Anda di halaman 1dari 14

Page |1

LAPORAN PENDAHULUAN
NON HEMORAGIC STROKE (NHS)

I. KONSEP DASAR MEDIS


A. Defenisi
Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer, 2002).
Menurut WHO, Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi
cerebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat, berlangsung
lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain
daripada gangguan vaskuler.
Serangan otak merupakan istilah kontemporer untuk stroke atau cedera
serebrovaskuler yang mengacu kepada gangguan suplai darah otak secara
mendadak sebagai akibat dari oklusi pembuluh darah parsial atau total, atau akibat
pecahnya pembuluh darah otak (Chang, 2010).
Stroke diklasifikasikan menjadi dua, yaitu stroke hemoragik (primary
hemorrhagic strokes) dan stroke non hemoragik (ischemic strokes).
Menurut Price, (2006) stroke non hemoragik (SNH) merupakan gangguan
sirkulasi cerebri yang dapat timbul sekunder dari proses patologis pada pembuluh
misalnya trombus, embolus atau penyakit vaskuler dasar seperti artero sklerosis
dan arteritis yang mengganggu aliran darah cerebral sehingga suplai nutrisi dan
oksigen ke otak menurun yang menyebabkan terjadinya infark.
Sedangkan menurut Padila, (2012) Stroke Non Haemoragik adalah cedera otak
yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak terjadi akibat pembentukan
trombus di arteri cerebrum atau embolis yang mengalir ke otak dan tempat lain di
tubuh.

B. Etiologi
Menurut Smeltzer, 2002 penyebab stroke non hemoragik yaitu:
1. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran
darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan
kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang
mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat
menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi
pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi
karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat
menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali
memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
2. Embolisme cerebral
Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus
di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli
tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik.
Page |2

3. Iskemia
Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah.

C. Manifestasi Klinis
Menurut Suzzane C. Smelzzer, dkk, (2001, hlm. 2133-2134) menjelaskan ada
enam tanda dan gejala dari stroke non hemoragik yang mana tergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral. Adapun gejala Stroke non
hemoragik adalah:
a. Kehilangan motorik: stroke adalah penyakit neuron atas dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter. Gangguan kontrol volunter pada salah satu sisi
tubuh dapat menunjukan kerusakan pada neuron atas pada sisi yang
belawanan dari otak. Disfungsi neuron paling umum adalah hemiplegi
(paralisis pada salah satu sisi tubuh) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan dan hemiparises (kelemahan salah satu sisi tubuh)
b. Kehilangan komunikasi: fungsi otak lain yang yang dipengaruhi oleh stroke
adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum.
Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut:
1. Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
menghasilkan bicara.
2. Disfasia atau afasia (kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau
reseptif.
3. Apraksia, ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya.
c. Defisit lapang pandang, sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh
yang paralisis yaitu kesulitan menilai jarak, tidak menyadari orang atau objek
ditempat kehilangan penglihatan.
d. Defisit sensori, terjadi pada sisi berlawanan dari lesi yaitu kehilangan
kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh.
e. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, bila kerusakan pada lobus
frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi intelektual mungkin
terganggu. Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi.
f. Disfungsi kandung kemih, setelah stroke pasien mungkin mengalami
inkontenensia urinarius karena kerusakan kontrol motorik.

D. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh daralidan adekdatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan
spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan pant
dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pad-a otak.
Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
Page |3

yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi
(Muttaqin, 2008).
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Trombus mengakihatkan iskemia jaringan otak yang disuplai
oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area.
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu
sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah
beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan.
Oleh karena trombosis biasanya tidak fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding
pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi
berada pada pembuluh darah yang tersumbat . menyebabkan dilatasi aneurisma
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma
pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskulai;
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum (Muttaqin, 2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nukleus kaudatus, talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral:
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-
6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung
(Muttaqin, 2008).
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif
banyak akan mengakihatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elernen-elemen vasoaktif
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi
(Muttaqin, 2008).
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih
dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71%
pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebelar dengan
volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun
volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Misbach, 1999
dalam Muttaqin, 2008).

