Anda di halaman 1dari 35

B.

Transisi Politik Menuju Demokrasi

1. Dari Ototarianisme ke Demokrasi: Kemunculan Negara-negara Demokrasi Baru

Semenjak tahun 1970-an, negara-negara yang masa lalunya bersifat otoriter atau

totaliter telah muncul dan berubah menjadi negara-negara demokrasi baru. Para pemimpin

negara demokrasi baru tersebut mempunyai harapan yang penuh atas masa depan mereka,

dalam mendefinisikan visi atas masa depan tersebut kepada penduduknya ternyata harus

melalui suatu rekonsiliasi dengan warisan masa lalu mereka yang berupa pelanggaran-

pelanggaran HAM tinggalan rezim otoriter sebelumnya. Meskipun tiap-tiap negara

mempunyai mekanisme yang berbeda untuk berhubungan dengan masa lalu masing-masing.

Menurut Samuel P. Huntington, dalam dua hingga tiga dekade terakhir ini, kita

melihat terjadi revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dari otoritarianisme menuju

demokrasi telah terjadi di lebih dari 40 negara. Rezim otoritarianisme telah berubah secara

signifikan. Dalam beberapa kasus, termasuk di berbagai rezim militer, kelompok reformis

menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil inisiatif untuk mendorong transisi. Dalam

kasus lainnya transisi ini muncul dari negosiasi antara pemerintah dan kelompok oposisi. Dan

ada yang lahir dari digusur atau ambruknya rezim otoritarian. Dalam kasus yang sangat

sedikit, ada intervensi amerika serikat dalam menjatuhkan kediktatoran dan menggantikannya

dengan rezim yang dipilih rakyat.

Dalam pandangan Anthony Giddens, semua upaya pembaruan politik, pertanyaan

mengenai siapa subyek atau pelaku politik muncul dengan sendirinya. Partai-partai

demokrasi sosial pada awalnya muncul sebagai gerakan-gerakan sosial pada akhir abad

kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Pada saat ini, selain mengalami krisis

ideologis, mereka juga dikepung oleh gerakan-gerakan sosial baru, dan – sebagaimana partai-
partai lainnya – terperangkap dalam situasi dimana politik mengalami devaluasi dan

pemerintah tampakya kehilangan kekuatan. Neoliberalisme melancarkan ritik berkepanjangan

mengenai peran pemerintah dalam kehidupan sosial dan ekonomi, kritik yang tampaknya

menggemakan kecenderungan-kecenderungan dalam dunia nyata. Sudah saatnya para

demokrat sosial meluncurkan serangan balik atas pandangan-pandangan seperti itu, yang

tidak bertahan lama jika dikaji dengan seksama.

Keberadaan pemerintah dalam perspektif dunia kontemporer dimana tema-tema

tentang berakhirnya politik, dan negara yang dilanda oleh pasar global, menjadi begitu sangat

menonjol, menurut Giddens, adalah untuk:

 Menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan-kepentingan yang

beragam;

 Menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang

saling bersaing ini;

 Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas

mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;

 Menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara,

termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif;

 Mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar

ketika monopoli mengancam;

 Menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui

penetapan kebijakan;

 Mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya

dalam sistem pendidikan;

 Menopang sistem hukum yang efektif;


 Memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam

intervensi makro maupun mikro-ekonomi, plus penyediaan infrastruktur;

 Membudayakan masyarakat-pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang

berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma

tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya;

 Mendorong aliansi regional dan transnasional, serta meraih sasaran global.

Jika tidak didera oleh krisis ekonomi dan moneter, John Naisbitt telah

memprediksikan adanya 8 (delapan) kecenderungan besar yang akan membawa asia ke arah

commonwealth of nations, yang bentuknya sebagai berikut :

1. From nations-states to network.

2. From traditions to options.

3. From export-led to consumer driven.

4. From government-controlled to market-driven.

5. From farms to supercities.

6. From labor-intensive industry to high technology.

7. From male dominance to the emergence of women.

8. From west to east.

Deraan krisi ekonomi di seluruh negara Asia beberapa waktu lalu, bahkan

pengaruhnya masih terasa di Indonesia, telah menyebabkan proses menuju Delapan

kecenderungan besar tersebut menjadi agak menjadi terhambat atau bahkan sama sekali

belum terwujud. Kecenderungan yang keempat telah menimbulkan diskursus tentang

memudarnya batas-batas negara, sehingga cenderung membentuk bangsa tanpa negara yang

menurut Gibernau akan menghadapi tiga dilema :


1. How to deal with internal diversity;

2. How to avoid violence as a strategy to achieve further autonomy and re cognition;

and

3. How to avoid the creation of an expensive bureaucratic machine adding a further

layer of government to an already saturated political structure.

Rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan antara satu sama lain. Tidak ada rezim

otoritarian yang bisa dianggap monolitik, dan juga tidak ada kekuatan-kekuatan lainnya yang

memperjuangkan demokrasi yang dpat dianggap seperti itu.

Hakekat totaliterisme dilukiskan oleh george Orwell dalam bukunya Animal Farm.

Penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah; ia tidak hanya

mau memiliki mmonopoli kekuasaan. Ia justru mau secara aktif menentukan bagaimana

masyarakat hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan bekerja.

Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan; dan siapa yang tidak ikut, akan

dihancurkan.

Faktor-faktor internasional, secara langsung atau tidak langsung, mungkin

mengkondisi dan mempengaruhi jalannya transisi, namun para partisipan utama dan

pengaruh-pengaruh dominan tetap berasal dari dalam negeri. Pentingnya peran individu-

indovidu dalam proses historis yang kompleks. Pentingnya ketetapan waktu, kerumitan dari

proses-proses interaktif yang dilaksanakan dalam periode-periode yang panjang menunjukkan

berbagai cara bagaimana transisi-transisi menghasilkan kejutan-kejutan, dan beberapa ironi

dan paradoks yang dihasilkannya.


2. Reposisi Hubungan Sipil-Militer

Hampir semua negara pada rezim otoritarian menutur Huntington, tidak memiliki

karakteristik hubungan sipil-militer sebagaimana yang ada di negara industrial yang

demokratis, yang disebut dengan istilah “kontrol sipil objektif” (objective civilian control)

yang mengandung hal-hal sebagai berikut : (1) profesionalisme militer tinggi dan pengakuan

dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; (2)

subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan

pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; (3) pengakuan dan persetujuan dari pihak

pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesonal dan otonomi bagi militer; dan

akibatnya (4) minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik

dalam militer.

Menurut Aribowo, penarikan militer dari gelanggang politik memang terus

berlangsung di sejumlah negara Dunia Ketiga. Namun, apakah perkembangan itu akan

mengarah pada militer yang profesional sebagaimana terjadi di Barat, tidak mudah dijawab.

Dalam konteks transisi menuju demokrasi di Indonesia, diperlukan reposisi hubungan

sipil-militer dalam arti yang menyeluruh, dan tidak hanya terbatas pada bidang politik saja.

3. Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan dengan Rezim

Sebelumnya

Tuntutan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan akan hilang secara sederhana;

jika luka-luka di masyarakat bersifat segar dan kejahatan-kejahatan bersifat luar biasa,

perlupaan bukanlah merupakan suatu pilihan.


Dalam kasus Chile, pemerintah telah memilih sarana yang berbeda untuk

berhubungan dengan masa lalunya, misalnya, dengan membuka kebenaran dari pelanggaran-

pelanggaran HAM dan dorongan terhadap suatu pengakuan publik akan kejahatan-kejahatan

dan bahkan suatu permintaan maaf terhadap para korban. Komisi-komisi kebenaran

digunakan sebagai salah satu mekanisme simbolis untuk memutuskan hubbungan dengan

masa lalu. Kadangkala timbul suatu penyederhanaan konsepsi bahwa “kebenaran” lebih baik

untuk keadilan dan bahwa laporan dari komisi-komisi kebenaran merupakan alternatif yang

lebih baik bagi tuntutan-tuntutan pidana sejenis terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM.

