Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang

yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu

diancam dengan pidana. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-

488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351 –

358. Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan

dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai

merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah

negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang

Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga

dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus

dikembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.

Mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam

lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam

lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan untuk rumah tangga dapat terganggu

jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi

kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap

orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga biasa

1
disebut sebagai Hidden Crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan

masyarakat.

Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai

akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak juga ikut mengalami penderitaan.

Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,

Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku

sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara

berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah

pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk

diskriminasi.

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis,

seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan

perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan

hukum sangat diperlukan, khususnya tentang perempuan. Sehubungan dengan banyaknya kasus

kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan

karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan

hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang

perlu diberikan nafkah dan kehidupan.

Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa

peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:

2
1. Undang – Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

2. Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3. Undang – Undang No. 7 Tahun 1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the

Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).

4. Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang ini selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan

terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang

terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak

pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur

ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan

pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan

responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan

kerukunan rumah tangga.

Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saatnya dibentuk Undang-Undang tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas

untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan

penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga

merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.

3
2. Rumusan Masalah

Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan banyak sekali

masalah yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan yang saya

angkat dalam makalah ini yaitu :

A. Bagaimana kebijakan hukum dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT) ?

B. Bagaimanakah sanksi hukum yang diberikan terhadap pelaku Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT)?

C. Solusi apa saja untuk mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?

3. Tujuan

A. Untuk mengetahui akan kebijakan hukum atas adanya tindak pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT).

B. Untuk mengetahui macam – macam sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

C. Untuk mengetahui dan memahami solusi mengatasi adanya Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT).

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kebijakan hukum dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

1. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga secara ringkas adalah setiap

tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan

pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan

kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan

subordinasi perempuan.

Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tercantum dalam rumusan

Pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan

atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan

tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan

umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).1

Selain kekerasan fisik, adapun juga kekerasan psikis sebagaimana yang tercantum dalam

Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga. Dalam penjelasan Pasal 7 tersebut tidak dijelaskan bagaimana kekerasan psikis

berat. Sementara itu, didalam usulan perbaikan atas Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan

Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR tanggal 6 Mei 2003 penjelasan

Pasal 4 b tentang psikis berat adalah “kondisi yang menunjuk pada terhambatnya kemampuan
1
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

5
untuk menikmati hidup, mengembangkan konsepsi positif tentang diri dan orang lain, kegagalan

menjalankan fungsi-fungsi manusiawi, sampai pada di hayatinya masalah-masalah psikis serius,

misalnya depresi, gangguan trauma, destruksi, bahkan hilangnya kontak dengan realitas”.2

Menurut Mansur Fiqih, kata “kekerasan” yang digunakan sebagai padanan dari kata

“violence” dalam bahasa inggris, diartikan sebagai suatu serangan atau invasi (assault) terhadap

fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, inilah yang membedakan dengan yang

dipahami dalam bahasa Indonesia, dimana kekerasan hanya menyangkut kekerasan fisik belaka.

Padangan Mansur Fiqih itu menunjukan pengertian kekerasan pada obyek fisik maupun

psikologis.3

Sedangkan Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat

dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga

yaitu:

 Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau

perbuatan, atau ancaman pada nyawa.

 Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat

pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar

melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.

 Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.

 Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.

 Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.

2
H.U. Adil Samadani, SHI., SS., MH., Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Graha Ilmu, 2013.
3
Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, (Jakarta : Gapura Media, 1994) hlm. 12 - 13

6
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah

tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu :

 Kekerasan fisik (physical abuse) seperti menendang, pukulan, menjambak, meludah,

menusuk, mendorong, memukul dengan senjata.

 Kekerasan psikologis, Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa

tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Seperti memiliki

perbuatan untuk mengakhiri hidup, menjauh dari keramaian, susahnya berkomunikasi

terhadap masyarakat.

 Kekerasan Seksual, Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan

hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak

disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan/atau tujuan tertentu yang dimana tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.

 Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau

membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri

bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun

pengadilan memutuskan.

 Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup

rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau

pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap

7
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau

melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada

di bawah kendali orang tersebut

Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis,

maupun ekonomis. Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah

tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of

control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.

