Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 TUBERKULOSIS
1) Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Tuberculosis atau kuman TB. Sebagian bakteri ini
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes RI,
2014). Manusia adalah satu-satunya tempat untuk bakteri tersebut menyerang.
Bakteri ini berbentuk batang dan termasuk bakteri aerob obligat (Todar, 2016).

Bakteri Mycobacterium tuberculosis tidak menghasilkan spora dan


toksin. Bakteri ini memiliki panjang dan tinggi antara 0,3 - 0,6 dan 1 - 4 µm,
pertumbuhan bakteri ini lambat dan bakteri ini merupakan bakteri pathogen
makrofag intraselluler (Ducati dkk, 2017).

Pada saat penderita TB batuk dan bersin kuman menyebar melalui


udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei) dimana terdapat 3.000
percikan dahak dalah sekali batuk (Depkes RI, 2014). M. tuberculosis
ditularkan melalui percikan ludah. Infeksi primer dapat terjadi di paru-paru,
kulit dan usus (Hull, 2016).

2) Tanda dan Gejala

Gejala TB pada umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak


terus-menerus selama 2 minggu atau lebih, yang disertai dengan gejala
pernafasan lain, seperti sesak nafas, batuk darah nyeri dada, badan lemah,
nafsu makan atau pernah batuk darah, berat badan menurun, berkeringan
malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari sebulan
(WHO, 2016).

3) Klasifikasi TB

Klasifikasi TB ditentukan dengan tujuan agar penetapan Obat


Antituberkulosis (OAT) sesuai dan sebelum pengobatan dilakukan , penderita
TB diklasifikasikan menurut Depkes RI, 2014:

1) Lokasi anatomi dari penyakit


Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada parenkim paru.
Limfadenitis TB di rongga dada atau efusi pleura tanpa terdapat
gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan menderita
TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2) Riwayat pengobatan dari penyakit sebelumnya
← Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah mengonsumsi Obat
Antituberkulosis (OAT) namun kurang dari 1 bulan atau kurang
dari 28 dosis.
← Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya
sudah pernah mengonsumsi OAT selama 1 bulan atau lebih (≥28
dosis). Kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir, yaitu:
a) Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap kemudian didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB
yang pernah diobati kemudian dinyatakan gagal pada
pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up) adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan
lost to follow (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat).
d) Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil
pengobatan akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
e) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pada klasifikasi ini pasien dikelompokkan berdasarkan hasil uji
kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT
dan dapat berupa:

a) Mono resistan (TB MR) adalah resistan terhadap salah satu


jenis OAT lini pertama.
b) Poli resistan (TB PR) adalah resistan terhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R)
secara bersamaan.
c) Multi drug resistan (TB MDR) adalah resisten terhadap
isoniazid (H) dan rifampisisn (R) secara bersamaan.
d) Extensive drug resistan (TB XDR) adalah TB MDR yang juga
resisten terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
resistan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
seperti kanamisin, kapreomisin, dan amikasin.
e) Resistan Rifampisin (TB RR) adalah resistan terhadap
rifampisisn dengan atau tanpa resistan terhadap OAT jenis lain
yang terdeteksi menggunakan uji genotip (tes cepat) atau
metode fenotip (konvensional).

4) Klasifikasi pasien TB berdasarkan status Human Immunodeficiency


Virus (HIV)
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV)
adalah pasien TB dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau
sedang mengonsumsi Obat Antiretroviral (ART) atau hasil tes
hiv positif pada saat pasien tersebut didiagnosis TB
b. Pasien TB dengan HIV negatif sebelumnya atau hasil tes HIV
negatif pada saat pasien tersebut didiagnosois TB dengan
catatan: Apabila pada pemeriksaan yang dilakukan selanjutnya
ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien tersebut harus
disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan
HIV positif.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB
tanpa ada bukti pendukung dari hasil tes HIV yang telah
dilakukan saat diagnosis TB ditetapkan dengan catatan:Apabila
pada saat pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes
HIV, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya
berdasarkan hasil tes HIV terakhir yang dilakukan.

