Anda di halaman 1dari 18

Clinical Science Session

DELIRIUM

Disusun Oleh:
Haifa Albiyola Rafa 130110140001
Nayunda Sony Putri 130110140107
Pia Hadianti Deliana 130120170561

Preseptor :
Santi Andayani, dr., SpKJ., MMRS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2019
A. Definisi
Kata delirium merupakan kata berbahasa latin, yaitu delirare yang berarti menjadi “gila
atau marah”. Istilah ini pertama kali dilaporkan pada masa Hippocrates yang menggunakan
istilah phrenitis (gila) dan lethargus (letargi) untuk mendeskripsikan delirium subtipe
hiperaktif dan hipoaktif. Delirium pertama digunakan sebagai istilah medis oleh Celsus di
abad pertama setelah Masehi untuk mendeskripsikan gangguan mental yang berhubungan
dengan demam atau trauma kepala.
Dalam beberapa literatur, delirium dideskripsikan pula sebagai acute confusional state,
acute brain syndrome, acute cerebral insufficiency, dan toxic-metabolic encephalopathy.
Namun, delirium sekarang menjadi istilah yang dipilih dan disarankan untuk menerima
istilah acute confusional syndrome sebagai sinonim untuk sindrom ini.
Delirium merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset akut
dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif yang mungkin
diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu delirium juga mempengaruhi atensi
dan pada beberapa pasien ada yang mengalami gangguan depresi.

B. Epidemiologi
Delirium merupakan kondisi yang sering terjadi dan bersifat serius. Seringkali
ditemukan pada usia lanjut yang dirawat di rumah sakit, dan menyerang sekitar 30%
diantaranya. Studi terbaru melaporkan prevalensi delirium sebesar 10-31% saat pasien
masuk dan insiden 3-29% selama masa rawat.
Risiko meningkat secara eksponensial di ruang rawat intensif, dengan prevalensi
mencapai 80% dan di unit rawat paliatif dimana prevalensi dilaporkan sebesar 85%. Angka
yang lebih tinggi juga ditemukan di kondisi bedah dengan insiden dilaporkan 10-70%
setelah pembedahan, terutama pada pasien yang menjalani operasi kardiotoraks, prosedur
ortopedi emergensi (perbaikan fraktur panggul), bedah vaskuler, atau operasi katarak. Studi
pada lanjut usia yang datang ke unit gawat darurat melaporkan prevalensi 5-30%. Selain
sebagai tempat rawat jangka panjang, penghuni panti jompo merepresentasikan kelompok
yang rentan, dan diperkirakan prevalensi delirium sekitar 3,4-33,3%. Di masyarakat, sesuai
perkiraan, prevalensi rendah, berkisar antara 1-2%.

C. Etiologi
Delirium disebabkan oleh multifaktorial. Faktor risiko delirium terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi adalah faktor
yang membuat orang lanjut usia lebih rentan terhadap delirium dan faktor presipitasi terdiri
dari faktor akut yang mencetuskan terjadinya delirium. Kombinasi kedua faktor itu harus
ada pada orang lanjut usia yang delirium. Faktor predisposisi yang paling sering adalah usia
lanjut, jenis kelamin pria, demensia dan depresi yang telah ada sebelumnya, gangguan visual
dan pendengaran, ketergantungan fungsional, frailty, gangguan sensoris, dehidrasi dan
malnutrisi, polifarmasi (terutama obat psikoaktif), penyalahgunaan alkohol dan kondisi
medis berat yang terjadi bersamaan.

2
Gambar. Model Multifaktorial dari Delirium

Adapun beberapa faktor risiko terkait dengan delirium diantaranya usia yang lebih dari
65 tahun, adanya riwayat delirium, riwayat trauma/pembedahan, adanya komorbid
demensia, depresi, gagal ginjal, penyakit hati, penurunan fungsi penglihatan dan
pendengaran, serta adanya pengobatan spesifik (antikolinergik, narkotika, benzodiazepines,
hipnotiks, anti inflamasi, beta bloker, diuretiks, dan antidepresan). Selain itu faktor risiko
lain yang memicu delirium yakni adanya multifarmaka, stimulus lingkungan yang
berlebihan, ketergantungan alkohol/obat, abnormalitas metabolik (elektrolit,kadar gula),
infeksi akut (infeksi saluran kemih, pneumonia), serta ketidakadekuatan kontrol rasa nyeri.
Setelah bertambah tuanya usia, demensia menjadi faktor risiko paling sering kedua untuk
terjadinya delirium. Menurut Inouye pada tahun 2006, kerentanan yang mendasari otak pada
pasien demensia dapat menjadi predisposisi bagi mereka untuk mengalami delirium, sebagai
akibat gangguan yang berhubungan dengan penyakit medis akut, obat, serta faktor
lingkungan. Menurut Saxena dan Lawley pada tahun 2009, faktor presipitasi yang paling
sering adalah: penyakit yang terjadi bersamaan (misalnya infeksi), komplikasi iatrogenik,
gangguan metabolik, kondisi neurologis primer (misalnya stroke akut), operasi, obat
(terutama benzodiazepin, analgetik narkotik, dan obat dengan efek antikolinergik). Nyeri
yang tak terkontrol juga berhubungan dengan terjadinya delirium. Faktor lingkungan seperti
masuk ruang rawat intensif, pasien dalam kondisi terikat, atau kateterisasi kandung kemih
juga berkontribusi pada terjadinya delirium. Dalam konteks ini, Inouye dan Charpentier
pada tahun 1996 menyajikan suatu model untuk memprediksikan terjadinya delirium pada
pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dengan faktor predisposisi yang lebih banyak
dan lebih berat (pasien terikat, malnutrisi, penggunaan lebih dari tiga obat pada hari
sebelumnya, penggunaan kateter kandung kemih, dan kejadian iatrogenik), berhubungan
dengan sejumlah faktor presipitasi.