Yang pasti, tidak ada jaminan bahwa pengadilan-pengadilan merupakan sarana yang

terbaik untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM, ataupun bahwa mereka

merupakan suatu sarana yang tepat untuk seluruh keadaan. Karenanya, seseorang harus

mengasumsikan untuk kepentingan suatu pendapat bahwa segala tuntutan untuk kejahatan-

kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para diktator sebelumnya harus

dilakukan di bawah kondisi-kondisi legitimasi yang ketat, dan didasarkan pada penghormatan

terhadap aturan-aturan hukum. Perlu adanya suatu argumen dari perspektif politik, hukum,

dan moral yang kuat yang dibuat bagi peran pengadilan-pengadilan pidana dalam

menetapkan landasan bagi suatu tatanan demokrasi yang sungguh-sungguh direnovasi.

4. Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan dengan Militer

Harold Crouch, seorang pengamat militer dari Australia, menyatakan bahwa kondisi

baru yang mengarah ke arah demokratisasi di Indonesia telah memaksa TNI untuk mengubah

doktrin fundamentalnya, termasuk Dwifungsi , selama ini dijadikan landasan untuk

melegitimasikan kekuasaan politiknya. Kelompok reformis TNI berpendapat bahwa TNI

tidak memliki pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut.
Berdasarkan hal itu, mereka kemudian memformulasikan apa yang mereka sebut sebagai

“Paradigma Baru” sebagai pedoman bagi aktivitas-aktivitas politik TNI.

Dalam formatnya yang orisinil, “Paradigma Baru” menyarankan agar militer tetap

berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik, tetapi tidak lagi memiliki aspirasi

untuk mendominasi pemerintahan. Militer tetap akan melanjutkan upaya-upaya untuk

memberikan pengaruh politik, namun pengaruhnya harus secara tidak langsung, tidak bersifat

langsung. Dan militer harus berbagi kekuasaan dengan kelompok sipil.

Menurut Crouch, langkah-langkah yang dimaksud meliputi:

1) Reduction in military representation in the legislatures;

2) Elimination of “kekaryaan” (secondment of military officers to civilian

position);

3) Political “neutrality”;

4) Separation of police from the military;

5) Defence orientation.

C. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik

1. Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika Selatan

Steven Biko ditahan pada 18 Agustus 1977 dan meninggal pada 12 September 1977

di rumah sakit penjara Pretoria, dengan mulut penuh bekas pukulan dan berbusa.

Dua pulu tahun kemudian, lima orang dari kelompok polisi yang membunuh Biko

mengajukan permohonan pengampunan (amnesty) kepada Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi Afrika Selatan.

2. Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi


Menurut Bronkhorst, jika masyarakat ditanya apakah para pelaku kejahatan serius

atau pelanggaran HAM berat seharusnya dihukum, maka 99 persen akan menjawab

“ya”. Itulah sebabnya mengapa banyak negara memiliki peraturan-peraturan hukum

pidana. Dan tentu saja yang lebih nyata adalah bahwa sebenarnya hukum

internasional sudah mengandung beberapa peraturan khusus yang berkaitan dengan

upaya penuntutan dan pemberian hukuman. Ada persetujuan yang meluas di kalangan

para ahli dan organisasi-organisasi Ham bahwa kewajiban untuk melakukan

penuntutan secara alamiah didasarkan pada putusan-putusan yang ada dalam hukum

internasional.

3. Perspektif Hukum Internasional

Dalam praktek perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan HAM secara samar-samar

terus berlangsung. Ada yang bersikap “outward looking” dan ada yang bersikap

“inward looking”. Di Indonesia ada sebagaian masyarakat yang bersikap “outward

looking” berpendapat bahwa semua ketentuan dari badan-badan internasional bersifat

mengikat dan harus dilaksanakan.

Kelompok yang bersikap “inward looking” berpendirian bahwa keputusan-keputusan

internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan, sebab konsep “kedaulatan

negara” yang selama ini dianut oleh masyarakat luas, telah sedikit banyak digerogoti

oleh berkembangnya peran PBB dan fenomena globalisasi, terutama globalisasi

ekonomi. Akan tetapi diyakini pula bahwa di negeri-negeri yang lemah ekonominya,

disamping memenuhi hak-hak politik, fokus utama perlu ditujukan pada pelaksanaan

hak asasi pembangunan. Hal itu krusial untuk terselenggaranya suatu pemerintahan

yang berfungsi dan efektif. Sebab itulah uyang merupakan prasyarat untuk berdirinya

suatu negara demokrasi yang terkonsolidasi.

D. Pengalaman Beberapa Negara


1. Beberapa Negara Amerika Latin

a. Beberapa Karakteristik Transisi politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan

Faktor-faktor internasional lebih menguntungkan transisi politik yang terjadi di

negara-negara Eropa Selatan.

O’Donnell mencatat adanya heteroginitas yang lebih tinggi di Amerika Latin

daripada di Eropa Selatan: tidak semua kasus di Amerika Latinyang memenuhi

kategori otoriterisme birokratis sebelum memulai masing-masing transisi politik.

b. Beberapa Rezim “Otoriterisme Birokratis” atau “Tradisional”

Situasi rezim di beberapa negara Amerika Latin pra transisi politik sebagai

“otoriterisme birokratis”. Ada pula yang menyebutnya “tradisional” mereka

memiliki unsusr-unsur patrimonialis, bahkan sultanis. Ini merupakan rezim yang

paling rentan terhadap transformasi revolusioner.

Rezim otoriter yang sebelumnya diganti oleh suatu rezim yang demokratis, yang

benar-benar berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Senyatanya, rezim baru

tersebut dapat dideskripsikan sebagai suatu demokrasi yang “mudah Hancur” atau

suatu demokrasi yang “sulit”. Lebih jauh, kehadiran elemen-elemen tertentu dari

kontinuitas dapat meningkatkan spekulasi tentang apakah perubahan dalam rezim

tersebut telah lengkap atau tidak.

c. Peru Sebagai Suatu Negara Otoriterisme “Populis”

Menurut Cotler, Peru termasuk dalam ‘keluarga” populis rezim. Di satu sisi,

peran kelembagaan, seperti yang dipertentangkan dengan peran personal, yang

dijalankan angkatan bersenjatanya memadai untuk memisahkan kasus Peru dari

bentuk tradisional kediktatoran militer. Di sisi lain, rezim militer yang populis di

Peru berlawanan dalam beberapa aspek penting dengan rezim birokratik otoriter.

d. Perbedaan dengan Rezim Birokratik Otoriter


Perbedaan rezim populis Peru dengan Rezim birokratik otoriter adalah :

- orientasi anti oligarkis dalam kebijakan rezim Peru; niatnya untuk secara

memperluas industri dan peran ekonomi negara di sebuah negeri yang tak

seberapa maju dalam segi-segi tersebut; dan ketiadaan hasrat untuk

menyingkirkan secara paksa sektor rakyat, melainkan untuk menggiatkan dan

merangkum secara politis berbagai golongan di sektor ini.

- represi politik muncul, yang tingkat dan intensitasnya tidak membawa

perubahan penting sehubungan dengan pola-pola yang ada sebelumnya.

e. Beberapa Kasus Lainnya

Ada kesimpulan yang kurang relevan jika diterapkan untuk masyarakat yang

memiliki stratifikasi yang tidak begitu terdiferensiasi, atau juga yang dicirikan

oleh praktek-praktek patrimonialis yang meluas dan ketiadaan perekonomian

kapitalis.

2. Beberapa Negara Non-Amerika Latin

a. Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Yunani

Peranan para hakim dalam proses kembar transisi menuju demokrasi dan

konsolidasi di Yunani sangat menarik untuk dieksplorasi secara sistematis.

Keterlibatan kalangan Yudisial dalam rezim baru untuk menyelesaikan soal

keabsahan dari pendahulunya yang otoriter harus dipahami dalam konteks

politik umum yang telah dijelaskan di muka. Tradisi yudisial Yunani terletak

di dalam tradisi dominan hukum sipil di masyarakat Kontinental, sebagaimana

diperlawankan dengan tradisi masyarakat Anglo-Saxon.