3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi secara spontanitas, namun memiliki sebab-

sebab tertentu yang mendorong laki-laki berbuat kekerasan terhadap perempuan (istri) yang

secara umum penyebab kekerasan tersebut dapat diindentifikasi karena faktor gender dan

patriarki, relasi kuasa yang timpang, dan role modeling (perilaku hasil meniru).

Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga

khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang

dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:

 Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.

Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri dalam keluarga dan kultur serta

struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena itu harus melaksanakan segala

sesuatu yang diinginkan oleh yang memiliki yakni suami. Hal ini menyebabkan suami menjadi

merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.

8
 Ketergantungan ekonomi.

Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk

menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan

keras dilakukan kepadanya, ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan

pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini

dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.

 Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.

Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun

kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan

dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini

didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan tidak mau menurut maka harus diperlakukan

secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering

menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.

Jika sebelumnya telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah

tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain,

perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi

baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di

mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara

di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.

9
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak

bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada

pasangan yang masih belum memiliki jiwa bertanggung jawab dan bijaksana.

Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan

negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya,

memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.

Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum. Pembicaraan tentang

proses hukum atas kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak

dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum

dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini

juga terlihat dari minimnya KUHAPidana membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri

sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses

sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia

alami.

4. Kebijakan hukum dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) saat ini menimbulkan banyak dampak yang

tidak hanya buruk bagi perkembangan institusi keluarga tetapi juga berdampak sangat buruk bagi

nilai-nilai moralitas bangsa yang dicerminkan oleh individu-individunya. Kata kejahatan

terkesan dibesar-besarkan, ini hal wajar dimana masalah rumah tangga sebagai urusan pribadi

harus keluar menjadi urusan publik adalah sesuatu yang tabu bagi sebagian masyarakat kita yang

mulai membuka diri. Pembagian hukum publik dan hukum privat dalam aturan hukum kita

menjadi bisa ketika membicarakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (kekerasan fisik, psikis,

10
seksual dan ekonomi). Adapun dampak buruk dari adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah

dampak terhadap kesehatan khususnya pada korban seorang perempuan mencakup :

 Gangguan kesakitan fisik, termasuk luka/cedera, gangguan fungsional, keluhan fisik,

cacat permanent.

 Gangguan kesehatan mental (jiwa), termasuk kecemasan, rasa rendah diri, phobia dan

depresi.

 Gangguan kesehatan reproduksi, termasuk kehamilan tak dikehendaki, infeksi saluran

reproduksi, penyakit menular seksual (PMS) termasuk infeksi HIV/AIDS, aborsi tak

aman, keguguran/abortus tak disengaja atau serta badan lahir rendah, komplikasi

kehamilan, gangguan organ reproduksi dan gangguan seksualitas.

Kebijakan hukum pidana tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan masalah

sentral yang perlu penanggulangan. Sehubungan dengan itu Barda Nawawie menjelaskan bahwa

kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan

praktis untuk menerapkan peraturan hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk memberi

pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang

merupakan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan

pengadilan.

Upaya penanggulangan kejahatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya

perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik

criminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.4

Dalam masalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, hakim harus

bertindak secara konprehensif mengingat dimensi Viktimologi sangat besar dampaknya terhadap

4
Soejono D, Sosio Kriminologi, Bandung: Alumn, 1976

11
kehidupan seseorang, oleh karena itu kebijakan hukum pidana dalam Undang-Undang KDRT

harus mendapat perubahan.

Masalah pemidanaan dengan paradigma yang baru, dimana pendekatannya tidak lagi

deterent/penjeraan tetapi juga preventif dan reventif, dalam hal ini sudah masuk ke dalam

Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hukum yang diatur

merupakan alternatif dan pendekatan – pendekatan yang tidak integritas sosial saja namun

seharusnya tujuan hukum adalah merubah masyarakat, tidak hanya diarahkan kepada pelaku

(pelaku bagian dari masyarakat), tetapi hukum diterapkan untuk mencapai keadilan, dan

mengembalikan pelaku pada kesadaran bahwa yang dilakukan adalah kejahatan.

Modelnya dapat berupa rehabilitas, kerja sosial, pelaku dilibatkan dalam kerja – kerja

LSM, sehingga mereka tahu apa yang diperjuangkan, lebih sensitif gender dan menciptakan

hukum yang tidak semata –mata hukuman badan tetapi bagaimana mereka dikembalikan kepada

masyrakat untuk menjadi agen sosial dalam rangka memperbaiki masyarakatnya. Tekanan pada

ganti rugi terhadap kerugian yang didapat korban terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan menjadi

tanggung jawab pelaku, saat pelaku tidak bisa memenuhi, maka negara yang bertanggungjawab

untuk menciptakan masyarakat tanpa kekerasan.