D. Patogenesis
Walaupun prevalensi dan angka morbiditasnya yang tinggi, mekanisme patogenesis
dari delirium masih belum jelas sampai saat ini. Selama beberapa tahun ini, proses metabolik

3
telah diperkirakan sebagai penyebab dari delirium. Sekitar lima puluh tahun lalu, Engel dan
Romano mengatakan bahwa terganggunya fungsi metabolik mendasari terjadinya delirium
dan hal ini digambarkan dengan terjadinya gangguan pada berbagai fungsi kognisi. Oleh
karena itu, delirium merupakan sindrom neurobehavioral yang disebabkan oleh disregulasi
aktivitas sel saraf akibat gangguan sistemik.
Dalam beberapa tahun ini, beberapa teori telah dikemukan telah mencoba menjelaskan
proses yang menyebabkan terjadinya delirium. Setiap teori yang diusulkan telah dipusatkan
pada sebuah mekanisme atau proses patologi yang spesifik. Beberapa teori telah diusulkan
sebagai penyebab dari delirium, diantaranya adalah teori neuroinflamatory, neuronal aging,
stres oksidatif, defisiensi neurotransmiter, neuroendokrin, disregulasi diurnal dan network
conectivity. Sampai saat ini belum ada mekanisme patofisiologi tunggal yang telah
didentifikasi sebagai penyebab delirium. Hampir semua teori-teori ini saling melengkapi
bukan saling bersaing dalam menjelaskan terjadinya delirium. Oleh karena itu, teori-teori
ini tampaknya tidak ada yang mampu menjelaskan secara sendiri-sendiri penyebab ataupun
gejala delirium. Tetapi dua atau lebih teori-teori ini bersama-sama menyebabkan gangguan
biokimiawi yang kemudian menyebabkan terjadinya delirium

Gambar. Gambaran spesifik yang menunjukkan interrelationship dari teori-teori ini


dalam patofisiologi terjadinya delirium.

E. Gambaran Klinis
Berdasarkan kriteria DSM-V, delirium dicirikan oleh gejala yang mulainya sangat cepat
(biasanya dalam beberapa jam sampai hari) dan cenderung berfluktuasi, dengan perubahan
tingkat kesadaran, ketidakmampuan berfokus, perhatian yang bertahan atau teralih, dan
perubahan kognitif (seperti gangguan memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau
terjadinya gangguan perseptual hanya dapat dijelaskan oleh demensia. Lebih lanjut, terdapat
bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratoris bahwa gangguan tersebut

4
disebabkan oleh konsekuensi fisiologis langsung dari suatu kondisi medis umum, atau
intoksikasi/withdrawal senyawa, atau karena berbagai penyebab.
Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral delirium. Oleh karena
itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta perjalanan
perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi otak memungkinkan kewaspadaan
terhadap dirinya sendiri serta kewaspadaan terhadap lingkungannya dan dicirikan oleh dua
aspek utama: tingkat dan isi kesadaran. Tingkat kesadaran mencerminkan bangkitan
kewaspadaan: bangun, tidur, atau koma. Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek
sebagai kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun dan
sadar baik. Isi kesadaran dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek minimal memiliki
tingkat kesadaran tertentu.
Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi paling awal, yang
sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi lingkungan berada pada titik
terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi pada yang paling ekstrim untuk pasien yang
sama, atau dapat muncul dengan tanda yang lebih ringan seperti mengantuk atau gangguan
tingkat perhatian. Faktanya, pasien dapat tampak benar-benar mengantuk, letargi, atau
bahkan semi-koma pada kasus yang lebih berat. Ekspresi yang berlawanan, sangat waspada,
juga dapat terjadi, terutama pada kasus withdrawal alkohol atau obat sedatif (lebih jarang
pada lanjut usia).
Perhatian adalah proses yang memungkinkan kita untuk memilih stimulus yang relevan
dari lingkungan, berfokus dan mempertahankan respon perilaku terhadap stimulus tersebut,
dan mengubah aktivitas mental menuju stimulus yang lebih baru, mengorientasi ulang
perilaku seseorang, berdasarkan relevansi stimulus. Perhatian merupakan fungsi yang
berbeda dari kesadaran, namun tetap bersifat dependen. Oleh karena itu, berbagai derajat
perhatian masih mungkin ditemukan pada subyek yang sadar baik, namun perhatian dan
konsentrasi penuh tidak mungkin ditemukan pada penurunan kesadaran. Faktanya,
perhatian dapat menurun secara patologis pada kondisi organik, biasanya dengan penurunan
kesadaran tertentu.
Pada delirium, terjadi penurunan perhatian dan juga dikatakan sebagai salah satu dari
gambaran kardinal yang penting. Biasanya pasien tersebut mudah dialihkan perhatiannya
oleh stimulus yang irelevant, atau memiliki kesulitan mengingat apa yang dikatakan pada
anamnesis. Lebih lanjut, pertanyaan sebagian besar harus diulang karena perhatian subyek
menyimpang. Biasanya terjadi defisit global atau multipel dalam hal kognitif, meliputi
gangguan memori dan disorientasi. Faktanya, karena penurunan perhatian, registrasi
informasi baru dapat terganggu sehingga mempengaruhi memori dan fungsi orientasi
tertentu.
Memori jangka pendek adalah yang paling sering terkena, namun kembalinya informasi
yang telah tersimpan juga dapat terganggu. Misalnya pasien mungkin tidak mampu
mengingat peristiwa di rumah sakit atau kesulitan mengingat instruksi. Disorientasi
biasanya sering terjadi, yang pertama terhadap waktu, berikutnya terhadap tempat. Namun,
disorientasi dikatakan abnormal pada pasien rawat inap dengan sakit berat yang lama, tanpa
acuan hari atau bulan. Fungsi pikir dan bicara menjadi tumpang tindih dan keduanya dapat
terganggu pada kondisi delirium tertentu.