5) Berikut klasifikasi TB menurut Depkes RI, 2014 sebagai berikut:

a. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak


mikroskopis, yaitu pada TB paru.

b. Tuberkulosis paru Basil Tahan Asam (BTA) positif. Sekurang-


kurangnyaspesimen dahak Sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS) 2 dari 3 spesimen dahak hasilnya positif.

c. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan menunjukkan


gambaran tuberkulosis pada foto toraks penderita.

d. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA dan biakan kuman TB


positif.
e. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan yang dilakukan sebelumnya negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.

6) Tuberkulosis paru BTA negatif


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan penderita sebelumnya
dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
a. Kasus baru
Merupakan Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan
(empat minggu).
b. Kambuh (Relaps)
Merupakan Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dan hasilnya BTA positif.
c. Kasus setelah putus berobat (Default)
Penderita yang telah berobat dan putus berobat dua bulan atau
lebih dengan hasil BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
penderita menjalani pengobatan
e. Kasus pindahan (Transfer In)
Penderita yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
TB lain untuk melanjutkan pengobatannya lagi.
f. Kasus lainnya
Semua kasus TB lain yang tidak termasuk ketentuan di atas.
Kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu penderita dengan
hasil pemeriksaan masih menunjukkan BTA yang masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.
2.1.2 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, memperbaiki
kualitas hidup, meningkatkan produktivitas pasien, mencegah kematian,
kekambuhan dan memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap obat antiberkulosis (OAT) (WHO, 2016).

Panduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombinasi berupa


Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat yang dikemas dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan penderita TB. Sediaan seperti ini dibuat dengan tujuan agar
memudahkan dalam pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan
sampai pengobatan tersebut selesai dilakukan (Depkes, 2014).

a. Prinsip pengobatan
1) Diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat dengan jumlah
yang cukup dan dosis yang tepat. Jangan menggunakan OAT tunggal
(monoterapi).
2) Dilakukan pengawasan langsung (DOT = Direct Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3) Diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan
(Depkes,2014).

b. Tahap Pengobatan TB
1) Tahap Awal
Pada tahap ini, penderita mendapatkan OAT setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung. Penderita TB tidak akan menular dalam kurun waktu dua
minggu jika pengobatan yang diberikan pada tahap intensif ini tepat.
Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam dua
bulan (Depkes, 2014).
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap ini, penderita mendapatkan obat yang lebih sedikit dari tahap
awal namun pengobatan yang dilakukan lebih lama yaitu selama 4-6
bulan. Tahap lanjutan diperuntukkan agar kuman persister (dormant) mati
sehingga tidak menyebabkan kekambuhan. (Depkes, 2014).
2.2 Keperawatan Komprehensif

Menurut Puspita (2014) peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan


secara komprehensif sebagai upaya memberikan kenyamanan dan kepuasan pada
pasien, meliputi:

2.2.1 Memberikan keperawatan pada psikologi seperti:

1) Caring, merupakan suatu sikap rasa peduli, hormat, menghargai orang lain,
artinya memberi perhatian dan mempelajari kesukaan-kesukaan seseorang dan
bagaimana seseorang berpikir dan bertindak.
2) Sharing artinya perawat senantiasa berbagi pengalaman dan ilmu atau
berdiskusi dengan pasiennya.
3) Laughing, artinya senyum menjadi modal utama bagi seorang perawat untuk
meningkatkan rasa nyaman pasien.
4) Crying artinya perawat dapat menerima respon emosional baik dari pasien
maupun perawat lain sebagai suatu hal yang biasa disaat senang ataupun duka.
5) Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun psikologis merupakan
komunikasi simpatis yang memiliki makna.
6) Helping artinya perawat siap membantu dengan asuhan keperawatannya.
7) Believing in others artinya perawat meyakini bahwa orang lain memiliki hasrat
dan kemampuan untuk selalu meningkatkan derajat kesehatannya.
8) Learning artinya perawat selalu belajar dan mengembangkan diri dan
keterampilannya.
9) Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan terhadap
orang lain dengan menjaga kerahasiaan pasien kepada yang tidak berhak
mengetahuinya.
10) Listening artinya mau mendengar keluhan pasiennya.
11) Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan, dan memahami perasaan
duka , senang, frustasi dan rasa puas pasien.