Salah satu strategi penegakan hukum pada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

aadalah melalui kebijakan perundang-undangan dan kebijakan penegakan tersebut. Penegakan

hukum merupakan suatu proses dan proses penegakan hukum dapat terlaksana melalui beberapa

tahap5 :

 Tahap awal (Formulasi)

 Tahap kedua (Tahap aplikasi)

5
Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1984)

12
 Tahap Ketiga (Tahap eksekusi)

Sebagai satu proses, maka tahap kebijakan awal, yang disebut kebijakan legislatif, adalah

yang strategis. Tahap kebijakan legislatif diharapkan adanya pedoman untuk tahap-tahap

berikutnya. Kebijakan legislatif ini penting pula karena merupakan landasan legislatif dan sangat

diperlukan dalam masalah penerapan dan pelaksanaan pidana, disamping masalah efektivitas dan

kegunaannya.

B. Sanksi hukum terhadap pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Berkembangnya pengetahuan masyarakat, menjadi maraknya timbul permasalahan yang

melanggar hukum. Dalam hal ini terjadi suatu peningkatan yang cukup signifikan untuk kasus

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kenyataannya bahwa masih selalu terjadi ancaman

akan kekerasan dalam rumah tangga, dengan adanya permasalahan itu maka diberlakukannya

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT).

Jika dilihat dari adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), telah diatur pula akan ancaman pidana serta

sanksi hukumnya cukup berat untuk menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri

berdasarkan dari bentuk kekerasan yang dilakukan oleh si pelaku, yaitu :

1. Kekerasan Fisik : adalah perbuatan yang dilakukan terhadap orang dalam lingkup rumah

tangganya yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat secara fisik (badan).

Untuk perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit atau luka secara fisik/badan ini pelakunya

dituntut dengan pidana maksimal 15 tahun dan minimal 4 bulan serta denda maksimal

45.000.000 sampai minimal 5.000.000 . Hukuman ini memang bervariatif tergantung siapa

13
pelakunya dan siapa korban. Sebagaimana diatur dalam Bab VIII Ketentuan Pidana dalam

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT) Pasal 44 yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidan penjara paling

lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta

rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban

mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 .

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya

korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling

banyak Rp. 45.000.000,00 .

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami

terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp.

5.000.000,00 .

2. Kekerasan Psikis : adalah perbuatan terhadap orang yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri atau yang lebih tepat penderitaan psikis berat pada seseorang.

Dalam perbuatan yang mengakibatkan luka pada kejiwaan seseorang ini pelakunya dapat

dijerat dengan Pasal 45 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang berbunyi :

14
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga

sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling

lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00 .

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami

terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp.

3.000.000,00 .

3. Kekerasan Seksual : adalah perbuatan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan

orang yang menetap dalam rumah tangga untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.

Bahwa perbuatan pemkasaan hubungan seksual ini dapat diartikan sebagai suatu

hubungan seksual yang salah satu pihak, terutama perempuannya tidak menginginkan

perbuatan itu, larangan kekerasan seksual ini juga berlaku bagi pihak suami istri, terlebih

lagi untuk seseorang yang menetap dalam rumah tangga yang bukan suami istri. Ancaman

perbuatan ini terdapat dalam Pasal 45 – Pasal 48 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yakni :

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 huruf a dipidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak

Rp. 56.000.000,00”

Pada Pasal 47 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT) disebutkan :

“Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya

melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana

15
penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda

paling sedikit Rp. 12.000.000,00 atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00”

Pasal 48 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT) berbunyi :

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47

mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama

sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4

minggu terus-menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalamm

kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau

denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00”

4. Penelantaran Rumah Tangga : adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang

karena lalai atau dengan sadar meninggalkan kewajibannya untuk memberikan kehidupan,

perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Bahwa perbuatan penelantaran rumah tangga ini juga dapat diartikan sebagai tindakan

seorang suami yang tidak memberikan nafkah baik lahir maupun batin kepada istrinya.