5
Kesulitan bahasa dan gangguannya pada pasien delirium mungkin lebih berhubungan
dengan gangguan bangun dan tingkat perhatian, bukan penyebab spesifik, atau tetap masih
tetap dapat menunjukkan terjadinya perubahan proses. Pada kasus gangguan global yang
berat, konfabulasi dapat mendominasi, sehingga hanya ada sedikit kemungkinan untuk
menilai bahasa, memori, dan isi pikiran. Seringkali bahasa dan bicara, yang mencakup
membaca, hanya sedikit terpengaruh dibanding menulis, terutama pada kondisi ringan atau
stadium awal. Sejumlah hal spesifik pada gangguan bahasa ditemukan dalam perjalanan
delirium. Dalam satu studi, sering ditemukan salah menyebutkan, sama seringnya dengan
yang ditemukan pada pasien demensia, namun berbeda dimana lebih sering terjadi dalam
bentuk gangguan kata dan salah menyebut nama yang tidak terkait. Gangguan kata dapat
dijelaskan oleh perseverasi. Pasien mengulang kata-kata yang sebelumnya diucapkan
(sehingga menjadi perseverasi), bukan kata yang diharapkan yang tidak dapat ditemukan
atau diucapkan oleh subyek. Salah menyebut yang tidak terkait adalah penggunaan kata
yang benar-benar berbeda arti dengan kata yang diharapkan sehingga tidak berhubungan
dengan konteks, tidak seperti parafasia.
Gambaran klinis lain adalah pikiran yang tidak terorganisir, bermanifes sebagai bicara
inkoheren dan bicara ngawur atau irelevant, atau alur pikir tidak jelas atau tidak logis. Pasien
mungkin tidak mampu membuat keputusan yang tepat, atau melakukan tugas sederhana.
Penilaian dan pikirannya buruk dan dapat pula timbul delusi pada sekitar 30% kasus,
terutama dengan sifat paranoid atau persekutor.
Gangguan persepsi juga dapat dideskripsikan pada subyek dengan delirium yang
meliputi ilusi dan misinterpretasi, muncul dari salah kesan terhadap stimulus yang
sebenarnya. Misalnya, pasien menjadi agitasi dan ketakutan, percaya bahwa bayangan
dalam ruangan adalah orang yang akan menyerang. Gangguan persepsi juga dapat meliputi
halusinasi, dimana sebenarnya tidak ada obyek. Halusinasi visual merupakan yang paling
sering terjadi, terutama di malam hari, dan pada sejumlah kasus dapat terjadi di siang hari
segera setelah pasien menutup mata. Isi halusinasi cenderung sederhana, kadang hanya
berupa warna, garis, atau bentuk. Namun, juga dapat meliputi hewan yang berbahaya atau
gambar aneh.
Terdapat gambaran klinis lain yang sering berhubungan dengan delirium yang tidak
dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis. Salah satunya adalah gangguan siklus tidur-
bangun, bercirikan ngantuk berlebihan di siang hari dengan insomnia di malam hari,
fragmentasi, dan kurang tidur atau siklus tidur yang benar-benar terbalik. Sejumlah studi
telah menemukan potensi peran gangguan tersebut, terutama gangguan irama sirkadian dan
fragmentasi tidur sebagai faktor kontributor penting pada sindrom sundowning. Fenomena
ini ditemukan pada pasien delirium yang bercirikan perburukan perilaku disruptif di sore
atau malam hari. Sindrom ini juga dapat disebabkan oleh kelelahan dan penurunan input
sensorik di malam hari.
Gangguan perilaku psikomotor adalah gambaran klinis lain pada delirium, dengan
aktivitas motorik yang meningkat atau menurun. Pada kasus pertama, pasien dapat
mengalami gelisah atau seringnya perubahan posisi yang tiba-tiba. Di sisi lain, pasien juga
dapat menunjukkan kelesuan atau letargi, mendekati kondisi stupor. Gangguan emosi
seperti cemas, ketakutan, iritabilitas, kemarahan, depresi, dan euforia juga dapat terjadi.

6
Gejala tersebut sering dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi medis atau bedah,
karakteristik personal, gangguan psikiatrik premorbid, atau peristiwa hidup terbaru.
Delirium seharusnya berada dalam kategori gangguan kesadaran yang lebih luas.
Adapun beberapa penelitian menyarankan penggunan derajat untuk yang paling berat
sampai yang paling ringan: koma, kondisi vegetatif persisten, stupor, mutisme akinetik,
kondisi sadar minimal, delirium/kondisi konfusional. Taksonomi tersebut akan menjadi satu
kesatuan dengan suatu “area abu-abu” atau regio transisi yang membatasi antara satu derajat
dengan derajat lainnya. Pendekatan ini akan memungkinkan kesatuan beratnya penyakit
tersebut terkait delirium itu sendiri, yang saat ini telah ditinggalkan pada.

