Anda di halaman 1dari 5

Alisa Andriani

12103173074/HTN 4 A

RUU yang belum disahkan pada Prolegnas 2014-2018

 RUU tentang larangan minuman beralkohol

RUU ini pertamakali diusulkan tahun 2015 dan masuk Prolegnas


Prioritas 2018 di urutan 10. Pembahasan RUU ini sudah dimulai sejak
DPR periode 2009-2014.

Penundaan pengesahan RUU ini terjadi karena masih terjadi


perdebatan dalam penerapan aturan tersebut. Pangkal persoalannya
lantaran RUU ini terdapat tarik menarik berbagai kepentingan. Mulai judul
awal RUU saja menimbulkan perdebatan. Belum lagi, RUU ini terkait
dengan aspek kepentingan industri, tenaga kerja, pariwisata dan budaya.
Sehingga, aspek kehati-hatian menjadi kunci dalam pembahasan.

Penamaan judulnya dengan kata “Larangan” menjadi keinginan


dua fraksi partai berbasis muslim. Kata itu pula yang menjadi perseteruan
sengit dalam rapat-rapat Pansus dengan pemerintah. Sebab dengan kata
“pelarangan”, maka industri minuman dan pariwisata bakal terkena
dampaknya. Sementara jika dengan kata “pengendalian” misalnya,
peredaran Minuman Beralkohol dapat dibeli dan dikonsumsi di tempat-
tempat tertentu.

Penamaan judul RUU usulan dari Kementerian Perdagangan


diganti dengan kata “pengaturan”. Alasannya, Indonesia terdiri dari
keanekaragaman adat dan budaya. Pada daerah-daerah tertentu minuman
beralkohol kerap digunakan pada acara ritual-ritual tertentu termasuk
kepentingan pariwisata. Atas dasar itu, berbagai aspek itu mesti
diakomodir melalui pengaturan dalam RUU ini.

1
Penamaan judul RUU memang belum menemui titik temu.
Pemerintah mengubah judul RUU menjadi ‘Pengendalian dan Pengawasan
Minuman Beralkoholl”. Dampak perubahan judul dalam pasal-pasal dalam
draf RUU ini. Misalnya, draf awal RUU yang mengunakan kata
“melarang” bagi setiap orang mengedarkan, menjual dan mengkonsumsi
Minuman Beralkohol, menjadi “diperbolehkan mengedarkan menjual
dengan syarat tertentu.

Saat ini, pengesahan RUU Minuman Beralkohol masih belum


terdapat kemajuan. Sidang paripurna DPR RI 2017-2018 memutuskan
perpanjangan pembahasan RUU Minuman Beralkohol sampai batas waktu
yang belum ditentukan.

 RUU tentang Jabatan Hakim

Sejak diusulkan oleh sejumlah hakim muda kepada DPR pada awal
2015 hingga November 2018, RUU Jabatan Hakim belum juga disahkan
sebagai undang-undang. RUU Jabatan Hakim ini diusulkan karena para
hakim muda menginginkan adanya undang-undang tersendiri yang
mengatur jabatan hakim.

RUU Jabatan Hakim masuk dalam Prolegnas prioritas 2016.


Sejumlah isu penting dalam RUU ini menjadi sorotan .

RUU Jabatan Hakim ini disebut-sebut akan terfokus pada


pengaturan manajemen hakim, mulai dari rekrutmen dan seleksi,
pengangkatan, pembinaan, pengawasan, rotasi, mutasi dan promosi,
hingga pemberhentian hakim.

Tantangan DPR saat ini terkait RUU Jabatan Hakim adalah


mencoba menyeimbangkan pembahasan antara menjaga independensi
kekuasaan kehakiman dengan akuntabilitas peradilan. Tetap ada
akuntabilitas yang salah satu sisinya adalah pengawasan, pengawasan
ekternal dan non yudisial dilakukan oleh KY. Karena sudah menjadi
kesepakatan bernegara ketika dilakukan amendemen ketiga yang

2
melahirkan KY agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, efisien
dan efektif.

Oleh karena itu, perlu ada pelibatan KY dalam manajemen hakim.


Hal ini bukan sebuah bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.
Poin kritis terhadap pengangkatan hakim sepantasnya/sebaiknya
mekanisme harus melalui panitia seleksi yang objektif, transparan,
partisipatif dan akuntabel.