Kenyataan ini telah memberikan pendalaman implikasi tentang peranan

tempat, status sosial, dan pendidikan dari para hakim yang ditunjuk. Para
hakim di Yunani ditetapkan untuk melakukan langkah sebagai sesuatu yang

hanya berkedudukan sebagai “oprator dari suatu mesin yang didesain oleh

para ilmuwan dan dibangun oleh para pembuat undang-undang”.

b. Konsepsi “Jalan tengah” di Jerman dan Cekoslovakia

Baik jerman maupun Cekoslovakia telah mengalami tingkat kebebasan dan

akses kepada arsip rezim masa lalunya. Dengan demikian resolusi-resolusi

yang dialkukan di kedua negara tersebut bersifat kompromistis, yang bersifat

jalan tengah, yakni tidak terjadi perusakan terhadap arsip masa lalunya, namun

juga tidak tidak dapat dilakukan akses sepenuhnya terhadap arsip tersebut.

c. Perspektif Beberapa Negara Lain

Dalam perspektif negara-negara Eropa Tengah, para penyusun kebijakan

Jerman dapat menikmati suatu kondisi unik dari unifikasi nasional untuk

membimbing mereka dengan pengalaman 40 tahun menerapkan konsepsi

negara hukumnya.

Republik Federal Jerman telah menawarkan suatu rekaman keadilan

transisional yang tampaknya akan tetap tidak ada bandingannya dalam era

pasca komunis

KEADILAN TRANSISIONAL

A. Pengantar

1. Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu, Pencarian Jalan Baru

a. Menghukum Masa Lalu, atau Membiarkan Kaitan dengannya Tetap Eksis

Beberapa bangsa telah bereaksi terhadap masa lalunya yang kacau dengan cara

menutup mata mereka secara kolektif.


Beberapa negara lainnya telah mendapati kesulitan untuk memelihara amnesia

historisnya di hadapan korban-korban yang terus-menerus berjatuhan.

b. Pencarian Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan

Menurut Dan Bronkhorst, dalam konteks keadilan dalam masa transisi terdapat

beberapa kata yang merupakan bagian dari parameter-parameter untuk

menganalisis masalah-masalahyang berkaitan dengan keadilan transisional :

Pertama, adalah kata kebenaran.

Kedua, adalah kata rekonsilisasi, dengan alasan bahwa setiap masyarakat yang

menjadi korban tindakan represif harus dipulihkan dari pengalaman masa

lampaunya, dan mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat penyelesaian

substansial dari konflik dan kekacauan tersebut.

Ketiga, adalah kata keadilan, meskipun peran keadilan dalam proses transisi,

dan prioritas yang diberikannya, berbeda-beda anatara satu bangsa dengan

bangsa yang lain.

2. Empat Permasalahan Utama : Politik Memori

a. Empat Permasalahan Utama

1. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim

baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya?

2. Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi

transformatif?

3. Apakah – jika ada – terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu

negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk

membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?

4. Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi?


b. Beberapa Sanksi Terhadap Kejahatan Ham Berat: Putusan Pengadilan

Nuremberg

Hampir keseluruhan dakwaan yang diajukan terbukti di persidangan, sehingga

sekitar 19 orang terdakwa diputuskan harus menjalani hukuman, walaupun ada

1 orang – yaitu Bormann – yang dijatuhi hukuman secara in absentia karena

tidak diketahui keberadaannya. Sementara juga terdapat 3 orang – Funk, von

Papen, dan Fritzsche – yang dibebaskan karena dinilai tidak terbukti bersalah.

c. Politik Memori

Dalam bahasa Alexandra Barahona de Brito, Carmen Gonzales-Enriquez, dan

Paloma Aguilar, keempat permasalahan utama sebagaimana tersebut di atas

disebut sebagai the politics of memory. Salah satu di antara permasalahan-

permasalahan politik dan etika yang dihadapi selama masa transisi politik dari

rezim otoriter atau totaliter ke rezim demokratis adalah bagaimana untuk

menghadapi berbagai hal yang berkaitan dengan represi masa lalu.

3. Beberapa Wacana tentang “Transitology” dan “Consolidology”

a. Tentang Terminologi “Transitology” dan “Consodology”

Transitology menurut Schmitter adalah: This neo- and, perhaps, pseudo-science

would explain, and, hopefully, guide the way from an autocratic to a democratic

regime.

Consodology menurut Schmitter adalah: Consodology has no such obvious a

patron saint. It reflects a much more consistent preoccupation among students of

politics with the conditions underlying regime stability.

b. Kemungkinan Kontradiksi antara Kedua Subdisiplin


Schmitter melihat adanya kemungkinan terjadinya kontradiksi di antara

tahapan-tahapan dari proses perubahan rezim dan ilmu-ilmu semu yang

mencoba untuk menjelaskan hal tersebut. Terdapat suatu kondisi yang

memungkinkan yang hampir kondusif menakhodai ketidakpastian dari transisi

yang dapat berubah ke arah kondisi-kondisi yang mengikat yang dapat membuat

konsolidasi menjadi semakin sulit.

c. Sebelas refleksi Schmitter tentang “Considology”

1) Refleksi Pertama, demokrasi bukan merupakan suatu hal yang tidak dapat

dihindarkan, dan dia dapat dicabut atau diubah.

2) Refleksi Kedua, transisi dari pemerintahan otokratis atau rezim otoriter

dapat membawa hasil yang berbeda-beda.

3) Refleksi Ketiga, Bukanlah demokrasi yang dikonsolidasikan, namun satu

atau tipe yang lain dari demokrasi.

4) Refleksi Keempat, tipe demokrasi akan tergantung secara signifikan

(namun tidak eksklusif) pada model transisi dari otokrasi.

5) Refleksi Kelima, setiap tipe demokrasi memiliki jalannya masing-masing

yang berbeda untuk mengkonsolidasi dirinya sendiri – khusunya iramanya

dan urut-urutannya sendiri.

6) Refleksi Keenam, demokrasi merupakan satu-satunya bentuk yang sah dari

dominasi politik.

7) Refleksi Ketujuh, peranan yang dimainkan oleh berbagai institusi perantara

ini – partai-partai politik, perkumpulan-perkumpulan kepentingan dan

gerakan-gerakan sosial – telah mengalami perubahan yang tidak dapat

ditarik kembali.
8) Refleksi Kedelapan, transisi-transisi menuju demokrasi jarang terjadi dalam

isolasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai budaya.

9) Refleksi kesembilan, tidak ada suatu jalan demokratis untuk memutuskan

apakah yang seharusnya menjadi unit politis yang efektif.

10) Refleksi Kesepuluh, demokrasi-demokrasi cenderung untuk muncul dalam

gelombang-gelombang.

11) Refleksi Kesebelas, merupakan sesuatu yang mungkin untuk berpindah dari

berbagai tipe otokrasi ke berbagai tipe demokrasi tanpa mengindahkan

seperlunya prakondisi-prakondisi atau syarat-syarat bahwa ilmu politik

telah lama dipertimbangkan sebagai hal yang sangat dibutuhkan untuk suatu

tugas yang sedemikian besar dan sulit.

c. Konteks Internasional pada Waktu Transisi

1. Internasionalisasi Permasalahan

Penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi suatu

sumber yang saling mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru

yang menggantikan dan mereka-mereka yang berada di luar negeri.

2. Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif

Dalam periode perubahan politik, hukum internasional menawarkan suatu

konstruktif alternatif dari hukum yang, walaupun terdapat suatu perubahan

politik yang substansial, tetap berlangsung dan kekal.

3. Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancia, dan Belanda

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para elit politik merupakan suatu

fungsi dari kondisi-kondisi yang menjadi jalan ke arah demokratisasi.

