Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN

Sport injuries (cedera olahraga) ialah segala macam cedera yang timbul,
baik pada waktu latihan maupun pada waktu berolahraga (pertandingan) ataupun
sesudahnya. Bagian yang biasanya mengalami cedera ialah tulang, otot, tendo,
serta ligamentum. Dengan demikian pengetahuan tentang cedera olahraga berguna
untuk mempelajari cara terjadinya cedera olahraga, mengobati/menolong/me-
nanggulangi (kuratif), serta tindakan preventif (pencegahan).
Di dalam ilmu kesehatan diutamakan tindakan preventif (pencegahan)
daripada tindakan kuratif (pengobatan) karena:
1. Mencegah memerlukan biaya yang lebih ringan daripada mengobati.
2. Jika tindakan pengobatan tidak sempurna akan dapat menimbulkan cacat/
invalid.
3. Ketika sakit dapat mengurangi daya produktivitas.
Dengan mengetahui ilmu cedera olahraga, pelatih atau guru olahraga
selain dapat menangani para anak didiknya yang cedera, juga dapat mencegah
kemungkinan timbulnya cedera. Dari data-data dapat dibuat kesimpulan mengenai
kemungkinan-kemungkinan cedera yang terjadi, yaitu besarnya persentasi cedera
berdasarkan macam cabang olahraga. Secara makro olahraga jenis body contact
sports (sepakbola, rugby, yudo) merupakan olahraga yang paling sering
menimbulkan cedera sedangkan sisanya merupakan olahraga non-body contact
sports seperti tenis, senam, atletik, mendayung, dan lain sebagainya. Sementara
itu sebaran regio di tubuh yang paling besar resiko mengalami cedera yaitu lutut
sebab merupakan organ yng berfungsi ganda sebagai alat penopang berat badan
dan penggerak. Regio lain yang sering mengalami cedera yaitu punggung, lengan
dan kaki/tungkai bawah.
Berdasarkan macamnya cedera, maka cedera olahraga dapat dibagi atas
penyebabnya:
1. External violence (sebab-sebab yang berasal dari luar)
Adanya cedera yang timbul/ terjadi karena pengaruh atau penyebab dari luar.
Misalkan body contact sport: sepak bola, karate, tinju, pencak silat. Bisa juga
karena alat olahraga atau sarana tidak standart ( bola, raket, tongkat pemukul)
atau dari lapangan atau arena yang tidak standar
2. Internal violence (sebab-sebab yang berasal dari dalam)
Cedera ini terjadi karena koordinasi otot dan sendi yang kurang sempurna
sehingga menyebabkan gerakan yang salah dan mengakibatkan cedera
olahraga. Karena bentuk tubuh yang kurang proposional juga bisa
menyebabkan cedera. Kurangnya pemanasan dan konsentrasi juga bias menjadi
penyebab.
3. Over-use (pemakaian secara terus-menerus)
Cedera ini timbul karena pemakaian otot yang berlebihan atau terlalu lelah
biasanya cedera ini terjadi secara perlahan (bersifat kronis). Biasanya
cedera over-use menempati 1/3 dari cedera yang pernah terjadi.
Bedasarkan tingkatanya cedera olahraga dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
1. Cedera Ringan/Cedera Tingkat Pertama
Cedera ringan/cedera tingkat pertama ini ditandai dengan adanya robekan atau
hanya dapat dilihat dengan mikroskop, dengan keluhan minimal, dan hanya
sedikit saja atau tidak terlalu menggangu penampilan atlet yang bersangkutan
baik pada saat berlatih ataupun bertanding.
2. Cedera Sedang/Cedera Tingkat Kedua
Cedera sedang/cedera tingkat kedua ini ditandai dengan kerusakan jaringan
yang nyata, nyeri, bengkak, memar, berwarna kemerah-merahan (suhu agak
panas), dengan gangguan fungsi yang nyata dan berpengaruh pada penampilan
atlet yang bersangkutan baik pada saat berlatih maupun bertanding.
3. Cedera Berat/Cedera Tingkat Ketiga
Cedera berat/cedera tingkat ketiga ini ditandai dengan kerusakan jaringan atau
terjadi robekan lengkap atau hampir lengkap pada otot, ligamentum, dan
fraktur pada tulang yang memerlukan waktu istirahat lebih lama atau total, dan
membutuhkan terapi,pengobatan secara intensif, dan bahkan dimungkinkan
untuk dioprasi.