F. Diagnosis
Delirium sering tidak dikenali dan salah terdiagnosis oleh profesional medis. Sekitar
sepertiga sampai dua pertiga kasus delirium tidak terdiagnosis. Studi terbaru di bagian gawat
darurat menyimpulkan bahwa dokter di unit gawat darurat melewatkan diagnosis delirium
pada 76% kasus. Hal ini berhubungan dengan faktor seperti sifat delirium yang fluktuatif,
tumpang tindih dengan demensia dan depresi, jarangnya pemeriksaan rutin terhadap
kognitif secara formal di rumah sakit umum, kurang apresiasi terhadap konsekuensi klinis,
dan gagal memikirkan pentingnya diagnosis tersebut. Empat faktor risiko independen untuk
tidak dikenalinya delirium oleh perawat: delirium hipoaktif, usia sangat tua, gangguan
penglihatan, dan demensia.
Perlu dipikirkan tentang onset akut delirium dan perjalanannya yang fluktuatif. Penting
untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta perjalanan perubahan
kognitifnya. Dengan cara ini, diagnosis lebih mudah dibuat jika sebelumnya terdapat
pemeriksaan kemampuan kognitif. Dalam anamnesis, penting untuk mencari informasi dari
anggota keluarga/caregiver, dan/atau staf medis dan perawat. Selanjutnya, pasien harus
diperiksa lebih dari satu kali sehari di siang hari unruk mendeteksi kemungkinan fluktuasi
gejala.
Adapun pemeriksaan lengkap yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis delirium yakni diantaranya pemeriksaan neurologi, pemeriksaan tingkat
kesadaran dengan Glasgow Coma Scale, serta pemeriksaan fungsi kognitif dengan alat yang
sudah terstandardisasi seperti abbreviated mental test score (AMTS). Disamping itu perlu
dievaluasi adanya kondisi demam dan ketergantungan alkohol. Adapun pemeriksaan
penunjang yang perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya penyebab dasar, yakni
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kalsium, urea darah, test fungsi hati dan tiroid, kadar
gula darah, foto polos dada, elektrokardiografi, kultur darah, serta urinalisis.
Penurunan perhatian adalah ciri penting lain pada delirium. Pemeriksaan kognitif harus
meliputi alat skrining kognitif global (misalnya: Mini Mental State Examination, MMSE)
serta pemeriksaan perhatian. Terdapat instrumen skrining yang dapat mendeteksi penurunan
perhatian secara cepat dan cukup sering digunakan yaitu Digit Span Test dan Trail Making
Test. Dalam konteks ini, penting pula untuk mengingat bahwa perubahan gairah dapat
mempengaruhi kinerja uji perhatian seperti kondisi lainnya, misalnya kelelahan. Bahkan,
berdasarkan beratnya delirium, tugas kognitif dapat dipengaruhi secara proporsional oleh
perhatian yang dibutuhkan pada tugas tersebut.

7
Berdasarkan pedoman internasional terbaru (NICE 2010), semua orang tua yang
dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan jangka panjang harus diskrining untuk
mencari tahu faktor risiko terjadinya delirium dan gangguan kognitif menggunakan uji
kognitif singkat (misalnya MMSE). Jika teridentifikasi perubahan baru atau fluktuasi pada
fungsi kognitif, persepsi, fungsi fisik, atau perilaku sosial pada mereka yang berisiko,
pemeriksaan klinis harus dilakukan berdasarkan kriteria DSM-V atau Confusion Assesment
Method (CAM) untuk menegakkan diagnosis. Evaluasi ini harus dikerjakan oleh profesional
medis yang terlatih baik.
Confusion Assesment Method merupakan instrumen skrining delirium yang banyak
digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan mudah pada
kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan
sebelumnya. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik, berdasarkan empat ciri
kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan fluktuatif; (2) penurunan perhatian;
(3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan tingkat kesadaran. Diagnosis delirium
berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2, disertai 3 atau 4. Pada ruang rawat kritis
(Intensive Care Unit, ICU) atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang
tidak dapat berkomunikasi secara verbal, CAM-ICU (adaptasi dari CAM) harus digunakan.
Studi review terbaru menguatkan rekomendasi ini untuk mendukung penggunaan CAM
sebagai instrumen diagnostik.
Identifikasi penyebab dasar penting untuk diagnosis delirium. Karena itu, pemeriksaan
fisik dan neurologis sangat penting, membantu menyingkirkan penyakit infeksi, metabolik,
endokrin, kardiovaskuler, dan penyakit serebrovaskuler. Pemeriksaan fisik harus mencakup
evaluasi tanda vital dengan saturasi oksigen. Pemeriksaan umum harus difokuskan pada
fungsi jantung dan paru. Di luar itu, pemeriksaan neurologis harus memasukkan status
mental dan temuan fokal. Pendekatan diagnostik harus mencakup tes berikut seperti darah
lengkap, kadar ureum darah, kreatinin serum, elektrolit, gula darah, C-reactive protein
(CRP), fungsi hati, dan fungsi tiroid. Penting pula untuk mengidentifikasi penggunaan obat
dan senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang dapat berkontribusi pada
penyakit ini.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak atau tes lain yang lebih akurat
dibanding pemeriksaan klinis. Namun, mereka dapat berguna untuk mengidentifikasi
kemungkinan penyebab delirium dan faktor kontributor yang dapat dikoreksi. Pada
sejumlah kondisi, pencitraan otak dan elektroensefalografi (EEG) bermanfaat, jika terdapat
bukti kuat adanya penyebab intrakranial, berdasarkan pemeriksaan klinis (misalnya
perubahan status mental setelah terjadi benturan pada kepala) atau jika tanda neurologis
fokal atau aktivitas kejang terdeteksi saat dilakukan pemeriksaan fisik.

Kriteria Diagnosis Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ-III


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan)
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian

8
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia).
C. Gangguan Psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas, pengalihan aktivitas
yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih panjang, arus pembicaran yang
bertambah atau berkurang, reaksi terperanjat yang meningkat.
D. Gangguan siklus tidur berupa insomnia, atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur
sama sekali atau siklus tidurnya terbalik yaitu mengantuk siang hari. Gejala
memburuk pada malam hari dan mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang
dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah bangun tidur.
E. Gangguan emosional berupa depresi, ansietas, takut, lekas marah, euforia, apatis
dan rasa kehilangan akal.
G. Klasifikasi
1. Delirium Akibat Kondisi Medis Umum
 Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan)
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian
 Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
 Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung berfluktuasi
dalam sehari
 Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa gangguan
disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung suatu KMU

Kondisi Medis Umum


Kondisi medis umum yang melatar belakangi delirium dapat bersifat fokal ataupun
sistemik, misalnya:
- Penyakit SSP (trauma kepala, tumor, pendarahan, hematoma, abses,
nonhemoragik stroke, transien iskemia, kejang dan migrain, dan lain-lain)
- Penyakit sistemik (misalnya, infeksi, perubahan status cairan tubuh, defisiensi
nutrisi, luka bakar, nyeri yang tidak dapat dikontrol, stroke akibat panas, dan di
tempat tinggi (>5000 meter)
- Penyakit jantung (misalnya, gagal jantung, aritmia, infark jantung, bedah
jantung)