Di dalam RUU Jabatan Hakim juga fokus terhadap pengawasan


hakim. Oleh karena itu di dalamnya ada perbedatan mengenai irisan teknis
yudisial dan perilaku. RUU Jabatan Hakim ini diharapkan dapat menjawab
problematika kondisi peradilan di Indonesia yang sarat judicial corroption.

 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

DPR dan pemerintah masih terus melakukan pembahasan Revisi


Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Pembahasan antara Panitia Kerja (Panja) DPR dan
pemerintah sudah menyepakati lebih dari 90 persen seluruh pasal. Hanya
saja, pembasahan masih menyisakan pasal mengenai definisi “terorisme”
itu sendiri.

Menurut salah satu anggota Panitia Kerja, seandainya pemerintah


sudah merumuskan definisi terorisme sesuai dengan standar baku, maka
RUU tersebut sudah dapat dirampungkan sebelum masa reses.

Meski pihak pemerintah sudah menyodorkan definisi terorisme


yang berasal Polri, TNI, Kementerian Pertahanan, Kementerian
Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia termasuk Panja RUU
Terorisme DPR sendiri. Namun, semua definisi terorisme yang diajukan
masih dinilai Panja DPR belum memenuhi standar baku.

3
Definisi terorisme usulan pemerintah belum mengakomodir
rumusan dari berbagai lintas sektor penegak hukum. Tak hanya itu,
rumusan pemerintah hanya mengatur sebagian dari tindak pidana saja
yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Dan ini belum
mendapat titik temu.

Sementara DPR yang banyak menerima aspirasi dan masukan dari


masyarakat, merasa perlu memberi definisi terorisme dalam RUU
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan demikian, penegak
hukum tidak dengan mudahnya menggunakan UU Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme untuk menjerat pelaku.

Definisi terorisme dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme amatlah penting. Sebab, definisi terorisme sebagai menjadi
parameter awal menentukan sebuah tindakan masuk kategori terorisme
atau bukan.

 RUU Tentang Permusikan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan per Agustus 2018


masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019
menempati urutan 48. Ada sejumlah catatan yang mesti menjadi perhatian
pembentuk UU terkait substansi/materi muatan RUU Permusikan ini yang
perlu dikritisi. Salah satunya, adanya potensi ancaman pidana bagi para
pelaku musik atau musisi itu sendiri.

Salah satu anggota penggagas Konferensi Musik Indonesia


(KAMI) menilai ada pasal dalam RUU Permusikan yang justru
mengancam para musisi ketika berkreativitas dalam bermusik. Padahal,
bermusik itu menuangkan rasa dan ide dalam bentuk lirik dan irama secara
bebas. Seharusnya kreativitas bagi musisi tak dapat dibatasi dengan aturan
yang justru mengekang imajinasinya.

Masih terdapat sejumlah pasal dalam naskah RUU Permusikan


berpotensi membelenggu para pelaku industri permusikan. Misalnya,

4
ketika berkarya disalahgunakan pihak berkuasa atau membungkam
kreativitas atau daya imajinasi pelaku seni. Pelaku permusikan pun berada
dalam bayang-bayang ‘jeruji besi’, ini rentan disalahgunakan

Ada pasal dalam RUU Permusikan yang menyebutkan melarang


musisi mendorong kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika,
pornografi, kekerasan seksual, eksploitasi anak, serta memprovokasi
pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar ras, dan antargolongan.
Pelanggarnya dapat diancam hukuman pidana penjara.ketentuan tersebut
dapat membuat musisi melakukan swasensor karena takut terhadap
ancaman pidana.

Perjalanan RUU tersebut belakangan gaduh akibat musisi


Indonesia terbelah pandangan. Sebagian musisi menolak terhadap muatan
materi RUU. Sebagian lainnya merasa perlunya RUU tersebut asal
diperbaiki materinya. Alhasil, Anggota Komisi X DPR Anang
Hermansyah sebagai pengusul mencabut RUU Permusikan dari daftar
Prolegnas Prioritas 2019.

Keputusan tersebut diambil setelah mendapat berbagai masukan


dan saran dari pemerhati musik atas muatan materi draf RUU tersebut.
Alasan lainnya, terkait bakal dilakukannya musyawarah besar komunitas
musik, sehingga keberadaan RUU ini diharapkan tidak menjadi semakin
gaduh pelaksanaannya. Pencabutan RUU sangat mungkin dilakukan
karena posisinya masih di Baleg.

Anda mungkin juga menyukai