Tak ada satupun solusi ajaib untuk berhubungan dengan masa lalu yang

represif.
4. UU Lustrasi Cekoslovakia

Pada tanggal 4 Oktober 1991, cekoslovakia memberlakukan Law on

Lustration. UU ini mendapatkan kritisisme yang signifikan dari dalam maupun

luar negeri. UU tersebut dipandang telah melanggar Pasal III dari konvensi

ILO tentang diskriminasi di tempat kerja. Pada bulan Nopember 1992, MK

Cekoslovakia menyatakan tidak sah pasal-pasal yang berkaitan dengan

conscious collaborators, namun tetap membelakukan pasal-pasal lainnya.

5. Akibat yang Lebih Signifikan dan empat Skenario Pascakomunis

a. Skenario Pertama

Adalah apa yang disebut sebagai “becoming like the west”. Suatu negara

pascakomunis secara gradual bertranformasi menjadi suatu negara

demokratis pluralis yang stabil.

b. Skenario Kedua

Suatu pembedaan harus dibuat antara kelompok populis, nasionalis,

militer, dan bahkan versi-versi – dengan asumsi adanya kemungkinan

kembalinya ke sistem komunis lama.

c. Skenario Ketiga

Secara esensial tidak mengarah kepada transisi jangka panjang, dimana

pemerintah berubah dengan frekuensi yang abnormal, dan tetap berupaya

untuk mengubah arah.

d. Skenario Keempat

Skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan; ia tidak

dapat diprediksi, sejak ia tidak dapat disesuaikan dengan kategori-kategori

yang eksis sebelumnya.


C. Keadilan dalam Masa Transisi Politik

1. Pandangan Kelompok Realis versus Kelompok Idealis

Dalam perdebatan tentang hubungan hukum dan keadilan dengan

liberalisasi, terdapat 2 (dua) pandangan yang saling berhadapan yang saling

berhadapan, yakni pandangan kelompok realis versus kelompok idealis,

dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa hukum harus menunjang

pembangunan demokrasi. Pandangan tersebut sebagai berikut : apakah

perubahan politik dianggap penting untuk mendahului penegakan aturan-

aturan hukum, atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus

dilakukan mendahului perubahan politik.

Menurut Teitel, dilema awal dimulai dari konteks keadilan dalam

transformasi politik: Hukum dicerna sebagai suatu fenomena yang terletak

di antara masa lalu dan masa yang akan datang, antara pandangan masa lalu

(backward looking) dan pandangan ke masa yang akan datang (forward

looking), antara retropektif dan prospektif, antara individual dan kolektif

2. Hukum Hanyalah Suatu Produk dari Perubahan politik

Transisi yang liberal terjadi terdiri dari suatu urutan dimana perubahan

politik harus dilakukan terlebih dahulu. Respon-respon transisional dari

suatu negara dijelaskan secara luas dalam konteks desakan-desakan politik

dan kelembagaan. Keadilan yang dicari dalam masa ini hanya dapat

dijelaskan dengan cara yang terbaik dalam konteks penyeimbangan

kekuasaan. Hukum hanyalah suatu produk dari perubahan politik.

Keadilan tarnsisional mungkin merupakan suatu isu yang vital bagi

sebagian negara, namun bagi beberapa negara yang lain, hal itu tidak

demikian.
3. Tergantung pada Hubungan antara Hukum dan Politik

Menurut Mahfud, dalam realitanya, ternyata hukum tidak steril dari

subsistem kemasyarakatan lainnya. Poltik seringkali melakukan melakukan

intervensi terhadap pembuatan dan pelaksanaan hukum.

D. Dilema Penerapan Aturan Hukum

1. Dasar Hukum Membawa Rezim Masa lalu ke Pengadilan

Menurut Teitel, dalam periode transformasi politik, masalah legalitas

adalah berbeda dengan masalah dalam teori hukum sebagaimana ia muncul

dalam demokrasi-demokrasi yang mantap dalam waktu-waktu yang normal.

Terdapat suatu penyusunan dari pertanyaan-pertanyaan inti tentang

legitimasi dari rezim baru, termasuk kondisi dan peranan dan pengadilan

transisional. Pilihan terhadap prinsip-prinsip ajudikasi mengimplikasikan

suatu pertanyaan yang terkait dengan dimana, sebagai suatu masalah

institusional, pekerjaan transformasi seharusnya diletakkan: pada

pengadilan atau badan pembuat uu (parlemen)

2. Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan terhadap

Para Mantan Kolaborator Nazi

Diselenggarakannya persidangan Nuremberg – yang kemudian diikuti

dengan proses penghukuman yang dilakukan terhadap para terdakwanya

yang pada intinya menyatakan bahwa aturan hukum mengandung arti

bahwa ia juga memutuskan hubungan dengan rezim hukum Nazi;

karenanya, para mantan kolaborator Nazi harus diadili dengan dasar hukum

yang baru lebih diterapkan untuk menyelesaikan kasus ini.


TANGGAPAN

Suatu konsekuensi yang logis, jika timbul banyak problematika dalam suatu negara

yang berada pada masa transisi, dalam hal ini transisi dari otoriterisme yang dianggap menuju

pada era demokrasi sebagai muaranya. Sebagaimana yang dituliskan oleh Prof Setya

Arinanto di atas, mulai dari masalah reposisi hubungan militer dan sipil di era baru, hak asasi

manusia pada masa transisi, keadilan transisional, hingga masalah legitimasi politik dan

hukum pada era transisi melalui kaca mata transitology dan considology.

Tak dapat dipungkiri, terlepas dari banyaknya problematika yang muncul dalam

proses transisional dalam suatu negara, hasil pergerakan para reformis yang menginginkan

masuknya era baru yang dapat lebih menjamin adanya kesejahteraan masyarakat di

negaranya merupakan suatu kebutuhan dalam gelombang globalisasi yang muncul dan tak

dapat dihindari, namun demikian hasil perjuangan para reformis di setiap negara tidaklah

selalu sama yang dalam spektrum teoritis, banyak teori, baik yang menjadi dasar pandangan

adanya proses transisional maupun dalam rangka menjelaskan gejala-gejala yang muncul

dalam proses transisi yang muncul baik sebelum, ketika proses transisi terjadi, hingga

munculnya era baru sebagai hasil proses transisi hingga saat ini.

Dalam masa transisi, peran pemerintah menurut Anthony Giddens yang layak diubah

kembali, sebagaimana yang kutip oleh Prof Setya Arinanto di atas, tak lepas pula akibat dari

banyaknya tema-tema yang muncul dan dalam masa transisi yang apabila tema-tema tersebut

dikonvergensikan maka dapat bermuara kepada globalisasi dan demokrasi yang begitu

menonjol dalam literatur pada masa transisi.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Marorie Mayo :

‘Globalization’, it has been argued, is a deeply ideological term. By

implication, such critics have suggested, globalization is being defined as an


irresistible contemporary process, a process portrayed as ultimately beneficial for

humankind, or at least as inevitable.1

Adapun dalam fenomena globalisasi sendiri, sebagaimana yang diungkapkan oleh

Cohen dan Kennedy, bahwa terdapat 6 komponen dalam proses globalisasi, antara lain :2

 changing concepts of time and space

 an increasing volume of cultural interactions

 the commonality of problems facing all the world’s inhabitants

 growing interconnections and interdependencies

 a network of increasingly powerful transnational actors and organizations

 the synchronization of all the dimensions involved in globalization

Saat ini, negara yang paling mutkahir akan melakukan proses transisi dari era

pemerintahan otoriter menuju era demokrasi adalah Burkina Faso, salah satu negara yang

berada dalam wilayah Afrika, yang pada 11 oktober 2015 dijadwalkan melakukan proses

pemilihan umum bebas pertama. Sebagaimana yang dilansir dalam media Bussines Monitor

International, bahwa Iklim politik di Burkina Faso tetap tegang sebagai negara yang sedang

mempersiapkan pemilihan bebas pertamanya setelah hampir tiga dekade pemerintahan

dipimpin oleh satu orang. Pemilihan presiden dan legislatif yang dijadwalkan 11 Oktober,

hampir setahun, setelah Blaise Compaore digulingkan di tengah protes kekerasan saat ia

berusaha untuk mengubah konstitusi untuk memperluas kekuasaan 27 tahunnya.3

Meski begitu, ada risiko jangka pendek yang signifikan terhadap stabilitas politik. Di

satu sisi, mereka yang terlibat dalam kerusuhan tahun lalu bisa bereaksi negatif terhadap hasil

1
Marorie Mayo, Global Citizen:Social Movement and The Challange of Globalization,(Canada, Canadian
Scholars’ Press Inc, 2005) hal. 14
2
Ibid. Hal. 16
3
Business Monitor Online, New Democratic Era Brings Promise And Uncertainty, Business Monitor News, 14
September 2015, Lexis Nexis Academic Database, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta 28
september 2015. http://e-resources.perpusnas.go.id
yang mengembalikan mantan sekutu atau menteri dari rezim Compaore berkuasa. Di sisi lain,

kemenangan bagi kandidat oposisi menyiratkan pemerintahan baru dengan hampir tidak ada

pengalaman kekuasaan politik pada saat penting bagi stabilitas lokal dan regional.