9
- Gangguan metabolik (misalnya, ketidakseimbangan elektrolit, diabetes,
hipo/hiperglikemia)
- Paru (misalnya, COPD, hipoksia, gangguan asam basa)
- Obat yang digunakan (misalnya, steroid, medikasi jantung, antihipertensi,
antineoplasma, antikolinergik, SNM, sinrom serotonin)
- Endokrin (misalnya, kegagalan adrenal, abnormalitas tiroid atau paratiroid)
- Hematologi (misalnya, anemia, leukemia, diskrasia)
- Renal (misalnya, gagal ginjal, uremia)
- Hepar (misalnya, gagal hepar, sirosis, hepatitis)

2. Delirium Akibat Intoksikasi Zat


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan)
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian.
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung berfluktuasi
dalam sehari.
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, sebagai berikut:
1. Simtom A dan B terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan medikasi
2. Intoksikasi zat adalah etiologi terkait dengan delirium

3. Delirium Akibat Putus Zat


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan)
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian.
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung berfluktuasi
dalam sehari.
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, sebagai berikut:
E. Simtom A dan B terjadi selama atau segera setelah putus zat.

10
4. Delirium Akibat Etiologi Beragam
A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan)
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian.
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung berfluktuasi
dalam sehari.
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, bahwa :
Delirium memiliki lebih dari satu etiologi, misalnya lebih dari satu KMU, KMU
dan intoksikasi zat, atau efek samping obat.
5. Delirium yang Tidak Dapat Dispesifikasi
A. Kriteria untuk tipe delirium tertentu tidak terpenuhi, misalnya; manifestasi delirium
diduga akibat KMU, penyalahgunaan zat tetapi tidak cukup bukti untuk
menegakkan etiologi spesifik.
B. Delirium disebabkan oleh penyebab yang tidak tercatat pada seksi ini (deprivasi
sensorik)

H. Biomarker
Untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan delirium, beberapa biomarker telah
diteliti sebagai alat penunjang untuk stratifikasi, diagnosis, monitoring dan prognosis
delirium. Penelitian-penelitian telah direview dan tidak ditemukan evidence yang
menyokong kegunaan klinis dari biomarker delirium, walaupun beberapa biomarker seperti
S100B, insulin-like growth factor (IGF)-1 dan beberapa marker inflamasi telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk dievaluasi pada penelitian-penelitian
berikutnya. Untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan, para peneliti telah
mengidentifikasi beberapa biomarker yang mungkin membantu dalam diagnosi, severitas,
perkembangan terapi terbaru, monitoring respon terapi dan hasil akhir dari delirium yang
telah membaik.
Patofisiologi delirium belum bisa dijelaskan dengan pasti dan mungkin menunjukkan
respon otak terhadap stres lokal atau sistemik yang melibatkan interaksi jalur biologi sentral
dan perifer yang menimbulkan gejala klinis delirium. Ada dua hipotesis utama untuk
menjelaskan mekanisme terjadinya delirium, yaitu: teori neurotransmiter dan teori
inflamasi. Teori neurotransmiter menggambarkan kelebihan atau kekurangan beberapa
neurotransmiter mengakibatkan timbulnya gejala yang berhubungan dengan delirium.
Seperti yang sudah dikemukan bahwa delirium merupakan akibat dari interaksi yang
kompleks antara berbagai faktor presiposisi dan faktor presipitasi. Interaksi ini

11
mengakibatkan ketidakseimbangan neurotransmiter yang mengakibatkan terjadinya
delirium, dimana terjadi pelepasan dopamin yang berlebihan, defisiensi sintesis asetilkolin
dan tinggi atau rendahnya kadar serotonin dan gamma-amino-butiric-acid (GABA).
Teori inflamasi menekankan pada peran dari sitokin sebagai respon terhadap adanya
stressor pada delirium, termasuk diantaranya IL-1, IL-6, interferon danTNF-α. Teori ini
menggambarkan kesamaan gangguan berikut yang disebabkan oleh pelepasan sitokin dan
delirium. Berdasarkan penelitian pada binatang, kedua teori ini tidak dapat berdiri sendiri
melainkan saling mempengaruhi satu sama lain dalam menjelaskan terjadinya delirium.
Beberapa biomarker telah dihubungkan dengan risiko terjadinya delirium, menilai aktivitas
penyakit dan juga dihubungkan dengan derajat severitas delirium itu sendiri. Genetik marker
seperti Apolipoprotein (Apo)-E, marker inflamasi (IL-6, IL-8, Kortisol, CRP) dan IGF-1
telah dihubungkan dengan risiko terjadinya delirium pada pasien usia lanjut. Alel Apo-E
merupakan faktor risiko terjadinya delirium dan durasi delirium yang lebih lama. Tingginya
kadar IL-8, kortisol dan CRP mungkin dapat memprediksi terjdanya delirium bersamaan
dengan rendahnya kadar IGF-1. Dalam hal diagnosis dan penilaian aktivitas penyakit, serum
aktifitas antikolinergik (SAA), mediator inflamasi (IL-6 dan IL-8) dan IGF-1 juga
berkorelasi sangat kuat dengan delirium. Sedangkan kadar S100B dan neuro-specific
enolase (NSE) berhubungan dengan derajat severitas delirium, dimana S100B merupakan
faktor yang paling konsisten berhubungan dengan delirim setelah dilakukan adjustmen
terhadap beberapa variabel perancu.
Biomarker memegang peranan penting dalam menjelaskan patofisologi delirium.
Diagnosis, prognosis dan pengaruh jangka panjang dari delirium. Biomarker dapat sangat
berguna untuk perkembangan terapi delirium dan secara tidak langsung bermanfaat untuk
menilai severitas delirium. Secara umum biomarker dapat diklasifikasikan menjadi dua
kelompok, yaitu biomarker yang berhubungan dengan risiko terjadinya delirium dan
biomarker yang menggambarkan delirium itu sendiri, dalam hal ini diagnosis, severitas dan
lama delirium terjadi.
Keadaan tumpang tindih ditemukan antara marker inflamasi pada delirium dan sistem
kolinergik pasien. Asetilkolin bersifat menghambat pelepasan sitokin proinflamasi IL-6
sehingga mengontrol inflamasi pada otak. Oleh karena itu, proses-proses yang
menyebabkan sistem kolinergik gagal dengan berkurangnya simpanan asetilkolin mungkin
akan menyebabkan kontrol yang inadekuat terhadap kaskade inflamasi dan mempengaruhi
terjadinya delirium. Delirium juga dapat dilihat sebagai perilaku penyakit yang diakibatkan
oleh sitokin. Sitokin-sitiokin ini menyebabkan terjadinya demam, kelemahan dan letargi
sehingga menyebabkan gangguan konsentrasi, gangguan tidur dan agitasi. Sitokin ini
mengurangi aktiviats kolinergik, terutama pada usia lanjut dengan penyakit neurodegenratif
misalnya penyakit Alzheimer. Siklus berulang ini terus berlangsung, regulasi yang tidak
adekuat dari inflamasi karena menurunnya aktivitas kolinergik. Regulasi yang tidak adekuat
ini menjelaskan interaksi yang kompleks anatar teori inflamasi dan teori neurtransmiter.

