PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang
yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu
diancam dengan pidana. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-
488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351 –
358. Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan
dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai
merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah
negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus
Mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam
lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam
lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan untuk rumah tangga dapat terganggu
jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi
kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap
orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga biasa
1
disebut sebagai Hidden Crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan
masyarakat.
Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai
akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak juga ikut mengalami penderitaan.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara
berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis,
seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan
perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan
hukum sangat diperlukan, khususnya tentang perempuan. Sehubungan dengan banyaknya kasus
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan
karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa
2
1. Undang – Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Undang-Undang ini selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak
pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur
ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan
responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas
untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan
penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga
3
2. Rumusan Masalah
Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan banyak sekali
masalah yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan yang saya
A. Bagaimana kebijakan hukum dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) ?
B. Bagaimanakah sanksi hukum yang diberikan terhadap pelaku Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT)?
3. Tujuan
A. Untuk mengetahui akan kebijakan hukum atas adanya tindak pidana Kekerasan Dalam
B. Untuk mengetahui macam – macam sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana
C. Untuk mengetahui dan memahami solusi mengatasi adanya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT).
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan hukum dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga secara ringkas adalah setiap
tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan
pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan
kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan
subordinasi perempuan.
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tercantum dalam rumusan
Rumah Tangga adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan
atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
Selain kekerasan fisik, adapun juga kekerasan psikis sebagaimana yang tercantum dalam
Rumah Tangga. Dalam penjelasan Pasal 7 tersebut tidak dijelaskan bagaimana kekerasan psikis
berat. Sementara itu, didalam usulan perbaikan atas Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan
Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR tanggal 6 Mei 2003 penjelasan
Pasal 4 b tentang psikis berat adalah “kondisi yang menunjuk pada terhambatnya kemampuan
1
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
5
untuk menikmati hidup, mengembangkan konsepsi positif tentang diri dan orang lain, kegagalan
misalnya depresi, gangguan trauma, destruksi, bahkan hilangnya kontak dengan realitas”.2
Menurut Mansur Fiqih, kata “kekerasan” yang digunakan sebagai padanan dari kata
“violence” dalam bahasa inggris, diartikan sebagai suatu serangan atau invasi (assault) terhadap
fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, inilah yang membedakan dengan yang
dipahami dalam bahasa Indonesia, dimana kekerasan hanya menyangkut kekerasan fisik belaka.
Padangan Mansur Fiqih itu menunjukan pengertian kekerasan pada obyek fisik maupun
psikologis.3
Sedangkan Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat
dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
yaitu:
Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau
Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.
2
H.U. Adil Samadani, SHI., SS., MH., Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Graha Ilmu, 2013.
3
Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, (Jakarta : Gapura Media, 1994) hlm. 12 - 13
6
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu :
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Seperti memiliki
terhadap masyarakat.
Kekerasan Seksual, Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu yang dimana tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun
pengadilan memutuskan.
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap
7
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada
Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis,
maupun ekonomis. Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah
tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of
control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi secara spontanitas, namun memiliki sebab-
sebab tertentu yang mendorong laki-laki berbuat kekerasan terhadap perempuan (istri) yang
secara umum penyebab kekerasan tersebut dapat diindentifikasi karena faktor gender dan
patriarki, relasi kuasa yang timpang, dan role modeling (perilaku hasil meniru).
khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang
dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:
Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri dalam keluarga dan kultur serta
struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena itu harus melaksanakan segala
sesuatu yang diinginkan oleh yang memiliki yakni suami. Hal ini menyebabkan suami menjadi
8
Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk
menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan
pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga.
dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini
didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan tidak mau menurut maka harus diperlakukan
secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering
Jika sebelumnya telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah
tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain,
perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi
baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di
mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara
9
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak
bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada
pasangan yang masih belum memiliki jiwa bertanggung jawab dan bijaksana.
Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan
negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya,
Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum. Pembicaraan tentang
proses hukum atas kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak
dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum
dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini
juga terlihat dari minimnya KUHAPidana membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri
sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses
sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia
alami.