Bussines Monitor International sendiri melihat, bahwa pemilu yang dilakukan

sebagian besar akan damai, sehingga menyelesaikan tonggak penting dalam transisi

demokrasi. Namun, masih ada risiko yang signifikan dari tantangan untuk legitimasi

pemerintah yang masuk, termasuk prospek kerusuhan jika calon yang kalah tidak mengakui

hasilnya.4

Proses ini telah dimulai dengan kontroversi setelah dewan konstitusional

mendiskualifikasi tawaran dari enam calon, termasuk dua pendukung Compaore yang

berupaya mereformasi konstitusi tahun lalu. Lebih dari 40 kandidat untuk pemilu legislatif

simultan juga dilarang berjalan dengan alasan yang sama. Langkah ini telah membangkitkan

kekhawatiran atas keterbukaan pemungutan suara: pada bulan Juli Pengadilan Tinggi

Masyarakat Ekonomi 15 negara dari negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) membatalkan

larangan pendukung Compaore diikutkan dalam persaingan pemilu, dan memerintahkan

negara untuk menghapus semua hambatan untuk menjamin hak untuk bebas berpartisipasi

dalam jajak pendapat.5

Dalam proses pemungutan suara tersebut, ada 16 presiden dan sekitar 7.000 calon

legislatif yang terdaftar untuk bersaing dalam pemilihan bulan Oktober 2015, menghasilkan

4
Ibid.
5
Selanjutnya, hal tersebut tidak termasuk beberapa unsur mantan pemerintah sebelumnya yang bisa
mendorong untuk mencari cara lain yakni cara non-demokratis agar mendapatkan kembali kekuasaannya.
Memang, Congres pour la Democratie et leProgres (CPD), sebuah aliansi kelompok-kelompok pro-Compaore
yang telah mendominasi parlemen sejak tahun 2002 telah mengancam akan memboikot pemungutan suara
setelah pemimpin dan calon Eddie Komboigo dilarang berjalan. Pihak CPD juga menyerukan pendukungnya
untuk menggunakan & quot; pembangkangan sipil & quot; jika diperlukan. Mengingat didirikan struktur CPD
dan dukungan luasr, hal itu belum bisa menimbulkan ancaman terhadap demokrasi yang rapuh jika memilih
untuk itu. Dalam, Ibid.
ketidakpastian atas bahwa pemerintahan berikutnya akan memiliki kekuatan mandat. Jajak

pendapat lokal menempatkan Roch Marc Kristen Kabore (Gerakan Rakyat untuk Kemajuan,

MPP) dan Zephirin Diabre (Union untuk Kemajuan dan Perubahan, UPC) sebagai kandidat

presiden. Keduanya memiliki hubungan sejarah dengan rezim sebelumnya: Diabre adalah

Menteri Keuangan sebelum meluncurkan UPC pada tahun 2010 dan menjadi tokoh oposisi

terkemuka sementara Kabore, setelah presiden Majelis Nasional, memisahkan diri dari

pemerintah pada tahun 2014 sebagai protes reformasi konstitusi yang diusulkan.6

Berbeda dengan negara-negara yang memulai masa transisi di akhir abad ke 20, di

Burkina Faso, masalah Hak Asasi Manusia belum menjadi isu yang urgen dan menjadi

tantangan bagi pemerintahan yang baru nantinya.

Dalam analisis yang dilakukan oleh Bussines Monitor, terdapat tiga tantangan bagi

pemerintahan yang akan datang pasca pemilihan umum yang akan berlangsung nanti antara

lain :7

1. Reformasi Kelembagaan

Salah satu isu kunci pertama bahwa presiden berikutnya harus berurusan dengan

reformasi institusi Presidential Security Regiment (RSP), pasukan elit yang

dikembangkan oleh Compaore untuk mempertahankan pengaruhnya yang

signifikan. Pada bulan September, komisi yang dibentuk untuk mengusulkan

reformasi, merekomendasikan agar RSP dibubarkan, meskipun ini mungkin

menjadi tugas yang tidak mudah bagi pemerintahan baru. Sudah pasti, masa

depan dari RSP telah menjadi sumber ketidakstabilan selama pemerintahan

transisi, dengan resimen memberikan tekanan besar pada Perdana Menteri

berkuasa Isaac Zida. Tanpa reformasi, RSP akan tetap menjadi ancaman yang

6
Ibid
7
Ibid.
mendasar kepada pemerintah terpilih dan tatanan demokrasi, tetapi mencari

resolusi definitif kemungkinan akan mengambil waktu yang panjang dan

menyebabkan adanya ketegangan.

2. Pemulihan ekonomi

Adanya wabah ebola dan benturan krisis politik pada tahun 2014 yang meskipun

diharapkan adanya pemulihan di 2015, masih ada kekhawatiran karena turunnya

harga internasional untuk komoditas utama (yaitu emas dan kapas, yang

menyumbang hampir 90% dari pendapatan ekspor negara), defisit anggaran

meningkat, dan dampak dari banjir baru-baru ini. Ketidakpastian politik dalam

jangka sampai dengan pemilu Oktober adalah hambatan lain bagi investasi, dan

membentuk pemerintahan tetap akan menjadi hal yang vital untuk mengatasi

tantangan ekonomi yang cukup besar yang terbentang di depan.

3. Keamanan regional

Burkina Faso sejauh ini menghindarkan diri dari ancaman keamanan terburuk

yang mempengaruhi sebagian besar wilayah. Namun, adanya serangan terbaru

oleh tersangka Islamis radikal dan penculikan warga negara Rumania awal tahun

ini merupakan peringatan atas penyebaran ekstremisme, terutama di dekat

perbatasan utara negara itu dengan Nigeria dan Mali. Jika pemilu menciptakan

pemerintah yang lemah, kita dapat melihat risiko yang lebih besar dari kegiatan

teroris di negara itu, yang akan merusak iklim politik dan investasi negara.

Transisi politik, bagaimanapun juga, merupakan keniscayaan yang harus terjadi dalam

mengubur rejim lama dan membentuk rejim baru-terlepas dari beratnya persoalan dan

tantangan yang dihadapi oleh rejim transisi. Namun, kajian mengenai transisi kini mulai

digugat, karena faktor ketidakjelasan konsep tersebut dalam memberikan kerangka atau

batasan waktu: kapankah transisi berkahir dan rejim seperti apa yang akan muncul
sesudahnya? konsolidasi demokrasi, sebagai tahap lanjutan dari transisi, hanya disepakati

sebagai suasana ketika demokrasi menjadi “satu-satunya aturan main yang disepakati” (the

only game in town)- meminjam istilah yang dikemukakan Guillermo Oðonnel. Tahap

konsolidasi demokrasi terjadi terutama ditandai ketika masyarakat percaya bahwa apapun

yang terjadi selalu ditempuh penyelesaiannya dengan cara non-kekerasan;dan ketika secara

konstitusional, norma, aturan-aturan baru, dan tata cara penyelesaian konflik telah diatur

dalam ketentuan perundangan.8

Sebagaimana yang telah digeneralisasi oleh Hutington terhadap fenomena yang

muncul pada masa transisi yang terjadi di berbagai negara pada akhir abad ke 20, bahwa