2.2.2 Memberikan Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK)

Pendidikan pasien merupakan proses membantu pasien dengan cara


memberikan pengajaran tentang perilaku kesehatan agar pasien tersebut dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kesehatan yang
optimal dan kemandirian dalam perawatan dirinya (Bastable, 2002). Potter dan
Perry (2005) menjelaskan bahwa pasien dan keluarga memiliki hak untuk
mendapatkan pendidikan kesehatan agar mereka mampu membuat keputusan
sehubungan dengan kesehatan dan gaya hidupnya. Pemberian pendidikan
kesehatan yang efektif penting dalam asuhan kesehatan yang diberikan kepada
pasien berfungsi untuk menurunkan jumlah klien ke rumah sakit dan
meminimalkan penyebaran penyakit yang dapat dicegah.

KARS (2011) menjelaskan bahwa Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK)


merupakan pemberian pengetahuan yang diperlukan oleh pasien dan keluarga
selama proses asuhan maupun pengetahuan yang dibutuhkan setelah pasien
dipulangkan (discharge) ke pelayanan kesehatan lain atau ke rumah. Pendidikan
yang diberikan juga mencakup informasi sumber-sumber di komunitas untuk
tambahan pelayanan dan tindak lanjut apabila diperlukan, serta bagaimana akses
ke pelayanan emergensi bila dibutuhkan. Asiri, Bawazir, dan Jradi (2013)
menjelaskan bahwa Pemberian informasi kepada pasien dan keluarga
merupakan cara yang paling efektif untuk mendorong pasien dan keluarga
menerapkan gaya hidup sehat dalam kehidupannya. Penerapan gaya hidup sehat
tidak hanya membantu dalam pencegahan penyakit saja, tetapi juga dapat
mengurangi resiko komplikasi sebagai hasil dari penyakit yang diderita pasien
tersebut. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian
Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK) merupakan hak yang dimiliki oleh
pasien dan keluarga agar mereka mampu membuat keputusan sehubungan
dengan masalah kesehatan yang mereka hadapi dan gaya hidup mereka sesuai
dengan masalah kesehatannya. Pendidikan pasien dan keluarga dilakukan
dengan memberikan pengetahuan tentang perilaku kesehatan selama proses
asuhan maupun setelah pasien dipulangkan (discharge) ke pelayanan kesehatan
lain atau ke rumah.

2.2.3 Dukungan Keluarga

1. Pengertian Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang


melindungi seseorang dari efek setres yang buruk (Harnilawati, 2013).
Dukungan keluarga menurut Friedman (2014) adalah sikap, tindakan
penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganny, berupa dukungan
informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan
emosional. Jadi dukunan keluarga adalah suatu bentuk hubungan
interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan terhadap anggota
keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang memperhatikannya.
Jadi dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial
yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses
atau diadakan untuk keluarga yang selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan (Erdiana, 2016).
2. Sumber Dukungan Keluarga

Menurut Caplan (1974) dalam Friedman (2014) terdapat tiga sumber


dukungan sosial umum, sumber ini terdiri atas jaringan informal yang
spontan: dukungan terorganisasi yang tidak diarahkan oleh petugas
kesehatan professional, dan upaya terorganisasi oleh professional
kesehatan. Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-
dukungan sosial yang di pandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu
yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa
atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang
yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan
jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial
keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari
saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman,
2014).

3. Jenis Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (2014), menyatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai


sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan. Terdapat empat dimensi dari dukungan keluarga
yaitu:

a. Dukungan emosional berfungsi sebagai pelabuhanistirahat dan pemulihan


serta membantu penguasaan emosional serta meningkatkan moral keluarga
(Friedman, 2014). Dukungan emosianal melibatkan ekspresi empati,
perhatian, pemberian semangat, kehangatan pribadi, cinta, atau bantuan
emosional. Dengan semua tingkah laku yang mendorong perasaan nyaman
dan mengarahkan individu untuk percaya bahwa ia dipuji, dihormati, dan
dicintai, dan bahwa orang lain bersedia untuk memberikan perhatian
(Sarafino, 2011)

b. Dukungan informasi, keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan


disseminator (penyebar) informasi tentang dunia (Friedman, 2014).
Dukungan informasi terjadi dan diberikan oleh keluarga dalam bentuk
nasehat, saran dan diskusi tentang bagaimana cara mengatasi atau
memecahkan masalah yang ada (Sarafino, 2011).

