PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2
pergi ke dukun kampung untuk mengobati keluhannya tersebut. Pasien
mengonsumsi obat-obatan herbal yang pasien sudah lupa namanya apa.
Riwayat penyakit dahulu
1. Riwayat hipertensi (-)
2. Riwayat diabetes melitus (-)
3. Riwayat sakit jantung (-)
4. Riwayat astma (-)
5. Riwayat batuk lama (-)
6. Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat kebiasaan
Merokok (+), Alkohol (-), Narkotik (-)
Riwayat alergi obat
Os mengaku tidak ada alergi obat dan makanan tertentu
Tidak menggunakan gigi palsu
3
- Respirasi : 20 x/menit
b. Kepala : normocepali
c. Mata : pupil isokor ka=ki, konjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-)
d. Telinga : sekret minimal
e. Mulut : Mallampati 3
f. Tenggorokan : Hiperemis (-)
g. Leher : pembesaran KGB (-), JVP 5+1 cm H2O
h. Thorak :
Paru :Inspeksi : simetris
Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
4
2. Status Ginekologis
a. Inspeksi : fluksus (-), flour (-) dan vagina tidak ada kelainan,
tampak massa berasal dari dalam vagina pada vulva, discharge (-),
erosi (-)
Inspekulo dan pemeriksaan dalam tidak dilakukan.
5
6. EKG
6
BAB III
ANESTESI
7
BB = 45 kg
a. Defisit Cairan karena Puasa (P)
P = 6 x BB x 2cc
P = 6 x 45 x 2cc = 540 cc
b. Maimtenance (M)
M = BB x 2cc
M = 45 x 2 cc = 90 cc
c. Stress Operasi (O)
O = BB x 8cc (operasi besar)
O = 45 x 8 = 360 cc
d. EBV : 65 x BB
EBV : 65 x 45 2925 cc
e. ABL : 20% x EBV
ABL : 20% x 2925 cc 585 cc
f. Kebutuhan cairan selama operasi:
Jam I : ½ (540) + 90+ 360 = 720 cc
Jam II : ¼ (540) + 90 + 360 =585 cc
Jam III : ¼ (540) + 90+ 360 = 585 cc
Total cairan: 720 cc + 585cc +585 cc + 350 cc = 2490 cc
6. Monitoring
Jam TD Nadi RR
08.00 130/90 76 18
08.15 110/85 65 20
08.30 110/78 60 19
08.45 100/67 63 20
09.00 125/70 66 18
8
09.15 120/70 70 18
09.30 110/80 74 18
09.45 105/70 70 20
10.00 100/85 62 22
10.15 100/70 60 22
10.30 115/65 63 20
10.45 110/75 65 19
11.00 110/80 68 19
11.15 110/70 70 20
3.3.RUANG PEMULIHAN
1. Masuk jam : 11.30 wib
2. Keadaan umum : kesadaran : compos mentis, GCS : 15
Tekanan darah : 120/74 mmHg
Nadi : 76 x/mnt
Respirasi : 22 x/mnt
Pernafasan : baik
3. Skoring alderette
a. Aktifitas :2
b. Pernafasan :2
c. Warna kulit :2
d. Sirkulasi :2
e. Kesadaran :2
Jumlah : 10
9
4. Instruksi anestesi post operasi :
a. Observasi keadaan umum, vital sign, dan perdarahan tiap 15 menit
selama 24 jam
b. Tidur terlentang tidak menggunakan bantal dalam 24 jam pertama
c. Puasa sampai BU (+)
d. Analgetik (tramadol 100 mg + ketorolac 30 mg) 30 tts/mnt
e. Terapi selanjutnya disesuaikan dengan dr. Paryanto, Sp.OG
10
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
11
4.1.3 Etiologi1
Penyebab prolapsus organ panggul belum diketahui secara pasti, namun
secara hipotetik penyebab utamanya adalah persalinan pervaginam dengan bayi
aterm. Pada studi epidemiologi menunjukkan bahwa faktor risiko utama penyebab
prolapsus uteri adalah persalinan pervaginam dan penuaan. Para peneliti
menyetujui bahwa etiologi prolaps organ panggul adalah multifaktorial dan
berkembang secara bertahap dalam rentang waktu tahun. Terdapat berbagai
macam faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya prolapsus dan dikelompokkan
menjadi faktor obstetri dan faktor non-obstetri.
Faktor obstetri Faktor non-obstetri
Paritas Genentik
Merokok
12
penderita lain dengan prolapsus ringan mempunyai banyak keluhan.
Keluhan yang paling umum dijumpai:
1. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal di vagina atau menonjol
di genitalia eksterna
2. Rasa sakit di panggul atau pinggang (backache) merupakan gejala klasik
dari prolapsus
3. Luka dan dekubitus pada porsio uteri akibat gesekan dengan celana atau
pakaian dalam
4. Gangguan berkemih, seperti inkontinensia urin atau retensi urin
5. Kesulitan buang air besar
6. Infeksi saluran kemih berulang
7. Perdarahan vagina
8. Rasa sakit atau nyeri ketika berhubungan seksual (dispareunia)
9. Keputihan atau cairan abnormal yang keluar melalui vagina
10. Prolapsus uteri derajat III dapat menyebabkan gangguan bila berjalan dan
bekerja. Gejala dapat diperburuk apabila berdiri atau berjalan dalam
waktu yang lama. Hal ini dikarenakan peningkatan tekanan pada otot-otot
panggul oleh pengaruh gravitasi. Latihan atau mengangkat beban juga
dapat memperburuk gejala.