negeri-negeri menghadapi tiga jenis masalah dalam membangun serta mengkonsolidasi

sistem politik demokrasi mereka yang baru. Masalah-masalah transisi muncul langsung dari

fenomena perubahan rezim dari otoritarisme ke demokrasi. Masalah-masalah ini meliputi

masalah memapankan sistem konstitusi dan sistem pemilihan yang baru; menyingkirkan para

pejabat yang pro-otritarisme dan menggantikan mereka dengan pejabat-pejabat yang

demokratis; mencabut atau mengubah undang-undang yang tidak cocok untuk

demokrasi;menghapus atau secara drastis mengubah badan-badan otoriter seperti polisi

rahasia; dan, pada sistem satu-partai terdahulu, memisahkan hak milik, fungsi, dan personalia

partai dengan hak milik, fungsi dan personalia pemerintah. Dua masalah transisi yang penting

di banyak negeri adalah (1) “ masalah si penyiksa”, yaitu bagaimana memperlakukan pejabat-

pejabat otoriter yang telah secara kasar melanggar hak asasi manusia, dan (2) “masalah

praetorian”, yakni bagaimana meperkeceil keterlibatan militer dalam politik dan

memantapkan suatu pola hubungan sipil-militer yang profesional.9

8
Tim Propatria Institute, Demokrasi dan Keamanan: Pemetaan Orientasi dan Prioritas Partai-Partai Politik dan
Pasangan Capres-Cawapres di Bidang Kemanan Nasional, (Jakarta, Proparia Institute Dan Yayasan Tifa, 2012)
hal. 15
9
Samuel P Hutington, The Third Wave : Democratization in the late twntieth century, terj. Asril Marjohan, atau
Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta:Pustaka Utama Gravfiti, 2001) hal. 272
Kategori masalah yang kedua dapat dinamakan masalah kontekstual. Masalah ini

berasal dari watak masyarakat, perekonomian, budaya, dan sejarahnya, dan dalam taraf

tertentu endemik di negeri itu, apa pun bentuk pemerinthannya, para penguasa otoriter tidak

mengatasi masalah-masalah ini, dan hampir pasti, demikian juga halnya dengan penguasa

demokratis. Karena masalah-masalah ini bersifat khas bagi masing-masing negeri dan bukan

fenomena umum dalam masa transisi, maka masalah-masalah ini jelas berbeda dari negeri

satu ke negeri lainnya.10

Namun demikian, masalah tak henti sampai disitu, dalam pandangan Hutington lebih

lanjut, selain gelombang demokratisasi yang muncul dalam masa transisi dari pemerintahan

yang otoriter ke demokratis, ternyata tidak menutup peluang terjadinya gerakan kembali

kepada sistem otoriter yang disebut oleh Hutington dengan istilah “gelombang balik”.

Dimana masalah-masalah konsolidasi bisa menyebabkan terjadinya lebih lanjut gerakan

kembali ke sistem otoriter di negeri-negeri dimana kondisi-kondisi penunjuang demokrasinya

lemah. Namun, gelombang demokratisasi pertama-dan kedua diikuti oleh gelombang-

gelombang balik yang besar yang melebihi masalah-masalah konsolidasi, dan selama masa

itu kebayakan perubahan rezim yang terjadi di seluruh dunia adalah dari demokrasi menjadi

otoriterisme.11

Hutington menggeneralisasikan sehubungan dengan kedua gelombang balik pertama

antara lain :12

Pertama, faktor-faktor penyebab terjadinya pergeseran dari sistem politik demokratis ke

sistem poilitk otoriter sekurang-kurangnya sama beragamnya dan sebagian bertumbang tindih

dengan faktor-faktor penyebab terjadinya pergeseran dari otoriterisme ke demokrasi. Faktor-

faktor yang mempengaruhi transisi gelombang balik pertama dan kedua antara lain adalah :

10
Ibid. Hal.273
11
Ibid. Hal 375
12
Ibid
1) Lemahnya nilai-nilai demokrasi di kalangan kelompok-kelompok elite yang utama

dan khalayak umum;

2) Krisis atau ambruknya perkonomian sehingga memperhebat konflik sosial dan

meningkatkan popularitas cara-cara perbaikan yang hanya dapat dipaksakan oleh

pemerintah otoriter;

3) Polarisasi sosial dan poltik yang sering ditimbulkan oleh pemerintah berhaluan kiri

yang berupaya memperkenalkan atau ternyata memperkenalkan terlalu banyak

reformasi sosial ekonomi yang besar dalam tempo yang terlalu cepat;

4) Tekad kelompok-kelompok kelas menengah dan kelas atas untuk mengucilkan

gerakan-gerakan populis dan kiri serta kelompok-kelompok kelas bawah dari

kekuasaan politik;

5) Lumpuhnya hukum dan ketertiban sebagai akibat terorisme atau pemberontakan;

6) Intervensi atau penaklukan oleh suatu pemerintah asing yang nondemokratis;

7) Efek bola salju dalam wujud efek-demonstrasi dari jatuhnya atau tergulingnya sistem

demokrasi di negeri-negeri lain.

Kedua, transisi dari sistem demokratis ke sistem otoriter, kecuali yang ditimbulkan

oleh aktor-aktor asing, hampir selalu dihasilkan oleh mereka yang berkuasa atau yang dekat

dengan kekuasaan dalam sistem demokratis itu. Dengan satu atau dua perkecualian yang

mungkin terjadi, sistem-sistem demokratis tidak dikahiri dengann suara rakyat atau

pemberontakan rakyat.

Sebagaimana diketahui, pemahaman common sense terhadap pemikiran Huntington

mengenai demokratisasi global gelombang ketiga diam-diam mendapat tempat yang luas di

kalangan para penganjur demokrasi termasuk yang terjadi di Indonesia. Indonesia dianggap

terkena sapuan global itu, khususnya dalam pemahaman bahwa bentuk-bentuk pemerintahan

otoritarian tidak lagi bisa dipertahankan. Otoritarianisme politik dalam bentuk kekuasaan
despotik dan personal seperti diktator, tiran, otokrat; atau dalam bentuk plutokratik seperti

junta militer, dianggap melawan semangat zaman, melawan arus sejarah. Di kalangan militer

sekalipun jalan-pikiran seperti ini cukup kuat dianut. Pandangan ini juga sangat dipercaya di

kalangan masyarakat sipil dan kelompok-kelompok kelas menengah yang percaya bahwa

sejarah politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari arus progresif sejarah dunia: tatanan

dunia bebas yang demokratis di bawah pengaruh dan kepemimpinan negara-negara maju.13

Dalam pandangan dominan mengenai proses demokratisasi dan hak asasi manusia di

Indonesia, berpusat pada kombinasi dua tesis besar yakni tesis universalis dan tesis

transisionis-mekanis. Tesis universalis yang berkembang dalam era pasca-otoritarian di

Indonesia pada dasarnya merupakan kombinasi dari ide liberal dan libertarian yakni

pandangan demokrasi dan hak asasi manusia yang menganggap standpoint “the primacy of

the universal over the particular” sebagai sumber utama dan sarana penumbangan kekuasan

politik otoritarian plus anggapan bahwa salah satu tujuan pokok dan objektif dari politik

alternatif otoritarian adalah sedemikian rupa meminimalisasi kapasitas sosial, politik negara

karena dianggap di masa lampau ia merupakan sumber segala bentuk perampasan hak-hak

dan kebebasan individual. Jadi yang satu menekankan universalitas dan yang satunya

menekankan kebebasan individual.14

Tesis transisionis melihat perubahan politik dan perjuangan HAM sebagai proses dan

prosedur yang baku yang dapat digambarkan dalam model pentahapan politik yang pasti

nyaris matematis, dan terstandardisasi yakni dari non-demokrasi-transisi-dan demokrasi

penuh. Pandangan semacam ini, sangat dipengaruhi oleh gagasan Huntington mengenai

konsolidasi demokrasi dari negara-negara yang mengalami gelombang demokrasi ketiga.

