Anda di halaman 1dari 15

Dispepsia Fungsional

Kelompok A1
Albertha Febriani Meta (102010331)
Erwin Ramandei (102012310)
Adelia Yuantika (102013330)
Yunia Gracia Sesa (102014058)
Titus Mulyadhanada (102014073)
Charina Geofhany Debora (102014111)
Ferdy Bahasuan (102014160)
Dian Pricillia Rantetoding (102014192)
Azreena Hanim Binti Azril Haris Yafee (102014230)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat : Jl. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat
erwin.ramandei@gmail.com

Pendahuluan
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/
keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Keluhan ini tidak perlu selalu semua
ada pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi
baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Terdapat berbagai definisi tentang
dispepsia. Salah satunya yang dapat dipakai adalah dyspepsia refers to pain or discomfort
centered in the upper abdomen. Definisi ini berdasarkan kriteria Roma II tahun 1999-2000.
Jadi dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang harus dicari
penyebabnya. Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu kelompok penyakit organik ( seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll )
dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku tidak dapat
memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi. Atau dengan kata
lain, kelompok ini disebut sebagai gangguan fungsional.1

1
Anamnesis
Anamnesis yang akurat untuk memperoleh gambaran keluhan yang terjadi, karakteristik
keterkaitan dengan penyakit tertentu, keluhan bersifat lokal atau manifestasi gangguan
sistemik. Harus terjadi persepsi yang sama untuk menginterpretasikan keluhan antara dokter
dan pasien yang dihadapinya.
Pada anamnesis perlu ditanyakan :
o Identitas dan pekerjaan
o Umur
o Jenis kelamin
o Keluhan utama/ Keadaan umum yang dirasakan
o Riwayat penyakit sekarang
o Riwayat penyakit dahulu
o Riwayat keluarga
o Riwayat sosial
o Riwayat obat yang sudah digunakan

Berdasarkan lokasi nyeri, dapat dipikirkan kemungkinan kelainan yang terjadi :


Lokasi nyeri Dugaan sumber nyeri
Epigastrium gaster, pankreas, duodenum
Periumbilikus usus halus, duodenum
Kuadran kanan atas hati, duodenum, kantung empedu
Kuadran kiri atas pankreas, limpa, gaster, kolon, ginjal

Perlu diketahui kualitas nyeri yang dialami pasien. Namun hal ini tidak mudah terutama di
Indonesia dimana ekpresi bahasa tidak sama untuk menggambarkan rasa nyeri. Pada dasarnya
harus dibedakan antara nyeri kolik seperti obstruksi intestinal dan bilier, nyeri yang bersifat
tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada kolesistis, rasa panas pada
esofagitis, dan nyeri tumpul yang menetap pada apendisitis. Intensitas nyeri juga dapat
membantu dalam diagnosis penyakit. Pada keadaan kaut, intensitas nyeri dapat diurutkan dari
yang paling hebat sampai nyeri yang cukup ringan sesuai dengan urutan penyakit berikut :
perforasi ulkus, pankreatitis akut, kolik ginjal, obstruksi ileus, kolesistis, apendisitis, tukak
peptik, gastroenteritis dan esofagitis. Pada nyeri kronik banyak faktor psikologis yang
berperan sehingga lebih sulit dalam menentukan diagnosis.1

2
Epidemiologi
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek
gastroenterologist merupakan kasus dispepsia ini. Dispepsia merupakan keluhan umum yang
dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi
umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa
hari. Dari data pustaka Negara Barat didapatkan angka prevalensinya berkisar 7-41% tapi
hanya 10-20% yang akan mencari pertolongan medis. Angka insidens dispepsia diperkirakan
1-8%. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.1,2