Ancaman pidana dalam perbuatan ini dapat dikenakan sanksi yang tercantum dalam Pasal

49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT), yakni :

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp.

15.000.000,00 setiap orang yang :

a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).

16
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).”

Selain dari ancaman pidana yang telah disebutkan diatas, dalam kasus kekerasan

dalam rumah tangga ini, pelaku juga dapat dijerat dengan pidana tambahan yaang terdapat

dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT), yakni :

“Selain itu pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan

pidana tambahan berupa :

a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari

korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari

pelaku.

b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga

tertentu.”

Mencermati adanya pidana tambahan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga bagi si

pelaku, menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa seorang perempuan

terutama istri, anak, orang tua daan pembantu rumah tangga begitu sangat rentan untuk timbul

lagi daan tidak menutup kemungkinan aka malah semakin beringas setelah terungkap. Kekerasan

yang terjadi bukan hanya disebabkan adanya faktor-faktor yang mendorong terjadinya kasus-

kasus kekerasan tersebut seperti : keadaan ekonomi yang sulit, perselingkuhan, lingkungan, akan

tetapi kekerasan itu terjadi yang disebabkan oleh si pelakunya yang memiliki tabiat atau perangai

yang buruk.

Faktor lain yang tak kalah penting dalam kekerasan yang menimpa perempuan dalam

rumah tangga adalah korban, saksi maupun saksi korban, keberanian untuk melaporkan pelaku

kepada aparat berwenang memang bukan hal yang mudah bentuk pertimbangan yang cukup

17
panjang. Pentingnya korban atau saksi untuk melaporkan kasus kekerasan ini yang menjadi hal

yang paling mendasar untuk mengungkapkan kasus kekerasan tersebut. Mengingat kekerasan

dalam rumah tangga merupakan delik aduan yang akan dapat dipidana setelah adanya laporan

dari korban maupun saksi.

C. Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu

adanya pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan

mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak

kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah

kekerasan, mempromosikan kesetaraan gender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan

korban melalui media.

Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada

Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh

Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat

terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya

perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan

akan kembali terjadi.

Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar

untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang

menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan. Suami dan istri

juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masing-masing dapat melakukan sharing

18
sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi

oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati.

Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi

sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi

anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan

bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali

dari orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat – akibat negatif yang berkemungkinan

mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara.

Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi

untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada beberapa

solusi untuk mencegah KDRT antara lain :

 Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan

individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.

 Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat

dibenarkan dan dapat diberikan sanksi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT

di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama membutuhkan.

 Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.

 Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang

mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima

penghargaan.

 Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah

macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi

kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar

19
dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang

bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar

hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.

 Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan

menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih

terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan

secara psikis.

20
BAB III

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini yang menggunakan angket kuesioner yang diisi oleh para responden.

Dapat diperoleh dari keseluruhan yakni masyarakat telah mengetahui tentang Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT). Adanya perbuatan tindak pidana ini masyarakat kebanyakan menilai

tidak hanya seorang suami saja yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, sekarang

dengan adanya persamaan gender yang dimana pelaku kekerasan tidak hanya suami / laki-laki

tetapi bisa juga yang melakukan seorang istri maupun anak.

Sebagian dari hasil penelitian ini banyak masyarakat menyetujui bahwa permasalahan

dalam rumah tangga sering dirahasiakan daripada dipublikasi (dilaporkan), karena masyarakat

masih beranggapan bahwa sesuatu permasalahan dalam rumah tangga adalah suatu permasalahan

pribadi yang tidak perlu masyarakat ataupun penegak hukum mengurusi permasalahan rumah

tangganya.

Adapun dari hasil angket kuesioner ini 50 % masyarakat masih menilai bahwa seorang

majikan yang melakukan kekerasan pada Asisten Rumah Tangga bukanlah sebagai bentuk dari

kekerasan dalam rumah tangga. Sebagaimana yang seharusnya telah tercantum bahwa Asisten

Rumah Tangga termasuk juga ruang lingkup dalam rumah tangga, termuat dalam Pasal 2

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT).