Reaksi radang (inflamastion)
Reaksi radang adalah respon aktif dari jaringan yang hidup terhadap
adanya jejas (injury). Jejas bisa berupa faktor fisik (trauma, suhu, elektrik), faktor
kimiawi (bahan-bahan kimia), faktor biologi (bakteri, virus, jamur). Jadi setiap
ada kerusakan sel atau jaringan akan selalu diikuti dengan terjadinya reaksi
radang, sehingga dapat dikatakan reaksi radang merupakan respon pertahanan
tubuh yang sifatnya non spesifik dan diakibatkan karena adanya jejas.
Proses radang berfungsi untuk menghancurkan, menetralisir, membatasi
dan membuang jejas yang ada, membersihkan derbis (sel-sel nektorik) dan
memperlancar proses perbaikan jaringan (repair).Repair merupakan suatu proses
dimana sel-sel yang telah rusak digantikan dengan sel-sel yang baru. Repair
jaringan bisa berupa regenerasi dengan sel-sel parenkim asal atau bisa berupa
pergantian dengan sel fibroblast yang berpotensi membentuk jaringan
parut. Reaksi radang dan perbaikan (inflammation and repair) merupakan proses
yang saling berkaitan, dimana proses radang yang berkelanjutan dapat
menghambat terjadinya perbaikan.
Radang dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Radang akut
Merupakan respon yang terjadi setelah mengalami jejas, dan bisa berlangsung
selama beberapa jam. Radang akut meliputi perubahan pada pembuluh darah
(respon vaskuler) dan keluarnya protein plasma, air dan sel-sel radang
akut(eksudasi).
2. Radang kronis
Radang kronis bisa terjadi melalui dua cara. Pertama, radang kronis terjadi
setelah atau mengikuti terjadinya radang akut. Kedua, radang kronis terjadi
sejak awal timbulnya rekasi radang. Perubahan dari radang akut menjadi
radang kronis terjadi bila faktor jejas bersifat presisten, bila respon radang akut
tidak dapat mengatasi terdapat gangguan dalam proses penyembuhan yang
normal.
3. Respon Vaskuler
Segera setelah terjadinya kerusakan sel atau jaringan maka timbul
perubahan-perubahan pada pembuluh darah sebagai berikut :
 Vasokonstriksi
Saat terjadi jjas pada jaringan, ujung-ujung saraf perifer di daerah
tersebut akan mengirimkan sinyal refleks (axon reflex) kepada arteriol
yang terdekat sehingga terjadi vasokonstriksi. Hal ini bertujuan untuk
mencegah perdarahan (hemostasis) dan biasanya hanya berlangsung
beberapa detik sampai beberapa menit.
 Dilatasi Arteriolar
Setelah mengalami vasokonstriksi singkat,terjadi dilatasi pada arteriole
atau (akibat efek dari mediator radang:
histamine,bradykinin,prostaglandin ) pada daerah setempat, aliran darah
meinngkat atau hiperemia disertai dengan aktivitas pembuluh kapiler
cadangan yakni pembukaan anyaman kapiler yang tidak aktif pada
keaadan normal atau istirahat.
 Stasis Aliran Darah
Dengan terjadinya hiperemia maka volume darah meningkat tajam,
selain itu dengan keluarnya cairan plasma kejaringan dalam jumlah
besar maka viskositas darah juga meningkat. kedua faktor tersebut
menyebabkan terjadinya pelambatan aliran darah (stasis) dan sekaligus
peningkatan tahanan erifer. Stasis aliran darah menyebabkan naiknya
tekanan hidrostatik pada kapiler dan venule. Peningkatan tekanan
hidrostatik ini berperanan di dalam proses pembentukan eksudat (lihat
dibawah).
4. Eksudasi
Tahap selanjutnya yaitu terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh
darah (vennule, karena aktivitas dari beberapa mediator radang seperti:
histamine , bradykinin,prostaglandin, dan komplemen C5a, sehingga
terjadi

Anda mungkin juga menyukai