13
AE Priyono & Fransiscus Djalong, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia: Sebuah Pemetaan Wacana ,
artikel diambil dari http://langitpoetih.blogspot.co.id/2011/03/demokrasi-dan-demokratisasi-di.html, pada 27
September 2015
14
Robertus Robert, Politik Ham dan Transisi di Indonesia, (Jakarta: ELSAM, 2008) hal. 55.
Menurutnya, pada fase ini terdapat problem-problem khusus seperti masalah reformasi politik

militer, mengatasi masalah kekejaman di masa lalu dan pendirian kebudayaan politik

demokratis. Melalui pengamatan itu, Huntington melihat adanya semacam pola-pola besar

dalam gelombang demokrasi. Pola-pola ini yang kemudian cenderung untuk dijadikan model

baku perubahan politik dunia ketiga.15

Berkaitan dengan demokrasi sebagai salah satu muara transisi sistem politik pasca

otoriterisme, dan adanya peluang gerakan kembali ke rezim otriter, terdapat dua liran yang

dapat menjadi tolak ukur dalam menganalisis paradigma yang digunakan dalam sistem politik

yang secara positivis berlaku di era pasca transisi.

Aliran pertama adalah aliran ekonomi pembangunan. Aliran ini telah

menyederhanakan, lebih tepat lagi, telah mereduksi sistem politik semata-mata sebagai teknik

administrasi dan teknik manajemen dalam rangka mencapai prestasi ekonomi tertentu.

Seluruh aktivitas sosial diarahkan berbentuk program oriented dalam masa yang dipercayai

sebagai era The end of ideology. Oleh pandangan ini, pembangunan ekonomi dijadikan

moralitas tertinggi.16

Rasionalisasi dari kebijakan ini bersandar pada dua asumsi. Pertama, kekuasaan yang

otoriter tetapi berfungsi dan stabil adalah lebih baik daripada kekuasaan demokratis namun

tidak berfungsi dan sering menimbulkan kekacauan. Kedua, di negara dunia ketuga yang

mayoritaas masyarakatnya masih miskin, rakyat setempat labih membutuhkan pembangunan

ekonomi ketimbang kebebasan politik.

15
Ibid. Hal.55-56
16
Denny J.A, Opini Harian Kompas, Demokrasi Indonesia: Visi dan praktek, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2006), hal.3-4
Aliran kedua adalah aliran ekonomi politik. Aliran ini sebagai reaksi keras terhadap

aliran pertama, dan dan menurunkan konsekuensi operasional yang sama sekali berlawanan.

Ia memberi tanggapan terhadap kenyataan yang telah dihasilkan oleh aliran pertama.17

Pertama, ternyata kekuasaan otoriter yang paling berfungsi dan paling stabil

sekalipun tidak menjamin akan menciptakan masyarakat yang egaliter dan adil. Sebaliknya,

dari contoh empiris yang ada, sungguhpun terjadi pertumbuhan ekonomi namun disertai oleh

tingkat ketimpangan yang semakin mencolok antara lapisan elite dan masyarakat luas di

luarnya. Sementara itu, dominasi kekuasaan yang dilegitimasi oleh pandangan tersebut

cenderung menurunkan ketimpangan tersebut, dan punya peluang melakukan eksploitasi yng

sukar dilawan.

Kedua, ternyata pernyataan yang mengatakan masyarakat miskin lebih membutuhkan

pembangunan ekonomi daripada kebebasan politik adalah pernyataan yang ideologis sifatnya.

Hal ini disebabkan karena pernyataa tersebutdapat melegitimasi proses depolitisasi massa

dalam rangka melestarikan dominasi kekuasaan yang ada. Pernyataan tersebut bukanlah

pernyataan akademis tetapi pernyataan politis. Oleh karena itu, menurut aliran kedua ini,

seluruh bangunan aliran pertama ini harus dikaji ulang. Jika aliran pertama begitu

mementingkan stabilitas politik, maka aliran kedua begitu mementingkan kontrol sosial

terhadap mesin kekuasaan. Jika aliran pertama memerlukan pengikisan kekuatan non negara

dan depolitisasi massa, maka aliran kedua memerlukan pembesaran kekuatan non negara dan

politisasi massa.

Barangkali, indikator utama yang dapat diterapkan untuk memastikan bahwa transisi

telah usai dan telah mulai digantikan dengan tahap demokrasi yang lebih terkonsolidasi

ditandai oleh para aktor utama yang mulai beradaptasi dengana aturan-aturan main yang lebih

17
Ibid. Hal. 4.
demokratis (democratic rules). Di sisi lain, warganegara juga memiliki keterikatan yang sama

dengan aturan-aturan tersebut. Apa yang disebut dengan “democratic rules” ini dapat dapat

mengambil tiga dimensi : legal-organisasional, normatif, dan kekuasaan. Dimensi pertama

menyangkut aturan-aturan tentang legalitas keberadaan partai-partai politik dan kelompok-

kelompok kepentingan serta pengintegrasiannya ke dalam legal order konstitusional.

Dimensi normatif menunjuk pada aspek pluralisme di mana terdapat pengakuan yang

diterima oleh semua pihak bahwa tidak ada satu pun kelompok yang boleh mengklaim dapat

memonopoli kebenaran politik dan memaksakan kehendaknya secara sepihak. Pluralisme

juga mengandaikan adanya toleransi, pengakuan majority rule, limited government dan

perlindungan hak asasi manusia. Sementara dimensi kekuasaan dari democratic rules

mencakup masalah pembagian kekuasaan, pemekaran pusat-pusat kekuasaan (seperti

otonomi daerah/regional) dan akuntabilitas penguasa. Tiga faktor inilah yang secara

mendasar menjadi garis pembeda antara demokrasi yang secara mendasar menjadi garis

pembeda antara demokrasi yang rentan (fragile) dan penuh ketidakpastian dengan demokrasi

yang lebih stabil/permanen (consolidated).18

Berkaitan dengan hal tersebut, karakter produk hukum yang dibentuk dan diterapkan

di suatu negara pada dasarnya juga dapat menjadi indikator apakah transisi telah usai pada era

demokrasi ataukah kembali ke masa otoriter. Sebagaimana yang diketahui, bahwa karakter

produk hukum di suatu negara, sangat bergantung pada konfigurasi politik di negara tersebut,

apakah konfigurasi politik di negara tersebut merupakan konfigurasi politik demokratis yang

diidentikkan sebagai susunan sistem politik yang membuka peluang bagi partisipasi rakyat

secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Ataukah dalam konfigurasi

politik otoriter dimana susunan sistem politik yang memungkinkan negara berperan sangat

18
Tim Propatria Institute, Demokrasi dan Keamanan: Pemetaan Orientasi dan Prioritas Partai-Partai Politik dan
Pasangan Capres-Cawapres di Bidang Kemanan Nasional, (Jakarta, Proparia Institute Dan Yayasan Tifa, 2012)
Op.Cit.hal. 15.
aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara secara

intervensionis.19dimana pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka karakter

produk hukum yang dihasilkan cenderung responsif. Sedangkan ketika konfigurasi politik

bergeser ke sisi otoriter, maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter

konservatif/ortodoks/elitis.20

Hal penting lain, yang menjadi tolak ukur kestabilan demokrasi di suatu negara, adalah

berkenaan dengan legitimasi demokrasi serta aktor-aktor yang berperan penting dalam proses

pelaksanaan demokrasi, Donatella De La Porta dalam pandangan yang kontemporer,

menguraikan tentang bagaimana menguatkan legitimasi demokrasi saat ini, sebagaimana dia

menguraikan bahwa :

In the historical evolution of democratic regimes, a circuit of surveillance,


anchored outside state institutions, has developed side by side with the
institutions of electoral accountability. Necessary to democratic legitimacy,
confidence requires defiance, in the sense of instruments of external control and
actors ready to perform this control; in fact, democracy develops with the
permanent contestation of power. Actors such as independent authorities and
judges, but also mass media, experts and social movements, have traditionally
exercise this function of surveillance.21
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kusnanto Anggoro, dimana menurut Kusnanto