S100 Calcium Binding Protein B (S100B)

S100 merupakan protein dengan berat molekul 20kDa termasuk pada superfamili
S100/calmodulin/troponin C dari protein calcium binding EF-hand. S100 diisolasi dari otak

12
manusia dan diperkirakan sebagai protein spesifik pada sel glia. Sampai saat ini, ada 20
monomer family S100 yang telah teridentifikasi berdasarkan kesamaan fungsi dan struktur.
Hampir semua protein S100 dalam bentuk dimer dan diakspresikan oleh sel-sel yag khusus.
Dua monomer S100 (S100A1 dan S100B) terdapat pada sel glia sistem saraf pusat dan pada
beberapa sel perifer, misalnya: sel Schwan, sel melanosit, sel adiposit dan sel kondrosit.
Disamping itu, kedua monomer ini juga ditemukan pada beberapa penyakit keganasan
seperti melanoma, glioma, karsinoma tiroid dan renal cell carcinoma. Pengukuran kadar
S100B pada serum telah menunjukkan kegunaan klinik untuk monitoring terapi dan
prognosis pasien dengan melanoma maligna. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa
kadar S100B serum berguna dalam manajemen pasien dengan cedera kepala, henti jantung,
pembedahan jantung dan stroke.
S100B merupakan biomarker yang menunjukkan injuri secara langsung pada sel saraf,
misalnya cedera kepala dan penyakit cerebrovascular. S100B menunjukkan hal yang
menjanjikan untuk menilai tingkat keparahan delirium. Astrosit melepaskan S100B dan
kadar S100B yang tinggi mungkin menunjukkan injuri tidak langsung 26

pada sel glia. Adanya hubungan yang kuat antara kadar S100B serum dengan delirium
setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu. Pada ketiga penelitian ini
menunjukkan kadar S100B yang tinggi pada pasien yang mngalami delirium. Salah satu
penelitian melaporkan adanya korelasi antara S100B dengan sitokin IL-6 dan IL-8.

Interleukin-6

Interleukin-6 merupakan glikoprotein multifungsi yang diproduksi oleh sel normal dan
sel yang mengalami transformasi, misalnya: sel T, monosit/makrofag, fibroblast, hepatosit,
sel endotel vaskular, cardiac mixoma, sel karsinoma kandung kemih, sel mieloma,
astroglioma dan glioblastoma. Produksi IL-6 pada sel-sel tersebut diatas diatur baik secara
positif maupun negatif oleh berbagai sinyal termasuk mitogen, stimulasi antigen, LPS, IL-
1, TNF, dan virus.
Pada SSP, sel astrosit merupakan sumber utama IL-6. Walaupun IL-6 mempunyai efek
yang menguntungkan karena bersifat neurotropik, overekspresi dari IL-6 pada umumnya
bersifat merusak. Hal inilah yang berhubungan dengan patofisiologi terjadinya gangguan
pada SSP. Interleukin-6 sebagai marker inflamasi mempunyai peranan dalam terjadinya
delirium. Pada beberapa penelitian, IL-6 berhubungan dengan risiko terjadinya delirium,
aktifitas penyakit dan diagnosis delirium.

Instrumen Diagnosis Delirium

Sebelum adanya revisi Diagnostic and Statistical Manual (DSM) III, beberapa
instrumen diagnsotik delirium masih belum terstandarisasi. Oleh karena itu, sebelum tahun
1980, ada banyak istilah (gagal otak akut, acute confusional state, sindrom organik akut,
psikosis postoperasi, insufisiensi serebral, ensefalopati, dll) yang digunakan dalam literatur
untuk mengambarkan delirium. Kemudian dalam beberapa tahun ini, ada beberapa
instrumen yang telah dipakai untuk skrining, diagnosis dan menilai derajat severitas

13
delirium. Diantara berbagai instrumen skrining delirium, NEECHAM confusion scale dan
Delirium Observation Scale merupakan yang paling cocok dipakai pada pasien-pasien di
bangsal perawatan bedah dan medik. Secara umum, instrumen-instrumen yang dipakai
untuk mendiagnosis delirium (seperti CAM, CAM-ICU, DRS-R-98, dan MDAS) selalu
mengacu pada kriteria DSM. Instrumen-intrumen tersebut mempunyai nilai reliabilitas dan
validitas yang baik. Diantara bermacam-macam instrumen delirium ini, CAM merupakan
yang paling sering digunakan sebagai instrumen diagnosis karena akurasi, ringkas, dan
mudah digunakan para klinisi.