13
menopause. Insiden yag sering terjadi pada wanita usia 30- 54 tahun dan
yang paling tinggi adalah wanita dengan kulit putih.
Di Amerika insidensi kista ovarium semua ras adalah 12,5 kasus per
100.000 populasi pada tahun 1988 sampai 1991. Sebagian besar kista adalah
kista fungsional dan jinak.Di Amerika karsinoma ovarium didiagnosa pada
kira-kira 22.000 wanita, kematian sebanyak 16.000 orang. Di Indonesia
sekitar 25-50 % kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, serta penyakit yang mengenai
sistem reproduksi misalnya kista ovarium.
4.2.3 Etiologi4
Ada beberapa penyebab kista ovarium antara lain perempuan usia dewasa
tua sampai usia menopause yang timbul karena gangguan perkembangan
folikel ovarium hingga tidak timbul ovulasi. Kista ovarium disebabkan oleh
gangguan pembentukan hormone pada hipotalamus, hipofisis dan ovarium.
14
Hipnotik
Analgesi
Relaksasi otot
15
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat
anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya
tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai
MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
5. Faktor Lain
a. Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman
anestesi
b. Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat
induksi dan pendalaman anestesia
c. Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.
16
2. Persiapan pasien
a. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau
melalui keluarga pasien (alloanamnesis).
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai
d. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia.
17
e. ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
f. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan
mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau
III E.
4. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya :
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anesthesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anestetik
e. Mengurangi mual muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang membahayakan
4.3.4 Macam- Macam Teknik Anasthesi Umum6,7
1. Anestesi Inhalasi
anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi
yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau
mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme kerja obat
anestesi inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri dalam
farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan
menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam
dunia anestesiologi.6,7
a. ISOFLURAN
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang
pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju
18
metabolisme otak terhadap oksigen, tetapimeninggikan aliran darah
otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan
tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi,sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah
otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemariuntuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguankoroner. Isofluran dengan
konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkanrelaksasi dan
kurang responsif jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga
dapatmenyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh
otot dapat dikurangisampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan
isofluran.
b. SEVOFLURAN
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan
pulih dari anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disampinghalotan.Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil,
jarang mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat
seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadaphepar.
Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh
badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime),
tetapi belum ada laporanmembahayakan terhadap tubuh manusia.
2. Induksi intravena
Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-
lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan
pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan
19
untuk rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk
membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan
profopol. Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan
profopol.4
20
Gambar 7. Mallampati Classification and Cormack-Lehanne
Classification5
21
Keberhasilan intubasi tergantung dari
posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan
pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak
perlu selama laringoskopi. Elevasi kepala
sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja
operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito
1. Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien
terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-
hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar
dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di
masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis.
Handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula
pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan
blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. Orotracheal tube (OTT)
diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara
yang terbuka (abduksi). Balon OTT harus berada dalam trachea bagian atas
tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk
menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan minimal udara
yang dibutuhkan untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada
mukosa trachea.
22
Gambar 9. Tampilan Glottis selama laringoskopi8
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi
dan capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratracheal.
Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf yang merupakan konfirmasi
terbaik dari letak OTT di trachea, tapi tidak dapat mengecualikan intubasi
bronchial. Manifestasi dini dari intubasi bronkhial adalah peningkatan
tekanan respirasi puncak. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada,
tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU. Setelah yakin OTT berada
dalam posisi yang tepat, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan
posisi.9
4.3.8 Komplikasi8,9
1. selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi , laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
23
4.3.9 Ekstubasi,8,9
1. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
a. intubasi kembali menimbulkan kesulitan
b. adanya resiko aspirasi
c. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan
dengan catatan tidak terjadi spasme laring
d. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret
dan cairan lainnya.
24
4.3.12 Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi)
sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih.
Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia
(tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di
dalam perut atau kekurangan cairan).
25
BAB IV
ANALISA KASUS
Premedikasi
26
Untuk induksi pada pasien ini diberikan propofol dengan dosis 2-2,5
mg/kgBB (120 mg) secara intravena. Propofol merupakan suatu obat hipnotik
intravena diisopropikfenol yang menimbulkan induksi anestesi yang cepat.
propofol digunakan untuk obat induksi sadar, pemeliharaan dari anestesi,
pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Obat disuntikkan dalam keccepatan 30-
60 detik. Selama induksi anestesi harus diperhatikan pernafasan pasien, nadi,
tekanan darah, dan diberi oksigen.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atracurium 35 mg iv, yang
merupakan non depolaritation intermediete acting. Atracurium dipilih sebagai agen
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme
terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang
disebut eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal.
Selain itu tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang dan tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan relaksasi otot
adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (iv).
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevo. Oksigen diberikan
untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai
O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya kuat.
Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat
dikeluarkan oleh tubuh.
Ketorolak dan tramadol diberikan pada pasien ini dalam RL 500 ml (30
tts/mnt). Sebagai analgetik yang mana cara kerja ketorolak ialah menghambat
sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid disistem saraf.
Dosis awal ketorolak 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.
Tramadol adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu. Dan
27
kelemahan analgesinya 10-20 % dibandingkan morfin. Dapat diberikan secara IM
atau IV dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulangi setiap 4-6 jam dengan dosis
maksimal 400 mg perhari.
Ekstubasi dilakukan pada pasien ini ketika efek anestesi sudah ringan dan
pasien sudah mulai bernafas spontan. Pada pasien ini membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk kembali dapat bernafas spontan dan sadar penuh.
28
BAB V
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
30