4. Kebijakan hukum dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) saat ini menimbulkan banyak dampak yang
tidak hanya buruk bagi perkembangan institusi keluarga tetapi juga berdampak sangat buruk bagi
terkesan dibesar-besarkan, ini hal wajar dimana masalah rumah tangga sebagai urusan pribadi
harus keluar menjadi urusan publik adalah sesuatu yang tabu bagi sebagian masyarakat kita yang
mulai membuka diri. Pembagian hukum publik dan hukum privat dalam aturan hukum kita
menjadi bisa ketika membicarakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (kekerasan fisik, psikis,
10
seksual dan ekonomi). Adapun dampak buruk dari adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah
cacat permanent.
Gangguan kesehatan mental (jiwa), termasuk kecemasan, rasa rendah diri, phobia dan
depresi.
reproduksi, penyakit menular seksual (PMS) termasuk infeksi HIV/AIDS, aborsi tak
aman, keguguran/abortus tak disengaja atau serta badan lahir rendah, komplikasi
Kebijakan hukum pidana tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan masalah
sentral yang perlu penanggulangan. Sehubungan dengan itu Barda Nawawie menjelaskan bahwa
kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk menerapkan peraturan hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk memberi
pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang
merupakan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan.
Upaya penanggulangan kejahatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya
perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik
Dalam masalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, hakim harus
bertindak secara konprehensif mengingat dimensi Viktimologi sangat besar dampaknya terhadap
4
Soejono D, Sosio Kriminologi, Bandung: Alumn, 1976
11
kehidupan seseorang, oleh karena itu kebijakan hukum pidana dalam Undang-Undang KDRT
Masalah pemidanaan dengan paradigma yang baru, dimana pendekatannya tidak lagi
deterent/penjeraan tetapi juga preventif dan reventif, dalam hal ini sudah masuk ke dalam
Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hukum yang diatur
merupakan alternatif dan pendekatan – pendekatan yang tidak integritas sosial saja namun
seharusnya tujuan hukum adalah merubah masyarakat, tidak hanya diarahkan kepada pelaku
(pelaku bagian dari masyarakat), tetapi hukum diterapkan untuk mencapai keadilan, dan
Modelnya dapat berupa rehabilitas, kerja sosial, pelaku dilibatkan dalam kerja – kerja
LSM, sehingga mereka tahu apa yang diperjuangkan, lebih sensitif gender dan menciptakan
hukum yang tidak semata –mata hukuman badan tetapi bagaimana mereka dikembalikan kepada
masyrakat untuk menjadi agen sosial dalam rangka memperbaiki masyarakatnya. Tekanan pada
ganti rugi terhadap kerugian yang didapat korban terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan menjadi
tanggung jawab pelaku, saat pelaku tidak bisa memenuhi, maka negara yang bertanggungjawab
Salah satu strategi penegakan hukum pada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
hukum merupakan suatu proses dan proses penegakan hukum dapat terlaksana melalui beberapa
tahap5 :
5
Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1984)
12
Tahap Ketiga (Tahap eksekusi)
Sebagai satu proses, maka tahap kebijakan awal, yang disebut kebijakan legislatif, adalah
yang strategis. Tahap kebijakan legislatif diharapkan adanya pedoman untuk tahap-tahap
berikutnya. Kebijakan legislatif ini penting pula karena merupakan landasan legislatif dan sangat
diperlukan dalam masalah penerapan dan pelaksanaan pidana, disamping masalah efektivitas dan
kegunaannya.
melanggar hukum. Dalam hal ini terjadi suatu peningkatan yang cukup signifikan untuk kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kenyataannya bahwa masih selalu terjadi ancaman
akan kekerasan dalam rumah tangga, dengan adanya permasalahan itu maka diberlakukannya
Tangga (KDRT).
Jika dilihat dari adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), telah diatur pula akan ancaman pidana serta
sanksi hukumnya cukup berat untuk menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri
1. Kekerasan Fisik : adalah perbuatan yang dilakukan terhadap orang dalam lingkup rumah
tangganya yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat secara fisik (badan).
Untuk perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit atau luka secara fisik/badan ini pelakunya
dituntut dengan pidana maksimal 15 tahun dan minimal 4 bulan serta denda maksimal
45.000.000 sampai minimal 5.000.000 . Hukuman ini memang bervariatif tergantung siapa
13
pelakunya dan siapa korban. Sebagaimana diatur dalam Bab VIII Ketentuan Pidana dalam
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidan penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,00 .
hilangnya rasa percaya diri atau yang lebih tepat penderitaan psikis berat pada seseorang.