Anggoro, keberhasilan transisi demokrasi hanya akan terwujud ketika ada “kerjasama antara

negara dan masyarakat” keniscayaan demokrasi sebagai satu-satunya aturan permainan

menjadikan kesadaran hukum sebagai elemen yang krusial. Sayang sekali bahwa kepentingan

19
Mahfud MD, Tolak-Tarik Antara Hukum Dan Politik Sebagai Fakta, pengantar dalam Daniel S Lev, Hukum
Dan Politik di Indonesia: Kesinambungan Dan Perubahan, Cetakan ke 4 (Jakarta,Pustaka LP3ES Indonesia,
2014), hal. x
20
Ibid,hal xi
21
Donatella De La Porta, Can Democracy Be Saved ?: Participation, Deliberation, and Social Movement
(Cambridge: Polity Press, 2013) hal. 5.
massa, bahwa elit politik, disengaja atau tidak, mungkin sekedar memanipulasi dan

mengatasnamakan kepentingan rakyat.22

Di beberapa negara pasca-otoriter, kecenderungan itu merupakan suatu gejala yang

umum ditemuan. Di pasca-Soviet Rusia, misalnya, kegagalan transisi politik terutama terjadi

karena perubahan terpusat dan berasal dari atas, dengan dominasi elit poitik untuk

merumuskan apa yang perlu diubah dan seberapa jauh perubahan itu dilaksanakan.

Kebutuhan untuk membangun hukum dan perundang-undangan seringkali merupakan

“permainan politik”.23

Lebih lanjut lagi, Donatella De La Porta menyatakan : 24

Democracies are also varied. Different democratic qualities have been


intertwined in the construction of diverse typologies. Political scientists have
often looked at different arrangements in terms of functional and geographical
distribution of power, involving more or less centralization in public decision
making. Other scholars have pointed at the varying capacity of democratic states
to implement their decisions. Tilly has, for instance, classified political regimes
on the basis of some of their capacities: ‘How wide a range of citizens’ expressed
demands come into play; how equally different groups of citizens experience a
translation of their demands into state behaviour; to what extent the expression of
demands it self receives the state’s political protection; and how much the
process of translation commits both sides, citizens and the states’

Hal yang mesti diperhatikan dalam proses transisi yang terjadi di Burkina Faso adalah

pemilihan umum dan bebas pertama Burkina Faso akan menandai tonggak penting dalam

transisi ke demokrasi dalam dekade ini. Dengan banyaknya teori-teori demokrasi

konstemporer yang telah banyak berkembang sejak tumbuhnya gelombang demokratisasi di

akhir abad ke 20, jelas proses transisi menuju demokrasi yang terjadi di negara-negara yang

baru-baru saja lepas dari era otoriterisme membutuhkan suatu sintetis konsep demokrasi yang

di dapati dari generalisasi pengalaman-pengalaman negara yang sebelumnya telah berkutat

22
Kusnanto Anggoro, Transisi Politik Dan Negara Hukum Sebuah Pengantar, pengantar dalam Anom Surya
Putra, Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psiko Analisis dan Kritik Ideologi, (Bandung, Nuansa
Cendekia, 2003) hal 17-18
23
Robert B. Ahdieh, Russia’s Constitutional Revolution: Legal Consciousness and the Transition to Democracy,
1985-1996 (Pennsylvania: Penn State Press, 1997) hal 83, dalam Ibid. hal 19
24
Ibid
dalam proses transisi terkhusus pada negara-negara berkembang di sekitar silayah afrika dan

asia termasuk di Indonesia, meskipun tidak lepas dari penyesuaian konsep demokrasi dengan

masalah internal25 di negeri itu yang ada di negara Burkina Faso.

Sebagaiamana yang dijabarkan pula oleh Donna Tella De La Porta:26

Elections play indeed a very central role in the definition of liberal democracy –
in particular in the passage from normative to procedural definitions of
democracy. In this conception, those regimes that guarantee the right to vote to
all citizens are thus democratic. Elections and institutions constituted by elected
members are considered as indispensable guarantees for democracy: ‘a
representative system cannot exist without periodic elections used to render those
who govern responsible before those who are governed . . . a political system is
qualifi ed as representative when honest electoral practices assure a reasonable
level of responsiveness among governors before the governed’ (Sartori 1990,
230).

Selanjutnya Donna Tella De La Porta menyatakan :27

“In order for there to be democracy, elections must be competitive, fair and
recurrent. It is not, in fact, sufficient for there to be elections – elections must
involve real competition among the candidates, the competition must be fair, and
the elections must be repeated regularly (in order that those elected know they
must give account to electors for their actions within a certain amount of time).
Elections must therefore function as elements of accountability, obligating the
principal actors in the government – given that democracy involves an
institutionalized system of representation, ‘realised through the free electoral
designation of certain fundamental organs (mostly parliaments)’ (Cotta 1990,
933).

Demikianlah, bahwa proses pemungutan Suara yang akan dilaksanakan di Burkina Faso

pada 11 oktober 2015 adalah peristiwa utama pada proses transisi yang terjadi negara itu

sejak era pemerintahan sebelumnya yakni pemerintahan Compaore, selain itu juga

merupakan kunci dari lahirnya institusi-institusi baru. Dimana proses pemungutan suara yang

damai dan transparan adalah penting jika pemerintahan baru Burkina Faso ingin memiliki

25
Atau yang disebut Huntington terdiri dari watak masyarakat, perekonomian, budaya, dan sejarahnya, dan
dalam taraf tertentu endemik di negeri itu, baca Samuel P Hutington, The Third Wave : Democratization in the
late twntieth century, terj. Asril Marjohan, atau Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta:Pustaka Utama
Gravfiti, 2001) Op.cit. hal. 272
26
Donatella De La Porta, Op.cit. hal. 14
27
Ibid
kredibilitas, dan penting untuk memastikan jalannya demokrasi yang dianggap menjadi

muara dalam proses transisi di Burkina Faso tetap pada jalurnya agar tidak kembali pada

rejim otriter sebelumnya atau bahkan membentuk rejim otoriter yang dengan sistem yang

baru, sebagaimana fenomena-fenomena yang terjadi pada negara-negara yang telah

melakukan proses transisi terlebih dahulu.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Anom Putra, Surya, Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psiko Analisis dan Kritik
Ideologi, Bandung, Nuansa Cendekia, 2003
De La Porta, Donatella, Can Democracy Be Saved ?: Participation, Deliberation, and Social
Movement ,Cambridge: Polity Press, 2013
Hutington, Samuel P, The Third Wave : Democratization in the Tate Twntieth century, terj.
Asril Marjohan, atau Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Pustaka Utama Gravfiti,
2001
J.A, Denny, Opini Harian Kompas, Demokrasi Indonesia: Visi dan praktek, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2006
Lev, Daniel S, Hukum Dan Politik di Indonesia: Kesinambungan Dan Perubahan, Cetakan
ke 4, Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia, 2014
Mayo, Marorie, Global Citizen:Social Movement and The Challange of Globalization,
Canada: Canadian Scholars’ Press Inc, 2005
Tim Propatria Institute, Demokrasi dan Keamanan: Pemetaan Orientasi dan Prioritas
Partai-Partai Politik dan Pasangan Capres-Cawapres di Bidang Kemanan Nasional,
Jakarta: Proparia Institute Dan Yayasan Tifa, 2012
Robert, Robertus, Politik Ham dan Transisi di Indonesia, Jakarta: ELSAM, 2008
INTERNET:

Business Monitor Online, New Democratic Era Brings Promise And Uncertainty, Business
Monitor News, 14 September 2015, Lexis Nexis Academic Database, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Jakarta 28 september 2015. <http://e-
resources.perpusnas.go.id>

AE Priyono & Fransiscus Djalong, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia: Sebuah


PemetaanWacana,(27September 2015), http : // langitpoetih.blogspot.co.id /2011/03/
demokrasi -dan-demokratisasi-di . html>,.

Anda mungkin juga menyukai