E. Faktor Resiko
Menurut Smeltzer, 2002 faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke non
hemoragik yaitu:
Page |4

1. Faktor resiko terkendali


Beberapa faktor resiko terkendali yang menyebabkan stroke non hemoragik
sebagai berikut :
a) Hipertensi
b) Penyakit kardiovaskuler, embolisme serebral yang berasal dari jantung,
penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri,
abnormalitas irama (khususnya fibrasi atrium), penyakit jantung
kongestif.
c) Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke.
d) Kolesterol tinggi
e) Infeksi
f) Obesitas
g) Peningkatan hemotokrit meningkatkan resiko infark serebral
h) Diabetes
i) Kontrasepsi oral (khusunya dengan disertai hipertensi, merokok, dan
estrogen tinggi
j) Penyalahgunaan obat (kokain)
k) Konsumsi alkohol
2. Faktor resiko tidak terkendali
Beberapa faktor resiko tidak terkendali yang menyebabkan stroke non
hemoragik sebagai berikut :
a) Usia, merupakan foktor resiko independen terjadinya strok, dimana
refleks sirkulasi sudah tidak baik lagi.
b) keturunan / genetic

F. Komplikasi
Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral
dan luasnya area cidera (Suzzane C. Smelzzer, dkk, 2001, hlm. 2137)
a. Hipoksia serebral
Otak bergantung pada ketersedian oksigen yang dikirimkan ke jaringan.
b. Penurunan darah serebral
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral.
c. Luasnya area cidera
Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibralsi
atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan
menurunkan aliran darah serebral. Distritmia dapat mengakibatkan curah
jantung tidak konsisten dan penghentian thrombus lokal.

G. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) penatalaksanaan stroke dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Phase Akut :
a) Pertahankan fungsi vital seperti : jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi
dan sirkulasi.Reperfusi dengan trombolityk atau vasodilation :
Nimotop. Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa trombolitik /
emobolik.
Page |5

b) Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30


menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian
dexamethason.
c) Mengurangi edema cerebral dengan diuretik
d) Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan
kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral
berkurang

2. Post phase akut


a) Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodik
b) Program fisiotherapi
c) Penanganan masalah psikososial

H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin, (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
ialah sebagai berikut :
1. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab dari stroke secara
spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari
sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular.
2. Lumbal pungsi: Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada
carran lumbal menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau
perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan
adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai
pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya
warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
3. CT scan.: Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang
pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
4. MRI: MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang
magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak.
Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark
akibat dari hemoragik.
5. USG Doppler: Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
sistem karotis).
6. EEG: Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam
jaringan otak.
Pemeriksaan Laboratorium:
1. Lumbal pungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
2. Pemeriksaan darah rutin.
3. Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula
darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-
angsur turun kembali.
4. Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.
Page |6

II. KONSEP KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Airway
Untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal, ada
tidaknya sumbatan jalan nafas, distress pernafasan, dan ada secret atau
tidak.
2. Breathing
Kaji henti nafas dan adekuatnya pernafasan, frekuensi nafas dan
pergerakan dinding dada, suara pernafasan melalui hidung atau mulut,
udara yang dikeluarkan dari jalan nafas.
3. Circulation
Kaji ada tidaknya denyut nadi, kemungkinan syok, dan adanya perdarahan
eksternal, denyut nadi, kekuatan dan kecepatan, nadi karotis untuk
dewasa, nadi brakialis untuk anak, warna kulit dan kelembaban, tanda-
tanda perdarahan eksternal, tanda-tanda jejas atau trauma.
4. Disability
Kaji kondisi neuromuscular pasien, keadaan status kesadaran lebih dalam
(GCS), keadaan eksrimitas, kemampuan motorik dan sensorik.
5. Eksposure
Kontrol lingkungan, penderita harus dibuka seluruh pakaiannya.

B. Pemeriksaan fisik
- Keadaan Umum : Umumnya mengalami penurunan kesadaran.
- Suara bicara : Kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti,
kadang tidak bisa bicara.
- TTV : TD meningkat, denyut nadi bervariasi (takikardi/bradikardi).
- Pemeriksaan integument
1. Kulit
Jika klien kekurangan oksigen kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangn cairan maka turgor kulit akan jelek. Disamping itu perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubtus terutama pada daerah yang menonjol
karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu
2. Kuku : Perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
- Rambut : Umumnya tidak ada kelainan
- Pemeriksaan kepala dan leher
1. Kepala : Bentuk mecocephal
2. Muka : Umumnya tidak simetris yaitu mencong kesalah satu sisi
3. Leher : Kaku kuduk jarang terjadi (satya negara. 1998)
- Pemeriksaan dada
Pada pernapasan kadang didapatkan suara napas terdengar ronchi,
wheezing ataupun suara napas tambahan, pernapasan tidak teratur akibat
penurunan refleks batuk dan menelan.
- Pemeriksaan Abdomen
Didapatkan penurunan peristaltic usus akibat bed rewst yang lama, dan
kadang terdapat kembung.
- Pemeriksaan Inguinal, genetalia, dan anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensi urine.
Page |7

- Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu tubuh

C. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Doengoes
(2012) adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah: gangguan
oklusif, vasospasme serebral, edema serebral ditandai dengan perubahan
tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/
sensori: gelisah, defisit sensori bahasa, intelektual, perubahan tanda-
tanda vital.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan
neuromuskuler, kelemahan, parestesia, paralisis; ditandai dengan
ketidakmampuan bergerak dengan tujuan dalam lingkungan fisik;
kerusakan koordinasi,; keterbatasan rentang gerak; penurunan kekuatan
otot/ kontrol.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi
serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan/ kelelahan umum.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi/
penerimaan sensori, tranmisi, integrasi, stres psikologik; ditandai dengan :
disorientasi terhadap tempat, waktu, orang, respons emosional berlebihan,
konsentrasi buruk, perubahan pola komunikasi, ketidakmampuan untuk
menyebutkan posisi bagian tbuh.
5. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan
dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot dan daya
tahan, koordinasi otot, kerusakan kognitif, nyeri dan depresi ditandai
dengan: kerusakan kemampuan AKS.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik,
psikososial, perseptual kognitif, ditandai dengan perubahan aktual dalam
struktur atau fungsi, perasaan negatif tentang tubuh, perasaan tidak
berdaya, tidak melihat atau menyentuh pada bagian yang sakit.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan
kerusakan neuromuskular.
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, keterbatasan kognitif, kurang mengingat, tidak
mengenal sumber informasi, ditandai dengan: meminta informasi,
penyataan kesalahan informasi, ketidak akuratan mengikuti instruksi.

D. Intervensi Keperawatan
Adapun intervensi keperawatan yang diterapkan pada pasien NHS menurut
Doengoes (2012), yaitu:
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah: gangguan
oklusif, vasospasme serebral, edema serebral ditandai dengan perubahan
tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/
sensori: gelisah, defisit sensori bahasa, intelektual, perubahan tanda-
tanda vital.
Kriteria hasil:
Page |8

a. Mempertahankan tingkat kesadaran; biasanya/membaik, fungsi


kognitif, dan motorik/ sensori
b. Mendemontrasikan tanta- tanda vital stabil, dan tidak ada tanda-tanda
peningkatan TIK
c. Menunjukkan tidak ada tanda-tanda kelanjutan/ kekambuhan.
Intervensi:
a. Tentukan faktor – faktor yang berhubungan dengan keadaan/
penyebab khusus selama koma/ penurunan perfusi serebral dan
potensial terjadinya peningkatan TIK.
Rasional: Mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau
kemunduran gejala/tanda setelah fase awal memerlukan tindakan
pembedahan segera dan atau harus dipindahkan ke ruang ICU.
b. Pantau/ catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan
dengan keadaan normalnya/ standar.
Rasional: mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan mengetahui luas, dan kemajuan / resolusi
kerusakan SSP.
c. Pantau tanda- tanda vital, seperti catat: adanya hipertensi, frekuensi
irama jantung, catat irama dan pola pernapasan, evaluasi pupil,
reaksinya terhadap cahaya. Catat perubahan dalam pengelihatan,
seperti adanya kebutaan, gangguan lapang pandang
Rasional: adanya variasi mungkin terjadi, namun tanda- tanda vital
harus mendapat perhatian karena bisa mempengaruhi intervensi yang
akan dilakukan.
d. Kaji fungsi bicara
Rasional: perubahan bicara merupakan indikator dari lokasi atau
derajat gangguan serebral.
e. Letakkan kepala dalam posisi agak ditinggikan dan dalam posisi
anatomis.
Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase
dan sirkulasi.
f. Pertahankan keadaan tirah baring: ciptakan lingkungan yang tenang,
batasi pengunjung/ aktivitas pasien sesuai indikasi.
Rasional: aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.
g. Kolaborasi:
1) Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan
vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat.
2) Berikan obat sesuai dengan indikasi (antikoagulasi,
antihipertensi, vasodilatasi perifer)
Rasional: antikoagulasi meningkatkan memperbaiki aliran darah,
anti hipertensi menurunkan tekanan darah, vasodilatasi perifer
memperbaiki sirkulasi dan menurunkan vasospasme.
3) Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai dengan indikasi.
Rasional: memberikan informasi tentang kefektifan pengobatan.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan
neuromuskuler, kelemahan, parestesia, paralisis; ditandai dengan
ketidakmampuan bergerak dengan tujuan dalam lingkungan fisik;
Page |9

kerusakan koordinasi,; keterbatasan rentang gerak; penurunan kekuatan


otot/ kontrol.
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tak
adanya kontraktur
b. Mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang
terkena
c. Mempertahankan integritas kulit.

Intervensi:
a. Kaji kemampuan secara fungsional/ luasnya kerusakan awal dan
dengan cara yang teratur
Rasional: mengidentifikasi kelemahan dan dapat memberikan
informasi mengenai pemulihan.
b. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang , miring) dan jika
memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian
yang terganggu
Rasional: menurunkan resiko terjadinya trauma/ iskemia jaringan.
Daerah yang terkena mengalami perburukan/ sirkulasi yang lebih
jelek dan menurunkan sensasi.
c. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua
ekstremitas. Anjurkan untuk melakukan latihan seperti menggenggam
bola karet melebarkan jari-jari kaki/ telapak.
Rasional:meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontraktur.
d. Gunakan penyangga lengan ketika pasien dalam posisi tegak, sesuai
indikasi.
Rasional: menurunkan resiko subluksasio lengan dan sindrom bahu-
lengan.
e. Tempatkan bantal di bawah aksilla untuk melakukan abduksi pada
tangan.
Rasional: mencegah abduksi bahu dan fleksi siku.
f. Tinggikan tangan dan kepala.
Rasional: meningkatkan aliran balik vena dan membantu mencegah
terbentuknya edema.
g. Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong daerah
tubuh yang mengalami kelemahan.
Rasional: dapat berespons yang baik jika daerah yang sakit tidak
menjadi lebih terganggu dan memerlukan latihan aktif untuk
menyatukan kembali sebagian tubuhnya sendiri.
h. Kolaborasi: konsultasikan dengan ahli fisioterapi, secara aktif,
latihan resistif dan ambulasi pasien.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi
serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan/ kelelahan umum.
Kriteria hasil:
a. Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi
b. Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipersepsikan
P a g e | 10

Intervensi:
a. Kaji tipe/ derajat disfungsi, seperti pasien tampak tidak memahami
kata, atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian
sendiri.
Rasional: membantu menentukan daerah dan kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses
komunikasi.
b. Minta pasien untuk mengucapkan kata sederhana seperti “pus”
Rasional: mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik
dari bicara seperti lidah yang dapat mempengaruhi artikulasi.
c. Anjurkan pengunjung untuk mempertahankan usahanya untuk
berkomunikasi dengan pasien
Rasional: mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan
penciptaan komunikasi yang efektif.
d. Kolaborasi: konsultasikan/ rujuk pada ahli terapi wicara.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi/
penerimaan sensori, tranmisi, integrasi, stres psikologik; ditandai dengan :
disorientasi terhadap tempat, waktu, orang, respons emosional berlebihan,
konsentrasi buruk, perubahan pola komunikasi, ketidakmampuan untuk
menyebutkan posisi bagian tubuh.
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual
b. Mengakui perubahan dan kemampuan
c. Mendemostrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap defisit
hasil.
Intervensi:
a. Lihat kembali proses patologis kondisi individual
Rasional: kesadaran akan tipe/ daerah yang terkena membantu dalam
mengkaji defisit spesifik dan perawatan
b. Evaluasi adanya gangguan pengelihatan.
Rasional: munculnya gangguan pengelihatan dapat berdampak
negatif terhadap kemampuan pasien untuk menerima lingkungan dan
mempelajari kembali keterampilan.
c. Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabt yang
membahayakan.
Rasional: membatasi jumlah stimulasi pengelihatan, mencegah resiko
kecelakaan.
d. Anjurkan klien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari
posisi bagian tubuh tertentu. Buat pasien memperhatikan bagian
tubuh yang terabaikan.
Rasional: penggunaan stimulasi pengelihatan dan sentuhan
membantu dalam mengintegrasikan kembali sisi yang sakit.
5. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan
dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot dan daya
tahan, koordinasi otot, kerusakan kognitif, nyeri dan depresi ditandai
dengan: kerusakan kemampuan AKS.
Kriteria Hasil:
P a g e | 11

a. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan


sendiri.
b. Mengidentifikasi sumber komunitas/ pribadi memberikan bantuan
sesuai kebutuhan.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk menentukan
kebutuhan sehari- hari
Rasional: membantu dalam merencanakan pemenuhan kebutuhan
secara individual
b. Anjurkan keluarga pasien untuk menghindari melakukan sesuatu
untuk pasien yang dapat dilakukan sendiri, berikan bantuan sesuai
kebutuhan.
Rasional: penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin
untuk diri sendiri untuk memperthakankan harga diri dan
meningkatkan pemulihan.
c. Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang
cukup untuk mengerjakan aktivitasnya.
Rasional: pasien akan memerukan empati, tetapi perlu untuk
mengetahui pemberi asuhan yang akan membantu pasien secara
konsisten.
d. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik,
psikososial, perseptual kognitif, ditandai dengan perubahan aktual dalam
struktur atau fungsi, perasaan negatif tentang tubuh, perasaan tidak
berdaya, tidak melihat atau menyentuh pada bagian yang sakit.
Kriteria hasil:
a. Bicara/ berkomunikasi dengan orang terdekat,
b. Mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi
c. Mengenali dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri dalam
cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi:
a. Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat
ketidakmampuannya.
Rasional: penentuan faktor secara individu membantu dalam
mengembangkan perencanaan asuhan / pilihan intrevensi.
b. Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaannya termasuk
perasaan marah.
Rasional: mendemontrasikan penerimaan/ membantu pasien untuk
mengenal dan mulai memahami perasaannya.
c. Dorong orang terdekat untuk memberi kesempatan pada saat
melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri
Rasional: membangun kembali rasa kemandirian dan menerima
kebanggan diri dan meningkatkan proses rehabilitasi.
d. Pantau gangguan tidur, meningkatnya kesulitan untuk berkonsentrasi,
pernyataan ketidakmampuan untuk mengatasi sesuatu, letargi, dan
menarik diri.
Rasional: mungkin merupakan indikasi serangan depresi yang
mungkin memerlukan evaluasi dan intervensi lanjut.
P a g e | 12

7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan


kerusakan neuromuskular.
Kriteria hasil:
a. Mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual
dengan aspirasi tercegah.
b. Mempertahankan berat badan yang diinginkan
Intervensi:
a. Tinjau ulang kemampuan menelan pasien. Catat adangan gangguan
lidah, kemampuan untuk melindungi jalan napas.
Rasional: intervensi nutrisi ditentukan oleh faktor ini.
b. Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang
efektif dengan mengontrol kepala, posisi tegak/ duduk setlama dan
setelah makan, stimulasi bibir untuk menutup dan membuka secara
manual, meletakkan makanan pada bagian yang tidak mengalami
gangguan, memberikan makan dengan perlahan di lingkungan yang
tenang.
c. Pertahankan masukan dan haluaran yang adekuat.
d. Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan.
e. Kolaborasi: Berikan cairan IV dan/ atau makanan melalui selang.
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, keterbatasan kognitif, kurang mengingat, tidak
mengenal sumber informasi, ditandai dengan: meminta informasi,
penyataan kesalahan informasi, ketidak akuratan mengikuti instruksi.
Kriteria hasil:
a. Berpartisipasi dalam proses belajar.
b. Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan aturan terapiutik.
Intervensi:
a. Evaluasi tipe/ derajat dari gangguan persepsi sensori
Rasional: defisit mempengaruhi pilihan metode pengajaran dan isis/
kompleksitas instruksi.
b. Tinjau ulang/ pertegas kembali pengobatan yang diberikan,
identifikasi cara meneruskan program pengobatan setelah pulang.
Rasional: tentang aktivitas yang dianjurkan, pembatasan, dan
kebutuhan merupakan hal penting untuk pemulihan.
P a g e | 13

E. Penyimpangan KDM
P a g e | 14

DAFTAR PUSTAKA

1. Chang, Ester . 2010 . Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik Keperawatan.


Jakarta: EGC.
2. Corwin, Elizabeth J . 2009 . Buku Saku Patofisiologi . Jakarta: E G C.
3. Doengoes, Marilyn dkk . 2012 . Rencana Asuhan Keperawatan . Jakarta:
EGC
4. Muttaqin, Arif. 2008 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
5. Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika.
6. Price, SA dan Wilson, 2006. Patofisiologi: Konsep klinis proses- proses
penyakit ed. 6 vol.1. Jakarta: EGC.
7. Smeltzer, Suzanne C . 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth . Jakarta : E G C.
8. Tarwoto, 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Sistem
Persyarafan . Jakarta: Sagung Seto.
9. William, Lippicont . 2008 . Nursing: Memahami Berbagai Macam
Penyakit . Jakarta: Indeks.
10. Wilkinson, Judith . 2013 . Diagnosis NANDA Intervensi NIC Kriteria
Hasil NOC. Jakarta: EGC .

Anda mungkin juga menyukai