Etiologi
Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala ( sindrom ) yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindroma atau keluhan ini dapat
disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit atau gangguan dalam lumen saluran cerna,
tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam sebagai
penyakit maag/ lambung. Penyakit hepato-pancreato-bilier ( hepatitis, pankreatitis kronik,
kolesitis kronik dll ) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan
gangguan patologik pada esofago-gastroduodenal ( tukak peptik, gastritis dll ). Beberapa
penyakit diluar sistem gastrointestinal dapat pula bermanifest dalam bentuk sindroma
dispepsia, seperti yang cukup kita harus waspadai adalah gangguan kardiak ( inferior
iskemia/ infark miokard ), penyakit tiroid, obat-obatan dan sebagainya. Bersifat fungsional
jika dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan
organik/ struktural biokimia. 1,2

Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya
gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah ; hipotesis asam lambung dan inflamasi,
hipotesis gangguan motorik, hipotesis hipersensitivitas viseral, serta hipotesis tentang adanya
gangguan psikologik atau psikiatrik.
 Sekresi Asam lambung

3
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang
menimbulkan rasa tidak enak diperut.
 Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan helicobacter pylori pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan angka kekerapan
Hp pada kelompok orang sehat. Memang mulai ada kecenderungan untuk melakukan
eradikasi helicobacter pylori pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal
dengan pengobatan konservatif baku.
 Dismotilitas gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomtilitas antrum ( sampai 50% kasus ), gangguan
akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Salah
satu dari keadaaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus
dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus
dispepsia fungsional, tetapi tidak adanya korelasi antara beratnya keluhan dengan
derajat perlambatan pengosongan lambung. Pemeriksaan manometri antro-duodenal
memperlihatkan adanya abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial,
disamping juga ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi
ini diduga yang mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola pikir
pengobatan yang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami
perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan
rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi
lambung biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan.
Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi
lambung waktu makan. Pada keadaaan normal, waktu makanan masuk lambung
terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam
lambung. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan
kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang
mendasari adanya pembagian subgrup dispepsia fungsional menjadi tipe dismotilitas,
tipe seperti ulkus, dan tipe campuran.
 Ambang rangsang persepsi

4
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai
hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana
mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dnegan menggunakan balon
intargastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dsipepsia fungsional sudah timbul
rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih
rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.
 Disfungsi autonom
Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan daam hipersensitivitas gastrointestinal
pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam
kegagalan relaksasi bagianproksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
 Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa
tachygastria, bradygastria, pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, yapi
hal ini bersifat inkonsisten.
 Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan
adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas
antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin
mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal.
 Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
fungsional dibandingkan kasus kontrol.
 Psikologis
Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tapi korelasi antara faktor
psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial.
Tidak didapatkan personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional
ini dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya
kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat adanya masa kecil yang
kurang bahagia atau adanya gangguan psikiatrik.2,3

5
Manifestasi Klinis
Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien, maka
banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi subgrup
didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.
 Bila nyeri ulu hati yang dominan adalah nyeri epigastrik disertai nyeri pada malam
hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe ulkus ( ulcer like dyspepsia )
 Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas
( dismotility like dyspepsia )
 Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-
spesifik.

Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah diperoleh


gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan awalnya.2,3

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Setelah melakukan anamnesis dan mendapatkan informasi yang cukup dari pasien.
Dokter tentu mendapatkan gambaran penyakit yang diderita pasien tersebut tetapi perlu
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk mendapatkan diagnosis yang tepat
sehingga tindakan terapi/penatalaksanaan dapat diberikan secara optimal.
 Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi
gangguan organik atau biokimiawi.
 Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang
padat ( misalnya tumor ), organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya
rangsang peritoneal/ peritonitis.
 Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi ( lekositosis ),
pankreatitis ( amilase, lipase ), keganasan saluran cerna ( CEA, CA19-9, AFP ).
 Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan padat intra abdomen,
misalnya adanya batu kandung empedu, kolesistis, sirosis hati dan sebagainya.
 Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi), pemeriksaan ini sangat
dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut
alarm symptoms yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan
dugaan adanya obstruksi, muntah darah, hematemesis melena, atau keluhan sudah

6
berlangsung lama dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat
mengarah pada gangguan organik, terutama keganasan, sehingga memerlukan
eksplorasi diagnosis secepatnya. Teknik pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan
akurat adanya kelainan struktural/ organik intra lumen saluran cerna bagian atas seperti
adanya tukak/ ulkus, tumor dan sebagainya serta dapat disertai pengambilan contoh
jaringan ( biopsi ) dari jaringan yang dicurigai memperoleh gambaran
histopatologiknya atau untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman
Helicobacter pylori.
 Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini pemeriksaan barium meal adalah pemeriksaan
untuk mengidentifikasi kelainan struktural dinding/ mukosa saluran cerna bagian atas
seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama
bermanfaat pada kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif dimana skop
endoskopi tidak dapat melewatinya.
Pada umumnya pemeriksaan fisik dan laboratorium bersifat tidak khas atau tidak
spesifik karena dalam aplikasi klinisnya jarang digunakan karena tidak memberikan
gambaran yang tepat dalam rangka mencari dasar patofisiologi atau mencari dasar
penyebab penyakit. Tetapi pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam
indikasi dispepsia yang disertai alarm symptoms. 2,3

Working Diagnosis ( WD )
 Dispepsia fungsional
Untuk menentukan diagnosis dispepsia diperlukan anamnesis yang cermat, sebab
tindakan-tindakan yang pertama tergantung pada keluhan yang dikemukakan penderita.
Untuk lengkapnya diajukan pula pertanyaan yang mungkin dapat menyatakan keadaan
kejiwaan penderita. Perlu ditanyakan pula kemungkinan adanya dispepsia organik.
Pemeriksaan fisik dan laboratoris biasanya tidak menunjang banyak untuk dispepsia
fungsional.
Seperti dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia setelah ekplorasi penunjang
diagnostik, akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau bersifat
fungsional. Dalam konsensus Roma III ( tahun 2006 ) yang khusus membicarakan tentang
kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai :
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu
hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.

7
2. Tidak ada bukti kelainan struktural ( termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas ) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan.
Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan
adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada
alarm symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang
persisten, maka merupakan petunjuk awal kemungkinan adanya penyebab organik yang
membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan
sebagainya. 2,3

Different Diagnosis
 Dispepsia organik
Diagnosis ditegakkan pada dispepsia organik jika pada penunjang diagnostik
ditemukan kelainan struktural organik maupun biokimiawi. Dispepsia organik meliputi:
1. Gastritis
Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.
Infeksi kuman Helicobacter pylori dan OAINS merupakan kausa gastritis yang sangat
penting. Perjalanan alamiah gastritis kronik akibat infeksi kuman Helicobacter pylori
secara garis besar dibagi menjadi gastritis kronik non atropi predominasi antrum dan
gastritis kronik atropi multifokal. Ciri khas gastritis kronik non atropi predominasi
antrum adalah inflamasi moderat sampai berat mukosa antrum, sedangkan inflamasi
di korpus ringan atau tidak sama sekali. Antrum tidak mengalami atropi atau
metaplasia. Pasien-pasien seperti ini biasanya asimptomatis, tetapi mempunyai resiko
menjadi tukak duodenum. Gastritis kronik atrofi multifokal mempunyai ciri-ciri
khusus sebagai berikut : terjadi inflamasi pada hampir seluruh mukosa, seringkali
sangat berat berupa atropi atau metaplasia setempat-setempat pada daerah antrum dan
korpus. Gastritis kronik atropi multifokal merupakan faktor resiko terpenting displasia
epitel mukosa dan karsinoma gaster. Infeksi Helicobacter pylori juga sering
dihubungkan dengan limfoma MALT. Gastritis kronik atrofi predominasi korpus atau
sering disebut gastritis kronik autoimun setelah beberapa dekade kemudian akan
dikuti anemia pernisiosa dan defisiensi besi. Kebanyakan gastritis tanpa gejala.
Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa keluhan yang tidak khas. Keluhan
yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah nyeri panas dan pedih di ulu

8
hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah. Keluhan-keluhan tersebut
sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis. Keluhan-keluhan tersebut juga
tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberasilan pengobatan. Pemeriksaan fisis
juga tidak dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untun menegakkan
diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan
histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan dengan sistematis sesuai dengan update
Sydney System yang mengharuskan mencantumkan topografi. Gambaran endoskopi
yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat-erosion, raised erosion,
perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan histopatologi selain
menggambarkan perubahan morfologi sering juga dapat menggambarkan proses yang
mendasari, misalnya autoimun atau respon adaptif mukosa lambung. Perubahan –
perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi
neutrofil, inflamsai sel mononuklear, folikel limpoid, atropi, intestinal metaplasia,
hyperplasia sel endokrin, kerusakan sel parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya
juga menyertakan pemeriksaan kuman Helicobacter pylori.3
2. Tukak peptik
Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung ( TL ) dan tukak duodenum ( TD )
merupakanpenyakit yang masih banyak ditemukan di klinik terutama dalam
kelompok umur diatas 45 tahun. Tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai
suatu defek mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat menembus muskularis
mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Secara klinis, suatu
tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter ≤
5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Patogenesis terjadinya
tukak peptik adalah ketidakseimbangan antara faktor agresif yang dapat merusak
mukosa dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa lambung dan
duodenum. Secara umum pasien tukak biasanya mengeluh sindrom dispepsia, berupa
nyeri dan rasa tidak nyaman ( discomfort ) pada epigastrium. Memiliki periode remisi
dan eksaserbasi. Pada tukak duodeni rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa
sakit membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan
minum obat antasida ( Hunger Pain Food Relief / HPFR ). Rasa sakit tukak gaster
timbul setelah makan, berbeda dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah
makan, rasa sakit tukak gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodeni sebelah kanan
garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu titik ( pointing sign ) akhirnya difus
bisa menjalar ke punggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat

9
atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pankreas. Muntah
kadang timbul pada tukak peptik disebabkan edema dan spasme seperti tukak kanal
pilorik ( obstruksi gastric outlet ). Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan
gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis/ oedem dan spasme.2,3

3. Kolesistitis
Kolesistitis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu, biasanya
kolesistitis akut berhubungan dengan batu empedu yang tersangkut pada duktus
sistikus, menyebabkan distensi kandung empedu. Batu-batu (kalkuli) dibuat oleh
kolesterol, kalsium bilirubinat (batu pigmen), atau campuran, disebabkan oleh
perubahan pada komposisi empedu. Batu empedu dapat terjadi pada duktus
koledokus, duktus hepatika, dan duktus pankreas. Kristal dapat juga terbentuk pada
submukosa kandung empedu menyebabkan penyebaran inflamasi. Pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis kolesistitis meliputi pemeriksaan
laboratorium dan tes faal hepar, radiografi, CT Scan, ultrasonografi (USG), MRI,
Hepatobiliary Scintigraphy (HBS) dan Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP). Tentu saja pilihan pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan tergantung pada pusat kesehatan yang bersangkutan, apakah
memilikinya atau tidak.4
Pada pemeriksaan laboratorium misalnya tes darah lengkap didapatkan adanya
leukositosis dan hitung jenis menunjukkan pergeseran ke kiri. Adanya gangguan tes
fungsi hati, seperti meningkatnya bilirubin serum, fosfatase alkali/ gamma GT, dan
transaminase serum, mengarah pada kecurigaan adanya obstruksi saluran empedu
(batu koledokus).Kenaikan kadar amilase dan atau lipase serum yang mencolok
mengarah pada kecurigaan adanya pakreatitis akut. Pemeriksaan ultrasonografi akan
menunjukkan batu empedu pada 90-95% kasus, dinding empedu yang menebal
(edema), batu dan saluran empedu ekstrahepatik dan tanda Murphy sonografik. Cairan
perikolesistik koleskintigrafi misalnya mempergunakan zat radioaktif HIDA akan
memastikan diagnosis bila menampakkan saluran empedu tanpa visualisasi kandung
empedu, yang merupakan bukti adanya obstruksi duktus sitikus. CT Scan abdomen
pula kurang sensitif dan mahal, namun mampu memperlihatkan adanya batu empedu,
penebalan dinding kandung empedu dan juga abses perikolisistikyang masih kecil dan
tidak terlihat di USG.4

10
4. Pangkreatitis Akut
Pankreatitis akut didefinisikan sebagai radang pankreas oleh enzim secara
mendadak dan menyeluruh (difus), yang diduga disebabkan oleh lepasnya enzim-
enzim pankreas yang bersifat litik dan aktif ke dalam parenkim kelenjar pankreas.
Penyakit ini paling sering ditemukan pada usia setengah baya dan seringkali dikaitkan
dengan penyakit saluran empedu dan alkoholisme. Patogenesis yang pasti tidak
diketahui, tetapi dapat meliputi udem atau obstruksi dari ampula/papila Vateri yang
mengakibatkan refluks isi duodenum atau cairan empedu ke dalam saluran pankreas
atau trauma langsung pada sel-sel asinar. Sumbatan pada duktus pankreatikus
(misalnya oleh batu empedu pada sfingter Oddi) akan menghentikan aliran getah
pankreas. Biasanya sumbatan ini bersifat sementara dan menyebabkan kerusakan
kecil yang akan segera diperbaiki. Namun bila sumbatannya berlanjut, enzim yang
teraktivasi akan terkumpul di pankreas, melebihi penghambatnya dan mulai mencerna
sel-sel pankreas, menyebabkan peradangan yang berat. Kerusakan pada pankreas bisa
menyebabkan enzim keluar dan masuk ke aliran darah atau rongga perut, dimana akan
terjadi iritasi dan peradangan dari selaput rongga perut (peritonitis) atau organ
lainnya.
Pada pasien pankreatitis akut dengan gejala klinis sedang sampai berat akan
tampak keluhan sebagai berikut: lebih dari 90% pasien mengalami nyeri seperti
ditusuk pada midepigastrium yang menyebar ke punggung dalam beberapa menit atau
jam. Rasa nyeri sangat klasik, yaitu bersifat konstan, terus-menerus, dan bersifat
datar. Rasa penuh perut akan berkurang apabila pasien dalam posisi duduk atau pada
posisi melengkung seperti bayi di dalam kandungan.5

Komplikasi Dispepsia
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun, dapat memicu adanya
komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi Ulkus Peptikum, yaitu luka di
dinding lambung yang dalam atau melebar, tergantung berapa lama lambung terpapar oleh
asam lambung. Bila keadaan Ulkus Peptikum ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan
dapat menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya
muntah darah. Muntah darah ini sebenarnya pertanda yang timbul belakangan. Awalnya
penderita pasti akan mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu. Yang artinya
sudah ada perdarahan awal.Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker
lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan operasi.5

11
Penatalaksanaan Dispepsia fungsional
Pendekatan umum
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan bahwa
adanya ketidakpastian dalam patogenesisny. Adanya respon plasebo yang tinggi ( sekitar
45% ) mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pasti. Penjelasan dan
reaasurance kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialaminya, merupakan
langkah awal yang penting. Buat diagnosis klinik dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit
serius atau fatal yang mengancamnya. Coba jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis
penyakit yang dideritanya. Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk
menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik
akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.6,7

Non-medikamentosa
Pada penatalaksanaan non-medika mentosa kita perlu menjelaskan tentang perlunya
dietetik kepada pasien. Walaupun, tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan
keluhan secara bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan
pegangan yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi
lemak, kopi sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan
sampai menurunkan/ mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat kenyang,
dapat dianjurkan untuk makan porsi kecil tapi sering dan rendah lemak.
Penatalaksanaaan non farmakologis yaitu meliputi:
1. Atur pola makan
2. Olah raga teratur
3. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung
(coklat, keju, dll )
4. Hindari makanan yang terlalu pedas
5. Hindari minuman dengan kadar caffeine,alkohol,dan kurangi rokok
6.Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung
7.Kelola stress psikologi seefisien mungkin. 6,7

Medikamentosa
 Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita dispepsia,
merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam lambung dengan
12
menurunkan aktivitas pepsin dan menaikkan pH lambung ≤ 4 dan merupakan suatu
basa lemah.
 Penyekat H2 reseptor/ antagonis reseptor histamin – H2
Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak tersamar
ganda, didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal memperlihatkan
manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan sebgaian lagi berhasil. Secara
metaanalisis diperkirakan manfaat terapinya 20% diatas plasebo. Masalah pkok
adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian, dan juga kemungkinan masuknya
kasus penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya manfaatnya untuk menghilangakn
rasa nyeri ulu hati.
 Penghambat pompa proton ( PPI )
Obat ini tampaknya cukup superior dibanding plasebo pada dispepsia fungsional.
Respons baik terlihat pada dispepsia fungsional tipe ulkus. Paling efektif menekan
sekresi asam lambung dan merupakan suatu pro-drug yang membutuhkan suasana
asam sehingga harus diminum sebelum makan. Efeknya akan menurun jika diberi
bersama H2 – reseptor antagonis dan antasida. Preparat : omeprazole, lanzoprazole,
pantoprazole dan rabeprazole.
 Sitoproteksi
Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang memperoleh
kemanfaatan yang dapat dinilai.
 Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid ( antagonis reseptor dopamin D2 ),
domperidon ( antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak 0 dan cisapride
9 agonis reseptor 5-HT4 ). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan
cisapride mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi
nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen dan mual.
Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi
terbatas studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya.
Cisapride tergolong agonist reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara
metaanalisis memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan
plasebo. Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat
ini adalah setelah diketahuinya efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama
perpanjangan masa Q-T, sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.
 Obat lain – lain

13
Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia fungsional,
mebuka peran obat-obatan yang bermanfaat dalam menghilangkan persepsi nyeri.
Dalam beberapa penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan
dapat menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.
Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam studi
pada volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan pada dispepsia
fungsional, walaupun manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat golongan
agonist 5-HT1 ( sumatriptan dan busipiron ) dapat memperbaiki akomodasi lambung
dan memperbaiki rasa keluhan cepat kenyang setelah makan.
 Psikoterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan
manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku. 6,7,8

Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat, mempunyai prognosis yang baik.8

Kesimpulan
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/
keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Diagnosis dispepsia fungsional
didarakan pada keluhan/ simptom/ sindrom dispepsia dimana pada pemeriksaan penunjang
baku dapat disingkirkan kausa organik/ biokimiawi, sehingga masuk dalam kelompok
penyakit gastrointestinal fungsional. Mempunyai patofisiologi yang kompleks dan
multifaktorial, diaman tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau hipersensitivitas
viseral. pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang
disertai alarm symptoms. Modalitas pengobatannya menjadi luas, berdasarkan kompleksitas
patogenesisnya, serta lebih kearah hanya menrunkan atau menghilangkan simptom. Pilihan
pengobatan berdasarkan pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih
diperdebatkan manfaatnya.

14
Daftar pustaka
1. Isselbacher, Braunwald et al. Harrison: prinsip – prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Volume
4.Jakarta: EGC;2005:hal 1532-43
2. Aru W. Sudoyo, Bambang S, Idrus A, Marcellus simadibrata, Siti S editor. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid III edisi V. Pusat informasi dan Penerbitan bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta; 2009 : 441 – 533.
3. Dharmika Djojodiningrat. Dispepsia fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006:hal 529-33.
4. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid I. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010. h 718-20.
5. Sudoyo W. Aru , Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Doktor
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
EGC. Jakarta. 2009. Hal 721-6.
6. Fauci et all. Harisson’s priciples of internal medicine. 17 th ed. USA : McGraw-Hill
Companises; 2008 : 2575-590
7. Tack j. Pathophysiology and treatment of functional dyspepsia. Gastroenterology ; 2004 :
325-40
8. Sulistia G, Rianto S, Elysabeth ( dkk ). Farmakologi dan terapi. Edisi- 5. FKUI. Jakarta ;
2005 : 820-5

15

Anda mungkin juga menyukai