c. Dukungan instrumental, keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan


praktis dan konkrit (Friedman, 1998). Dukungan instrumental merupakan
dukungan yang diberikan oleh keluarga secara langsung yang meliputi
bantuan material seperti memberikan tempat tinggal, memimnjamkan atau
memberikan uang dan bantuan dalam mengerjakan tugas rumah sehari-
hari (Sarafino, 2011).

d. Dukungan penghargaan, keluarga bertindak (keluarga bertindak sebagai


sistem pembimbing umpan balik, membimbing dan memerantai
pemecahan masalah dan merupakan sumber validator identitas anggota
(Friedman, 2014). Dukungan penghargaan terjadi melalui ekspresi
penghargaan yang positif melibatkan pernyataan setuju dan panilaian
positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa orang lain yang
berbanding positif antara individu dengan orang lain (Sarafino, 2011).

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dukungan

Menurut Purnawan (2008) dalam Rahayu (2014) faktor-faktor yang


mempengaruhi dukungan keluarga adalah:

a. Faktor internal

a) Tahap perkembangan

Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini
adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap
rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap
perubahan kesehatan yang berbeda-beda.

b) Pendidikan atau tingkat pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh


variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang
pendidikan dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan
membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk
memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan
menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan
dirinya.

c) Faktor emosi

Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya


dukungan dan cara melakukannya. Seseorang yang mengalami respon
stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap
berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan
bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang
yang secara umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon
emosional yang kecil selama ia sakit. Seorang individu yang tidak
mampu melakukan koping secara emosional terhadap ancaman
penyakit mungkin.

d) Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani


kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan,
hubungan dengan keluarga atau teman, dan kemampuan mencari
harapan dan arti dalam hidup.

b. Eksternal

1) Praktik di keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya


mempengaruhi penderita dalam melaksanakan kesehatannya. Misalnya,
klien juga kemungkinan besar akan melakukan tindakan pencegahan
jika keluarga melakukan hal yang sama.

2) Faktor sosio-ekonomi

Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko terjadinya


penyakit dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan
bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel psikososial mencakup:
stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan kerja.Seseorang
biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok
sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara
pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia
akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan.
Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada
gangguan pada kesehatannya.

3) Latar belakang budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan


individu, dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan
kesehatan pribadi.
Dapus

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Program Penanggulangan


Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2014. Jakarta.

Ducati,R.G., Ruffino-Netto, A., Basso, L.A, and Santos, D.S. 2017. The
Resumption of Consumption: A Review on Tuberculosis. Memorias do
Instituto Oswaldo Cruz. 101. 697-714.

ERDIANA SARI, Y. U. Y. U. N. (2016). DUKUNGAN KELUARGA DALAM


KUNJUNGAN LANSIA DI POSYANDU LANSIA Di Desa Karanglo Lor
Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo(Doctoral dissertation,
Universitas Muhammdiyah ponorogo).

Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E.G. (2014). Buku Ajar Keperawatan
Keluarga (Riset, Teori, Dan Praktik) Edisi 5. Jakarta: EGC

Harnilawati. (2013). Konsep Dan Proses Keperawatan Keluarga. Sulawesi


Selatan: Pustaka As Salam

Hull, D., Johnston, D.I. 2016. Dasar-Dasar Pediatri, Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta on Tuberculosis. Mem Inst Oswaldo Curz. 101:7. 607-714.

Puspita, R. A. (2014). Gambaran Peran Perawat sebagai Care Giver dalam


Perawatan Pasien PPOK selama Dirawat di RS paru dr. Ario Wirawan
Salatiga. Doctoral dissertation, Program Studi Ilmu Keperawatan FIK-
UKSW).

Rahayu, S. (2014). Keperawatan Keluarga.Yogyakarta: Graha Ilmu

Sarafino, E.P., Smith, T.W. (2011). Health Psychology: Biopsychosocial


Interactions. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Todar, K. 2016. Todar's Online Textbook Of Bacteriology Chapter On


Tuberculosis.

World Health Organization. 2016. Treatment Of Tuberkulosis Guidelines Fourth


Edition. Geneva: World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai