Anda di halaman 1dari 15

Tragedi Rawagede, Seperti Apa

Pembantaian Itu?
Jum'at, 09 Desember 2011 | 13:20 WIB

Cawi binti Baisa berdoa di makam suaminya di taman makam pahlawan Rawagede, Jawa
Barat. AP/Achmad Ibrahim
TEMPO Interaktif, Suara azan subuh baru saja berkumandang ketika ratusan pasukan
Belanda sudah mengepung Desa Rawagede. Hari itu, Selasa, 9 Desember 1947, pukul
04.00 WIB, di bawah pimpinan Mayor Alphons Wijman, sekitar 300 tentara Belanda
mengeledah rumah warga. Mereka mencari pejuang Republik, Kapten Lukas Kustario.

Mayor Wijman mendengar bahwa Lukas berada di Desa Rawagede, Karawang, Jawa
Barat. Desa ini—kini berubah nama menjadi Balongsari—terletak di Kecamatan
Rawamerta, Kabupaten Karawang, sekitar 15 kilometer arah timur laut dari ibu kota
Kabupaten. (lihat Tragedi Rawagede, Apa Alasan Belanda Gelar Operasi Pembantaian?)

Rumah-rumah digeledah, namun yang dicari tidak ada. Pasukan Mayor Wijman
memerintahkan penduduk laki-laki berkumpul di tanah lapang untuk ditanya mengenai
keberadaan Lukas.

Karena tak satu pun penduduk yang memberitahu di mana Lukas, Wijman
memerintahkan pasukannya menembak. Lasmi, 83 tahun, kepada Tempo menuturkan, ia
mendengar para lelaki itu berjejer. “Lalu terdengartekdung, tekdung, bunyi senapan
dikokang, kemudian ditembakkan.”

Lasmi melihat suaminya mati terkapar dengan peluru bersarang di leher. Ini membuat
kandungannya yang berumur tujuh bulan keguguran.

Setelah itu, Lasmi mendengar tembakan mortir. Woss...jegur. Saat itu, para perempuan
memilih tiarap di tempat tidur. “Rame pisan tembakan. Canon--mortir ya, kata
yang tau canon--mortir. Wos-wos..., dari atas.Jegor!” begitu ujar Cawi binti Baisan, janda
korban Rawagede yang saat itu berumur 22 tahun.

Ada enam kali tembakan mortir. Menurut laporan Wijman, 12 kiriman mortir itu
membakar delapan sampai 10 rumah. Wijnen juga menyebut, saat ia menyerang, nyaris
tiada perlawanan. Tembakan mortirnya cuma sempat dibalas sekelompok pria tanpa
seragam satu-dua kali dengan karabin. Halangan utama pasukannya yang tengah
mengarah ke barat justru tanah berlumpur yang licin.

Wijman mengatakan pasukannya hanya berkekuatan 90 personel, diperkuat dengan 2


mortir kaliber 2. Oleh Wijman, pasukan dibagi menjadi tiga grup. Masing-masing
berkekuatan 30 orang. Rawagede dikepung dari tiga jurusan: utara, timur, dan selatan.

Pasukan utara dipimpin dua sersannya. Pasukan itu diperkuat satu bren. Pasukan selatan
dipimpin seorang sersan mayor. Mereka juga dibekali satu bren. Wijman sendiri
memimpin kelompok yang bertugas mengepung kampung dari arah timur. Dibantu dua
perwira, grupnya diperkuat sten dan 2 mortir 2.

Seluruh operasi itu selesai pukul 13.00. Namun versi lain dari Sukarman, Ketua Yayasan
Rawagede, operasi itu berlangsung hingga pukul 16.00.

Cawi, 84 tahun, janda korban pembantaian malah berkukuh tragedi itu terjadi
menjelang magrib. Ia mengaku keluar pukul 17.00 WIB bersama perempuan-perempuan
lainnya mencari suami dan orang tua mereka yang sudah ditemukan bergelimpangan di
rumah dan jalanan.

Cawi tak mengetahui bagaimana suami dan tetangganya dieksekusi. Ia--seperti para
perempuan lainnya--bersembunyi di dalam rumah. Adapun para pria memilih kabur ke
luar kampung atau bersembunyi di sungai atau di kolam, seperti Siot, ayah Kadun.

Kadun saat itu berusia 10 tahun. Ia melihat bagaimana ayahnya bersembunyi di sungai
dekat rumah. “Mukanyadiurugin (ditutup) sampah. Tak terlihat oleh Belanda,” ujarnya.

"Tapi Belanda bawa anjing dan anjing itu menggonggong terus. Lama-lama, tempat
sembunyi ayah disogok-sogok bayonet," kata Kadun. Ayah Kadun akhirnya muncul dari
tumpukan sampah. "Ia dibawa Belanda. Sejak itu, ia tak pernah kembali."

Menurut Sukarman, Belanda melakukan eksekusi dalam kelompok-kelompok kecil,


terdiri dari setiap lelaki yang berumur di atas 14 tahun. Masing-masing kelompok terdiri
dari 10-30 orang. "Masing-masing kelompok warga yang dikumpulkan oleh pasukan
Belanda saat itu tidak saling mengetahui kalau telah terjadi pembantaian. Karena
mereka dikumpulkan secara terpisah," ujarnya.

Menurut data Yayasan Rawagede, jumlah warga yang menjadi korban sekitar 431
korban. Tapi, menurut Wijnen, pihaknya cuma menembak mati 150 orang. Penembakan
itu bukan tanpa sebab. "Sangat mungkin, karena terprovokasi pihak lain, sejumlah yang
tak bersalah jadi korban."

Apa yang terjadi Selasa pagi itu membuat Rawagede bersimbah darah. “Kali Rawagede
merah oleh darah. Mayat bergelimpangan,” kata Kadun. “Di mana-mana menangis,
meratap, dan meratap.”

Sepanjang tiga hari setelah peristiwa pembantaian itu, kata Kadun, para ibu di
Rawagede mencari suami dan anak lelaki mereka. Sejak itu, tak ada lagi lelaki di
kampung itu. Mereka—para perempuan itu—bahu-membahu menggotong dan
mengubur jenazah.

Dengan alat seadanya—cangkul, golok, dan sendok semen—ibu-ibu itu menggali


lubang sedalam sekitar satu meter untuk mengubur jenazah di pekarangan rumah
masing-masing.

Sejak operasi itu, Rawagede tak sama lagi. Cuma dalam 6 jam (versi Belanda) atau 12
jam (versi keluarga korban), Rawagede menjadi kampung janda. Baru bertahun-tahun
kemudian, kampung itu kembali memiliki lelaki dewasa.

Pembantaian Banyuwangi 1998


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Foto salah satu korban pembantaian
Pembantaian Banyuwangi 1998 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang yang diduga melakukan
praktik ilmu hitam (santetatau tenung) yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur pada kurun
waktu Februari hingga September 1998. Namun hingga saat ini motif pasti dari peristiwa ini masih belum
jelas.

Kejadian Awal
Pembunuhan pertama terjadi pada Februari 1998 dan memuncak hingga Agustus dan September 1998.
Pada kejadian pertama di bulan Februari tersebut, banyak yang menganggapnya sebagai sesuatu yang
biasa, dalam artian kejadian tersebut tidak akan menimbulkan sebuah peristiwa yang merentet panjang.
Pembunuh dalam peristiwa ini adalah warga-warga sipil dan oknum asing yang disebut ninja. Dalam
kejadian ini, setelah dilakukan pendataan korban. Ternyata banyak di antara para korban bukan
merupakan dukun santet. Di antarapara korban terdapat guru mengaji, dukun suwuk (penyembuh) dan
tokoh-tokoh masyarakat seperti ketua RT atau RW.
"Sasarannya malah komunitas Using dan komunitas santri. Dan ternyata yang terkena cuma guru
ngaji, seorang tua yang tukang suwuk, kalau ada tokoh, ya tokoh lokal. Sehingga konseptor merasa
gagal" –Hasnan Singodimayan, budayawan. wawancara TvOne.

Radiogram Bupati Pur

Cuplikan surat kabar tentang pernyataan Bupati


Cuplikan radiogram yang dikeluarkan Bupati Purnomo Sidik pada persitiwa 1998
Pada 6 Februari 1998, Bupati Banyuwangi saat itu Kolonel Polisi (Purn) HT. Purnomo
Sidik mengeluarkan radiogram yang ditujukan untuk seluruh jajaran aparat pemerintahan
dari camat hingga kepala desa untuk mendata orang-orang yang ditengarai memiliki ilmu supranatural
dan untuk selanjutnya melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap orang-orang tersebut.
Radiogram selanjutnya dikeluarkan pada bulan September yang berisi penegasan terhadap radiogram
sebelumnya. Namun yang terjadi, setelah radiogram dikeluarkan dan dilakukan pendataan, pembantaian
malah semakin meluas. Dalam sehari ada 2-9 orang yang terbunuh. Sehingga masyarakat berasumsi
bahwa radiogram bupati tersebut adalah penyebab dari pembantaian dan radiogram yang berisi perintah
pengamanan tersebut adalah dalih pemerintah untuk membasmi tokoh-tokoh yang berlawanan ideologi
dengan pemerintah. Selain itu muncul spekulasi bahwa pembantaian tersebut didalangi oleh oknum TNI,
namun hal itu tidak terbukti hingga saat ini.
"Cepak! Cepak! Tentara itu yang nyuruh! Nah, kan. Tentara lagi yang dituduh. Jadi analisa kami
bahwa itu untuk menumbuhkan rasa ketidakpercayaan terhadap aparat" Djoko Soebroto, mantan
Pangdam V Brawijaya. Wawancara TvOne.
Kemudian, terlepas dari spekulasi yang muncul akibat radiogram yang dikeluarkan bupati. Para ulama di
Kabupaten Banyuwangi menganggap bahwa meskipun radiogram yang dikeluarkan dimaksudkan untuk
maksud sebenarnya (benar-benar bertujuan untuk mengamankan orang-orang dengan ilmu
supranatural), penerapannya kurang tersembunyi sehingga informasi mengenai orang-orang tersebut
bocor ke pihak massa pembantai sehingga orang tadi kehilangan nyawanya sesaat setelah melapor ke
aparat desa.
"Seperti di daerah Bubuk itu. Mereka didata, malamnya ada yang nyerbu" –Utomo Dauwis,
anggota TPF NU. Wawancara TvOne.
"Kita tidak menafsirkan berbeda (radiogram), jadi pelaksanaannya seperti itu dan kita lakukan
pengamanan terhadap mereka" Asmai Hadi, mantan camat Banyuwangi. Wawancara TvOne.
Berdasarkan hal tersebut para ulama tersebut menilai bahwa kepemimpinan Bupati Pur gagal dan
membentuk Gerakan 101 untuk menuntut Bupati Pur mundur dari jabatannya.

Ninja
Pada masa pembantaian muncul sosok yang disebut ninja. Ninja tersebut memakai pakaian serba hitam
dan kedapatan memakaihandy-talky dalam beroperasi. Ada dua versi mengenai ninja ini. Ada yang
menyebutkan bahwa ninja tersebut adalah orang yang hanya berkostum hitam dan membawa senjata,
sedangkan yang lain menceritakan bahwa sosok ninja yang mereka lihat adalah seperti ninja
di Jepang dan mampu bergerak ringan melompat dari sisi ke sisi yang tidak akan bisa dilakukan oleh
manusia biasa. Mereka sangat terlatih dan sistematis. Saat itu, yang terjadi adalah listrik tiba-tiba mati dan
sesaat kemudian terdapat seseorang yang sudah meninggal karena dibunuh. Keadaan mayat pada saat
itu ada yang sudah terpotong-potong, patah tulang ataupun kepala yang pecah.
"Karena santri itu panik, ada yang bilang berpakaian hitam, ada yang bilang berpakaian biru.
Sambil jerit-jerit, kata mereka itu yang tiga (orang) di dalam yang tiga di luar" –H. Ali Sudarji,
target pembunuhan yang berhasil lolos. Wawancara TvOne-

Munculnya gelandangan dan orang gila


Pada masa pembantaian ini muncul sekelompok gelandangan dan orang gila di penjuru kabupaten. Baik
di desa maupun di kota. Para orang gila ini menunjukkan hal yang janggal seperti mampu menjawab
dengan baik pertanyaan penanya, namun ketika ditanya mengenai asal usulnya, mereka akan bertingkah
seperti orang gila. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa orang-orang gila ini terlibat dalam peristiwa
pembantaian. Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan menghilangnya orang-orang gila tersebut
tanpa upaya apapun dari pihak berwenang saat pembantaian mulai mereda.

Korban
Berkut ini data korban dari versi, yakni versi Pemkab dan Tim Pencari Fakta Nahdlatul Ulama[1]
Versi Pemkab Versi TPF NU Versi Pemkab Versi TPF NU
Kecamatan Kecamatan
(orang) (orang) (orang) (orang)
Kota 2 2 Cluring 10 11
Giri 12 12 Tegaldlimo 2 2
Glagah 10 8 Purwoharjo 4 3
Kalipuro 4 2 Gambiran 3 7
Kabat 19 16 Genteng 2 5
Rogojampi 16 19 Sempu 5 16
Wongsorejo 3 3 Bangorejo 0 3
Singojuruh 9 9 Glenmore 0 3
Songgon 10 20 Kalibaru 2 2
Srono 2 3 Muncar 0 1
Jumlah 115 147

Investigasi

Cuplikan surat kabar pendapat Jenderal Wiranto


Beberapa penyelidikan pernah dilakukan untuk mengungkap kronologi, dalang, dan motif dibalik
peristiwa ini. Seperti beberapa mahasiswa datang untuk melakukan penelitian dan Menteri Pertahanan
dan Panglima Angkatan Bersenjata saat itu, Jenderal Wirantodatang ke Banyuwangi untuk memantau
penyelidikan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) waktu itu juga telah membentuk tim
untuk menyelidiki dan telah mengumumkan pernyataan bahwa terdapat indikasi pelanggaran HAM berat
pada kasus ini. Namun karena kurangnya keseriusan, akhirnya penyelidikan dihentikan. Selain itu, dalam
kasus ini telah ditangkap puluhan orang dan ditetapkan sebagai tersangka dan menerima sanksi
kurungan dengan kurun waktu yang bervariasi. Meskipun begitu, dalang utama atau orang yang
mencetuskan pertama kali tidak pernah tertangkap ataupun terungkap.
"Kejahatan kemanusiaan itu adalah kejahatan yang dilakukan oleh warga-warga sipil dalam
keadaan tidak perang. Dalam kasus Banyuwangi ini memenuhi sebagai pelanggaran HAM berat
karena terdapat dua unsur yaitu unsur sistematis dan unsur meluas" –Ahmad Baso, komisioner
Komnas HAM. Wawancara TvOne.
"Sistem hukum di negara kita ini kan menuduh, mendakwa dan memidanakan orang perorang.
Kalo itu dikerjakan secara massal, orang bisa sembunyi dibalik massa itu" –Soetandyo
Wignjosoebroto, sosiolog. Wawancara TvOne.
Pada Desember 2007, tim dari Nahdlatul Ulama membuka kembali investigasi kasus ini dengan
memberikan pengaduan kepada Komnas HAM dengan maksud agar peristiwa tersebut bisa diurai,
dalang-dalangnya bisa diseret ke pengadilan dan keluarga korban yang tertuduh sebagai dukun santet
bisa dibersihkan nama baiknya. Namun hal ini terkendala dari keluarga korban yang sudah tidak ingin jika
kasus ini dibuka lagi. Keluarga korban hanya meminta rehabilitasi atas kejadian tersebut dan tidak
menginginkan aktor-aktor dari peristiwa ini diadili.

 image.png
KASUS PELANGGARAN HAM : MARSINAH
I. PENDAHULUAN

Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga
hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda
bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar
jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo
Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang
berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan
kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh
karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada
pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran
tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei
1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang
membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil)
setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus
menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari
mereka perjuangkan dan ont diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk
rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan
yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke
Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.
Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan
sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya
dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu
adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari
selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik
maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat control dan menggelar rapat
untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan
tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap
adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah
Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput
Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan
Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap,
Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum
berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia
membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan
bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.

Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1993. Ia menjadi simbol perjuangan kaum
buruh. Kasus ini pun menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional atau ILO, dikenal sebagai kasus
1713. Namun, pembunuh yang sebenarnya belum menerima hukuman.

II. ANALISIS
Kasus pembunuhan Marsinah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Alasannya
adalah karena telah melanggar hak hidup seorang manusia. Dan juga karena sudah melanggar dari unsur
penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan
demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan
hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.

Tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-
kawan buruhnya. Marsinah dan kawan-kawannya berdemo bukan tanpa sebab. Mereka berdemo untuk
menuntut upah sepatutnya yang sudah menjadi hak mereka sebagai pekerja karena memang setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan diperlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.

Menurut aturan yang berlaku tidak ada dasar hukum yang melarang aksi unjuk rasa/demonstrasi.
Seharusnya masalah yang dituntut oleh para buruh tersebut bisa diselesaikan melalui cara perundingan,
baik dengan mediasi ataupun secara langsung oleh para pihak yang terkait. Jika terjadi aksi unjuk rasa,
maka seharusnya tindakan yang dilakukan dari pihak kontra adalah menyerap dan mengkaji aspirasi
buruh, sedangkan aparat keamanan berwajib menjamin terciptanya komunikasi baik antarkedua belah
pihak. Tapi hal ini tidak terjadi dalam kasus Marsinah.

Menyelesaikan kasus Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang
mungkin hanya dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya. Hilang
dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini
kasusnya tidak pernah menemui titik terang. Pemerintah seharusnya mengadili pelaku pembunuhan
dengan hukum pidana yang sesuai peraturan yang berlaku. Serta memberikan hak – hak dan jaminan
keselamatan kerja kepada para tenaga kerja. Dan mempertegas peraturan mengenai keamanan
ketenaga kerjaan agar kasus sepeti Marsinah ini tidak terulang kembali.

III. KESIMPULAN

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang
membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. 3 Mei 1993, para
buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan
mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus
menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari
mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.Sampai dengan tanggal 5 Mei
1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-
perundingan.
Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan
dengan pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap
menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka
dipaksa mengundurkan diri dari CPS.

Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan
sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya
dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.Mulai tanggal 6,7,8,
keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi
mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

IV. SARAN

Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di
samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita
melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang
lain. Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita
dengan HAM orang lain.

V. SUMBER REFERENSI

http://fuad-myers.blogspot.com/2011/11/analisa-kasus-pelanggaran-ham-berat.html

http://m.kompasiana.com/post/read/678848/2/kasus-marsinah.html

KASUS PELANGGARAN HAM : MARSINAH

I. PENDAHULUAN

Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga
hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda
bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar
jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo
Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang
berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan
kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh
karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada
pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran
tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei
1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang
membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil)
setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus
menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari
mereka perjuangkan dan ont diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk
rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan
yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke
Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.
Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan
sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya
dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.

Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu
adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari
selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik
maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat control dan menggelar rapat
untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan
tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap
adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah
Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput
Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan
Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap,
Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum
berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia
membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan
bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.

Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1993. Ia menjadi simbol perjuangan kaum
buruh. Kasus ini pun menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional atau ILO, dikenal sebagai kasus
1713. Namun, pembunuh yang sebenarnya belum menerima hukuman.

II. ANALISIS

Kasus pembunuhan Marsinah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Alasannya
adalah karena telah melanggar hak hidup seorang manusia. Dan juga karena sudah melanggar dari unsur
penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan
demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan
hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.

Tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-
kawan buruhnya. Marsinah dan kawan-kawannya berdemo bukan tanpa sebab. Mereka berdemo untuk
menuntut upah sepatutnya yang sudah menjadi hak mereka sebagai pekerja karena memang setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan diperlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.

Menurut aturan yang berlaku tidak ada dasar hukum yang melarang aksi unjuk rasa/demonstrasi.
Seharusnya masalah yang dituntut oleh para buruh tersebut bisa diselesaikan melalui cara perundingan,
baik dengan mediasi ataupun secara langsung oleh para pihak yang terkait. Jika terjadi aksi unjuk rasa,
maka seharusnya tindakan yang dilakukan dari pihak kontra adalah menyerap dan mengkaji aspirasi
buruh, sedangkan aparat keamanan berwajib menjamin terciptanya komunikasi baik antarkedua belah
pihak. Tapi hal ini tidak terjadi dalam kasus Marsinah.

Menyelesaikan kasus Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang
mungkin hanya dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya. Hilang
dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini
kasusnya tidak pernah menemui titik terang. Pemerintah seharusnya mengadili pelaku pembunuhan
dengan hukum pidana yang sesuai peraturan yang berlaku. Serta memberikan hak – hak dan jaminan
keselamatan kerja kepada para tenaga kerja. Dan mempertegas peraturan mengenai keamanan
ketenaga kerjaan agar kasus sepeti Marsinah ini tidak terulang kembali.

III. KESIMPULAN

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang
membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. 3 Mei 1993, para
buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan
mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus
menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari
mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.Sampai dengan tanggal 5 Mei
1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-
perundingan.

Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan
dengan pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap
menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka
dipaksa mengundurkan diri dari CPS.

Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan
sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya
dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.Mulai tanggal 6,7,8,
keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi
mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

IV. SARAN
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di
samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita
melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang
lain. Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita
dengan HAM orang lain.

V. SUMBER REFERENSI

http://fuad-myers.blogspot.com/2011/11/analisa-kasus-pelanggaran-ham-berat.html

http://m.kompasiana.com/post/read/678848/2/kasus-marsinah.html

Anda mungkin juga menyukai