang diharapkan (diupayakan) akan berkembang menjadi semacam lembaga
keuangan. Uang yang dikelola Baitul Mal dapat dibedakan dengan empat cara, yaitu:
a) zakat yang dari satu segi merupakan PAD dan dari segi lain merupakan harta agama
yang harus didistribusikan kepada delapan senif penerima yang relatif sudah
terdefinisikan. Jadi uang zakat tidak boleh dikelola secara bebas; uang ini perlu dikelola
dengan cara tertentu dan diawasi secara relatif lebih ketat, karena dari satu segi
merupakan zakat yang harus dikelola dengan ketentuan syari’at yang relatif sudah baku.
Sedangkan dari segi lain PAD, harus dikelola mengikuti ketentuan tentang APBA
dengan aturan khusus.
b) wakaf bukan merupakan PAD yang harus dikelola sesuai dengan syarat dan ketentuan
yang dibuat oleh wakif. Baitul Mal bertindak sebagai nazhir atau wali amanah. Baitul
Mal tidak boleh mengubah peruntukan ataupun menukar harta ini kecuali dengan
ketentuan dan persyaratan yang relatif ketat. Wakaf pada umumnya merupakan harta
tidak bergerak, karena itu pengelolaannya ditekankan pada pelestarian dan pemanfaatan
hasilnya;
c) harta agama lainnya bukan merupakan PAD yang dapat dikelola secara relatif bebas
dalam arti penggunaan dan pemanfaatannya dapat dirancang secara relatif bebas
asalkan tetap berada dalam koridor kesejahteraan dan peningkatan kualitas umat. Jenis
harta ini yang relatif besar dan perlu mendapat perhatian khusus adalah dana infaq yang
dipungut dari para rekanan PEMDA sebesar 0,5 % dari nilai kontrak yang di atas
Rp.20.000.000,- dan ini dipungut berdasarkan Pergub 60/08, diatur dalam Pasal 14
sampai 16:
d) Dana APBA murni, yaitu dana yang berasal dari APBA dan bukan zakat, yang
disediakan untuk menunjang kegiatan mengelola dan mendistribusikan uang zakat,
infaq dan wakaf. Dalam merencanakan dan memilih sistem ataupun model tata kelola
dan tertib administrasi untuk diterapkan pada Baitul Mal, maka empat jenis harta (uang)
yang dikelola harus diawasi dengan baik dan cermat sehingga tidak berbenturan dengan

15
sistem keuangan negara di satu pihak dan juga tidak menyalahi ketentuan syariat di
pihak yang lain.
Disamping pengelolaan zakat secara nasional ,maka pengelolaan zakat di aceh
mempunyai ciri tersendiri karena aceh merupakan daerah otonomi yang mempunyai
kekhususan dalam bidang agama karena itu sesuai dengan asas lex specialis derogaat lex
generalis ( aturan khusus membatasi aturan umum ), maka di aceh pengelolaan zakat diatur
secara lebih khusus antara lain ;

Pengaturan zakat di aceh diatur melalui qanun no.7/2004 yang mana mengelola zakat
di aceh adalah Badan Baitul Mal dimana sebelumnya dikelola oleh BAZIS. Qanun No. 7/2004
pasal 15 menyebutkan fungsi Baitul Mal adalah : (a). Pendataan Muzakki (b). Pengumpulan
Zakat (c). Penyaluran Zakat (d). Inventarisasi dan Penelitian tentang harta agama (e).
Pemeliharaan dan Pengamanan Zakat (f). Peningkatan Kualitas Harta Agama (g).
Pemberdayaan Harta Agama.

Otoritas Baitul Mal lebih kuat dari BAZIS karena Baitul Mal merupakan lembaga yang
berhak menjadi pewaris bagi kaum muslim yang tidak punya ahli waris dan setelah tsunami
Baitul Mal berfungsi sebagai pengawas Harta bagi anak yatim. Struktur Pengelolaan Zakat di
Aceh hanya tiga tingkatan yaitu Baitul Mal Provinsi, Baitul Mal Kab/Kota/ dan Baitul Mal
Gampong.

Dewan Syariah yang mempunyai tugas sebagai pengawas dan penyelaras Syar’i bagi
seluruh Baitul Mal dan mengatur penyaluran zakat bersama pengurus Baitul Mal ( Pengawas
bagi BM Kab / Kota dan pembina bagi BM ( Gampong ) Hukuman bagi pihak yang enggan
membayar zakat dan Pihak Baitul Mal yang menyelewengkan zakat adalah denda atau cambuk.

Setelah itu , setelah berlakunya UU No. 11 /2006 tentang pemerintahan aceh terdapat beberapa
pandangan baru tentang zakat antara lain:

1. Diperlukan qanun baru tentang baitul mal agar zakat dikelola satu atap dan wakaf
yang selama ini diatur oleh peraturan pemerintah pusat sesuai amanah UUPA menjadi
wewenang Baitul Mal (pasal 191 (3)).
2. Zakat sebagai sumber pendapatan daerah selain pajak maka diharapkan akan diatur
lebih lanjut zakat sebagai pengurang pajak sehingga tidak membebani para pihak
dalam menunaikan kewajibannya.

16
3. Pengelolaan zakat di aceh dapat dilakukan 100% karena keterlibatan pemerintah
daerah karena itu potensi zakat akan dapat dikelola secara maksimal karenanya
diperlukan qanun tentang zakat dan baitul mal.
4. Upaya untuk meningkatkan peran baitul mal terus dilakukan seperti konsolidasi
kelembagaan melalui rapat kerja baitul mal tahun 2007. Penguatan kapasitas baitul
mal kab/kota dan gampong merupakan prioritas program baitul mal kedepan.

Untuk itu diharapkan baitul mal gampong telah terbentuk dalam tahun 2008 sehingga
peran baitul mal gampong untuk mendata mustahiq menjadi lebih terarah dalam rangka
menggerakkan potensi yang dimiliki oleh baitul mal secara keseluruhan. Bila kondisi ini dapat
diharapkan maka pada suatu saat dana zakat dengan sendirinya bertumpu dipedesaan sehingga
dapat menggerakkan perekonomian desa.

Menyahuti kondisi diatas, Dewan Syariah Baitul Mal Aceh telah membuat standarisasi
penyaluran zakat melalui surat Edaran Dewan Syariah No. 01/SE/V/2006, Tgl 1 Mei 2006,
yang menetapkan :

Melalui pedoman diatas, Paradigma Penyaluran zakat dilakukan bertujuan untuk


memberdayakan Kaum dhuafa, karena

No Ashnaf Persentase Kriteria Mustahiq


1. Faqir 15.00% 1. orang yang tidak mempunyai harta dan
tidak sanggup berusaha sama sekali.
2. tidak mendapat bantuan dari pihak lain
2. Miskin 30.00% Orang yang mempunyai harta dan usaha
tetapi penghasilannya tidak mencukupi
kebutuhan hidupnya, baik untuk diri sendiri
atau keluarganya
3. Amil 10.00% 1. biaya untuk pengelola zakat yang tidak
digaji oleh pemerintah daerah
2. untuk mendukung kegiatan pengelolaan
zakat yang tidak dibiayai /tidak cukup
dibiayai pemerintah
Muallaf 2.50% Orang yang baru masuk islam/mereka yang
diharapkan kecencerungan hatinya terhadap
islam

17
Riqab 0.00.% Sementara tidak disediakan
Gharimin 10.00% 1. orang miskin yang memerlukan atau
mempunyai pengeluaran yang tidak terduga
dan tidak dapat diatasi,seperti biaya berobat
dan musibah/bencana alam
2. bantuan darurat karena bencana alam
Fi sabilillah 12.50% Kegiatan menegakkan aqidah ummat :
1. Dai didaerah rawan
2. Bantuan sarana dan operasional
lembaga pendidikan pada
masyarakat yang belum berdaya
3. Membangun tempat peribadatan
yang disesuaikan dengan kebutuhan
mendesak
4. Bantuan publikasi untuk penguatan
akidah
Ibn Sabil 20.00% Lebih ditujukan kepada beasiswa untuk :
1. Pelajar miskin berprestasi
2. Pelajar miskin biasa mulai dari tingkat
SD s/d S3
3. Program pelatihan untuk sebuah
kegiatan/keterampilan
4. Bantuan untuk orang yang kehabisan
bekal dalam perjalanan
Jumlah 100,00%
Itu, zakat diberikan dalam dua pola penyaluran:Pertama, zakat disalurkan melalui pola
konsumtif, yaitu diberikan kepada mustahiq yang sifatnya habis pakai, dana zakat tersebut
disalurkan untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti ; Bantuan biaya berobat kepada fakir,
beasiswa kepada siswa, sendiri dan mahasiswa, pembangunan sarana pendidikan dan ibadah.
kedua, zakat disalurkan melalui pola produktif, yaitu diberikan kepada mustahiq dalam bentuk
qardul hasan ( pinjaman kebajikan) tanpa jaminan untuk mustahiq miskin yang memerlukan
modal usaha. Dana diberikan sebagai modal usaha dan dana tersebut harus dikembalikan tanpa

18
adanya tambahan bunga/ bagi hasil. Selanjutnya dana tersebut diberikan kepada mustahiq lain
secara bergilir ataupun tambahan modal bagi yang pernah mendapatkannya.

Sesuai dengan pendekatan filosofi zakat, penyalurannya ditempuh melalui pendekatan


program dan pendekatan kebutuhan. Adapun pendekatan program adalah penyaluran sesuai
dengan program baitul. Bentuk pendekatan ini diawali dengan rapat kepala bidang untuk
merancang dan menganalisis program penyaluran menurut shenif-shenif zakat. Selanjutnya
terhadap program yang telah disepakati dilanjutkan dengan rapat sosialisasi dengan Dewan
Syariah untuk pemantapan dan legalitas dari program dimaksud.

Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan kebutuhan adalah, melayani kebutuhan


masyarakat yang meminta bantuan zakat , karena kondisi mereka yang membutuhkan , dengan
cara mengajukan surat permohonan atau proposal kebutuhan. Berdasarkan permohonan
tersebut baitul mal mempelajari tentang layak tidaknya diberikan bantuan sesuai dengan
alokasi dana yang telah ditetapkan.

Untuk mengefektifkan penyaluran zakat sehingga berdaya guna dan berhasil guna
untuk merubah kehidupan fakir dan miskin, prioritas penyaluran zakat lebih dititik beratkan
dalam bentuk program. Dengan harapan penyaluran zakat konsumtif menjadi semakin sedikit
sehingga penyaluran zakat melalui program pendayagunaan menjadi lebih maksimal.

4.Harta Objek Zakat

Zakat yang wajib dibayar menurut Qanun nomor 10 tahun 2007 adalah zakat fitrah,
zakat mal, dan zakat penghasilan. Dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:

1. Emas, perak, logam mulia lainnya dan uang;

2. Perdagangan dan perusahaan;

3. Perindustrian;

4. Pertanian, perkebunan dan perikanan;

5. Peternakan;

6. Pertambangan;

7. Pendapatan dan jasa; dan

8. rikaz, serta jenis harta lainnya yang ditetapkan oleh fatwa MPU Aceh.

19
Dari beberapa jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya yang telah disebutkan di
atas dapat dianalisis bahwa hampir semua aspek usaha yang mendatangkan penghasilan sudah
terakomodir dalam Qanun Baitul Mal Aceh. Oleh karena Qanun ini adalah putusan pemimpin,
maka segala yang berbeda dengan Qanun ini yang terdapat dalam berbagai kitab fiqih dapat
dikesampingkan, karena satu qaedah: “Hukmul hakim yarfa’ul khilaf”.

20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

· Aceh adalah salah satu daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum
yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, sehingga dalam hal ini, pengelolaan zakat
dan harta agama lainnya di Aceh tidak lagi berdasarkan kepada undang-undang nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat, karena berdasarkan azas Lex Specialist Deroget Lex
Generalist, artinya hukum yang khusus dapat mengalahkan hukum yang umum.

B. SARAN

Disarankan kepada seluruh elemen masyarakat, Ulama, umara dan masyarakat luas, agar tidak
berpolemik pada masalah zakat dan melakukan evaluasi mendalam terhadap peneglolaan zakat,
wakaf dan harta agama lainnya, apa sebabnya zakat yang sudah dilaksanakan ratusan tahun di
Aceh belum bisa memakmurkan masyarakat Aceh. Padahal kemakmuran umat dengan konsep
zakat sudah pernah terjadi pada masa Khalifah Umar Ibn Aziz, apa dan di mana kesalahan kita
hari ini?

21
DAFTAR PUSTAKA

Huda,Nurul dan mohamad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.

http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Amil_Zakat_Nasional QANUN ACEH NOMOR 10


TAHUN 2007 TENTANG BAITUL MAL

Departemen Dalam Negeri, Undang-undang RI, Nomor 44 tahun 1999 Tentang Keistimewaan
Aceh

Karim, Adiwarman Azhar.2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi. 2. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Karim, Adiwarman Azhar.2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi.3. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.Soemitra , Andri.2009. Bank & Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Al Yasa Abubakar “Zakat Sebagai Penghasilan Daerah” dalam Bunga Rampai Pelaksanaan
Syari’at Islam: Pendukung Qanun Pelaksanaa Syari’at Islam, Banda Aceh: Dinas Syari’at
Islam NAD, 2005.
Amrullah, Menggagas Ulang Tugas dan Fungsi Baitul Mal Sesuai dengan Ketentuang
Perundang-undangan yang berlaku, Banda Aceh: Baitul Mal Aceh, 2010.
Bahrein T. Sugihen, Perubahan Sosio-Kultural Dan Sikap Proses Modernisasi, Banda Aceh:
Beuna Citra, 2009.
Amrullah, 2010, Menggagas Ulang Tugas Dan Fungsi Baitul Mal, Baitul Mal Aceh, Banda
Aceh.

Amrullah, 2012, Paradigma Baru Pengelolaan Zakat di Indonesia, Potret Penge-lolaan Zakat
di Baitul Mal Aceh, Banda Aceh.

Armiadi, 2015, Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah Di Baitul Mal Aceh
(Kontestasi Zakat Dalam Sistem Tata Kelola Keuangan Negara), Laporan Penelitian
Individual, Lemlit UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Harian Serambi Indonesia, 2006, “Bayar Zakat dan Infaq Bisa Via Atm Bank Aceh”, Edisi 1
Januari.

Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal dan Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang
Pengelolaan Zakat.

22
23

Anda mungkin juga menyukai