Tabel. Beberapa instrumen diagnosis untuk Diagnosis Delirium


I. Peranan Neuroinflamasi pada Delirium

Infeksi perifer mengaktivasi kaskade inflamasi yang diikuti pengenalan komponen


spesifik dari mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif,
oleh fagosit dalam sirkulasi (Sheng dkk., 2003). Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh
makrofag dan monosit, termasuk tumor necrosis alpha (TNF-α) dan IL-1 akan merangsang
ekspresi dari beberapa mediator yang berfungsi untuk menghasilkan sel inflamasi lainnya
yang akan merusak jaringan. Oleh karena itu, pada awalnya terjadi respon imun lokal
kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga respon sistemik akan meningkatkan
kadar sitokin dalam sirkulasi.

Pada banyak kondisi medis dan bedah, dimana delirium paling banyak terjadi,
pelepasan dan produksi mediator proinflamasi ke dalam sirkulasi merupakan bagian dari
proses patofisiologi. Bukti nyata yang secara langsung membuktikan keterlibatan inflamasi
sistemik dalam hal terjadinya delirium berasal dari beberapa penelitian yang menyatakan
bahwa kadar CRP, IL-6, IL-8 dan TNF-α tinggi pada pasien yang mengalami delirium
postoperasi dibandingkan dengan yang tidak mengalami delirium.

Respon imun alamiah merupakan mekasime adaptasi yang penting karena mengatur
respon sentral untuk melawan infeksi akut. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam respon
ini adalah:
1. Pengenalan langsung terhadap sinyal patogen atau mediator inflamasi pada daerah-
daerah dimana sawar darah otak terganggu atau tidak ada.
2. Sistem transport sitokin pada sawar darah otak yang bergantung pada energi (energy-
dependent) atau diproduksinya second messenger aktif di dalam sawar darah otak.
3. Pengenalan aktivasi respon umun perifer oleh sel saraf sensoris yang membawa
informasi ke otak melalui sistem saraf otonom.
Penelitian-penelitian pada binatang menunjukkan bahwa rangsangan inflamasi perifer
berhubungan dengan perubahan fungsi dan molekuler sawar darah otak. Peningkatan
permeabilitas sawar darah otak dan perubahan ekspresi protein tight-junctional dilaporkan

14
pada tiga model inflamasi yang berbeda. Walaupun konfirmasi neuropatologi dari
kerusakan sawar darah otak pada manusia sangat sulit untuk dibuktikan, namun peningkatan
kadar S100B dapat dipertimbangkan sebagai bukti terjadinya peningkatan permeabilitas
sawar darah otak. Oleh karena itu, beberapa kondisi yang berhubungan dengan inflamasi
sistemik akut (misalnya syok sepsis dan pembedahan jantung) mungkin berhubungan
dengan disfungsi sawar darah otak. Demikian juga, kerusakan sawar darah otak selama
episode delirium dapat disimpulkan dari penelitian yang menunjukkan peningkatan kadar
S100B serum pada pasien lansia yang menderita penyakit medis. Begitu pula delirium yang
terjadi pada fase awal syok sepsis, berhubungan dengan leucoencephalopathy pada otak.
Hal inilah yang diperkirakan sebagai penyebab terjadinya kerusakan sawar darah otak.
Sebagai tambahan, faktor lain yang mempengaruhi struktur dan fungsi dari sawar darah otak
adalah hipoksia, iskemik dan nyeri.
Perubahan fungsi kognitif yang terjadi setalah inflamasi sistemik yang akut
diperkirakan sebagai akibat dari interaksi selular dan molekular yang sinergis pada bagian-
bagian otak yang berbeda dan terutama pada hipokampus. Sitokin proinflamatory IL-1 telah
lama dikenal sebagai perusak hipokampus dan mempunyai peranan penting pada proses
neurofisiologis dari konsolidasi memori, dan modulasi plastisitas sinaptik. IL-6 juga
mempengaruhi disfungsi hipokampus. Sebaliknya, IL-10 tampaknya mengimbangi efek IL-
1 dan IL-6, dengan cara menghambat pengaruh inflamasi sistemik terhadap perubahan
kognisi dan perilaku. Demikian juga, penurunan ekspresi hipokampal brain-derived growth
factor (BDNF) dan peningkatan stres oksidatif karena disfungsi mitokondria juga
berpengaruh pada defisit kemampuan belajar dan memori yang berhubungan dengan
neuroinflamasi. Hal ini memberi kesan bahwa reaksi kombinasi otak untuk menghasilkan
ROS, sitokin proinflamasi, metaloproteinase, Nitrit Oksida (NO) dan kemokin
menyebabkan perubahan fungsional pada sel saraf, kemudian mempengaruhi beberapa
proses misalnya: plastisitas sinaptik, potensiasi jangka panjang, dan dapat mengganggu
memori dan proses belajar.

Ada bukti bahwa aktivasi mikroglia dan astrosit oleh sistem imun perifer dapat
mengakibatkan ketidak seimbangan Bax/Bcl-2 dan mempengaruhi sel intraparenkim otak.
Pada kasus yang fatal, misalnya syok sepsis, Sharsat dkk melaporkan bahwa terjadi
apoptosis sel glial dan sel saraf dalam pusat otonomik di otak manusia. Lee dkk menduga
bahwa aktivasi amyloidegenesis berhubungan dengan neuroinflamasi, dimana hal ini
merupakan mekanisme utama yang mengakibatkan apoptosis dan kematian sel saraf serta
disfungsi neurokognisi. Rangkaian proses ini terjadi dalam sistem saraf pusat setelah adanya
stimulasi sistem imun perifer. Oleh karena itu, sekali terjadi paparan LPS atau TNF-α dapat
menimbulkan kehilangan saraf dopaminergik yang signifikan dalam SN, sekitar 27% dalam
tujuh bulan pertama dan bertambah berat (47%) dalam sepuluh bulan setelah paparan
pertama.