Dalam perbuatan yang mengakibatkan luka pada kejiwaan seseorang ini pelakunya dapat
14
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp.
3.000.000,00 .
orang yang menetap dalam rumah tangga untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.
Bahwa perbuatan pemkasaan hubungan seksual ini dapat diartikan sebagai suatu
hubungan seksual yang salah satu pihak, terutama perempuannya tidak menginginkan
perbuatan itu, larangan kekerasan seksual ini juga berlaku bagi pihak suami istri, terlebih
lagi untuk seseorang yang menetap dalam rumah tangga yang bukan suami istri. Ancaman
perbuatan ini terdapat dalam Pasal 45 – Pasal 48 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
dalam Pasal 8 huruf a dipidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak
Rp. 56.000.000,00”
“Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
15
penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda
paling sedikit Rp. 12.000.000,00 atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00”
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
minggu terus-menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalamm
pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau
4. Penelantaran Rumah Tangga : adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang
karena lalai atau dengan sadar meninggalkan kewajibannya untuk memberikan kehidupan,
Bahwa perbuatan penelantaran rumah tangga ini juga dapat diartikan sebagai tindakan
seorang suami yang tidak memberikan nafkah baik lahir maupun batin kepada istrinya.
Ancaman pidana dalam perbuatan ini dapat dikenakan sanksi yang tercantum dalam Pasal
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp.
16
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).”
Selain dari ancaman pidana yang telah disebutkan diatas, dalam kasus kekerasan
dalam rumah tangga ini, pelaku juga dapat dijerat dengan pidana tambahan yaang terdapat
“Selain itu pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku.
tertentu.”
Mencermati adanya pidana tambahan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga bagi si
pelaku, menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa seorang perempuan
terutama istri, anak, orang tua daan pembantu rumah tangga begitu sangat rentan untuk timbul
lagi daan tidak menutup kemungkinan aka malah semakin beringas setelah terungkap. Kekerasan
yang terjadi bukan hanya disebabkan adanya faktor-faktor yang mendorong terjadinya kasus-
kasus kekerasan tersebut seperti : keadaan ekonomi yang sulit, perselingkuhan, lingkungan, akan
tetapi kekerasan itu terjadi yang disebabkan oleh si pelakunya yang memiliki tabiat atau perangai
yang buruk.
Faktor lain yang tak kalah penting dalam kekerasan yang menimpa perempuan dalam
rumah tangga adalah korban, saksi maupun saksi korban, keberanian untuk melaporkan pelaku
kepada aparat berwenang memang bukan hal yang mudah bentuk pertimbangan yang cukup
17
panjang. Pentingnya korban atau saksi untuk melaporkan kasus kekerasan ini yang menjadi hal
yang paling mendasar untuk mengungkapkan kasus kekerasan tersebut. Mengingat kekerasan
dalam rumah tangga merupakan delik aduan yang akan dapat dipidana setelah adanya laporan
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu
adanya pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan
mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak
kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah
Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada
Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh
Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat
terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya
perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan
Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar
untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang
menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan. Suami dan istri
juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masing-masing dapat melakukan sharing
18
sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi
Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi
sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi
anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan
bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali
dari orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat – akibat negatif yang berkemungkinan
Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi
untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada beberapa
Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat
dibenarkan dan dapat diberikan sanksi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT
Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
penghargaan.
Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah
kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar
19
dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang
bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar
hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih
terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan
secara psikis.
20
BAB III
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini yang menggunakan angket kuesioner yang diisi oleh para responden.
Dapat diperoleh dari keseluruhan yakni masyarakat telah mengetahui tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT). Adanya perbuatan tindak pidana ini masyarakat kebanyakan menilai
tidak hanya seorang suami saja yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, sekarang
dengan adanya persamaan gender yang dimana pelaku kekerasan tidak hanya suami / laki-laki
Sebagian dari hasil penelitian ini banyak masyarakat menyetujui bahwa permasalahan
dalam rumah tangga sering dirahasiakan daripada dipublikasi (dilaporkan), karena masyarakat
masih beranggapan bahwa sesuatu permasalahan dalam rumah tangga adalah suatu permasalahan
pribadi yang tidak perlu masyarakat ataupun penegak hukum mengurusi permasalahan rumah
tangganya.
Adapun dari hasil angket kuesioner ini 50 % masyarakat masih menilai bahwa seorang
majikan yang melakukan kekerasan pada Asisten Rumah Tangga bukanlah sebagai bentuk dari
kekerasan dalam rumah tangga. Sebagaimana yang seharusnya telah tercantum bahwa Asisten
Rumah Tangga termasuk juga ruang lingkup dalam rumah tangga, termuat dalam Pasal 2
Tangga (KDRT).
Hasil kuesioner ini membuat masyarakat pun sadar akan dampak buruk atas terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, terutama dampak yang dirasakan oleh sang anak. Dampak buruk
yang dialami oleh sang anak dapat berupa psikologis anak terganggu, merasa kurang percaya
21
diri, dan akan merasakan broken home dan membuat anak itu menjadi merasa dikucilkan oleh
perlu adanya upaya untuk mencegah terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga berupa :
bermusyawarah didalam hubungan rumah tangga dengan baik dengan tidak menimbulkan suatu
emosi yang mengarah kekerasan, perlu adanya konsultasi kepada tenaga kesehatan (psikolog),
dan menjaga keharmonisan keluarga agar terjalin suatu hubungan yang baik.
kekerasan dalam rumah tangga terdapat beberapa faktor yakni : faktor ekonomi, kurangnya
komunikasi, perselingkuhan, mudahnya emosi, dll. Adapula dari hasil angket ini sebagian
masyarakat telah menilai permasalahan KDRT ini ada maupun tidak dengan kaitannya kondisi
perekonomian keluarga, yang menjawab ada karena masalah perekonomianlah biasanya yang
sering menjadi pemicu permasalahan adanya kekerasan adapun juga sudah menjadi tuntutan bagi
sebuah keluarga yang untuk menafkahi kebutuhan keluarganya. Dan yang menjawab tidak ada
bagi dia tergantung dari perekonomian daerah jika perekonomian didaerahnya tidak meningkat
maka kebutuhan keluarganya bisa terpenuhi dan tidak bisa mengakibatkan suatu pemicu
terjadinya kekerasan.
Maka dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini, bahwa suatu tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga ini perlu adanya suatu penyuluhan kepada masyarakat dengan memberi
suatu pemahaman bahwa dengan memilih kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan dalam
rumah tangga bukanlah hal yang dibenarkan, dengan melakukan suatu kekerasan yang dapat
menimbulkan korban maka dapat dikenakan berupa sanksi. Dengan ini masyarakat perlu
memahami pentingnya suatu hubungan keluarga yang harmonis agar tidak terjadinya suatu
22
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kekerasan sekarang semakin meningkat, tidak hanya dalam lingkup masyarakat saja tetapi
terdapat pula dalam tatanan rumah tangga yang biasa disebut Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dengan adanya tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini membuat pemerintah
Undang-Undang tersebut untuk melindungi korban dari kekerasan dalam rumah tangga yang
hampir dilakukan oleh suami dan korbannya istri (perempuan) dan anak.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) saat ini menimbulkan banyak dampak yang
tidak hanya buruk bagi perkembangan institusi keluarga tetapi juga berdampak sangat buruk bagi
nilai-nilai moralitas bangsa yang dicerminkan oleh individu-individunya. Perlu adanya kebijakan
hukum atas permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), agar memberi suatu
Dengan adanya perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
dapat dikenakan sebagai sanksi atas perbuatannya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan
sebelumnya sanksi pidana yang dilihat dari bentuk kekerasan itu sendiri. Terdiri dari Kekerasan
Demikian adanya suatu perbuatan pelanggaran hukum yakni kekerasan dalam rumah
tangga, maka disini dapat memberikan suatu solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga. Adapun beberapa solusi untuk mencegah terjadinya KDRT ialah dengan
23
memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dan berupa sanksi jika melakukan perbuatan itu, pula membangun kesadaran pada
masyarakat bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan
maka rumah harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian,
2. Saran
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu
informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak
serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan
24
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
- H.U. Adil Samadani, SHI., SS., MH., Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Graha Ilmu, 2013.
- Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni,
1984)
- Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, (Jakarta : Gapura Media,
1994) hlm. 12 - 13
- Soejono D, Sosio Kriminologi, Bandung: Alumn, 1976
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Tangga (KDRT)
25