Hasil kuesioner ini membuat masyarakat pun sadar akan dampak buruk atas terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga, terutama dampak yang dirasakan oleh sang anak. Dampak buruk

yang dialami oleh sang anak dapat berupa psikologis anak terganggu, merasa kurang percaya

21
diri, dan akan merasakan broken home dan membuat anak itu menjadi merasa dikucilkan oleh

masyarakat dengan adanya permasalahan keluarganya. Dengan ini masyarakat beranggapan

perlu adanya upaya untuk mencegah terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga berupa :

bermusyawarah didalam hubungan rumah tangga dengan baik dengan tidak menimbulkan suatu

emosi yang mengarah kekerasan, perlu adanya konsultasi kepada tenaga kesehatan (psikolog),

dan menjaga keharmonisan keluarga agar terjalin suatu hubungan yang baik.

Berdasarkan hasil penelitian kuesioner adapula yang menjelaskan bahwa terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga terdapat beberapa faktor yakni : faktor ekonomi, kurangnya

komunikasi, perselingkuhan, mudahnya emosi, dll. Adapula dari hasil angket ini sebagian

masyarakat telah menilai permasalahan KDRT ini ada maupun tidak dengan kaitannya kondisi

perekonomian keluarga, yang menjawab ada karena masalah perekonomianlah biasanya yang

sering menjadi pemicu permasalahan adanya kekerasan adapun juga sudah menjadi tuntutan bagi

sebuah keluarga yang untuk menafkahi kebutuhan keluarganya. Dan yang menjawab tidak ada

bagi dia tergantung dari perekonomian daerah jika perekonomian didaerahnya tidak meningkat

maka kebutuhan keluarganya bisa terpenuhi dan tidak bisa mengakibatkan suatu pemicu

terjadinya kekerasan.

Maka dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini, bahwa suatu tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga ini perlu adanya suatu penyuluhan kepada masyarakat dengan memberi

suatu pemahaman bahwa dengan memilih kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan dalam

rumah tangga bukanlah hal yang dibenarkan, dengan melakukan suatu kekerasan yang dapat

menimbulkan korban maka dapat dikenakan berupa sanksi. Dengan ini masyarakat perlu

memahami pentingnya suatu hubungan keluarga yang harmonis agar tidak terjadinya suatu

kekerasan dalam rumah tangga.

22
BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Kekerasan sekarang semakin meningkat, tidak hanya dalam lingkup masyarakat saja tetapi

terdapat pula dalam tatanan rumah tangga yang biasa disebut Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dengan adanya tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini membuat pemerintah

membentuk suatu peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Adanya dibentuk

Undang-Undang tersebut untuk melindungi korban dari kekerasan dalam rumah tangga yang

hampir dilakukan oleh suami dan korbannya istri (perempuan) dan anak.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) saat ini menimbulkan banyak dampak yang

tidak hanya buruk bagi perkembangan institusi keluarga tetapi juga berdampak sangat buruk bagi

nilai-nilai moralitas bangsa yang dicerminkan oleh individu-individunya. Perlu adanya kebijakan

hukum atas permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), agar memberi suatu

perlindungan kepada korban.

Dengan adanya perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku kekerasan dalam rumah tangga,

dapat dikenakan sebagai sanksi atas perbuatannya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan

sebelumnya sanksi pidana yang dilihat dari bentuk kekerasan itu sendiri. Terdiri dari Kekerasan

Fisik, Kekerasan Psikis, Kekerasan Seksual, Penelantaran Rumah Tangga.

Demikian adanya suatu perbuatan pelanggaran hukum yakni kekerasan dalam rumah

tangga, maka disini dapat memberikan suatu solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam

rumah tangga. Adapun beberapa solusi untuk mencegah terjadinya KDRT ialah dengan

23
memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga dan berupa sanksi jika melakukan perbuatan itu, pula membangun kesadaran pada

masyarakat bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan

pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.

Amalkan sebuah pepatah “Rumahku Istanaku”. Betapapun keadaannya sebuah rumah,

maka rumah harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian,

perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.

2. Saran

Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu

diadakan penyuluhan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan, menyebarkan

informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak

serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan

untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak

menyalahkan korban melalui media.

24
DAFTAR PUSTAKA

 BUKU

- H.U. Adil Samadani, SHI., SS., MH., Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Graha Ilmu, 2013.
- Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni,
1984)
- Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, (Jakarta : Gapura Media,
1994) hlm. 12 - 13
- Soejono D, Sosio Kriminologi, Bandung: Alumn, 1976

 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT)

25

Anda mungkin juga menyukai