J. Peranan Proses Penuaan pada Delirium

15
Proses penuaan yang disertai perubahan fisiologis pada penuaan merupakan faktor
risiko terjadinya delirium. Proses penuaan berhubungan perubahan pada otak misalnya
pengaturaran neurotransmiter yang berkaitan dengan stress metabolik, penurunan aliran
darah otak , penurunan densitas vaskuler, kehilangan sel saraf (terutama pada locus cereleus
dan substantia nigra) dan penurunan transduksi intraseluler.
Penuaan itu sendiri menunjukkan peningkatan jumlah mediator inflamasi di dalam
sirkulasi yang menunjukkan bahwa proses neurodegenerasi kronik yang disebakan oleh
respon inflamasi mengaktivasi sel mikroglia SSP. Sel mikroglia ini menghasilkan respon
inflamasi yang berlebihan terhadap perubahan imunologi. Perubahan pada sistem imun yang
berkaitan dengan penuaan (immunosenescence) menyebabkan peningkatan sekresi sitokin
oleh jaringan adiposit. Hal ini merupakan penyebab utama inflamasi kronik, yang lebih
dikenal sebagai “inflammaging”. Proses inflamasi ini mungkin berkontribusi terhadap
progresifitas penyakit melalui produksi mediator inflamasi.
Beberapa mekanisme utama yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
delirium pada usai lanjut:
1. Kehilangan sel saraf terutama pada lokus coereleus dan substantia nigra.
2. Perubahan pada berbagai sistem neurotransmitter.
3. Penurunan intergritas white matter yang berhubungan dengan usia.
4. Penurunan aliran darah otak, terutama pada gyrus cingulate anterior, basal ganglia
bilateral, bagian prefrontal kiri, bagian frontal lateral kiri dan bagian temporal
superior kiri, dan korteks insular.
5. Penurunan metabolisme oksigen pada otak.
6. Berkurangnya suplai oksigen (misalnya hipoksia).
7. Berkurangnya metabolism oksidatif otak.

K. Tatalaksana

Tiga tujuan utama terapi delirium yaitu;


• Mencari dan mengobati penyebab delirium (diperlukan pemeriksaan fisik yang cermat
dan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, analisis
gas darah, fungsi hati, dan fungsi ginjal, serta EEG atau pencitraan otak bila terdapat
indikasi disfungsi otak).
• Memastikan keamanan pasien (menyediakan dukungan baik secara fisik, psikis, maupun
lingkungan)
• Mengobati gangguan perilaku terkait dengan delirium, misalnya agitasi psikomotor.

L. Terapi Nonfarmakologik
1. Psikoterapi suportif yang memberikan perasaan aman dapat membantu pasien
menghadapi frustrasi dan kebingungan akan kehilangan fungsi memorinya.
2. Perlunya reorientasi lingkungan, misalnya tersedia jam, foto keluarga.
3. Memberikan edukasi kepada keluarga cara memberikan dukungan kepada pasien.

16
M. Terapi Farmakologik
Umumnya, terapi obat dibutuhkan pada delirium bergejala psikotik dan insomnia.
Interaksi obat harus menjadi perhatian serius. Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada
tanda dan gejala psikosis, misalnya halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik)
sehingga berisiko terlukanya pasien atau orang lain.
• Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati delirium, dapat
diberikan per oral, IM, atau IV. Disesuaikan dengan usia, berat badan, dan kondisi pasien.
• Dosis haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang setiap 30 menit
(maksimal 20 mg/hari).
• Apabila pasien sudah lebih tenang dapat diberikan secara oral 2 kali sehari 5-40 mg.
• Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi.
• Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan interval QTc dan adanya
disritmia jantung.
• Pasien agitasi yang tidak bisa menggunakan antipsikotika (misalnya, pasien dengan
Syndrome Neuroleptic Malignance) atau bila tidak berespons bisa ditambahkan
benzodiazepin yang tidak mempunyai metabolit aktif, misalnya lorazepam tablet 1–2 mg
peroral. Kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan pernafasan.
• Untuk penderita Parkinson, dapat diberikan anti psikotik generasi 2 yaitu klozapin atau
kuetiapin.
• Insomnia dapat diberikan benzodiazepine umumnya lorazepam 1-2 mg po beberapa jam
sebelum tidur
• Vitamin B dan C dapat diberikan apabila pasien diketahui memiliki defisiensi atau masalah
gizi buruk.

N. Peringatan

17
 Hindari penggunaan obat-obat yang mengandung antikolinergik (misalnya,
triheksilfenidil) karena akan memperberat delirum.
 Fiksasi (restrain) adalah pilihan terakhir karena dapat menyebabkan semakin beratnya
agitasi.

O. Komplikasi
Gangguan stres akut dapat terjadi pada pasien yang sudah sembuh dari delirium,
misalnya, pasien dapat seperti mengalami kembali gangguan persepsi. Beberapa keadaan,
seperti disorientasi, psikosis, deprivasi tidur menyebabkan deliriumdipersepsikan oleh
pasien sebagai peristiwa yang sangat traumatik. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan
benzodiazepin, jangka pendek (misalnya lorazepam), pada pasien yang tetap cemas setelah
deliriumnya membaik.

P. Prognosis
Prognosis bergantung kepada tatalaksana penyakit yang mendasarinya.

Q. Daftar Pustaka
1. PP PDSKJI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa (PNPK). 2012
2. Kaplan and Sadock’s Synopis of Psychiatry 11th edition chapter 10 Delirium, Dementia,
and Amnestic and other Cognitive Disorder
3. American Psychiatric Association. Treatment of Patient with Delirium. 2010

18

Anda mungkin juga menyukai